Anda di halaman 1dari 10

A.

Pendahuluan

Bahasa Arab termasuk salah satu peradaban berupa bahasa yang karya sastranya
memiliki nilai dan unsur-unsur seni yang patut dibanggakan dan diperhitungkan. Ini terbukti
dengan adanya nash-nash (teks-teks) peninggalan yang menjadi tolok ukur sebuah kejayaan
peradaban yang pernah dilalui, seperti dalam sebuah karya sastra Arab. Karya sastra dalam
bahasa Arab senantiasa berkembang kajiannya seiring dengan kemajuan zaman dan pola
pikir masyarakat modern sehingga tidak terjadi kejumudan pada analisa hasil karyanya.

Di lain pihak, sastra Arab merupakan sastra kawasan Asia Barat yang telah berumur
ribuan tahun, berdampingan secara komplementer dengan sastra kawasan lain, dan secara
meyakinkan menjadi anggota sastra dunia. Ini dibuktikan dengan penghargaan Novel bidang
sastra yang diterima Najib Mahfuz Abdul Aziz Ibrahim Basya pada tahun 1988. Dia hadir
sebagai ekspresi masyarakat Arab tentang kehidupan yang diungkapkan dengan nilai estetika
yang dominan.

Sejauh ini, sastra Arab telah menjadi bagian dari kajian banyak orang dan pengamat di
seluruh bagian dunia. Berdasarkan penjelasan di atas, nyatalah bahwa sastra Arab
mempunyai kedudukan yang istimewa sebagai salah satu pengetahuan tentang bahasa dan
budaya Arab yang sudah diakui dunia. Untuk itu, sudah sewajarnya bila materi sastra Arab
diajarkan kepada pembelajar bahasa Arab. Dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai
pengertian dan periodisasi sastra Arab.

B. Pengertian Dan Periodisasi Al-Adab Al-‘Arabĩ

Kata al-Adab berakar dari kata Aduba, Ya’dubu, Adaban, yang berarti Zaruf wa Tahżĩb,
yakni sopan, berbudi bahasa yang baik. Namun bila berakar dari Adaba, Ya’dabu, Adaban
wa Idāban berarti al-Da’wah ilā al-Ma’dūbah, yakni mengajak makan; jamuan (Ma’luf,
2002: 5). Kata al-Adab digunakan juga untuk menyebutkan segala pembahasan ilmiah dan
cabang-cabang seni sastra yang dihasilkan Choir Rosyidi dan Mohammad Arif Setyabudi
194 Al Ta’dib, Volume 4 Nomor 2 Januari 2015 oleh setiap bahasa. Jadi al-Adab mencakup
segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal pikiran para ilmuwan, penulis, dan penyair atau
sastrawan (Brogran, 1994: 19). Menurut Ali Ahmad Mażkūr, pengertian al-Adab dibedakan
menjadi dua: pertama, secara umum, yakni segala sesuatu yang dihasilkan oleh masyarakat
di berbagai cabang ilmu pengetahuan baik politik, pendidikan, kedokteran, dan sebagainya.
Kedua, secara khusus, yakni penyampaian sesuatu dengan pengolahan perasaan yang
mendalam yang syarat nilai dan seni tentang gambaran yang akan diberikan dan
diekspresikan dalam bentuk tertentu dengan kaidah-kaidah yang tertentu pula (Maźkūr,
2000: 149).

Tentang periodesasi sastra Arab, terdapat perbedaan pembagiannya. Namun mayoritas


para ahli membaginya menjadi beberapa periode (al-Zayyat, 1996: 8)

1. Periode Jahiliyah (al-‘Aşr al-Jāhilĩ) (456-610 M)

Bagi orang awam mungkin saja akan dipahami sebagai suatu masa yang meliputi seluruh
masa sebelum datangnya agama Islam atau masa kenabian Rasulullah SAW. Jika kita
membenarkan pandangan ini maka tentulah zaman pra Islam akan mencakup masa yang
sangat lama karena mencakup masa Nabi Adam sampai masa kenabian Rasulullah SAW.
Pendapat seperti itu tentu ada benarnya, akan tetapi para sejarawan Arab membatasi masa
pra-Islam hanya sekitar 150 tahun sebelum kedatangan Islam yang ditandai dengan kenabian
Muhammad SAW. Hal itu disebabkan minimnya referensi yang dapat dijadikan rujukan oleh
para sejarawan.

