Anda di halaman 1dari 16

Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D.

Dienaputra) 507

DISKRIMINASI RAS DALAM NOVEL SUNDA


SRIPANGGUNG KARYA TJARAKA:
ANALISIS DEKONSTRUKSI DERRIDA
RACIAL DISCRIMINATION IN TJARAKA’S SRIPANGGUNG:
DERRIDA DECONSTRUCTION ANALYSIS

Nursolihah
Reiza D. Dienaputra
Fakultas Ilmu Budaya Budaya Universitas Padjadjaran
Jln. Raya Bandung – Sumedang Km. 21 Jatinangor
e-mail: nursolihahzulfa92@gmail.com, reizaputra@unpad.ac.id

Naskah Diterima: 6 Juni 2018 Naskah Direvisi: 3 November 2018 Naskah Disetujui: 8 November 2015

Abstrak
Novel “Sripanggung” karya Tjaraka memuat rekaan gambaran kehidupan masyarakat
etnis Sunda di perkebunan teh yang hidup sebagai buruh kontrak dan hidup di bawah kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana gambaran
perlakuan diskriminasi pemerintah kolonial Belanda terhadap pribumi, khususnya etnis Sunda
yang saat itu dipandang sebagai masyarakat kelas bawah. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pembacaan dekonstruksi, di mana teks sastra berupa ujaran yang
ada di dalam novel “Sripanggung” karya Tjaraka dianalisis untuk mengungkapkan tindakan
diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap etnis Sunda. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ujaran-ujaran teks sastra dalam novel “Sripanggung” karya Tjaraka
memuat representasi tindakan diskriminasi berdasarkan ras yang dilakukan pihak kolonial
Belanda terhadap kaum pribumi etnis Sunda sehingga memengaruhi perkembangan struktur
sosial masyarakat Sunda kala itu.
Kata kunci: diskriminasi ras, novel sunda.

Abstract
Tjaraka’s “Sripanggung” novel portrays of Sundanese familie’s daily life as labor contract
of tea plantation that owned the Dutch colonial government. This article purpose is to reveal the
discriminatory treatment of the Dutch colonial goverment against indigenous people, especially
Sundanese who were seen as a lower class society. By using deconstruction reading method.
“Sripanggung” by Tjaraka’s is in a form of literary works and inside of it contain of speech that
analyzed to reveal the discriminatory action of Dutch Colonial government against Sundanese
people. The result showed, the speeches in the novel accomodate representation of discrimination
act based racial by the Dutch Colonial government against indigenous Sundanese people that
affected the development of social structure of sundanese at that time.
Keywords: racial discrimination, sundanese novel.

A. PENDAHULUAN Sunda berjudul Sripanggung karya


Artikel ini menjelaskan mengenai Tjaraka. Pada artikel yang telah ditulis
gambaran diskriminasi berdasarkan ras sebelumnya, pendekatan strukturalisme
yang dilakukan bangsa kolonial Belanda digunakan untuk menganalisis novel Sunda
terhadap masyarakat etnis Sunda yang Sripanggung karya Tjaraka. Seperti pada
hidup di perkebunan teh dalam novel artikel yang ditulis oleh Mimin Mulyani
508 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522

