Anda di halaman 1dari 18

Prof Abdul Hadi Wiji Muthari Selamatkan Sastra Islam Nusantara

Sunday, 08 Jan 2017 18:00 WIB

Perkembangan sastra Islam di Indonesia kurang mendapatkan kajian luas sebagaimana sastra modern
yang berkiblat tradisi Barat. Padahal, sastra Islam nusantara berperan penting dalam membangun
peradaban, antara lain, Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim.

Persoalan itu diungkap Guru Besar Universitas Paramadina Jakarta, Abdul Hadi WM. Selain akademisi,
sosok kelahiran Sumenep (Madura), 24 Juni 1946, itu juga dikenal sebagai penyair.

Banyak puisi karyanya berbicara tentang religiusitas, tasawuf, dan kearifan lokal. Ia merupakan
penerjemah sejumlah teks sastra dunia ke dalam bahasa Indonesia, seperti Faust karya Johann Wolfgang
von Goethe, Rubaiyat karya Omar Khayam, atau Matsnawi karya Jalaluddin Rumi. Peraih Southeast Asia
Write Award (1985) tersebut juga telah menghasilkan puluhan buku yang mengurai perkembangan
sastra Islam, baik di nusantara maupun dunia.

Bagaimanapun, ia mengaku khawatir dengan kecenderungan sastra Islam nusantara yang kian
terpinggirkan. Berikut petikan wawancara wartawan Republika, Hasanul Rizqa, dengan peraih
Satyalencana Kebudayaan RI (2010) itu di Universitas Paramadina, Jakarta, pekan lalu:

Bagaimana Anda mendefinisikan sastra Islam?


Sastra Islam itu sastra yang berkaitan dengan Islam. Islam di sini tidak sekadar agama atau teologi.
Sebab, pengertian orang kalau berbicara tentang Islam ya hanya teologi. Itu salah (dalam konteks definisi
sastra Islam).

Islam lebih luas daripada itu. Islam adalah way of life. Itu dipahami terlebih dahulu. Setelah itu, sastra
Islam (merupakan) sastra yang berkaitan dengan budaya orang Islam, way of life-nya orang Islam. Baik
dalam kemasyarakatan, politik, ekonomi, spiritualitas, maupun lain sebagainya. Jadi, definisinya tidak
hanya sastra yang mengungkapkan masalah Tuhan, tapi juga bagaimana (karya) sastra itu
mencerminkan, menjabarkan, kehidupan orang Islam dalam pergulatannya dengan kehidupan spiritual
maupun dalam kehidupan sosial dan moral.

Sebagai way of life, Islam itu, pertama-tama akidah. Akidahnya tentu saja tauhid. Akidah ini dijabarkan
dalam bentuk ibadah. Ibadah itu ada yang formal, ada yang nonformal. Di samping ibadah, ada
muamalah. Dan ada akhlak. Nah, itu lho.

Dimensi sufistik, ilham favorit sastrawan Islam, tak terkecuali di Indonesia. Bisa Anda jelaskan?

Tasawuf masuk ke kesusastraan Indonesia sejak awal penyebaran agama Islam di nusantara, yaitu pada
abad ke-13. Tapi, teks-teks yang awal, yang kita temui itu, biasanya (mengungkapkan pengaruh tasawuf)
dari abad ke-15 atau abad ke-16. Catatan-catatan itu tidak semuanya bisa eksis sampai abad belakangan
karena bahan-bahan naskahnya itu mudah rusak.

Adapun yang kita kenal itu, seperti karya-karya Hamzah Fansuri, Sunan Bonang, dan lain-lain. Itu dari
abad ke-15 atau abad ke-16. Jadi, sejak awal memang sudah masuk karena tasawuf atau sufi memainkan
peran penting dalam penyebaran agama Islam, khususnya sejak abad ke-13. Proses itu berpusat di
Samudra Pasai, wilayah Aceh. Kemudian, dari situ ke Jawa Timur, menyebar ke Ternate dan seterusnya.

Karena itu, dalam setiap sastra daerah, yang pemakai-bahasa daerahnya itu beragama Islam, pasti ada
sastra sufi. Mulai dari sastra Aceh, Minangkabau, Sunda, Jawa, dan Madura. Jadi, ia (sastra sufi) sudah
menjadi bagian yang teresapi.
Lihat saja, kesusastraan Jawa. Yang dominan di sana karya-karya Ranggawarsita, Yosodipuro. Itu semua
diilhami oleh tasawuf. Ada bukunya, Serat Kalatida, di sini. (Prof Abdul Hadi WM berdiri dan
menunjukkan sebuah buku berjudul Serat Kalatida.) Orang juga tidak bisa melepaskan karya-karya
Melayu dari pengaruh sufi.

Jadi, tahap perkembangannya itu, misalnya dari teks, mulai dari abad ke-15. Kita bisa lihat dalam suluk-
suluk Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kali Jaga, Ki Ageng Selo, dan sebagainya. Itu jelas sekali.
Kalau dalam sastra Melayu, jelas sekali, misalnya, dari (karya-karya) Hamzah Fansuri, Syamsuddin
Sumatrani, Abdul Jamal, Syekh Nururddin ar-Raniri, Abdrurauf Singkel, dan segala macam.

Bagaimana periodisasi sastra Islam di Indonesia?

Membagikan (sastra) Indonesia ke dalam periode itu, tidak bisa rigid. Tapi, kalau kita jernih melihat
bahwa sastra Indonesia itu sastra yang menggunakan bahasa Indonesia. Sastra bahasa Indonesia itu
adalah kelanjutan dari sastra Melayu, yang (memakai) bahasa Melayu.