Salah satu keterangan mengenai hal tersebut adalah keterangan dari Al-Jahid yang
menjelaskan bahwa yang pertama kali memperkenalkan puisi jahiliyah adalah Imrul Qais bin
Hujrin dan Muhalhil bin Rabi'ah yang kalau kita teliti jarak masanya dengan kedatangan
Islam adalah sekitar 150 tahun. Meskipun ada peninggalan kerajaan Persia dan Bizantium
dalam bentuk prasasti yang ditemukan oleh para ahli kajian Smit yang memberitakan tentang
kerajaan Gassasinah di Syam, kerajaan Munadhirah di Hirah, dan kerajaan Kindah di utara
Nejd, adapun berita-berita tentang sejarah sebelum abad keenam belas Masehi sangat
terbatas. Oleh sebab tu masa Jahiliyah dibatasi hanya pada 150 tahun sebelum Islam dan
masa sebelum itu disebut fase jahiliyah pertama.

Pada zaman Arab pra-Islam, puisi Arab menjadi fondasi utama dan dipandang sebagai
sandaran dalam kaidah berpuisi. Dari sudut pandang prosodic, secara praktik, semua
memang merujuk pada masa tersebut. Model puisi yang lazim pada masa itu adalah puisi
dengan enam belas metrum dengan struktur bergabung, tanpa rima, yang penggunaannya
hanya dalam puisi-puisi serius saja. Itu pun dengan rima tunggal (monorhym). Akan tetapi,
kemudian terdapat sedikit inovasi, khususnya yang terjadi di wilayah Spanyol Islam pada
abad ke-ll, dengan model puisi strophic atau stanzaic yang di sana lebih dikenal dengan
nama muwashshah.
Puisi-puisi dengan tema cinta dan kasih sayang, yang penuh dengan imagery gurun
banyak disukai oleh sebagian besar penyair, dan gaya ini terus berlangsung sampai pada
dekade pertama abad ke-20.

Pada masa ini karya sastra terbagi dua yaitu puisi (syair) dan Prosa (naśr). Puisi adalah
kata-kata yang berwazan dan berqāfiyah, sedangkan prosa adalah kata-kata yang tidak
berwazan dan tidak berqāfiyah. Terdapat 8 jenis puisi: Pembelajaran Sastra Arab Al Ta’dib,
Volume 4 Nomor 2 Januari 2015 195 tasybĩh/gazal (wanita dan kecantikannya),
hammasah/fakhr (kebanggaan), madah (pujian), raśa’ (mengingat jasa orang yang telah
meninggal), hijā’ (caci maki), i’tiżar (permohonan maaf), waşfun (penggambaran kejadian),
dan hikmah (pelajaran kehidupan). Sementara prosa terbagi menjadi lima: khutbah, wasiat,
hikmah, maśal, dan qişşah (Wargadinata dan Fitriani, 2008 : 93-102). Ada dua karya sastra
penting yang terkemuka di era ini: pertama, Mu’allaqāt, yaitu kasidah panjang atau
kumpulan 7 puisi emas yang indah yang diucapkan oleh para penyair Jahiliyah dalam
berbagai kesempatan, dan sebagian digantungkan di dinding Ka’bah, dan kedua,
Mufaddaliyāt, yaitu sejumlah diwan (antologi) yang berisi 120 puisi serta sejumlah besar
penggalan dan kutipan dari beberapa diwān al-Khamsah ((Wargadinata dan Fitriani, 2008 :
104).

2. Periode Islam dan Dinasti Umayyah (al-Şadr al-Islām) (610-750 M)

Dengan kelahiran Islam, sebagai agama baru, muncul beberapa perubahan. Sebagaimana
yang juga terjadi pada puisi pada awal masa Anglo Saxon Kristen, 3 yang saat itu Kristus
dan murid-muridnya dipandang dan digambarkan dalam tennterm pagan. Kelahiran
Muhammad saw telah menandai dimulainya era baru yang mengubah tatanan hidup dan
ideologi bangsa Arab yang dimulai dari Mekkah dan Madinah dengan Alquran sebagai
fondasi tatanan masyarakat baru tersebut (Bakalla, 1984:136).

