Anda di halaman 1dari 15

ESSAY

PEMAHAMAN WAHDATUL ULUM

Nama : NADIA FRETY SHILA

Kelas : ILMU KOMUNIKASI 4 / STAMBUK 2022

Nim : 0603223071

PENDAHULUAN

Adalah hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa problema peradaban, tantangan serta kebutuhan
hidup umat manusia terus berkembang dan sering terjadi tanpa diperhitungkan sebelumnya,
sebagai akibat dari revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perkembangan sejarah itu
manusia memerlukan petunjuk yang dapat dijadikan pedoman agar dapat menjalani hidup
dengan baik.

Menyadari hal itu pergutuan tinggi islam melakukan transformasi menjadi universitas dengan
perluasan bidang ilmu pengetahuan yang di kembangkan. Dengan beberapa pertimbangan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan yang bersifat integrtif maka keputusan rektor uinsu tentang
pemberlakuan ‘wahdatul ulum’ sebagai paradigma pengembangan keilmuan universitas islam
negeri sumatera utara dan ‘ulul ilmi’ sebagai karekter dan profil lulusan universitas islam negeri
sumatera utara.

PEMBAHASAN

Selama pembelajaran mata kuliah wahdatul ulum saya memahami bahwa setiap ilmu
pengetahuan saling berkaitan satu sama lain. Kesan yang saya terima selama pembelajaran
wahdatul ulum, membuka pikiran bahwa memang benar setiap illmu pengetahuan berkaitan satu
sama lain dalam pemecahan masalah. Wahdatul ulum merupakan integrasi ilmu umum dan ilmu
agama yang memiliki pemahaman berbagai ilmu di dalamnya yang saling berkaitan. Wahdatul
ulum menggunakan integrasi ilmu transdisiplin yang artinya satu masalah tidak bisa diselesaikan
tanpa ilmu lainnya.

Pada zaman postmodern (1970an- sekarang) ilmu tidak hanya berdasar natural sains atau
eksperimen tetapi juga berdasar pada hal gaib/spiritual yang didalamnya terdapat pengalaman.
Postmodernisme adalah suatu pembongkar cara pandang dan tanggapan dasar dibali impian
modernisme yang dianggap sebagai otak permasalahan yang menimbulkan berbagai macam
bencana.