Karena itu, sastra Indonesia yang disebut sastra modern itu kelanjutan dari sastra Melayu. Katakanlah,
sastra Melayu lama. Artinya, sebelum adanya Indonesia.

Jadi, periodisasinya bisa dimulai dari datangnya agama Islam sampai dengan munculnya pengaruh-
pengaruh Barat. Kemudian, perkembangannya sesudah Kemerdekaan pada 1945 dan 1960. Kemudian,
seperti kata HB Jassin, ada (Angkatan) 66. Tapi juga ada 'Angkatan 70' dan seterusnya sampai sekarang.

Namun, yang menonjol itu perkembangan sastra Islam di (sastra Indonesia) modern. Ada sebuah
kemunculan lagi setelah Amir Hamzah dan kawan-kawan pada 1930-an. Banyak sekali, ya. Ada Ali Hasjmy
(sastrawan Aceh kelahiran 1914) dan segala macam itu. Tapi, kemudian (setelah generasi Ali Hasjmy)
terpotong dengan periode-periode yang urut itu. Baru pada 1960-an dan 1970-an, lebih marak
lagi.Sastra Islam berkembang pesat, seiring dengan perkembangan dalam seni lukis atau kaligrafi.

Kalau Braginsky (kritikus, penulis Yang Indah Berfaedah dan Kamal) itu, membagi sastra Islam ke dalam
tiga kategori. Pertama, karya-karya yang mempersoalkan spiritualitas, kesempurnaan batin. Itu karya-
karya sufi dan karya-karya para filsuf.
Kedua, karya-karya yang mengutamakan kemanfaatan kepada masyarakat, mengandung pengajaran.
Karya-karya sosial, sejarah, dan segala macam yang ada hubungannya dengan masalah-masalah manusia
di muka bumi. Hablum minan-nas-nya di sini, sedangkan hablum minAllah-nya pada sastra sufi. Yang di
bawah lagi, ada sastra yang bercorak estetika lahiriah. Artinya, hiburan-hiburan, tetapi di dalamnya
masih ada unsur pendidikan, seperti Kisah 1001 Malam.

Anda tadi menyinggung tentang terpotongnya generasi. Apa pengaruh kolonialisme

sempat memberikan jeda dalam perkembangan sastra Islam di Indonesia?

Jelas pengaruhnya. Karena, orang-orang pesantren, ulama-ulama itu menulis dalam bahasa Melayu atau
daerah mereka masing-masing dengan menggunakan huruf Arab.

Kitab-kitab mereka menjadi tidak dibaca oleh ini (generasi selanjutnya). Jadi, peranan sentral mereka
menjadi lemah. Karena itu, mereka kemudian balik lagi kembali menghidupkan bahasa Arab. Karena
bahasa Arab, bagaimanapun, harus dibaca dengan tulisan atau aksara Arab.

Kalau saya melihatnya, ini adalah kesalahan pemimpin-pemimpin kita juga. Menjauhkan diri dari tradisi.
Sama juga dengan anak Jawa. Sekarang, (generasi muda Jawa) tidak bisa membaca karya-karyanya
Ranggawarsita dalam tulisan Jawa. Jangankan dalam tulisan (aksara) Jawa. Dalam bahasa Jawa yang
sudah ditransliterasi ke Latin juga tetap tak bisa membacanya. Karena sudah dijauhkan.

Dalam beberapa karya Anda, seperti Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (1999)

atau Hermeneutika Sastra Barat & Timur (2014), Anda menegaskan bahwa karya sastra adalah aktualisasi
pengalaman batin seorang pengarang. Apakah teori-teori kesusastraan dari Barat cukup komprehensif
untuk mengkajinya?

Tidak bisa. Karena, norma-norma kehidupan yang mereka (orang Barat) alami itu, yang dijabarkan ke
dalam teori-teori sastra itu, berkaitan dengan pengalaman hidup mereka di Eropa.
Misalnya, pengalaman keterasingan dengan Tuhan, tidak hadirnya lagi Tuhan dalam kehidupan dan
peradaban modern. Nah, adapun Islam di Indonesia, atau di mana-mana, tidak demikian. Satu-satunya
agama yang tidak bisa tersekulerkan, itulah Islam. Islam yang paling bertahan.

Maka, dalam sastra Islam itu, Tuhan atau nilai-nilai agama ya bisa hadir. Tenaganya itu di sana. Pun di
sanalah masalahnya (bila) memakai perspektif Barat. Jadi, teori-teori sastra (Barat) itu tidak bisa melihat
ini. Tidak bisa melihat keseluruhan.

Misalnya, feminisme. Teori gender itu kan dibuat-buat saja. Di masyarakat Indonesia, tidak ada yang
disebut patriarki dalam persepsi penindasan oleh laki-laki. Ambil contoh, di Minangkabau itu matriarki.
Madura itu juga matrilineal.

Sebuah teori sastra itu muncul tidak dari kekosongan, tetapi dari sesuatu yang sudah ada dalam
masyarakat di mana teori sastra itu dilahirkan. Jadi, ada pandangan hidupnya, sistem kepercayaannya
atau norma-norma. Karena itu, sastra sendiri juga muncul lantaran tidak dari kekosongan.

Orang Minangkabau, bila berkusastraan dalam bahasa Indonesia, ada setting masyarakat Minangkabau.
Orang Jawa juga begitu. Orang Madura juga begitu. Ia mempunyai basis kearifan sendiri, yang terungkap
melalui pandangan estetika mereka (pengarang).

