Dienaputra) 507
Nursolihah
Reiza D. Dienaputra
Fakultas Ilmu Budaya Budaya Universitas Padjadjaran
Jln. Raya Bandung – Sumedang Km. 21 Jatinangor
e-mail: nursolihahzulfa92@gmail.com, reizaputra@unpad.ac.id
Naskah Diterima: 6 Juni 2018 Naskah Direvisi: 3 November 2018 Naskah Disetujui: 8 November 2015
Abstrak
Novel “Sripanggung” karya Tjaraka memuat rekaan gambaran kehidupan masyarakat
etnis Sunda di perkebunan teh yang hidup sebagai buruh kontrak dan hidup di bawah kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana gambaran
perlakuan diskriminasi pemerintah kolonial Belanda terhadap pribumi, khususnya etnis Sunda
yang saat itu dipandang sebagai masyarakat kelas bawah. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pembacaan dekonstruksi, di mana teks sastra berupa ujaran yang
ada di dalam novel “Sripanggung” karya Tjaraka dianalisis untuk mengungkapkan tindakan
diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap etnis Sunda. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ujaran-ujaran teks sastra dalam novel “Sripanggung” karya Tjaraka
memuat representasi tindakan diskriminasi berdasarkan ras yang dilakukan pihak kolonial
Belanda terhadap kaum pribumi etnis Sunda sehingga memengaruhi perkembangan struktur
sosial masyarakat Sunda kala itu.
Kata kunci: diskriminasi ras, novel sunda.
Abstract
Tjaraka’s “Sripanggung” novel portrays of Sundanese familie’s daily life as labor contract
of tea plantation that owned the Dutch colonial government. This article purpose is to reveal the
discriminatory treatment of the Dutch colonial goverment against indigenous people, especially
Sundanese who were seen as a lower class society. By using deconstruction reading method.
“Sripanggung” by Tjaraka’s is in a form of literary works and inside of it contain of speech that
analyzed to reveal the discriminatory action of Dutch Colonial government against Sundanese
people. The result showed, the speeches in the novel accomodate representation of discrimination
act based racial by the Dutch Colonial government against indigenous Sundanese people that
affected the development of social structure of sundanese at that time.
Keywords: racial discrimination, sundanese novel.
yang berjudul “Pencitraan Tokoh Utama masyarakat dengan ras kulit putih juga
dalam Novel Sripanggung karya Tjaraka” menyatakan diri unggul atas segala macam
pada tahun 2006, juga artikel yang ditulis ras manusia yang ada di muka bumi, pun
Rany Mahardika yang berjudul “Analisis termasuk unggul atas ras mongolid (Asia).
Struktural dan Psikologis dalam Novel Maka persoalan diskriminasi ras tidak
Sripanggung karya Tjaraka” pada tahun hanya terjadi di antara ras kulit putih dan