yang berjudul “Pencitraan Tokoh Utama masyarakat dengan ras kulit putih juga
dalam Novel Sripanggung karya Tjaraka” menyatakan diri unggul atas segala macam
pada tahun 2006, juga artikel yang ditulis ras manusia yang ada di muka bumi, pun
Rany Mahardika yang berjudul “Analisis termasuk unggul atas ras mongolid (Asia).
Struktural dan Psikologis dalam Novel Maka persoalan diskriminasi ras tidak
Sripanggung karya Tjaraka” pada tahun hanya terjadi di antara ras kulit putih dan
2015. Kedua artikel tersebut menggunakan ras kulit hitam.
pendekatakan strukturalisme untuk Bangsa Asia dalam hal ini
menganalisis struktur seperti tema dan Indonesia, yang dulu dinamakan Hindia
penokohan dalam novel Sripanggung, Belanda oleh pemerintah kolonial Belanda
namun pada artikel yang ditulis Rany menjadi salah satu sasaran tindakan
Mahardika, analisis novel berkembang perlakuan diskriminasi ras sebagai akibat
dengan menggunakan pendekatan dari adanya prasangka sosial yang
psikologis tokoh utama. menganggap bahwa ras kulit putih
Dalam artikel yang ditulis kali ini (kaukasia) yang direpresentasikan oleh
mengenai Novel Sripanggung karya bangsa Belanda pada saat itu lebih unggul
Tjaraka, penulis mengembangkan kajian daripada ras mongoloid (Indonesia),
analisis novel Sripanggung karya Tjaraka Atas dasar prasangka ini pula yang
dengan menggunakan pendekatan membuat pemerintah kolonial Belanda
dekonstruksi, yakni menganalisis novel melegitimasi diri untuk dapat melancarkan
tidak hanya dari segi tekstual atau tindakan diskriminasi terhadap kaum
strukturnya saja, namun juga dari segi pribumi Indonesia, seperti penindasan dan
kontekstual yang terkandung di dalam eksploitasi, baik sumber daya manusia
novel. Dalam hal ini, analisis berfokus maupun sumber daya alam. Dalam hal ini
pada tema diskriminasi ras dalam novel diskriminasi ras tidak dapat dipisahkan
Sunda Sripanggung karya Tjaraka. dari konsep kolonialisme, yang berarti
Penggunaan pendekatan dekonstruksi tindakan kolonialisme yang dilakukan
diharapkan dapat memperkaya temuan- bangsa kolonial terjadi sebagai akibat dari
temuan kontekstual juga kultural yang adanya perlakukan diskriminasi ras
terkandung dalam novel Sripanggung, terhadap bangsa yang dijajah.
sehingga dalam hal ini teks sastra seperti Tindakan diskriminasi yang
novel salah satunya dapat memberikan dilakukan bangsa Belanda terhadap
gambaran lebih jelas dan terang sebagai masyarakat pribumi pada masa peralihan
sebuah dokumen sejarah. pasca kemerdekaan sekitar tahun 1940-
Tema sosial mengenai diskriminasi 1950 sejatinya tetap ada meski tidak terlalu
ras telah menjadi isu sosial yang membumi kentara. Salah satunya tergambar dalam
secara global di seluruh dunia, kaitannya karya sastra Sunda, yakni novel
dalam hal ini berkenaan dengan Sripanggung karya Tjaraka. Novel ini
pertentangan sosial di antara ras kulit putih merekam bagaimana kehidupan sosial
(kaukasia) dengan ras kulit hitam masyarakat etnis Sunda di zaman
(negroid). Maka dengan jelas kita akan pemerintahan kolonial Belanda.
mengingat bagaimana orang-orang kulit Kurun waktu masa kolonialisme
hitam Afrika mengalami penindasan di pada novel ini terbagi dua, yakni masa
bawah bayang-bayang kekuasaan ras kulit akhir pendudukan kolonial Belanda hingga
putih (Eropa-Amerika). masuknya Jepang menduduki kekuasaan di
Namun, pertentangan sosial Indonesia. Artikel ini hanya akan fokus
mengenai diskriminasi ras tidak hanya membahas latar cerita dalam novel yang
terjadi di antara ras kulit putih (kaukasia) menggambarkan masa akhir pendudukan
dengan ras kulit hitam (negroid). pemerintah kolonial Belanda, khususnya
Superioritas yang menjadi senjata dalam kehidupan masyarakat etnis Sunda.
Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 509