Anda mengajak untuk kembali ke tradisi Timur dan meninggalkan Barat?

Bukan (kembali) ke Timur, melainkan tradisi kita itu sudah hilang. Maka, harus direbut lagi tradisi itu.
Direbut dan diperjuangkan. Bukan dibunuh. Bukan ditinggalkan. Nanti kalau dibunuh, ditinggalkan, dan
segala macam, ya kita menjadi kacung dari Barat. Kita jadi Pak Turut saja. Simpel sekali.

Sementara, di beberapa masyarakat atau bangsa lain, seperti Cina, Jepang, Iran, India, mereka menggali
ini semua. Menggali dan merebut, lalu memperjuangkannya. Kita tidak sama sekali. Ini masalahnya.

Dalam sejumlah esai, Anda merasa studi kesusastraan di kampus-kampus Tanah Air terlampau
didominasi tradisi Barat?
Karena itu, ilmu-ilmu kita menjadi terasing bagi perkembangan sosial. Tidak bisa dipakai untuk melihat
atau menganalisis masyarakat kita sendiri.

Ilmu sosial (yang diajarkan di kampus) kan gagal menganalisis ini. Siapa bisa menjangkau Aksi 2
Desember 2016 itu, misalnya, dan segala macam? Nggak ada. Ilmu politik sekarang itu nggak ada (yang
bisa menganalisisnya). Gagap semua. Ilmu sosial juga begitu.

Bagaimana menanamkan jiwa entrepreneur lewat sistem globalisasi, perbankan, neoliberalisme. Lah,
masyarakat kita sendiri tidak liberal. Bagaimana itu? (Masyarakat Indonesia) masih pasar induk, kakilima.
Jadi, teori-teori makro itu hanya berlaku untuk mereka, yang bergaul dengan sistem ekonomi Barat. Ilmu
sosial Barat. Akibatnya, ilmu juga tumpul karena kita tidak menggali dari kearifan (masyarakat) kita
sendiri.

Bagaimana Anda melihat sastra Islam, khususnya di Indonesia, sekarang ini?

Janganlah coba-coba para sarjana itu meniadakan sastra Islam Indonesia ini. Baik dalam bahasa Jawa
maupun Melayu. Ia (sastra Jawa atau sastra Melayu) tidak berbicara apa-apa tanpa Islam, tanpa Hindu.
Jadi, (sastra) kita ini nggak ada apa-apanya tanpa disuntik oleh peradaban Hindu dan Islam. Itu saja
pokoknya. Kembalikan saja pada pokok dasar.

Kalau tidak merasuk Islam itu, ya tidak akan menjadi agama rakyat di Indonesia. Mungkin, orang-orang
itu tidak belajar melalui sastra. Tapi, pada awalnya, dimulai dari teks. Teks lalu konteks. Bukan dari
konteks. Teks dulu. Karena, yang diajarkan dari buku-buku itu, kitab-kitab. Baru nanti, diolah oleh
mereka, para ulama, untuk menjadi adat istiadat dan segala macam. Karena itu, dalam pepatah Melayu
ada kata-kata, Adat bersendi syariat. Syariat bersendi kitabullah.

Kita akan tetap begini terus karena sistem, metode pendidikan kita itu mimesis, meniru-niru. Bukan
creatio. Dulu, sebelum datang kolonialisme, kita tidak mimesis. Kita membuat sendiri. Buktinya, tasawuf.
Al-Ghazali, Ibn Arabi, disintesiskan, dipadukan di Indonesia. Tidak dipertentangkan. Di Arab, sekarang ini
dipertentangkan. Nah, kita yang kemudian belajar dari Arab mencoba mempertentangkannya lagi, yang
mana di sini sudah lama dipadukan. (Contoh pemadunya?) Hamzah Fansuri, misalnya. Bacalah teksnya
Hamzah Fansuri, syair-syairnya. Sunan Bonang juga begitu.
Pujangga-pujangga Indonesia zaman Islam dahulu itu belajarnya di pesantren. Sama dengan pujangga-
pujangga zaman Hindu, itu belajarnya di asrama-asrama Hindu. Jadi, mereka begitu kaya dengan
pengalaman dengan teks mereka.

Mereka menulis bukan tanpa teks-teks sebelumnya. Kearifan tidak datang sendiri. Buktinya, pengaruh
Martabat Tujuh. Syamsuddin Sumatrani atau semua sufi sampai di Jawa ke sana itu, pada Martabat
Tujuh. Itu bukti yang tak bisa dihapus sejarah. Bahkan, sampai era kini. Lihat misalnya buku drama Orkes
Madun (karya) Arifin C Noer itu. (Prof Abdul Hadi WM menunjukkan buku tersebut.) Itu banyak
pengaruh (tasawuf) di dalamnya. Campur aduk.

Apa ini berarti kita harus kembali ke masa lalu?

Bukan kita mengelap-lap tradisi lama. Membaca teks-teks supaya kta tahu kita sumber-sumber kita itu
apa dan bagaimana. Misalnya, sekarang ini ramai (wacana) Islam Indonesia. (Untuk merumuskannya)
tidak mentang-mentang. Islam Indonesia yang dibicarakan bukan (rumusan dari) Martin van Bruinessen,
Snouck Hurgronje, dan segala macam. Itu kan justru mereka yang mematikan (tradisi Islam ). Lihat
bagaimana Raja Ali Haji, HAMKA, atau Hamzah Fansuri, (mengalami) pengaruh modernisme.