2015. Kedua artikel tersebut menggunakan ras kulit hitam.
pendekatakan strukturalisme untuk Bangsa Asia dalam hal ini
menganalisis struktur seperti tema dan Indonesia, yang dulu dinamakan Hindia
penokohan dalam novel Sripanggung, Belanda oleh pemerintah kolonial Belanda
namun pada artikel yang ditulis Rany menjadi salah satu sasaran tindakan
Mahardika, analisis novel berkembang perlakuan diskriminasi ras sebagai akibat
dengan menggunakan pendekatan dari adanya prasangka sosial yang
psikologis tokoh utama. menganggap bahwa ras kulit putih
Dalam artikel yang ditulis kali ini (kaukasia) yang direpresentasikan oleh
mengenai Novel Sripanggung karya bangsa Belanda pada saat itu lebih unggul
Tjaraka, penulis mengembangkan kajian daripada ras mongoloid (Indonesia),
analisis novel Sripanggung karya Tjaraka Atas dasar prasangka ini pula yang
dengan menggunakan pendekatan membuat pemerintah kolonial Belanda
dekonstruksi, yakni menganalisis novel melegitimasi diri untuk dapat melancarkan
tidak hanya dari segi tekstual atau tindakan diskriminasi terhadap kaum
strukturnya saja, namun juga dari segi pribumi Indonesia, seperti penindasan dan
kontekstual yang terkandung di dalam eksploitasi, baik sumber daya manusia
novel. Dalam hal ini, analisis berfokus maupun sumber daya alam. Dalam hal ini
pada tema diskriminasi ras dalam novel diskriminasi ras tidak dapat dipisahkan
Sunda Sripanggung karya Tjaraka. dari konsep kolonialisme, yang berarti
Penggunaan pendekatan dekonstruksi tindakan kolonialisme yang dilakukan
diharapkan dapat memperkaya temuan- bangsa kolonial terjadi sebagai akibat dari
temuan kontekstual juga kultural yang adanya perlakukan diskriminasi ras
terkandung dalam novel Sripanggung, terhadap bangsa yang dijajah.
sehingga dalam hal ini teks sastra seperti Tindakan diskriminasi yang
novel salah satunya dapat memberikan dilakukan bangsa Belanda terhadap
gambaran lebih jelas dan terang sebagai masyarakat pribumi pada masa peralihan
sebuah dokumen sejarah. pasca kemerdekaan sekitar tahun 1940-
Tema sosial mengenai diskriminasi 1950 sejatinya tetap ada meski tidak terlalu
ras telah menjadi isu sosial yang membumi kentara. Salah satunya tergambar dalam
secara global di seluruh dunia, kaitannya karya sastra Sunda, yakni novel
dalam hal ini berkenaan dengan Sripanggung karya Tjaraka. Novel ini
pertentangan sosial di antara ras kulit putih merekam bagaimana kehidupan sosial
(kaukasia) dengan ras kulit hitam masyarakat etnis Sunda di zaman
(negroid). Maka dengan jelas kita akan pemerintahan kolonial Belanda.
mengingat bagaimana orang-orang kulit Kurun waktu masa kolonialisme
hitam Afrika mengalami penindasan di pada novel ini terbagi dua, yakni masa
bawah bayang-bayang kekuasaan ras kulit akhir pendudukan kolonial Belanda hingga
putih (Eropa-Amerika). masuknya Jepang menduduki kekuasaan di
Namun, pertentangan sosial Indonesia. Artikel ini hanya akan fokus
mengenai diskriminasi ras tidak hanya membahas latar cerita dalam novel yang
terjadi di antara ras kulit putih (kaukasia) menggambarkan masa akhir pendudukan
dengan ras kulit hitam (negroid). pemerintah kolonial Belanda, khususnya
Superioritas yang menjadi senjata dalam kehidupan masyarakat etnis Sunda.
Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 509
uang banyak, ditambah salawe, jadi sebuah hal yang lumrah atau biasa terjadi
lima puluh..” dalam sebuah hubungan antara buruh dan
majikannya. Pemilihan kata „bodoh‟
“...Ulah bohong ka Juragan (anom menyiratkan sebuah pernyataan kultural
Anton). Engke Juragan bendu ka yang lebih luas maknanya sebagai sebuah
Kasim. Mun bohong engke Empat bentuk penindasan mental.