Kedatangan Islam dengan Alquran sebagai fondasi utamanya, mampu memberikan


pengaruh terhadap perkembangan puisi pada saat itu karena para penyair muslim generasi
pertama adalah orang-orang Arab yang berkarya dalam sebuah tradisi yang telah mempunyai
konvensi dan aturan yang mapan. Para penyair itu terpengaruh oleh sastra dan keindahan
Alquran (al-Khuly dan Zayd, 2004:87). Perkembangan penting setelah berdirinya agama
baru tersebut adalah munculnya model puisi-puisi baru, yaitu puisi cinta, yang walaupun
ditulis dengan penuh perasaan, tetapi secara umum ia bebas dari tendensi dan emosional
serta khayalan biasa.
Sejumlah penyair mulai menggabungkan diri dalam model puisi baru ini. Puisi ini adalah
prototype bagi puisi-puisi cinta Abad Pertengahan Eropa yang kemudian lebih dikenal
dengan nama al-Hawal-Udzry (diambil dari nama suku, Udzra), Mereka adalah Kuthayyir
'Azza, Jamil Buthayna, Ghaylan Mayya, dan Layla Majnun, Satu dari mereka, Layla
Majnun, menjadi subjek legenda penting dan menarik bagi drama Arab modern. Dalam
puisi-puisi cinta, biasanya sang penyair banyak menggambarkan wanita-wanita cantik dan
ideal. Di antara tema-temanya adalah saling kepercayaan, adanya seorang utusan,
pengkhianatan, dan pertengkaran. Sebagaimana dikemukakan oleh Professor Arberry, tema-
tema konvensional ini berkembang terutama dalam puisi-puisi zaman Abbasiyyah.
Ungkapan yang seringkali digunakan di antaranya adalah: 'hati yang terbakar dan mata yang
menangis darah, tatapan mata sang kekasih laksana pedang yang menusuk hati'. Hiperbola
dan tema-tema sejenis mirip dengan puisi cinta konvensional gaya Elizabeth. Dalam hal ini,
memang puisi Arab secara dominan ditandai dengan perasaan Cathifah) dan imajinasi (al-
khaydli (Sa'iy, 1985:73) penyairnya yang menggambarkan realitas zamannya.

Pada abad ke-l l, di Spanyol Islam, khususnya puisi cinta Ibnu Zaydun terlihat sangat
mencolok dengan penulisan yang dipadukan dengan kelembutan dan keindahan perasaan
(Badawi, 1975:4) yang dalam ilmu sastra disebut estetika. Jan Mukarovsky menyebut
estetika sebagai ilmu yang membahas tentang keindahan 4 (Burbank and Steiner, 1978:29).
Dalam hal ini, sesungguhnya fondasi sastra Arab adalah keindahan (al-jamal) seperti halnya
fondasi ilmu adalah kebenaran (alchaqiqah) dan fondasi moral adalah kebaikan (al-khayr)
(ath-Thanthawy, 1992:150). Jadi, perkembangan sastra Arab di Spanyol Islam telah
mengenal konsep estetika yang dengannya karya-karya sastra Arab, termasuk kasidah,
tampil dengan kata-kata yang indah, yang mengungkap pikiran dan perasaan pengarangnya
tentang kecakapan, moralitas, dan kebajikan. Kasidah, yang dinilai sebagai puisi serius
dengan rima dan metrurn tunggal, serta majaz-rnajaz gurunnya tetap menjadi model puisi
ideal bagi banyak penyair.

Para penyair pada masa awal Dinasti Umayyah memperlihatkan satu kecenderungan
bahwa mereka meniru dan terpengaruh dengan model puisi zaman pra-Islam, yang di
dalamnya banyak berisi pujian dan sanjungan atas patron mereka. Masa Dinasti Umayyah
juga melahirkan penyair-penyair Naqa'id, seperti Jarir dan Farazdaq yang sampai beberapa
tahun saling berdebat lewat puisi-puisi mereka. Pada masa Dinasti ini, muncul tema-terna
politik dan polemik yang menggambarkan pergulatan politik dan aliran keagamaan. Pada
masa ini, Islam mencapai prestasi pembebasan wilayah yang luar biasa sehingga
memunculkan puisi-puisi yang bertema pembebasan, dakwah Islam, dan tasawuf. Para
penyair yang terkenal pada masa Dinasti Umayyah disebut al- 'Udzriyyiin, antara lain
DzurRimach, Farazdaq, Jarir, Akhthal, dan Qays Ibnu al-Mulawwich. Nama yang terakhir
terkenal dengan sebutan Majnfm Layla (Mucharnmad, 1982:152; www.geocities.com) atau
populer juga dengan nama Layla Majnun, sebuah karya sastra Persia, yang berasal dari
kesusastraan Arab.