Novel Sripanggung bukan semata Suyatno Kartodirjo dalam buku


karya fiksi belaka. Dengan latar belakang yang berjudul Sistem Tanam Paksa di
sang pengarang, yakni Tjaraka yang Jawa memaparkan, bahwa sistem tanam
semasa hidupnya sempat menjadi pelaku paksa di Jawa telah mengungkap dua
perjuangan revolusi kemerdekaan kenyataan sejarah. Pertama, Jawa abad ke-
Indonesia dengan menuliskan sikap 19 menjadi sumber penghasil komoditas
pemberontakannya di berbagai surat kabar ekspor penting bagi pasar dunia. Kedua,
kala itu. Dalam novelnya yang berjudul Pulau Jawa memiliki kekayaan sumber
Sripanggung, Tjaraka telah memberikan daya manusia sangat murah yang
gambaran mengenai tindakan diskriminasi dimanfaatkan sebagai tenaga kerja untuk
yang dilakukan pemerintah kolonial kebutuhan Sistem Tanam Paksa.
Belanda terhadap masyarakat etnis Sunda Kemudian, Robert van Niel masih di
di perkebunan teh Malabar, serta dalam buku yang sama juga menunjukkan
bagaimana tindakan diskriminasi itu telah bahwa sekitar 65-70 persen keluarga petani
memberikan dampak negatif dalam Jawa dipekerjakan di perkebunan-
perkembangan struktur sosial masyarakat perkebunan kolonial. Dua kenyataan
Sunda, secara lebih khusus terhadap sejarah itu jelas-jelas menunjukkan adanya
kondisi psikis masyarakat Sunda itu eksploitasi kolonial secara besar-besaran di
sendiri. bidang ekonomi dan sosial sejalan dengan
Novel Sripanggung bukan hanya politik kolonial subjektivitasi Belanda (van
menceritakan romansa terlarang antara Niel, 2003: xi).
wanita buruh pemetik teh (Nyi Empat) Latar kehidupan masyarakat etnis
dengan seorang pemuda yang merupakan Sunda yang hidup di perkebunan teh dalam
anak dari majikannya (Cep Tatang). novel Sripanggung yang ditulis oleh
Novel Sripanggung tidak selalu Tjaraka menggambarkan bagaimana
mempersoalkan kemustahilan kisah cinta bangsa Belanda sebagai representasi ras
antara si miskin (cacah) dengan si kaya kulit putih memandang kaum pribumi etnis
(menak), tapi kisah cinta yang lebih pelik Sunda sebagai representasi masyarakat
daripada itu karena terjebak dalam kondisi yang inferior dan dianggap lebih rendah
alam kolonialisme, di mana pemerintah kedudukannya dari bangsa Belanda.
Belanda berkuasa dan dengan kuasanya itu Tindakan diskriminasi ini termanifestasi
mereka gunakan untuk mendapatkan dalam ujaran-ujaran teks sastra para tokoh
“pengesahan/legalitas” atas tindakan dalam novel Sripanggung yang di sisi lain
sewenang-wenang terhadap penduduk juga mengungkapkan bagaimana gambaran
pribumi, khususnya penduduk etnis Sunda. karakter dari setiap tokoh yang terlibat
Lebih jauh Tjaraka menggambarkan dalam kisah Sripanggung.
tindakan diskriminasi itu dalam novel Tokoh yang digambarkan Tjaraka
Sripanggung lewat karakter para tokoh dalam novel Sripanggung dapat
yang di antaranya digambarkan sebagai dikategorikan menjadi tiga jenis tokoh,
penduduk pribumi etnis Sunda yang terdiri disesuaikan dengan kedudukan sosial
atas golongan miskin (cacah) dan ketiganya di dalam struktur masyarakat
golongan kaya (menak) serta para tuan Sunda kala itu, yakni pertama tokoh
Belanda yang digambarkan sebagai Juragan Kawasa (Tuan Kuasa) yang
majikan di perkebunan teh tersebut. digambarkan sebagai representasi dari
Pemerintah kolonial Belanda yang saat itu bangsa ras kulit putih dalam hal ini bangsa
diberi mandat untuk mengurus sistem Belanda, kedua tokoh Mandor (Priyayi)
perkebunan teh di tatar Sunda, salah yang digambarkan sebagai representasi
satunya Perkebunan Teh Malabar, telah kaum elite priyayi yang memiliki
menyalahgunakan mandat itu untuk kedudukan kelas menengah di antara
kepentingannya sendiri. Juragan Kawasa dan kaum Cacah, dan
510 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522