Mengapa sastra penting? Lihat gerakan-gerakan (yang tampak) di luar. Gerakan ekonomi, politik, dan
sebagainya. Bawah sadar itu yang tidak kita ketahui. Nah, gerakan seni-sastra, itu menyumbang semua
itu (mengungkap kondisi akar rumput masyarakat).

Cuma, orang kita belajarnya sekarang parsial. Hanya ilmu sosial yang penting. Tidak mempelajari teks-
teks sastra. Bagaimana Sutardji (penyair) itu menjerit-jerit, bagaimana Taufiq Ismail menjerit-jerit? Itu
suara dari bawah (maskarakat akar rumput). Harus didengar. Suara-suara itu, bahkan oleh sarjana
sendiri, perguruan tinggi sendiri, enggak didengar.

Di perguruan tinggi itu kita juga sedih. Kita seperti tidak menawarkan satu solusi, bagaimana
cendekiawan Muslim, ulama-ulama, memperhatikan sektor-sektor kultural. Itu bukan sekadar dogma
atau tampilan artifisial, melainkan juga pemikirannya, kesusastraannya. Itu semua agar dipikirkan.
Bagaimana memberdayakannya. Sehingga, Islam nusantara jadi pembawa pesan damai, tampil secara
budaya, bukan hanya secara tindakan politik.
Nggak ada orang yang berpikir tentang kebudayaan tanpa bicara tentang sastra dan seni. Yang paling
jelas, kepribadian (masyarakat) itu tampak dalam seni dan sastra. Bukan dalam ilmu.

Ya, sejarah kebudayaan harus dipelajari. Belajar sastra, sejarah kebudayaan, dan kebudayaan-
kebudayaan yang ada di Indonesia. Bandingkan belajar tentang cultural studies. Tahu nggak kebudayaan
Bali itu apa? Kebudayaan Madura apa? Cultural studies hanya (mengkaji) masyarakat kota. Yang
dibicarakan, gay, LGBT. Itu kan ahistoris. Dan juga, tidak membantu munculnya teori pembangunan.

Jadi, berbicara untuk kepentingan teori saja, ilmunya saja. Tidak ada kemaslahatan masyarakat pada ilmu
itu. Teori linguistik sekarang, misalnya. Bagaimana menjadikan bahasa Indonesia itu bahasa
internasional. Bisakah itu dibantu oleh pakar linguistik? Ternyata tidak kan? Banyak pakar ekonomi.
Tetapi, pembangunan seperti ini. Banyak pakar hukum. Hukum jadi rimba raya begini.

Sebab, terlalu banyak teori. Kita memerlukan pemikir sekarang ini. Bukan teori. Kalau ahli teori sudah
banyak. Kita lebih memerlukan pemikir, bukan ahli teori. Kita belum tahap menggali (pemikiran) dan
memperjuangkan lagi.ed: nashih nashrullah

Profil Prof.Dr. Abdul Hadi WM, guru kami yang inspiratif, sebagaimana diceritakan putrinya.

Ahmad Yanuana Samantho shared Abdul Hadi WM‘s photo.

4 mins ·

Profil guru kami yang inspiratif sebagaimana diceritakan putrinya.

Abdul Hadi WM's photo.

Abdul Hadi WM

December 28, 2015 ·

AYAH SAYA dan PENDETA-PENDETA.


Beberapa hari lalu, teman facebook saya yang juga adik kelas sejurusan di Unpad jurusan Sejarah, Adif
Sahab membagikan foto-foto jadul mengenai iklan-iklan produk dan jasa yang memasang ucapan
“Selamat Natal dan Tahun Baru” dalam beberapa majalah Muhammadiyah sekitar tahun 1980an.
Meskipun kiriman foto-fotonya mengingatkan saya pada kontroversi ucapan Selamat Natal dari Buya
Hamka, yang oleh cucu-cucunya seperti kakanda Sadrah Prihatin Rianto mendapat bantahan bahwa
beliau pernah mengharamkannya. Akan tetapi, saya juga justru terpikir untuk menuliskan tentang sosok
Muhammadiyah yang paling saya kenal ini, yang membesarkan saya dengan tradisi Muhammadiyah yang
sama sekali tidak seperti mainstream kenal tentang Muhammadiyah maupun mainstream kenal tentang
mainstream Muhammadiyah.

27bb1-11252208_818733758253759_1443922636_nAyah saya berasal dari keluarga besar yang kaya


oleh keberagaman tradisi religius dan spiritual. Terlahir di Madura, dari rahim seorang putri Jawa, dan
buah seorang peranakan Tionghoa, namun sangat Melayu di mata saya. Kakek buyut dari sebelah
ayahnya adalah seorang pengikut Sufi dari tradisi seperti lazimnya NU di Nusantara, dari mazhab sufi
Syaikh Abdul Qadir Jailani. Kakek-kakek dalam seluruh keluarganya yang merupakan para saudagar dan
priyayi peranakan Tionghoa kemudian merintis ranting atau cabang Muhammadiyah di daerah mereka di
Pasongsongan, Madura dan sekitarnya. Sejak itu, hampir seluruh keluarga besarnya menjadi pengikut
Muhammadiyah, dan banyak terdapat tanah-tanah yang diwakafkan atau dibangun untuk mushola, serta
sekolah-sekolah Muhammadiyah seperti TK dan SD. Tentu saja ini unik, bayangkan sudahlah mereka ini
minoritas keturunan Tionghoa Muslim yang mewarisi tradisi yang agak banyak perbedaan dari orang-
orang Madura di sekeliling mereka, mereka pun menjadi minoritas Muhammadiyah di tengah-tengah
warga NU Madura.