Kisah Layla Majnun sangat populer dan mendapat sambutan besar di dunia Timur,
khususnya di Timur Tengah dan Asia Tengah yang meliputi negara-negara Arab, Turki, Iran,
Afghanistan, Tajikistan, Kurdistan, India, Pakistan, dan Azerbaijan. Pada Abad Pertengahan,
kisah Layla Majnun memberikan pengaruh besar terhadap tradisi sastra Barat, dan pada abad
ke-13 Masehi, sastra epic Jerman karya Gottfried Strassburg yang berjudul "Tristan und
Isolde" dan juga fabel Prancis karya Shakespeare abad ke-16 Masehi, yang berjudul
"Aucassin et Nicolette", mendapat pengaruh besar dari kisah Layla Majnun (Guinhut,
1998:1). Para sastrawan 5 Arab, seperti Dzur-Rimach, Farazdaq, Jarir, Akhthal, dan Qays
Ibnu al-Mulawwich (Brockelmann, 1937:87) banyak membawa perubahan dalam kehidupan
kesusastraan Arab, khususnya puisi yang sangat digemari oleh para bangsawan Arab Dinasti
Umayyah.

Pada masa Umayyah tugas utarna penyair istana (pourt of court) adalah mengubah puisi
yang berkisah tentang prestasi yang telah dicapai oleh para pembesar kerajaan dan
mengabadikan nama mereka di dalamnya. Tentu saja, muncul beragam macam suara yang
tidak sependapat dengan fenomena ini. Bagi mereka, ini adalah sesuatu yang tidak relevan
dan absurd menerapkan model puisi zaman praIslam dalam kehidupan modern. Lebih-lebih
dengan adanya perluasan wilayah Abbasiyyah bersamaan dengan tingkat kehidupan dan
peradaban yang telah mengalami kernajuan. Si 'penyair udik', Abu Nawas adalah satu dari
mereka itu. la adalah penyair yang biasa membaca puisi sambil minum khamr (anggur),
walaupun sesungguhnya, menurut Dr. Syauqy Dhayf, ia bukanlah penyair pertama Arab
yang suka melakukan hal itu (' Asyiyyi, 1973 :29). Pembukaan puisi dengan mengeksploitasi
kenikmatan anggur biasa digunakan sebagai ganti pembukaan puisi yang selalu dimulai
dengan kata-kata perkabungan. Akan tetapi, reaksi melawan kecenderungan umum yang
konvensional ini tarnpaknya hanya berjalan setengah hati. Abu Nawas sendiri tetap
mengikuti praktik tradisional dalam banyak karya puisinya, seperti memunculkan tema-tema
yang bersifat oposisi biner antara realisme dan imajinasi, antara kebendaan dan kerohanian,
dan pujian yang berlebihan terhadap seseorang atau sesuatu yang menjadi objeknya (al-
Ayyuby, 1984:378).

Sebagian besar penyair di separuh abad pertama kekuasaan Islam adalah orang Badui,
dengan segala atribut klasik mereka. Sebuah fakta yang tidak terelakkan adalah bahwa
banyak dari pangeran dinasti Umayyah yang berimajinasi dan suka berperilaku seolah
mereka adalah para pemuka suku Arab Badui ketika sedang berada dalam tenda-tenda
padang pasir. Bila mereka sedang berburu, sebagian besar bangsa Arab murni zaman Islam
menghindari lingkungan padang pasir; mereka lebih memilih tinggal di wilayah perkotaan
dan menetap di tempat itu sehingga berpengaruh pada masuknya orang-orang non-Arab ke
dalam agama baru, Islam, dan membangun sebuah kebudayaan dan kekuatan baru pula
(Beeston, 1977). Oleh karena itu, segera setelah kekuatan politik dinasti Umayyah mulai
goyah, kekuatan baru ini mulai mempersiapkan langkah, menciptakan aliran-aliran baru
dalam puisi dengan sentuhan dan konsep lebih modem daripada sebelurnnya.