1. WAHDATUL ULUM
Dapat diuraikan bahwa dihadirat Allah dan Rasulnya ilmu itu bersifat integratif. Namun seiring
berjalan nya waktu dan perkembangan zaman ilmu pengetahuan mengalami disintegrasi atau
dikotomi. Disentegrasi diperparah oleh sikap peniruan umat islam dalam pendididkan kebagian
yang jauh dari nilai tauhid, juga terjadi penyelewengan visi umat islam yang sebenarnya. Sejalan
dengan perkembangan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara maka dikembangkan intergrasi
ilmu yang dirumuskan dalan wahdatul ulum.
Wahdataul Ulum yang dimaksud ialah paradigma keilmuan yang memiliki kaitan kesatuan
sebagai ilmu yang diyakini merupakan pemberian tuhan. Pengembangan semua bidang ilmu
didasarkan pada keyakinan dan norma, pemikiran serta aplikasinya sebagai pengabdian kepada
Tuhan. Selanjutya didedikasikan untuk pengembangan peradaban dan kesejahteraan umat
manusia.
Berdasar paradigma tersebut maka reintegrasi ilmu dalam konteks Wahdatul Ulum dapat
dilkukan dalam lima bentuk yaitu:
a. Integrasi vertikal
Mengintegrasi antara ilmu pengetahuan dengan ketuhanan. Kebenaran, dunia,
sejarah manusia, dan takdir adalah tauhid. Dengan demikian hubungan manusia
dengan Tuhan adalah ideasional. Titik acuannya dalam diri manusia adalah
pemahaman yaang mencakup ingatan, khayalan, penalaran, intuisi,kesadaran, dan
sebagainya semua di integrasikan pada ketauhidan.
b. Integrasi horizontal
Mengintegrasi pendalaman dan pendekatan disiplin ilmu keislaman dengan
disiplin bidang lain. Dengan ini wahdatul ulum menggunakan pendekatan
transdisiplin. Dalam pendekatan ini digunakan berbagai perpektif dan mengaitkan
satu sama lain dengan rumpun ilmu menjadi dasar penelitian dan pembahasan
serta mengintegrasikan pendekatan ilmu keislaman (Islamic Studies), ilmu
pengetahuan islam (Islamic Science), ilmu alam (natural science), sosial (social
science) dan humaniora.
c. Integrasi aktualitas
Pendekatan ilmu yang dikembangkan dengan realitas dan kebutuhan masyarakat
(dinasab tathbiqiyyah).Integrasi ini dilaksanakan dalam bentuk konkritisasi atau
tajribisasi(emprikisasi) ilmu agr ilmu pengetahuan tidl lepas dari hajat dan
kebutuhan pengembangan umat manusia.
d. Integrasi etik
Mengintegrasi pengembangan ilmu pengetahuan dengan penegakan moral
individu dan moral sosial. Sebab problem keilmuan sekarang adalah disintegrasi
antara ilmu dan moralitas. Selanjutnya mengintegrasi pengembangan ilmu yang
pasathiyyah sehingga melahirkan wawasan kebangsaan dan kemanusiaan.
e. Integrasi interpersonal
Pengintegrasian antara dimensi ruh dengan daya pikir dalam diri manusia.
Pengembangan dan transmisi ilmu dalam kegiatan belajar mengajar disadari
sebagi dzikir dan ibadah kepada Allah sehingga keilmuan menjadi proteksi bagi
civitas academia universitas islam.