ketiga, yakni tokoh Cacah yang mendekonstruksi kekuatan laten subjek


digambarkan sebagai reprsentasi kaum kultural, subjek-subjek hegemonis yang
miskin atau rakyat kecil. Ketiga secara terus-menerus mengkondisikan
kategori tokoh ini dapat muncul sebagai situasi marginalitas, salah satu nya pribumi
akibat dari tindakan diskriminasi bangsa dalam pandangan kolonial (Kutha Ratna,
kolonial Belanda yang mengklasifikasikan 2013:221).
penduduk pribumi sesuai dengan ras dan Tokoh terpenting dekonstruksi
kedudukan sosial mereka. adalah Jacques Derrida, dalam kaitannya
sebagai teori post strukturalisme,
B. METODE PENELITIAN dekonstruksi menolak selalu adanya
Metode yang digunakan dalam keterkaitan mutlak antara penanda dan
penelitian ini adalah metode analisis petanda untuk menghasilkan makna seperti
deskriptif dengan menggunakan yang dijelaskan dalam teori strukturalisme.
dekonsturksi sebagai pendekatan teorinya. Oleh karena itu dekonstruksi berusaha
Teori dekonstruksi berupaya membaca melepaskan diri dari kebakuan konsep
ulang teks sastra tidak hanya sebagai penanda dan petanda yang ditawarkan
makna eksplisit yang tersurat. Namun, Saussure, seperti kutipan yang dijelaskan
dekonstruksi mencoba “merekonstruksi di bawah ini:
ulang” teks sastra untuk menemukan
Saussure menjelaskan bahwa makna
makna tersirat lainnya yang dapat
diperoleh melalui pembagian
membantu menjelaskan fenomena yang
lambang-lambang menjadi penanda
sedang berlangsung dalam masyarakat
dan petanda. Dekonsruksi menolak
sosial yang ada dalam teks sastra.
pemusatan tersebut dengan cara
1. Dekonstruksi
terus-menerus berusaha melepaskan
diri, sekaligus mencoba menemukan
Julia Kristeva dalam Nyoman
pusat-pusat yang baru. (Kutha
Kutha Ratna menjelaskan tentang definisi
Ratna, 2013: 225).
dari dekonstruksi sebagai strategi
membaca teks sastra, lebih terang ia Derrida dalam hal ini menawarkan
memaparkannya sebagai berikut: trace sebagai perluasan konsep Saussure
yang menjelaskan hubungan antara
Dekonstruksi tidak semata-mata
signifiant/signife. Makna tidak secara
ditujukan terhadap tulisan, tetapi
semua pernyataan kultural sebab langsung hadir dalam teks, maka trace
keseluruhan pernyataan tersebut yang dimaksud ialah bahwa tanda
memeroleh maknanya hanya dalam
adalah teks yang dengan sendirinya
hubungannya dengan tanda lain, demikian
sudah mengandung nilai-nilai,
prasyarat, ideologi, kebenaran, dan seterusnya, sehingga teks pada gilirannya
tujuan-tujuan tertentu (Kutha Ratna, disebutkan sebagai lautan tanda, mosaik
kutipan (Kutha Ratna, 2013:226). Maka
2013: 223).
kutipan ujaran dalam teks sastra dapat
Keterkaitan dekonstruksi dengan dimaknai tidak hanya sebagai makna
interteks telah memberikan kesempatan utama yang telah baku, namun lebih dari
lebih besar kepada para pembaca teks itu dapat dikaitkan dengan keseluruhan
sastra untuk menemukan kandungan nilai pernyataan kultural seperti yang
yang tersembunyi sebagai sebuah dipaparkan Julia Kristeva, dengan tujuan
gambaran kondisi kultural yang sedang untuk menggambarkan situasi kondisi
terjadi. Sebagai sebuah teori yang lahir di kultural yang sedang terjadi di dalam
era post modernisme, dekonstruksi juga masyarakat.
erat kaitannya dengan fungsi-fungsi utama Dalam penelitian ini telaah kritis
post modernisme dan dengan demikian dekonstruksi berupaya “membaca dan
post strukturalisme yakni berfungsi untuk
Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 511