Karya sastra yang terkenal adalah puisi, khutbah, kitābah, rasāil, dan maśal. 3 Tujuan
puisi antara lain untuk menyebarkan akidah agama serta penetapan hukum-hukumnya,
dorongan untuk jihād fĩ sabĩlillāh, al-Hijā’, pujian, dan penggunaan kata cinta yang halus
tidak seperti masa jahiliyah. Pada masa dinasti Umayyah ini mulai muncul tujuan baru puisi:
puisi politik (syi’r al-siyāsĩ), puisi polemik (syi’r al-naqāid), dan puisi cinta (syi’r al-gazal)
(Wargadinata dan Fitriani, 2008 : 300-310).

3. Periode Dinasti Abbasiyah (al-‘Aşr al-‘Abbāsĩ) (750-1258 M)

Perkembangan sastra di zaman ini telah mempengaruhi perkembangan sastra di Eropa


era Renaisance. Salah satu ciri khas penulisan pada masa itu adalah kecenderungan –respon
atas pengaruh Persia – untuk menggunakan ungkapan-ungkapan hiperbolik dan bersayap.
Ungkapan yang tegas, singkat, dan sederhana, yang sebelumnya digunakan, kini telah
ditinggalkan untuk selamanya, berganti dengan ungkapan yang semarak dan indah, syarat
dengan kata-kata kiasan yang berirama. Sastrawan Choir Rosyidi dan Mohammad Arif
Setyabudi 196 Al Ta’dib, Volume 4 Nomor 2 Januari 2015 terkenal yang melahirkan prosa-
prosa jenius pada masa ini adalah Abu Utsman ‘Umar bin Bahr al-Jahiz dengan karyanya al-
Hayawan, sebuah antologi anekdot-anekdot binatang dalam kisah fiksi dan non-fiksi. Pada
abad ke-10 M muncul genre sastra yang bernama maqāmāt, yaitu anekdot pengembara yang
menghibur (Wargadinata dan Fitriani, 2008 : 500).
4. Periode Pemerintahan Turki Usmani (al-‘Aşr al-Turkĩ) (1258- 1798)

Periode ini dimulai sejak runtuhnya kota Bagdad ke tangan Hulagu Khan, pemimpin
bangsa Mongol, pada tahun 1258 M, sampai timbulnya kebangkitan bangsa Arab di abad
Modern. Setelah abad ke-5 H dunia Arab terpecah dan diperintah oleh penguasa politik non-
Arab Bani Saljuk. Sejak itu bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa politik dan administrasi
oleh pemerintahan melainkan hanya menjadi bahasa agama. Pemerintahan masa itu
mengumumkan bahasa Persia sebagai bahasa resmi negara Islam di bagian Timur.
Sementara Turki Usmani yang menguasai dunia Arab lainnya mengumumkan bahasa Turki
sebagai bahasa administrasi pemerintahan.

Sejak saat itu sampai abad ke-7 H bahasa Arab semakin terdesak dan hanya digunakan
sebagai bahasa agama. Pada saat Mesir mengalami masa kejayaannya, kehidupan bahasa
Arab yang selama ini lesu mulai bangkit kembali. Namun itu tidak lama karena masa statis
kembali terjadi ketika Mesir dikuasai oleh Turki Usmani. Akan tetapi, fenomena
kebangkitan sastra Arab sudah tampak sedikit dalam perluasan tema, cara ekspresi, dan
penggunaan bahasa. Di antara penyair masa ini adalah Ismail al-Kasyab (w.183 M), Ibnu
Ziyad, dan Yahya bin Hakam.