2. LANDASAN PENERAPAN WAHDATUL ULUM DI UIN SUMATERA UTARA


a) LANDASAN FORMAL : STATUTA UIN SUMATERA UTARA
Sejak didirikan pada tahun 1973, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera
Utara—sebagai suatu keharusan sebuah institut—hanya mengembangan ilmu-
ilmu keislaman (islamic studies) dalam empat fakultas: Fakultas Tabiyah,
Fakultas Syari’ah, Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas Dakwah. Dengan
transformasi Intitut Agama Islam (IAIN) Sumatera Utara menjadi Universitas
Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara 2014, maka universitas ini telah/dan akan
terus mengembangkan ilmu-ilmu, bukan hanya ilmu-ilmu keislaman tetapi juga
mengembangkan ilmu pengetahuan islam, dengan fakultas-fakultas yang memiliki
spectrum yang luas semisal Fakultas Sains dan Teknologi, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Ilmu Sosial, dan fakultas-fakultas lain yang akan terus
berkembang.
Ada dua model yang digunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di
Universitas Islam. Pada model pertama, ilmu-ilmu keislaman dikembangkan pada
fakultas-fakultas ilmu-ilmu keislaman. Sementara pada fakultas ilmu pengetahuan
islam, ilmu-ilmu keislaman hanya dipelajari melalui mata kuliah agama islam
saja. Meskipun dalam model ini ilmu-ilmu pengetahuan islam dikaitkan dengan
islam, pengaitannya hanya terbatas pada memasukkan ayat-ayat Al-Qur’an dan al-
Hadis yang relevan, atau yang dapat disebut sebagai ayatisasi ilmu pengetahuan
islam.
Univertas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara mengembangkan fakultas-
fakultas/departemen-departemen ilmu-ilmu keislaman. Di samping itu juga
mengembangkan di Universitas Islama Negeri (UIN) Sumatera Utara.
Dengan demikian ontologi, epistemologi, dan aksiologi-nya dikembangkan
dengan landasan nilai-nilai universal yang diajarkan islam. Jadi, ilmu
pengetahuan apa pun yang dikembangan diyakini sebagai ilmu pengetahuan Islam
dimana ruh pengembangannya adalah nilai-nilai universal yang diajarkan islam.
Dengan model ini semua proses pengembangan ilmu, kehidupan kampus, dan
aplikasiannya dalam kehidupan, baik di Universitas maupun dalam kehidupan
segenap sivitas akademikanya dinuansai oleh nilai-nilai ajaran islam peradaban
islam.
b) LANDASAN TEOLOGIS: SEMUA ILMU TERINTEGRASI DI HADIRAT
ALLAH
Walaupun pengembangan ilmu pengetahuan dicapai melalui riset, dialog, dan
nalar-perenungan (nazhariyyah), namun tidak dapat dipungkiri bahwa Allah Yang
Maha Alim-lah yang menjadi sumber ilmu pengetahuan. Sebagaimana firmannya
dalam Al-Qur’an Surah Al-Ahqaf ayat 23 yang berarti: “Sesungguhnya
pengetahuan hanya pada sisi Allah dan aku menyampaikan kepadamu apa yang
aku diutus dengan membawanya. Tetapi aku lihat kamu adalah golongan yang
belum tahu.”
Mengetahui (al-‘ilm) adalah salah satu sifat Allah yang kekal dan abadi.
Pengetahuan ini bersifat absolut dan meliputi seluruh eksistensi dan semesta,
bahkan menjadi sumber segala sesuatu.
Karena ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan sifat Allah yang abadi, suci, dan
universal, maka semua ilmu pengetahuan particular bersumber dari-Nya sehingga
Allah merupakan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Allah adalah guru
pertama yang dari-Nya cahaya pengetahuan (light of knowledge, nur al-‘ilmi)
memancar bersama kasih sayang-Nya.
Karena Allah merupakan zat Yang Maha Suci dan hanya dapat dihampiri melalui
dimensi suci, maka ilmu yang merupakan salah satu sifat-Nya juga memiliki
aspek kesucian atau berada dalam wilayah sakral. Begitu sucinya ilmu Allah
tersebut hingga tidak ada sesuatu pun yang mampu berhubungan dengan ilmu ini
kecuali atas izin dan hidayah-Nya.
Filosofi, pendekatan, dan metode integratif yang digunakan para ulama, filosofi,
dan ilmuan muslim tersebut menjadi pertimbangan penting bagi Universitas Islam
Negeri (UIN) Sumatera Utara dalam rekonstruksi dan penerapan ilmu
pengetahuan Islam yang integratif.
c) LANDASAN HISTORIS: Integrasi Pengetahuan pada masa ulama klasik
Menurut Mulyadhi, integrasi ilmu pengetahuan adalah proses mengaitkan dirinya