Seingat saya, kakek saya dari pihak ayah saya bukanlah pribadi yang menggebu-gebu, antusias atau
semacam itu dalam masalah keagamaan. Beliau tampaknya lebih menonjol sebagai seorang pengusaha
yang tekun dan sangat menyukai kesenian, karena mahir bermain biola. Ini mungkin karena ayahnya
(kakek dari ayah saya) konon sering menyelenggarakan acara kesenian lokal, menyenandungkan
Macapatan khas setempat dan sering mengembara — baik untuk tujuan bisnis maupun tujuan spiritual
yang terkesan lebih sufistik daripada “berkarakter Muhammadiyah.”

abdulhadiwmtogaNamun, yang paling saya ingat sebagai pribadi yang religius dan spiritual adalah nenek
saya, atau ibu dari ayah saya. Nenek saya adalah seorang putri bangsawan Jawa dari trah
Mangkunegaran III, yang entah bagaimana, kemudian menjadi aktivis Aisiyah mengikuti tradisi keluarga
besar suaminya. Saya masih ingat bagaimana nenek saya selalu mengingatkan saya sholat ketika saya
masih kanak-kanak dan berlibur di rumahnya, tidur di ranjangnya yang dipenuhi kembang-kembang
melati. Dan, yang paling membekas bagi saya adalah bagaimana ia menasehati saya untuk selalu
berpakaian sopan, mengenakan rok atau celana di bawah lutut, tetapi tidak sekalipun menyuruh saja
berjilbab atau berkerudung.
Konon, ayah saya baru belajar bahasa Melayu formal ketika kelas 3 SD, dan ia mengklaim sebagai cucu
paling pintar di sekolah di antara seluruh cucu kakeknya sehingga mengenang betapa kakeknya sangat
bangga dan men-cucuemas-kannya. Saya rasa gabungan dari “tradisi dagang” dari para peranakan
Tionghoa yang berdagang dan “tradisi priyayi” dari para peranakan Tionghoa yang menjadi arsitek,
insinyur, mubaligh, dll dalam keluarga besar ini memberi pengaruh penting kepada kakek-kakek dari ayah
saya untuk mengutamakan pendidikan dan sangat mengapresiasi kehidupan intelektual.

abdulhadiwmSelain itu, saya merasa bahwa nenek saya lebih memberikan pengaruh kepada ayah saya
yang kemudian memilih tidak terjun menjadi pedagang meneruskan bisnis keluarga, tetapi menjadi
priyayi seperti keluarga pihak ibunya sebagai seorang pengajar. Di hari-hari kemudian, ketika ayah saya
harus meninggalkan Madura untuk melanjutkan pendidikan di pulau Jawa, ayah saya bertemu dan
menjadi akrab kembali dengan tradisi keluarga besar ibunya. Adalah menarik ketika saya justru
mendapat nama kedua dari “Serat Wedhatama” yang dikarang oleh salah satu saudara sepupu kakek
buyut dari ibunya, Mangkunegaran IV. Jujur, saya merasa nama yang saya dapatkan dari ayah saya
sungguhlah berat dari makna yang zahir maupun yang batin.

Ayah saya adalah salah satu dari pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) bersama Amin Rais,
yang pernah seasrama dengannya, dan almarhum penyair Slamet Sukirnanto dan seperti umumnya
mahasiswa Muslim ketika itu, ia juga merupakan kader HMI. Dan, melalui perjalanan hidupnya ia
bersahabat dengan tokoh-tokoh NU seperti Gus Mus dan Gus Dur, serta tidak pernah tertarik untuk
terikat dengan kelompok-kelompok kesenian berdasarkan ideologi. Melalui ayah saya, saya mengenal
Taufik Ismail, tetapi juga mengenal karya-karya Pram tanpa merendahkan atau menghina sama sekali
ideologi komunisme dan Marxisme. Ketika saya masih kanak-kanak, saya dan adik-adik saya bahkan
dibiarkan diasuh oleh keluarga Njoto yang bertetangga dengan kami, yang istri Njoto (RA Soetarni)
merupakan saudara sepupu nenek saya dari trah MN III, dari satu rahim perempuan jelata yang sama,
yang diperselir oleh seorang pangeran MN III.

Melalui ayah saya pula, saya pertama kali berkenalan dengan Syiah dan agama-agama lain. Di akun
facebooknya, misalnya ayah saya menjadi pengajar “gratisan”, bahkan secara terbuka sering membagikan
lukisan-lukisan atau foto-foto perempuan cantik yang kadang-kadang berpakaian seksi atau bergaya
sensual. Darinya (dan tentu ibu saya yang seorang pelukis), saya berkenalan dengan beragam mazhab
senirupa, dimana rumah kami tidak pernah kosong dari lukisan berbagai aliran seni.

Tidak jarang orang menganggap bahwa ayah saya telah menganut Syiah, padahal dalam ritual-ritualnya
ia tidak pernah meninggalkan fikih sesuai tradisi Muhammadiyah yang berijtihad merujuk dari keempat-
empat mazhab fikih Sunni yang populer. Akan tetapi, ayah saya tidak pernah sekali pun menganjurkan
saya berkerudung atau berjilbab, bahkan tidak pula memberi komentar ketika pada hari ulangtahunnya
di tahun 1997 saya memutuskan berjilbab. Begitulah pula kepada ibu saya, tidak pernah menyuruh
bahkan tidak pernah mengomentari pilihan pakaian ibu saya sama sekali. Itulah sebabnya jangan terkejut
jika bukan hanya saya yang memutuskan kembali meneruskan tradisi berkerudung gaya nenek saya,
tetapi ayah saya mendukung sepenuhnya adik tengah saya tidak berjilbab, dan adik bungsu saya yang
membuka jilbabnya.