dipaksa dibawa ku mandor ka dieu. Makna kata „bodoh‟ dalam
Maneh ku Juragan diusir teu keseluruhan konteks kalimat ujaran
meunang aya di kontrak ” (hal. 45) tersebut tentu dapat dimaknai, pertama,
“...Jangan bohong sama Juragan. bahwa si Kasim memang bodoh dalam arti
Nanti Juragan marah pada Kasim. kata sesungguhnya karena tidak dapat
Kalau bohong nanti Empat dibawa menangkap maksud atau keinginan dari
paksa oleh Mandor ke sini. Lalu Juragan Anton yang tidak sabar ingin
kamu Juragan usir dari kontrak bertemu dengan Nyi Empat, kedua, Si
(perkebunan teh)..” Kasim bodoh karena tidak mau menuruti
keinginan Juragan Anton untuk
Dua kutipan ujaran teks sastra di
menyerahkan Nyi Empat lalu
atas tidak lagi secara tersirat namun telah
menyembunyikan Nyi Empat, ketiga,
begitu terang dan jelas menunjukkan
Kasim bodoh karena tidak mau menerima
perlakuan diskriminasi yang dilakukan
iming-iming uang yang akan diberikan jika
bangsa Belanda terhadap masyarakat
ia menyerahkan Nyi Empat pada juragan
golongan cacah (miskin). Hal tersebut
Anton.
tergambar dalam kutipan ujaran teks sastra
Ketiga makna tersebut secara
dalam novel “Sripanggung” karya Tjaraka
tersirat telah menunjukkan adanya indikasi
tersebut di atas.
bahwa Kasim sebagai representasi dari
Percakapan dalam kutipan tersebut
masyarakat golongan cacah harus
dilakukan di antara dua tokoh bernama
menuruti kehendak Juragan Anton sebagai
Kasim sebagai representasi masyarakat
representasi dari masyarakat kelas atas
golongan cacah dan Juragan Anton
bangsa Belanda. Harga diri Nyi Empat
sebagai representasi masyarakat kolonial
sebagai seorang perempuan bahkan
Belanda. Juragan Anton yang jatuh cinta
disandingkan dengan iming-iming uang
terhadap Nyi Empat lantas meminta Kasim
sebesar lima puluh rupiah, uang yang kala
(ayah Nyi Empat) untuk „menyerahkan‟
itu mungkin hanya cukup untuk membeli
anaknya.
lima karung beras. Namun, bagi Juragan
Perlakuan Juragan Anton terhadap
Anton jumlah uang tersebut dirasa cukup
Kasim tentu bukan perlakuan yang baik
dan pantas untuk „membeli‟ seorang
dengan meminta Nyi Empat secara paksa
perempuan Sunda yang berasal dari
hanya karena Juragan Anton
masyarakat golongan cacah (miskin), yang
menginginkannya. Di sisi lain, Kasim
pada masa itu kondisi ekonominya serba
berusia lebih tua daripada Juragan Anton,
kekurangan sebagai pekerja buruh pemetik
di mana seharusnya Juragan Anton
teh di perkebunan.
bersikap lebih menghormatinya. Namun,
Perlakuan diskriminasi lainnya juga
tentu saja konsep tata krama ini tidak
tergambar dalam kutipan ujaran teks sastra
berlaku pada saat itu, bahwa Kasim tetap
lainnya dalam teks sastra dalam novel
direpresentasikan sebagai kaum kelas
“Sripanggung” karya Tjaraka seperti dalam
bawah yang kedudukan sosialnya lebih
kutipan kalimat: “...kalau bohong nanti
rendah.