Pada masa Mamlfik dan Utsmany, para penyair lebih terfokus pada bentuk dan era
ekspresi, kelihaian verbal mereka pada akhimya mengalami degradasi dan jatuh dalam
akrobat kata-kata semata (Badawi, 1975:6). Sebagian sejarawan sastra bersepakat bahwa
sastra Arab pada masa Utsmany - periode yang dimulai dengan penaklukan Utsmany atas
SOOah (I510) dan Mesir (1517) sampai pada masa ekspedisi Napoleon ke Mesir (1798) -
dicatat sebagai masa kemunduran kebudayaan Arab. Akan tetapi, tentu saja periode ini
tidaklah betul-betul mengalami kemunduran total sebagaimana tertulis dalam banyak buku
sejarah. Sarjana seperti Gibb dan Bowen teguh dengan pendiriannya bahwa "menolak semua
nilai penting sastra Arab abad ke-18 sungguh sangat tidak beralasan". Bahkan Gibb dan
Bowen mengakui sastra Arab tetap sangat menarik walaupun pada saat kondisi masyarakat
yang melahirkannya mengalami kelelahan. Upaya penegakan kembali sastra Arab dengan
gerakan yang secara luas dikenal dengan Nabda atau al-Inbi 'dts yang bermakna Renaissance,
untuk pertama kalinya dimulai di Lebanon, SOOah, dan 9 Mesir.

Dari ketiga negara tersebut gerakan ini menyebar luas ke belahan dunia Arab yang
lain (Badawi, 1975:6). Akan tetapi, dalam perkembangan sastra Arab berikutnya, ternyata di
Suriah keadaannya menjadi terbalik dan cukup memprihatinkan. Hal ini bisa dilihat pada
stagnasi kehidupan sastra Arab yang ditandai, antara lain, dengan tidak adanya majalah
sastra, kecuali hanya "ath-Thali'ah" yang diterbitkan oleh para lulusan perguruan tinggi
Eropa. Selain itu, novel-novel pun tidak banyak bermunculan, kalaupun ada, para penulisnya
sulit mendapatkan penerbit yang berminat mempublikasikannya.

Para sastrawannya (penyair) seolah-olah sedang "tidur panjang" (an-naumuth-thowils


sehingga tiap lima tahun hanya bisa terbit satu kasidah yang bermutu (ath-Thanthawy,
1992:166-167). Pada abad ke-18, gejala stagnasi itu makin tampak ketika negara-negara Arab
berada dalam wilayah provinsi kekaisaran Utsmany yang mulai mengalami kemunduran
sehingga wilayah ini terisolasi dari gerakan intelektual yang terjadi di Barat. Provinsi-
provinsi pada kekaisaran ini hidup dalam keterkungkungan dan keterbelakangan budaya.
Pada saat yang bersamaan terjadi ketidakstabilan politik di wilayah-wilayah kekuasaan Turki
yang menyebabkan urusan pendidikan menjadi terbengkalai, jumiid, dan hanya
mementingkan pendekatan teosentris belaka. Tidak ada ide-ide baru dan inisiatif yang
dilahirkan. Kedudukan bahasa Arab selama kekuasaan Turki digantikan dengan bahasa Turki
sebagai bahasa resmi pemerintahan.

Dengan demikian, kebudayaan Arab mengalami kelumpuhan, termasuk di dalamnya


adalah sastra. Tidak banyak karya yang mampu dihasilkan. Semua terjebak dalam romantika
kejayaan masa lalu, sebagai akibatnya adalah keterputusan generasi. Pandangan-pandangan
lama sastra Abad Pertengahan tetap mendominasi lapangan sastra. Tidak ada pembaruan
dalam bersastra, hampir semuanya adalah peniruan-peniruan gaya atau model-model lama
(Badawi, 1975:7). Sebagian besar puisi Arab abad ke-l S diramaikan dengan kata-kata yang
benuansa ' akrobat' . Apa yang dilakukan penyair adalah untuk menarik dan memberikan
kesan bagi audiensnya, dengan cara memanipulasi kata-kata tertentu dan menambahkan
beberapa efek khusus. Mereka berlomba-lomba satu sama lain dalam membuat puisi-puisi
dengan cara baru ini, yaitu setiap kata dalam puisi ini dibuat sarna, atau kata-kata tersebut
dimulai dengan huruf-huruf yang sarna, atau 10 setiap huruf dan kata dibubuhi titik-titik. Ada
juga yang menulis puisi dengan cara memulainya dari belakang.