pada prinsip tauhid. Sasaran integrasi ilmu adalah pencari ilmu, bukan ilmu itu
sendiri. Karena yang menentukan adalah manusia, maka manusialah yang akan
menghayati ilmu. Penghayatan para pencari ilmu itulah yang menentukan, apakah
ilmunya berorientasi pada nilai-nilai Islam ataukah tidak. Upaya integrasi ilmu
berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada
ideologi sekular. Yaitu menggeser dan menggantinya dengan pemahaman-
pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan Islam ketika menelaah dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Kata kunci konsep integrasi ilmu adalah semua pengetahuan yang ilmu agama
dapat dilakukan dengan cara menempatkan al-Quran dan al-Hadist bukan sebagai
petunjuk ritual dan spiritual belaka, melainkan memuat aspek-aspek kehidupan
yang bersifat global. Integrasi ilmu adalah penggabungan struktur ilmu. Struktur
keilmuan dikotomik seharusnya diubah. Struktur ilmu tidak memisahkan cabang
ilmu agama dengan cabang ilmu hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis.
Struktur bangunan keilmuan yang integratif adalah antara kajian yang bersumber
dari ayat-ayat qauliyah,Al-Quranhadist, dan ayat-ayat kauniyah, hasil observasi,
eksperimen dan penalaran logis. Pembagian yang amat populer untuk memahami
ilmu adalah pembagian menjadi bidang bahasan ontologi, epistemologi, dan
aksiologi benar berasal dari Allah (all true knowledge is from Allah). Dalam
pengertian yang lain, M. Amir Ali juga menggunakan istilah all correct theories
are from Allah and false theories are from men themselves or inspired by Satan.
Membangun format keilmuan (body knowledge) yang bersifat inegratif yang
tidak membedakan ilmu umum dan ilmu agama dapat dilakukan dengan cara
menempatkan al-Quran dan al-Hadist bukan sebagai petunjuk ritual dan spiritual
belaka, melainkan memuat aspek-aspek kehidupan yang bersifat global. Integrasi
ilmu adalah penggabungan struktur ilmu. Struktur keilmuan dikotomik
seharusnya diubah. Struktur ilmu tidak memisahkan cabang ilmu agama dengan
cabang ilmu hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis. Struktur bangunan
keilmuan yang integratif adalah antara kajian yang bersumber dari ayat-ayat
qauliyah,Al-Quranhadist, dan ayat-ayat kauniyah, hasil observasi, eksperimen dan
penalaran logis. Pembagian yang amat populer untuk memahami ilmu adalah
pembagian menjadi bidang bahasan ontologi, epistemologi, dan aksiolog.
Menurut M.Cholis Nafis, integrasi dapat dilakukan di perguruan tinggi. Integrasi
keilmuan dalam kontek Perguruan Tinggi Islam dapat dilakukan dengan cara
membuka prodi atau jurusan keilmuan yang mengintegrasi ilmu agama dan ilmu
umum. Untuk mencapai tingkat integrasi epistemologis ilmu agama dan ilmu
umum, integrasi harus dilakukan pada level integrasi ontologis, integrasi
klasifikasi ilmu dan integrasi metodologis. Saat ini sedang dalam proses
Islamisasi sekaligus integrasi ilmu pengetahuan, seperti politik Islam, kedokteraan
Islam, Seni Islam, psikologi Islam, dan ekonomi Islam. Di Indonesia yang
sedangan marak adalah ekonomi Islam yang dikenal dengan sebutan ekonomi
syari’ah Untuk dapat memahami nilai-nilai kewahyuan, umat Islam harus
memanfaatkan ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan dalam upaya
memahami wahyu, umat Islam akan terus tertinggal oleh umat lainnya.
Realitasnya saat ini, ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan
tingkat kemajuan umat manusia. Menurut Mahdi Ghulsyani, integrasi ilmu adalah
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan
modern.
d) LANDASAN FAKTUAL 1: PROBLEMA DIKOTOMI KEILMUAN
Ketika filsafat dan ilmu pengetahuan—terutama melalui komentar-komentar Ibnu
Rusyd—ditransfer oleh umat islam ke Eropa melalui Spanyol, Ilati, dan saluran-
saluran lainnya, maka muncullah Averroism di Barat dan sekaligus menjadi
energi utama perkembangan ilmu pengetahuan serta memuluskan jalan Eropa dan
dunia memasuki abad modern.
Namun perkembangan ilmu mengalami interupsi dari gereja karena banyaknya
penemuan ilmu yang bertentangan dengan keyakinan gereja. Di ujungnya pada