Justru ibu saya yang mengikuti yang mainstream dan populer dalam keberagamaan masyarakat, kadang-
kadang juga tidak bisa mengikuti jalan pikiran ayah saya. Namun, ayah saya juga sangat mendapat
pengaruh dari ayah mertuanya — kakek saya — yang merupakan pengikut Sosrokartonoan, seorang
Javanolog, pemikir, perenung dan pencinta dunia yang sama dengannya. Tampaknya, di antara seluruh
menantu lelakinya, ayah saya merupakan satu-satunya menantu kakek saya (yang priyayi sekali itu) yang
mana ia bisa berbagi dunia pemikiran dan spiritual yang sama-sama mereka tekuni.

Dalam banyak hal, saya sesungguhnya banyak bertentangan pendapat dengan ayah saya. Ada kalanya
saya merasa perlu menjadi antitesis dari seorang Abdul Hadi WM. Apalagi, di antara seluruh putrinya,
saya merupakan satu-satunya yang dididik di sekolah Muhammadiyah, ditarik menjadi aktivis IMM,
tertarik menjadi kader HMI dan tertarik kepada dunia serta tema-tema yang ditekuninya. Saya tidak tahu
bagaimana ini terjadi. Ibu saya telah berusaha mengajari saya bermain musik, sampai meminjam gitar
terbaik milik sahabatnya almarhum Franky Sahilatua, tetapi saya malah mengikuti jejak ayah saya yang
sama sekali tidak mahir bermain musik. (Ibu mengeluh, dan menyindir saya karena seluruh saudara
kandungnya bisa bermain gitar dan sebagian besar mahir bermain piano). Mungkin ini juga karena sejak
SMP saya terbiasa menjadi asisten pribadinya, mengetik tesisnya yang baru diperbaiki, atau membantu
membaca karya-karya sayembara yang ia menjadi jurinya. Kadang-kadang bahkan kami bertengkar
berebut buku dari perpustakaan kecilnya, atau dia marah karena saya mengambil buku yang sedang
diperlukannya untuk mengajar atau menulis makalah.

Ya, ayah saya berasal dari keluarga yang bineka, baik secara aliran ke-Islam-an maupun agama. Meskipun
berMuhammadiyah, ayah saya tidak melarang ibu saya ikut bahkan menyelenggarakan tahlilan, apalagi
berziarah, dan bahkan dirinya senang berMaulidan ala NU dan lebih akrab dengan penyair-penyair NU
seperti Gus Mus dan familinya Zawawi Imron daripada seniman-seniman Muhammadiyah. Almarhum
adik tengahnya pernah menjadi anggota Ahmadiyah dan menikah dengan seorang perempuan
Ahmadiyah lalu bercerai. Kini keponakannya dan mantan saudari iparnya tetap menjadi Ahmadiyah, dan
ayah saya sama sekali tidak pernah terucap mengkafirkan mereka apalagi mengajak-ajak mereka keluar
dari Ahmadiyah.
Sewaktu kecil saya ingat kami selalu pergi ke rumah saudara-saudara atau sahabatnya yang Kristen untuk
mengucapkan selamat Natal, atau saudara ibu saya yang Kristen. Ketika mendapat penghargaan Habibie
beberapa tahun silam, ayah saya tiba-tiba bangun dari kursi dan memeluk Romo Magniz Suseno yang
hadir meskipun keduanya belum saling mengenal. Saya teringat suatu peristiwa lucu ketika Romo
Fransesco Marini menjenguk saya di rumah sakit, mereka berdua mengobrol akrab dan kadang-kadang
antara jawaban dengan pertanyaan saling tidak menyambung karena Romo Marini tidak memakai alat
bantu pendengarannya, dan ayah saya juga sebenarnya akhir-akhir ini telah berkurang ketajaman
pendengarannya. Jadilah, saya berusaha keras untuk menahan tawa (bagaimana tidak, kan yang satu
bapak saya, dan yang satu guru Alkitab saya!).

Beberapa hari lalu, ayah saya, ibu saya dan saya pergi mengunjungi tetangga sebelah yang adalah
keluarga pendeta Protestan dari Gereja Kemah Injil untuk mengucapkan selamat Natal. Ayah saya seperti
biasa menguasai percakapan dan bercerita begitu banyak hal tentang agama-agama dan aliran-aliran di
dunia, yang kadang kala saya sanggah, juga bercerita tentang teman-temannya yang pendeta Protestan,
Mormon, dan lain-lain. Juga ia bercerita tentang pengalamannya keliling dunia menyaksikan berbagai
tradisi keagamaan, termasuk ke pedalaman-pedalaman seperti Mentawai yang ia sayangkan dipaksakan
untuk berpindah agama dari agama lokal menjadi antara tiga: Islam atau Kristen/Katholik. Sementara itu
pak pendeta bahkan agak kesulitan mengikutinya, masih begitu keberatan dengan penyebaran aliran
Mormon dan gereja-gereja ‘yang bidat dalam pandangannya’ yang didukung dirjen kemenag. Satu-
satunya kalimat ayah saya yang penting saya garisbawahi adalah tidak mengapa semua aliran itu
berkembang, biarkan saja, yang terpenting tidak membuat kerusakan.