Empat dipaksa dibawa mandor ke sini, dan
Secara lebih eksplisit, penggunaan
lalu kamu, Juragan usir dari kontrak
kalimat “Kasim Bodoh” yang ditujukan
(perkebunan)”. Pertanyaan kultural dalam
Juragan Anton terhadap ayah Nyi Empat
kutipan teks sastra tesebut jelas bermakna
tentu tidak lagi dapat dipandang sebagai
520 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522
adanya sikap merendahkan dan sewenang- Tokoh Ibu Eneng dalam kutipan
wenang yang dilakukan oleh bangsa ujaran teks sastra dalam novel
Belanda terhadap masyarat pribumi etnis Sripanggung karya Tjaraka digambarkan
Sunda golongan cacah. sebagai representasi dari masyarakat
Maka, jika Kasim si tokoh dari golongan ménak yang telah diangkat
golongan cacah yang diposisikan sebagai kedudukan sosialnya dalam struktur sosial
buruh di perkebunan milik Juragan masyarakat Sunda karena telah dinikahi
Kawasa tidak mau menuruti kehendak oleh Tuan dari bangsa Belanda, yakni yang
pribadi majikannya, meski di sisi lain hal bernama Tuan Susman. Oleh karena itu,
tersebut dapat merugikan atau Ibu Eneng yang dulu disebut Nyi Suminah
membahayakan dirinya sendiri, Kasim mendapat kedudukan sosial yang tinggi,
yang tidak berdaya akan diperlakukan meski sebelumnya bahkan Ibu Eneng
sewenang-wenang oleh Juragan Kawasa, berprofesi sebagai ronggeng ketuk tilu,
contohnya dipecat dari pekerjaannya sebuah profesi yang pada kala itu dianggap
sebagai buruh perkebunan bahkan diusir sebagai profesi rendahan di mata
keluar dari tempat tinggalnya di masyarakat.
perkebunan. Meski pada akhirnya Tuan Susman,
Pernyataan-pernyataan kultural yang pemilik perkebunan di Gunung Surandil
termanifestasikan dalam serangkaian ditangkap oleh bangsa Jepang pada saat
tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh masa pendudukan Jepang dimulai di
masyarakat kolonial Belanda terhadap Indonesia, Ibu Eneng tetap memiliki
masyarakat pribumi etnis Sunda muncul kedudukan sosial yang lebih tinggi
dari adanya prasangka yang menganggap dibandingkan dengan dengan masyarakat
bahwa kedudukan bangsa ras kulit putih golongan cacah pada umunya.
(bangsa Belanda) lebih tinggi daripada
bangsa pribumi sebagai representasi ras D. PENUTUP
mongolid. Prasangka tersebut yang Konsep rasial dalam arti sebuah
akhirnya menyebabkan bangsa Belanda sikap membedakan kedudukan seorang
melegalkan segala bentuk tindakan manusia dengan manusia lainnya
diskriminasi terhadap masyarakat pribumi berdasarkan etnis atau fisik yang dimiliki.
di Indonesia, khususnya masyarakat Tindakan membedakan inilah yang
Sunda. akhirnya menimbulkan prasangka dari
pihak yang merasa lebih unggul (ras kulit
Contoh telaah 8:
putih) atas ras kulit mongolid. Prasangka
“...Ibu Eneng téh urut nyai-nyai
yang secara radikal telah memunculkan
Tuan Susman, Kawasa Kontrak
kolonialisasi dari bangsa kolonial terhadap
Gunung Surandil. Disebut Ibu
bangsa yang dijajah.
Eneng téh sanggeus jadi nyai-nyai,
Maka pada hakikatnya, tindakan
da tadina mah ngaranna téh Nyi
diskriminasi ras tidak dapat dipisahkan
Suminah anak tua kampung
dengan kolonialisme, karena keduanya
Lemburawi, kungsi jadi ronggéng
terikat dalam sebuah hubungan sebab-
ketuk tilu sagala.. ” (hal. 73)
akibat. Adanya sikap rasial, membedakan
“..Ibu Eneng itu bekas Nyai nya
kedudukan sosial manusia telah
Tuan Susman, pemilik perkebunan
menyebabkan manusia yang dipandang
di Gunung Surandil. Disebut Ibu
rendah tersebut dikolonialisasi dan
Eneng setelah jadi Nyai, sebelumnya
mendapatkan tindakan diskriminasi.
ia bernama Nyi Suminah, putranya
Dengan kata lain kolonialisasi adalah
anak tetua kampung Lemburawi,
sebuah konstruksi bangsa kolonial atau
pernah juga menjadi ronggeng ketuk
penjajah untuk mendapatkan legitimasi
tilu..”
atas sikap kesewenang-wenangan yang
Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 521