ilmuan banyak yang dieksekusi (kasus al-mihmah) sebagai puncak dari konflik
ilmu dengan gereja, kemudian memunculkan dua kebenaran (double truth) yang
mengawali sekularisme di Eropa dan dunia, karena ilmu pengetahuan
berkembangan di luar agama.
Pada perkembangan selanjutnya terjadilah dikotomi ilmu yang bukan tanggung-
tanggung. Pada satu sisi ilmu bersifat sekuler-dikotomis, jika bukannya ‘konflik
ilmu dan agama’ atau ‘percekcokan ilmu dengan agama’ yang diakibatkan oleh
sekularisme radikal.
Dari analisis ini ditemukan bahwa ada lima dikotomi yang dihadapi dalam dunia
keilmuan, terutama dalam keilmuan islam. Pertama, dikotomi vertikal, saat ilmu
pengetahuan terpisah dari Tuhan. Secara antrophosentrik para ilmuan merasa
dapat mencapai prestasi ilmuan dan berbagai penemuan tanpa terkait dengan
Tuhan.
Kedua, dikotomi horizontal. Hal ini dapat terjadi dalam tiga bentuk. [1]
Pengembangan ilmu-ilmu keislaman (islamic studies) dalam bidang tertentu
berjalan di lorong ortodiksinya sendiri, hanya memperhatikan satu dimensi, dan
mengabaikan perkembangan bidang ilmu-ilmu keislaman lainnya. [2] Terjadi
dalam bentuk atomistik, dimana pendekatan dalam bidang ilmu-ilmu keisaman
(islamic studies) tidak dikomunikasikan dengan pendekatan dalam bidang ilmu
pengetahuan islam (islamic science). [3] Eksklusif, dimana ilmu-ilmu keislaman
tertentu dikembangkan secara eksklusif, jika bukannya bersifat fundamentalis,
sehingga kurang kontributif dan kurang ramah pada kemanusiaan.
Ketiga, dikotomi aktualitas, saat terjadi jarak yang sangat jauh antara pedalaman
ilmu dan aktualisasinya dalam membantu dan mengembangkan kehidupan serta
peradaban umat manusia. Keempat, dikotomi etis, terjadinya jarak antara
penguasaan dan kedalaman ilmu dengan etika dan kesalehan perilaku. Ilmu tidak
sejajar dengan akhlak dan spiritualitas para penekunnya. Kelima, dikotomi
intrapersonal, saat para penekun ilmu tidak menyadari kaitan ruhnya dengan
jasadnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini konsep
penciptaan manuasia dan kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia
menjadi teramat penting.
e) LANDASAN FAKTUAL 2 : Keterbatasan disiplin-disiplin tunggal dalam
mengatasi problema umat manusia.
Keilmuan pada hari ini harus mampu membumi dan tanggap serta responsive
terhadap permasalahan praktis yang dihadapi masyarakat. Kesigapan ilmu
pengetahuan terutama dalam menghadapi era disrupsi dengan karakter
ketidakpastianya menjadi mutlak menuntut relasi yang fleksibel, dialog yang
elastis, dan komunikasi yang cair tanpa harus kehilangan esensi. Fleksibilitas,
elastisitas, dan komunikasi yang cair demikian terjadi dalam ilmu dengan ilmu
dan ilmu dengan amal sekaligus. Dalam posisi inilah cara pandang transdisipliner
sebagai kelanjutan dan pengembangan dari multidisiplin dan interdisiplin
diperlukan hadir dilembaga-lembaga pendidikan tinggi. Dalam kondisi demikian,
perguruan tinggi tidak boleh menjadi menara gading yang seolah sibuk mengkaji
ilmu tetapi tumpul dan gagap ketika berhadapan dengan persoalan praktis di
masyarakat.
Menghadapi itu semua, sudah saatnya akademisi segera berbenah mendisain
kurikulum, membekali SDM, menyiapkan perangkat keras dan lunak dalam
pengelolaan perguruan tinggi untuk menyongsong era disrupsi, revolusi industry
4.0 dalam payung paradigm transdisipliner. Batas antara satu disiplin ilmu dengan
displin ilmu yang lain sesungguhnya tidak terlalu jelas, bahkan seringkali
tumpang tindih (overlap) yang mengkotak-kotakan disiplin ilmu (interdisiplin)
dan ujung-ujungnya justru melahirkan disiplin ilmu baru. Cara kerja
interdisiplinaritas nyatanya belum mampu memecahkan persoalan garis batas
yang terlanjur terpagar antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya,
terutama disiplin ilmu yang terkluster secara kaku, misalnya antara ilmu
pengetahuan alam (natural sciences) dan ilmu pengetahuan sosial-humaniora
(humanity), atau dikotomi tegas antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Masing-masing disiplin ilmu tersebut, meskipun diintegrasikan tetap saja bekerja