RA Gayatri WM

ADVERTISING

Iklan
REPORT THIS AD

Share this:

Bagikan

Terkait

Prof. Dr. Abdul Hadi Wiji Muthahari di mata putrinya.

dalam "Biografi Hukama & Arifin"

ABDUL HADI WM: MENEROKA SUFISME

dalam "Budaya & Sastra"

Beberapa Sajak Abdul Hadi WM


WM, Pelopor Sastra Sufi di IndonesiaPublished 10 months ago on June 24, 2018 By Achmad Sulaiman

SHARE TWEET

Abdul Hadi WM. (FOTO: Dok. Salihara)

Abdul Hadi WM. (FOTO: Dok. Salihara)

NUSANTARANEWS.CO – Hari ini, 24 Juni 2018 merupakan hari kelahiran pelopor “sastra sufi” di
Indonesia, Abdul Hadi WM. Bernama lengkap Abdul Hadi Wiji Muthari, penyair yang kini berstatus
sebagai guru besar Falsafah Agama dan Budaya di Universitas Paramadina Jakarta, lahir di Sumenep,
Madura, Senin, 24 Juni 1946. Hari ini, usianya genap 72 tahun. Selain dikenal sebagai sastrawan sufistik,
Abdul Hadi juga masyhur namanya sebagai seorang budayawan, cendikiawan muslim dan ahli filsafat
Indonesia.

Abdul Hadi lahir di lingkungan keluarga muslim yang taat. Ayahnya seorang muslim Tionghoa, saudagar
dan guru bahasa Jerman bernama K. Abu Muthar. Sedangkan sang ibu adalah putri keturunan
Mangkunegaran (Keraton Surakarta) bernama RA Sumartiyah atau Martiyah. Kedua orang tuanya ini
memiliki pesantren di tanah kelahirannya, “Pesantren An-Naba”.

Sejak kecil, Abdul Hadi sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat dari pemikir-pemikir seperti
Plato, Sokrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal. Sejak kecil pula ia telah
mencintai puisi dan dunia tulis menulis. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir
Hamzah dan Chairil Anwar.

Dia menempuh pendidikan dasar dan sekolah menengah pertamanya di Sumenep. Di usianya yang masih
kanak-kanak ini, Abdul Hadi sudah memiliki kegemaran mendengarkan dongeng dan membaca karya
sastra. Tidak mengherankan apabila pada usia 14 tahun Abdul Hadi sudah mampu menulis karya sastra,
terutama puisi.
Ketika duduk di bangku sekolah lanjutan pertama, ia sudah terobsesi oleh sajak-sajak Chairil Anwar,
terutama sajak “Lagu Siul II” yang mengungkapkan ‘laron pada mati’ dan ‘ketangguhan tokoh Ahasveros
menghadapi Eros’. Atas obsesinya pada sajak Chairil Anwar itu—dan juga pengalaman religiusnya
mendalami dan mengamalkan Al Quran—kelak lahirlah sajak Abdul Hadi W.M. yang dinilai banyak pakar
sastra bersifat sufistik, “Tuhan, Kita Begitu Dekat” (1976).

Setelah lulus ia meneruskan ke Sekolah Menengah Atas di Surabaya dan setelah lulus ia melanjutkan
studinya ke Fakultas Sastra, Universtas Gadjah Mada. Dia memasuki Jurusan Filologi, Fakultas Sastra
hingga mencapai gelar sarjana muda (1965-1967). Kemudian, Abdul Hadi pindah ke Fakultas Filsafat di
universitas yang sama hingga mencapai tingkat doktoral (1968-1971).

Kehausan akan ilmu pengetahuan, mendorong Abdul Hadi pindah ke Bandung lalu masuk di jurusan
Antoripoogi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran (1971-1973). Selanjutnya, Selama setahun
sejak 1973-1974 Hadi bermukim di Iowa, Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program
di Universitas Iowa, lalu di Hamburg, Jerman selama beberapa tahun untuk mendalami sastra dan
filsafat.

Ketika ia sudah pindah ke kota Jakarta, di tahun 1991 mendapat tawaran menjadi penulis tamu dan
pengajar (dosen) Sastra Islam di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universitas Sains Malaysia, Penang.
Tahun 1992 ia pun mendapatkan kesempatan studi dan mengambil gelar master dan doktor Filsafat dari
Universiti Sains Malaysia di Penang. Beberapa tahun kemudian, tahun 1997 ia memperoleh gelar doktor
(Ph.D.) dengan disertasinya “Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Shaykh
Hamzah Fansuri“. Disertasinya ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Tasawuf yang
Tertindas Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri” (Paramadina, 2001).

Sekembalinya ke Indonesia, Hadi menerima tawaran dari teman lamanya Nurcholis Madjid untuk
mengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, universitas yang sama yang mengukuhkannya sebagai Guru
Besar Falsafah dan Agama pada tahun 2008.
Sepanjang menempuh pendidikan hingga dikukuhkan sebagai Guru Besar, selama itu pula Abdul Hadi
juga terlibat dalam dunia jurnalistik. Sejak awal menjadi mahasiswa, ia aktif dalam kegiatan pers
mahasiswa sebagai redaktur Gema Mahasiswa (1967-1968), redaktur Mahasiswa Indonesia (1969-1974,
edisi Jawa Tengah di Yogyakarta). Kemudian, antara tahun 1971-1973, ia menjadi redaktur Mahasiswa
Indonesia edisi Jawa Barat di Bandung, Redaktur Pelaksana majalah Budaya Jaya (1977-1978), dan
redaktur majalah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) (1979-1981).