merekonstruksi ulang” teks-teks ujaran terbit di Bandung. Kehidupannya sebagai


dalam novel Sunda “Sripanggung” karya jurnalis pada masa pemerintahan kolonial
Tjaraka untuk menemukan gambaran yang Belanda tentu saja tak berjalan mulus, ia
dapat dengan jelas merepresentasikan pernah dibui lantaran menulis artikel yang
tindakan diskriminasi yang dialami berjudul “Tan Malaka Dibuang”, Tjaraka
masyarakat etnis Sunda sebagai dampak juga pernah diasingkan ke Papua sebab
dari kolonialisme yang dilakukan dituduh melakukan pemberontakan
pemerintah kolonial Belanda secara khusus terhadap pemerintah kolonial Belanda.
dalam tuturan dan ujaran para tokoh dalam Kiranya bekal jejak biografi ini
novel Sripanggung. cukup untuk memberikan gambaran bahwa
sebagai sastrawan, Tjaraka bukan hanya
2. Novel Sunda ”Sripanggung” seorang pujangga yang mengandalkan
Novel Sunda adalah novel yang imajinasi dan romantisme semata dalam
ditulis dalam bahasa Sunda dan merupakan menghasilkan sebuah karya sastra, tapi
salah satu karya sastra Sunda modern. ketajaman indera lahir dan batinnya dalam
Novel Sunda notabenenya diciptakan oleh mengamati fenomena masyarakat etnis
orang Sunda yang lahir di tanah Pasundan Sunda yang kala itu terhimpit belenggu
(Jawa Barat). Pun sama halnya dengan kolonialisme. Melalui tuturan para tokoh
pengertian novel dalam sastra Indonesia, dalam novel Sripanggung, Tjaraka
novel dalam sastra Sunda memiliki merepresentasikan bagaimana pernyataan
pengertian sebagai cerita rekaan yang verbal masyarakat kala itu telah
memberikan kesan nyata seolah benar- menggambarkan kondisi kultural yang
benar terjadi dan bentuknya berukuran sedang terjadi seperti dalam telaah kritis
panjang. Masuknya novel dalam sastra dekonstruksi.
Sunda merupakan pengaruh Barat, yakni Novel Sripanggung karya Tjaraka
Belanda. Novel pertama dalam sastra menceritakan kehidupan wanita buruh
Sunda berjudul Baruang ka Nu Ngarora pemetik teh di kontrak Perkebunan Teh
karya Daeng Kanduruan Ardiwinata yang Malabar yang bernama Nyi Empat.
terbit di tahun 1914. Maka dapat disebut Kehidupannya sebagai buruh pemetik teh
bahwa novel dalam sastra Sunda yang berparas rupawan dan bersuara
merupakan hasil adaptasi dari sastra Barat merdu membuatnya harus mengalami dan
(Rahayu Tamsyah, 1996: 171). menghadapi rupa peristiwa yang tak
Novel Sripanggung karya Tjaraka dikehendakinya, terlebih ia hidup dalam
terbit pertama kali pada tahun 1963 oleh kondisi masyarakat Sunda yang terjebak
penerbit Langensari, Bandung. Novel dalam alam kolonialisme, di mana Juragan
Sripanggung merupakan salah satu satu Kawasa dalam hal ini, Orang Belanda
dari novel ciptaan Tjaraka yang memuat yang menjadi majikan di perkebunan teh
tentang gagasan kolonialisme di Indonesia, tempatnya bekerja selalu dapat berlaku
khususnya di kalangan masyarakat etnis sewenang-wenang.
Sunda. Tjaraka sendiri adalah orang Sunda Novel Sripanggung tak hanya
yang lahir di Sumedang pada tahun 1902. menceritakan persoalan diskriminasi orang
Novel lainnya yang juga menceritakan Belanda terhadap wanita pribumi yang
kolonialisme berjudul Isukan Kuring berkedudukan rendah (dalam hal
Digantung (Besok Saya Digantung). ekonomi), tapi juga bagaimana pihak
Mengamati kehidupan pengarang, kolonial menjadi agen untuk
Tjaraka bukan hanya murni seorang melanggengkan sistem kasta sosial yang
sastrawan Sunda. Ia juga berprofesi begitu kental dalam masyarakat Sunda di
sebagai seorang jurnalis yang pernah Perkebunan Teh Malabar yang diceritakan
mengelola beberapa surat kabar, salah dalam novel “Sripanggung”. Tindakan
satunya Sinar Pasoendan yang pernah diskriminasi pemerintahan kolonial
512 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522