sendiri-sendiri dalam melihat persoalan objek ilmu pengetahuan. Akibatnya, relasi
ilmu pengetahuan meskipun telah diintegrasikan dalam melihat objek kajian,
belum cukup cair dan tetap menyisakan pagar dan sekat-sekat ilmu pengetahuan.
Sebagaimana dikatakan Burnett (2005) bahwa gabungan disiplin ilmu masih
menyisakan sekat tertutup antarberbagai disiplin ilmu yang disebut dengan
“framework of disciplinary research”.
Pendekatan transdisiplin bukan dimaksudkan untuk menghilangkan disiplin ilmu,
karena ia justru tetap berpijak pada disiplin; akan tetapi merupakan perkembangan
dari pendekatan sebelumnya, yaitu multidisiplin dan interdisiplin.
3. Paradigma Wahdatul Ulum
a) Ontologi
Ontologi ialah kajian kefilsafatan yang paling kuno yang membahas sesuatu
bersifat konkrit.
 Hakikat alam sebagai objek studi; alam sebagai suatu sistem
Terdiri dari dua kata wahid artinya kesatuan/penyatuan/beriman kepada Allah Swt.
sementara ulum bermakna jama’ dari kata al-ilmu: beberapa ilmu.
Tujuan: membawa Perguruan Tinggi Negeri keagamaan Islam untuk menjadi
integritasi ilmu umum dan ilmu agama sebagai upaya pembangunan peradaban
islami untuk memajukan bangsa.
Pengenalan terhadap alam semesta harus dimulai dari prinsip tauhid. Ini
merupakan prinsip dasar, karena banyak pendapat yang tidak dapat diterima begitu
saja. Konsepsi kaum sainstisme, misalnya yang mengandalkan deteksi indrawi
manusia itu terbatas. Dalam hakikat alam sebagai objek studi terbagi lagi antara
lain sebagai berikut:
 Alam raya diciptakan oleh Allah Swt
 Alam berlapis-lapis: Tidak ada yang terisolasi
 Jaringan Alam Semesta
 Alam sebagai sistem
 Sistem Alam Berdasarkan Taqdirullah
 Hakikat pengetahuan; pengetahuan sebagai milik Allah
Pengetahuan yang sempurna itu adalah milik Allah. Manusia sebagai makhluk
paling sadar memperoleh sedikit pengetahuan itu dari Allah atas anugerahnya.
Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa manusia itu berposisi sebagai utu al-ilm atau
jaaka min al-ilm (yang diberi pengetahuan).
Proses transfer pengetahuan dari Allah bermain dari qadha dan qadr, lalu
direalisasikan-Nya menjadi banyak makhluk berikut takdir-Nya untuk setiap
makhluk tersebut.
4. Epistemologi Pengetahuan
a) Sumber Pengetahuan; Ayat Qouliyah dan ayat Kawniyah
Ayat Qouliyah adalah ilmu-ilmu Allah Swt dalam bentuk wahyu-Nya yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Sementara Ayat Kawniyah berarti ilmu Allah Swt
yang berupa alam semesta dengan seluruh hukum yang menyertainya.
b) Cara menemukan pengetahuan; pendekatan sistem
Cara/usaha yang digunakan dalam mencari ilmu pengetahuan disebut juga metode
menari ilmu pengetahuan. Metode yang dipakai dalam mencari ilmu pengetahuan
hendaknya juga merupakan metode yang efektif agar ilmu pengetahuan yang
diperoleh benar-benar ilmu pengetahuan yang tidak lagi diragukan kebenarannya.
Dalam menjelaskan masalah kebenaran pengetahuan, pengetahuan yang benar
menurut kajian epistemologi ialah pengetahuan yang telah memenuhi unsur-unsur
epistemologi yang dinyatakan secara sistematis dan logis.
c) Ukuran kebenaran
Ada tiga jenis kebenaran yaitu kebenaran epistemologi, kebenaran ontologi, dan
kebenaran semantic. Kebenaran epistemogi yaitu kebenaran yang berhubungan
dengan pengetahuan manusia. Kebenaran ontologis adalah kebenaran sebagai
sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Dan
kebenaran semantic adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur
kata dan bahasa.
5. Aksiologi pengetahuan:
a) Aksiologi intrinsik: hubungan pengetahuan dengan nilai (bebas nilai atau sarat
nilai)
Nilai intrinsik berlawanan dengan nilai instrumental (dikenal pula sebagai nilai
ekstrinsik) yang merupakan sifat dari apa saja yang memperoleh nilainya dari
hubungannya dengan hal lain yang berharga secara instrinsik. Nilai instrinsik
selalu merupakan objek di dalam dirinya sendiri atau untuk kepentingan sendiri,
dan itu merupakan bagian dari sifat intrinsik.
b) Aksiologi ekstrinsik: nilai kegunaan pengetahuan.
Nilai ekstrinsik dianggap berasal dari hal-hal yang berharga hanya sebagai sarana