Selanjutnya, sembari mengasuh lembaran kebudayaan “Dialog” Harian Berita Buana (1978-1990), ia juga
menjadi redaktur Balai Pustaka (1981-1983) dan redaktur jurnal kebudayaan Ulumul Qur’an. Disamping
itu, ia juga diangkat sebagai Staf Ahli Bagian Pernaskahan Perusahaan Negara Balai Pustaka, dan Ketua
Harian Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1984-1990). Tak hanya itu, dalam kesibukannya, ia pernah
diundang untuk menjadi dosen Penulisan Kreatif di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Institut
Kesenian Jakarta (1985-1990), serta dosen tamu Sastra dan Filsafat Islam di Universitas Sains, Malaysia
(1991-1997). Sekarang, ia aktif sebagai pengurus Yayasan Hari Puisi Indonesia.

Lalu, tahun 2000 ia dilantik menjadi anggota Lembaga Sensor Film dan sampai saat ini dia menjabat
Ketua Dewan Kurator Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal, Ketua Majlis Kebudayaan Muhammadiyah,
anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan anggota Dewan Penasihat
PARMUSI (Persaudaraan Muslimin Indonesia). Keterlibatan Abdul Hadi WM dalam lingkaran aktivis
Muslim telah dimulai sejak ia menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama menjadi
mahasiswa di UGM, kemudian ikut merintis lahirnya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada
tahun 1964. Dari sini ia pun dikenal sebagai cendikiawan muslim yang turut serta menyuarakan tentang
pluralisme.

Sebagai pengajar, saat ini tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Falsafah Universitas Paramadina, dosen
luar biasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan dosen pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta dan The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) London kampus Jakarta.

Sebagai sastrawan, Hadi bersama sahabat-sahabatnya antara lain Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri,
Hamid Jabar dan Leon Agusta menggerakkan program Sastrawan Masuk Sekolah (SMS), di bawah
naungan Departemen Pendidikan Nasional dan Yayasan Indonesia, dengan sponsor dari The Ford
Foundation. Di luar aktifitas gerakan kebudayaannya ini, Abdul Hadi WM terbilang banyak memberikan
sumbangsih terhadap sastra Indonesia melalui karya-karya sastra sufistiknya.
Bahkan, sekitar tahun 1970-an, para pengamat menilainya sebagai pencipta puisi sufis. Ia memang
menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu. Seiring dengan waktu, karya-karyanya kian kuat
diwarnai oleh tasawuf Islam. Suatu ketika ia berkata: “Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk
mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufik menekankan sisi moralistisnya,” kata
Abdul Hadi menangkis anggapan orang yang menyebut dirinya seperti sastrawan Taufik Ismail terkait
bentuk karya-karyanya.

Sebagai penyair sufi, ia telah melahirkan sejumlah buku puisi monumental. Diantaranya adalah Laut
Belum Pasang (1971), Cermin, (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi
(1976), Tergantung pada Angin (1977), dan Anak Laut Anak Angin (1984), Pembawa Matahari (2002),
Madura: Luang Prabhang (2006) dan Tuhan, Kita Begitu Dekat (2012). Sedangkan kumpulan puisinya
dalam bahasa Inggris berjudul At Last We Meet Again (1987), dan kumpulan sajak bersama Darmanto
Yatman dan Sutardji Calzoum Bachri dalam bahasa Inggris diterbitkan di Calcutta, India, 1976, dengan
editor Harry Aveling, berjudul Arjuna in Meditation. Sajak-sajak Abdul Hadi W.M. tersebut telah
diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, antara lain Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, Belanda, Cina,
Korea, Thailand, Arab, Urdu, Bengali, dan Spanyol.

Sampai saat ini ia telah menerbitkan buku-buku esainya seperti Kembali ke Akar Kembali ke Sumber:
Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik (1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (1999), Tasawuf yang
Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001). Selain itu, ia juga terkenal
sebagai editor buku, pengulas, dan penerjemah karya-karya sastra Islam dan karya sastra dunia. Dalam
bidang ini telah dihasilkan sejumlah buku antara lain, Sastra Sufi: Sebuah Antologi (1985), Ruba’yat Omar
Khayyam (1987), Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-Bangsa Timur (1986), Pesan dari Timur:
Muhammad Iqbal (1987), Rumi dan Penyair (1987), Faust I (1990), Kaligrafi Islam (1987), Kehancuran dan
Kebangunan (1987), dan Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (1995).

Pengamalan penting Abdul Hadi WM yang dalam dunia sastra ialah pernah mengikuti International
Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat (1973-1974), London Poetry Festival, di
London, Inggris (1974), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1974), Festival Shiraz, Iran
(1976), Konferensi Pengarang Asia Afrika, Manila, Filipina (1976), Mirbad Poetry Festival, Bhagdad
(1989), dan masih banyak pertemuan sastra dan festival puisi regional dan internasional yang diikutinya,
termasuk di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Atas dedikasi dan kontribusa tersebut, pantas apabila pelopor sastra sufi Indonesia mendapatkan
sejumlah pernghargaan prestisius seperti Hadiah Puisi Terbaik II Majalah Sastra Horison (1968), Hadiah
Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta (1978), Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1979),
S.E.A. Write Award, Bangkok, Thailand (1985), Anugerah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) (2003),
Penghargaan Satyalancana Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia (2010) serta Habibie Award di
bidang sastra dan kebudayaan (2014).

Penulis: Mugi Riskiana

Editor: Achmad S.

Anda mungkin juga menyukai