terhadap masyarakat Sunda saat itu telah kolonialisme sendiri merupakan


membawa dampak buruk terhadap psikis representasi bangsa kulit putih yang
masyarakat Sunda khususnya, yakni merasa dirinya bangsa paling unggul,
kepercayaan diri. hingga memandang rendah terhadap
bangsa yang berbeda warna kulit
3. Diskriminasi Ras dan Kolonialisme dengannya.
Konsep ras merupakan klasifikasi Prasangka inilah yang
manusia berdasarkan ciri-ciri fisik yang menjerumuskan mereka untuk bertindak
nampak pada tubuh manusia, seperti sebagai negara penjajah (kolonial) dan
halnya warna kulit, bentuk rambut, dan dengan sewenang-wenang menduduki
bentuk fisik tubuh. Oommen dalam Al- bangsa jajahan dan mencoba mengambil
Hafizh (2016:178) mengelompokkan ras keuntungan darinya. Penduduk pribumi
manusia dalam tiga kelompok besar, yaitu wajib menyerahkan upeti berupa hasil
ras Mongoloid atau ras kulit kuning, ras kebun/ladang kepada penguasa sebagai
Negroid atau ras kulit hitam, dan ras bukti kepemilikan negara. Kebijakan ini
Kaukasoid atau ras kulit putih. Konsep ras tentu saja lahir dari representasi gagasan
manusia yang didasarkan berdasarkan ciri ideologi kolonialisme, di mana bangsa
fisik ini rentan akan tindakan diskriminasi. kolonial berhak atas sumber daya apa pun
Diskriminasi didefinisikan sebagai yang dimiliki oleh bangsa yang dijajah,
perlakuan yang tidak seimbang terhadap baik sumber daya alam maupun sumber
seseorang atau sekelompok orang daya manusia (Cahyono, 2003: xiii).
berdasarkan kategorial tertentu, seperti Persoalannya adalah bahwa bukan
halnya menurut pemaparan Theodorson & hanya keuntungan materi, tapi kedatangan
Theodorson dalam buku Memahami bangsa Belanda yang juga satu paket
Diskriminasi sebagai berikut: dengan budayanya, telah mengubah sistem
struktur sosial masyarakat Indonesia, salah
Diskriminasi adalah perlakuan yang
satunya dalam struktur sosial masyarakat
tidak seimbang terhadap perorangan,
Sunda. Kontak jangka panjang kaum
atau kelompok, berdasarkan sesuatu,
bangsawan Indonesia dengan kaum
biasanya bersifat kategorikal, atau
penjajah mengubah cara pandang mereka
atribut-atribut khas, seperti
terhadap kehidupan keseharian. Maka
berdasarkan ras, kesukubangsaan,
interaksi tersebut telah menimbulkan
agama, atau keanggotaan kelas-kelas
berbagai bentuk produk budaya feodalisme
sosial. Istilah tersebut biasanya
(Nurfaidah, 2015:81).
untuk melukiskan suatu tindakan
Pada praktiknya ideologi rasisme
dari pihak mayoritas yang dominan
tidak dapat dipisahkan dengan konsep
dalam hubungannya dengan
kolonialisme. Tindakan kolonialimse yang
minoritas yang lemah (Fulthoni,
dilakukan bangsa ras kulit putih, dalam hal
et.al, 2009:3).
ini bangsa Belanda terhadap penduduk
Tindakan diskriminasi yang pribumi etnis Sunda dapat dikatakan
dilakukan bangsa Belanda terhadap kaum sebagai tindakan diskriminasi yang berasal
pribumi, khususnya masyarakat etnis dari ideologi rasisme. Secara historis
Sunda yang digambarkan Tjaraka dalam rasisme berkembang ketika ras yang
novel Sripanggung merupakan berbeda bertemu dalam konteks
manisfestasi dari superioritas bangsa kulit kolonialisasi.
putih dalam hal ini Belanda (ras Paul Spoonley dalam bukunya yang
kaukasoid) dalam memandang kaum berjudul Racism and Ethnicity (1993)
pribumi (ras mongoloid) sebagai mencoba menelusuri jejak-jejak rasisme, ia
representasi kaum kelas bawah dan juga menyimpulkan bahwa ras adalah sebuah
bangsa yang inferior. Tindakan konsep kolonial yang berkembang ketika
Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 513

semangat untuk melakukan ekspansi pemetik teh di kontrak (perkebunan).