sesuatu yang lain. Teori nilai substansif mencoba menentukan entitas mana yang
memiliki nilai instrinsik.
6. Kompetensi alumni berbasis wahdatul ulum: ulul albab sebagai profil dan karakter
lulusan UIN Sumatera Utara.
Sebagai Universitas yang berbasis Islam, dengan filosofi keilmuan yang dikembangkan,
serta pendekatan transdipliner yang dijalankan, maka dengan memedomani nilai-nilai
yang terkandung dalam berbagai ketentuan menyangkut pelaksanaan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepala masyarakat di perguruan tinggi keagamaan Islam.
Berkenan dengan itu Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara bertekad
menghasilkan ilmuwan yang ulama atau ulama yang ilmuan, yang dirumuskan dalam
term ‘Ulul Ilmi’.
A. Ulul Ilmi
Term Ulul ‘Ilmi’ diambil secara langsung dari firman Allah Swt dalam Al-Qur’an
Surah Ali Imran ayat ke 18 yang berarti “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Tegak dalam Keadilan. Para malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Kata ulul ‘ilmi berasal dari bahasa Arab; Ulul berarti pemilik dan al-ilmi berarti ilmu.
Maka Ulul Ilmi adalah orang yang memiliki ilmu (alim). Kepemilikan ilmu di sini
bukan berarti pencipta, karena pemilik dan pencipta ilmu adalah Allah Swt. Pemilik
ilmu di sini dimaksudkan sebegai penekun, memangku, dan bertanggung jawab dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Kepemilikan ilmu itu—betapa pun dangkal dan dalamnya—dimungkinkan karena
mereka telah belajar dan menuntut ilmu kepada para ulama, cendekiawan, dan para
ahli; selama delapan semester atau lebih untuk strata 1 (S1), empat sampai enam
semester untuk Strata 2 (S2), dan empat sampai enam semester untuk Strata 3 (S3) di
kampus UIN Sumatera Utara.
B. Karakter Ulul ‘Ilmi
Alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara adalah Ulul Ilmi yang
memiliki sembilan karakter:
1. Memiliki ilmu yang mendalam dan kecerdasan yang tinggi.
Ulul ‘Ilmi dirancang dan diharapkan memiliki ilmu yang mendalam dan
kecerdasan yang tinggi, terutama dalam bidang ilmu yang ditekuninya.
2. Memiliki kemampuan dalam melalukan pendekatan integral-transdispliner.
Salah satu karakter Ulul ‘Ilmi adalah melakukan pendekatan integral. Tidak saja
melakukan pendekatan dengan menggunakan satu disiplin ilmu (ilmu yang
ditekuninya) secara kaku, tetapi melibatkan tinjauan seluruh ilmu yang terkait
dengan topik/tema yang sedang diteliti atau dibahas, serta menghilangkan tapal
batas ilmu-ilmu tersebut.
3. Memiliki etos dinamis dan berkarakter pengabdi.
Pendidikan di UINSU mengambil visi dinamis dari ajara islam. Semua proses
belajar mengajar merupakan upaya menginternalisasi sikap dinamis, yang
kemudian mendorong etos kerja dan inovasi.
4. Berwatak probhetic (Kenabian).
Salah satu makna genetik ulul ‘ilmi adalah an-nabiya, orang yang berkarakter
kenabian. Karakter kenabian adalah karakter sebagai penggerak perubah yang
revolusioner, dinamis, memiliki semangat keteladanan, dan pengajak kepada
kebenaran.
5. Bersikap wasithiyyah.
Sikap wasithiyyah juga menjadikan alumni UINSU menjadi pusat, pusat
perubahan, dan berada pada posisi sentral dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan perubahan sosial.
6. Memiliki akhlak yang mulia.
Sebagai ilmuwa (ulama) telah mengantarnya menjadi pewaris Nabi. Sementara
poros dari misi Rasulullah adalah penegakan akhlaqul karimah dan keluhuran
budi pekerti.
7. Berwawasan kebangsaan.
Salah satu karakter Ulul ‘Ilmi adalah cinta pada negerinya. Logika yang
digunakan di sini adalah bahwa mereka lahir di Indonesia, menuntut ilmu, dan
akan menerapkan ilmunya di Indonesia.
8. Bervisi badhari (pengembangan peradaban)
Salah satu karakter Ulul ‘Ilmi adalah bervisi badhari yaitu memiliki rasa
tanggung jawab untuk ikut serta dalam membangun peradaban dunia.
9. Berpenampilan happy/contented (bahagia=sa’adah)
Salah satu karakter Ulul ‘Ilmi adalah berpenampilan bahagia. Hal ini merupakan
konsekuensi dari ilmu keislaman yang dimilikinya. Dikatakan demikian karena
Islam dan ilmu pengetahuan Islam yang dipelajari sepatutnya mengantarkan
mereka kebahagia kebahagiaan.
Penutup