Fenomena gaya penulisan yang tidak serius ini juga dijumpai dalam badi' (Badawi,
1975:7). Kondisi sastra Arab pada masa yang memprihatinkan itu disebut sebagai kitsch,
yaitu seni semu, yang oleh Eco, seorang linguis Italia, disebut "sebuah dusta struktural" (bdk.
Hartoko, 1986:73). Artinya, dusta yang dibuat secara sengaja oleh penyair karena kebuntuan
pikiran dan daya imajinasinya yang dangkal sehingga puisi-puisi yang dihasilkannya tidak
bermutu.

5. Periode Modern (al-‘Aşr al-Hadĩś) (1798 sampai sekarang)

Karakteristik sastra Arab masa modern adalah adanya pembaharuan yang diprakarsai
oleh Kahlil Gibran (1872-1949), penyair kelahiran Lebanon dan tinggal di Mesir, yang
melepaskan puisi Arab dari ikatan prosodi lama (ilmu ’Arūd) dan tidak berlebih-lebihan
dalam penggunaan ungkapan alegori dan Pembelajaran Sastra Arab Al Ta’dib, Volume 4
Nomor 2 Januari 2015 197 metafora, seperti yang dijumpai pada karya para penyair
neoklasik seperti Ahmad Syauqi (al-Jundi, 1968: 140).

Pada masa modern ini terdapat tiga genre besar sastra Arab, yaitu: a. Grup Mahjar
Berdiri pada tahun 1920. Dinamakan Mahjar karena sebagian besar penyairnya adalah para
perantau atau emigran yang berasal dari Syria dan Lebanon. Mereka pindah ke Amerika agar
mendapatkan kebebasan politik, bebas mengekspresikan pikiran dalam bentuk karya sastra
yang di dalam negerinya dilarang karena kekuasaan Turki Usmani (al-Dasūqĩ, t.t : 230- 231).
Grup ini membentuk lingkaran sastra baru yang bernama al-Rabitah al-Qalamiyah di New
York pada 20 April 1920 dengan Gibran sebagai ketuanya. Grup baru ini bertujuan
memodernisasi sastra Arab secara umum dan mempromosikan ide baru kepada para penulis
Timur Tengah (Ghougossin, 2000: 28.). Puisi-puisi mereka dipublikasikan lewat harian al-
Sa’ah milik Abdu al-Masih Haddad dan majalah al-Funūn milik Nasib (Qabbisy, 1971: 284).
b. Grup Diwan merupakan nama gerakan sastra yang diperankan oleh tiga penyair: Abd al-
Rahman Syukri, Ibrahim abd al-Qadir al-Mazini, dan Abbas Mahmud alAqqad. Al-Aqqad
dikenal sebagai pemimpin grup Diwan.

Grup ini menulis contoh-contoh puisi modern dan melontarkan kritikan kepada penyair-
penyair yang lebih senior seperti Ahmad Syauqi dan Hafiz Ibrahim lewat kitab al-Diwān.
Walaupun ‘Aqqad sebagai pemimpin grup Diwan, dia berbeda dengan anggota lainnya. Dia
lebih cenderung mengikuti pemikiran aliran neo-klasik, tidak menghendaki kebebasan dalam
struktur puisi, dalam arti masih mengikuti aliran romantik Inggris (Syukht dan ‘Id, 1975:
183). c. Grup Apollo Grup ini merupakan gerakan kesusasteraan Arab modern di Mesir
selain Diwan. Gagasan penting dari grup ini adalah untuk menghilangkan berbagai macam
perbedaan aliran, latar belakang budaya dan politik para penyair agar terjalin adanya Choir
Rosyidi dan Mohammad Arif Setyabudi 198 Al Ta’dib, Volume 4 Nomor 2 Januari 2015
kesatuan organik antara mereka.
Gagasan ini mengemuka karena dalam grup ini tergabung para penyair berbagai aliran
seperti Ahmad Syauqi (neo-Klasik), Kahlil Gibran (pelopor aliran modern), Hafiz Ibrahim
(penyair senior) dan lain-lain. Tujuan yang dicanangkan para pendiri grup ini adalah: 1)
mengangkat puisi Arab agar mendapat kedudukan tinggi, 2) memfasilitasi kebangkitan seni
dalam puisi, dan 3) meningkatkan taraf hidup para penyair, baik dalam bidang ekonomi,
sosial maupun budayanya.

Anda mungkin juga menyukai