melanda Eropa. Mulai saat itu Meski memiliki suara merdu tidak lantas
diperkenalkanlah konsep ras dalam ranah membuat status sosial Nyi Empat
interaksi sosiologis dunia. Sebagai bagian membaik, bahkan kala itu perempuan yang
dari ideologi kolonial, rasisme memiliki bakat seni dalam dirinya
melegitimasi eksploitasi yang dilakukan dianggap memiliki reputasi yang buruk.
masyarakat kolonial kulit putih Eropa Seperti yang dituturkan Ajip Rosidi dalam
terhadap ras lain yang dianggapnya lebih pengantar Novel Sripanggung, yakni di
inferior atau rendah. alam kolonialisme, perempuan yang
memiliki bakat dalam bidang seni suara
C. HASIL DAN BAHASAN hanya akan menjadi ronggeng permainan
1. Ringkasan Cerita para lelaki (Tjaraka, 2002: 10).
Secara garis besar, ringkasan cerita Selain kisah cinta antara Cep Tatang
novel Sunda “Sripanggung” karya Tjaraka dan Nyi Empat, novel “Sripanggung”
menceritakan karakter dua tokoh utama, karya Tjaraka juga menggambarkan pola
yakni Nyi Empat dan Cep Tatang yang pikir masyarakat Sunda di zaman
hidup pada masa kolonialisme, tepatnya kolonialisme, khususnya di Perkebunan
setting waktu dalam novel terjadi pada Teh Malabar, yang mengidentifikasi
masa akhir pendudukan pemerintah kedudukan sosial bahkan hanya
Kolonial Belanda di Indonesia. Nyi Empat berdasarkan ciri fisik semata. Pola pikir
digambarkan sebagai tokoh dari yang telah tertanam di benak masyarakat
masyarakat golongan cacah (miskin) yang etnis Sunda sekian lama selama
memiliki wajah rupawan dan suara yang pemerintah kolonial Belanda memasuki
merdu, sedangkan Cep Tatang mewakili kehidupan mereka, terutama dalam
gambaran tokoh ménak (bangsawan) yang pengelolaan perekonomian sebagai akibat
ada dalam struktur sosial masyarakat dari penguasaan sektor sumber daya alam
Sunda kala itu. Keduanya bertemu di perkebunan teh serta penguasaan sumber
kontrak (perkebunan teh) tempat Nyi daya manusia, yakni memperkerjakan
Empat bekerja sebagai buruh pemetik teh, masyarakat sebagai buruh pemetik teh.
dan Cep Tatang sebagai anak Mandor
Besar (orang kepercayaan Juragan 2. Telaah Kritis Dekonstruksi Novel
Kawasa). “Sripanggung” Karya Tjaraka
Cep Tatang dan Nyi Empat lantas Seperti yang telah dikemukan Julia
saling jatuh cinta, meski status sosial Kristeva bahwa dekonstruksi adalah
keduanya berbeda namun benih-benih strategi untuk membaca teks sastra dalam
cinta itu tak dapat dipungkiri lagi. Cep rangka menemukan gambaran kondisi
Tatang begitu terpesona dengan kecantikan kultural yang sedang terjadi dalam
rupa Nyi Empat ditambah dengan merdu masyarakat, maka seperti juga yang telah
suaranya. Namun seperti yang sudah dikemukakan Derrida bahwa untuk
diramalkan, kisah cinta keduanya tidaklah membaca teks sastra secara menyeluruh
berjalan mulus akibat dari perbedaan status diperlukan usaha untuk melepaskan teks
sosial yang disandang keduanya. dari makna penanda dan petanda yang
Cep Tatang adalah pemuda dengan telah ditetapkan sebelumnya dalam konsep
kedudukan terhormat, ia bahkan strukturalisme Saussure. Berikut di bawah
menempuh sekolah di sekolah MULO ini contoh telaah kritis dekonstruksi di
(kini setingkat sekolah menengah pertama) dalam beberapa kutipan ujaran teks sastra
yang didirikan pemerintah kolonial novel Sripanggung karya Tjaraka.
Belanda. Sementara, Nyi Empat hanya
anak seorang buruh pemetik teh, yang
kemudian juga bekerja sebagai buruh
514 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522