Dengan demikian pentingnya pemahaman wahdatul ulum sebagai paradigma pengembangan


keilmuan universitas islam negeri sumatera utara dan ‘ulul ilmi’ sebagai karekter dan profil
lulusan universitas islam negeri sumatera utara. Wahdatul ulum merupakan integrasi ilmu umum
dan ilmu agama yang memiliki pemahaman berbagai ilmu di dalamnya yang saling berkaitan.
Wahdatul ulum menggunakan integrasi ilmu transdisiplin yang artinya satu masalah tidak bisa
diselesaikan tanpa ilmu lainnya. Pendekatan transdisiplin bukan dimaksudkan untuk
menghilangkan disiplin ilmu, karena ia justru tetap berpijak pada disiplin; akan tetapi merupakan
perkembangan dari pendekatan sebelumnya, yaitu multidisiplin dan interdisiplin.
DAFTAR PUSTAKA

Wahdatul Ulum. 2019. hal 15-90

https://hmn.wiki/id/Axiology diakses tanggal 30 oktober 2022

Burhanuddin. Afid. 2014. https://afidburhanuddin.wordpress.com/2014/05/06/jenis-pengetahuan-


dan-ukuran-kebenaran-6/ diakses tanggal 30 oktober 2022

Aisy.Rohdatul.https://www.academia.edu/11406176/
BAGAIMANA_CARA_MEMPEROLEH_ILMU_PENGETAHUAN diakses tanggal 30
oktober 2022

Hikmah. 2022. https://tadabbur.republika.co.id/posts/41901/ilmu-kauniyah-dan-ilmu-qauliyah


diakses tanggal 30 oktober 2022

Anda mungkin juga menyukai