Contoh telaah 1: bahkan di sisi lain dianggap sebuah


“...teu anéh di kontrak mah aya kehormatan jika mendapatkan keturunan
parawan nu reuneuh atawa boga dari Tuan Belanda yang mewakili
anak téh...Tuh si Saimah, geuning representasi ras kulit putih. Maka kata
sok kadieu ngais budak jiga sinyoh, ngareuneuhan tidak lagi dianggap
pan éta anak Juragan Anom berkonotasi negatif.
Borrel...Tuh si Kasih nu anyar
Contoh telaah 2:
ngajuru, pan nu ngareuneuhanana
“...Bet ragrag ka anakna Mang
téh Anom Henrik..” (hal. 35)
Kasim, bujang kontrak, mustika sora
“...gadis perawan yang hamil dan
teh jeung make geulis sagala, da
mempunyai anak bukanlah hal yang
geuning bapana mah jiga kitu bae.
aneh di tanah perkebunan,
Naha turunan ti indungna kitu!”
contohnya Si Saimah, sekarang
(hal. 27)
menggendong anak yang mirip sinyo
“...Kenapa bisa anak secantik dan
(peranakan Eropa), bukannya itu
bersuara merdu itu menjadi anak si
anak Tuan Muda Borrel, belum lagi
Kasim, padahal si Kasim hanya
si Kasih yang baru saja melahirkan,
seperti itu, apa dia mirip ibunya? ...”
bukannya yang menghamilinya juga
Tuan Muda Henrik...”
“...Tah si Empat oge geura, ari
Ujaran teks sastra di atas geulis kitu mah cadu teuing anak si
memberikan gambaran bahwa anak Kasim ” (hal. 35)
perawan yang berasal dari keluarga cacah “...Lihat si Empat yang cantik itu,
atau miskin begitu rendah “harga diri-nya”, tidak mungkin dia anak si Kasim..”
setidaknya untuk label yang diberikan
kepada mereka oleh “pribumi “...Ras eling kana dirina sorangan,
kepercayaan” (Mandor Besar/Priyayi) ret deui nenjo papih, inget deui ka
pemerintah kolonial Belanda, bahkan oleh Cep Tatang, rupana, dedeg-
bangsa Belandanya sendiri. pangadegna Cep Tatang teh bet jiga
Para Juragan Kawasa, yakni Juragan Kawasa ” (hal. 35)
sebutan bagi tuan-tuan Belanda yang “...Dia ingat dirinya sendiri, lalu
menjadi penguasa Kontrak (Perkebunan) melihat wajah Papih, kemudian
tersebut dapat dengan mudah memenuhi melihat lagi wajah Cep Tatang,
hasrat mereka untuk melajur nafsu pada wajahnya, tubuhnya mirip sekali
gadis-gadis pribumi etnis Sunda yang dengan Juragan Kawasa ...”
miskin dengan iming-iming uang atau
Ketiga ujaran teks sastra tersebut
predikat sosial sebagai Nyai (Nyonya)
memuat makna kultural tersirat yang
hingga yang terparah iming-iming untuk
menggambarkan bahwa ada konsep rasial
mendapatkan keturunan “ras kulit putih”
yakni membedakan manusia berdasarkan
yang dianggap ras unggul dalam
ciri fisik, yang ditanamkan pemerintah
pandangan mereka, meskipun untuk
kolonial Belanda begitu membekas di
mendapatkannya mereka harus menginjak-
ingatan masyarakat pribumi etnis Sunda.
injak harga dirinya sendiri.
Dalam teks ujaran kesatu dan kedua,
Kata ngareuneuhan yang berarti
seorang perempuan dengan wajah cantik
menghamili dalam ujaran tersebut
rupawan bahkan dianggap mustahil lahir
berkonotasi negatif karena si perempuan
dari manusia pribumi golongan cacah yang
pribumi dari golongan cacah yang dihamili
memiliki rupa tidak sebaik pribumi
sebetulnya tidak dinikahi secara resmi oleh
golongan priyayi atau keturunan Belanda.
para Tuan Belanda tersebut. Namun,
Kalimat, “hanya seperti itu” secara tersirat
karena hal tersebut sudah lumrah terjadi
menandakan sikap merendahkan dan tidak
dalam kehidupan masyarakat Sunda,
Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 515

menghormati manusia sebagai sesama juragan Anom mah, saban poé


makhluk ciptaan Tuhan. dikirim ti dayeuh!” (hal. 30)
Pada teks ujaran ketiga, perilaku “...Itu juga sama roti, hanya itu
membandingkan rupa antara keturunan sudah basi, sudah dari beberapa hari
pribumi dan keturunan Belanda, di mana lalu, sedangkan roti yang dimakan
dalam teks tersebut Ibunda Cep Tatang Juragan Kawasa dan Juragan Anom
membandingkan wajah anaknya yang setiap harinya dikirim dari kota ...”
rupawan ternyata lebih mirip dengan wajah
Juragan Kawasa (Tuan Belanda) “...kadieu atuh! Da Emang ogé ari
dibanding dengan ayahnya sendiri seorang kana roti mantéga mah, komo maké
Mandor Besar keturunan pribumi. Makna selé mah tara manggih sabulan
yang muncul adalah tokoh Juragan sakali. Juragan Hup ogé bané baé
Kawasa (Tuan Belanda) telah dipakai pédah aya putrana..” (hal. 30)
sebagai tolak ukur untuk menentukan “...bawa ke sini rotinya! Emang juga
definisi rupa yang baik/indah dan rupa jarang makan roti mentega, apalagi
yang tidak baik/tidak indah, artinya jika roti yang memakai selai. Juragan
seseorang berwajah mirip keturunan Hup juga jarang memakan roti, ia
Belanda, maka dianggap telah mewakili hanya makan kalau ada putranya
representasi rupa yang baik/indah. saja ...”
Di sisi lain mendapatkan keturunan Dua ujaran teks sastra dalam novel
dari orang Belanda sebagai representasi “Sripanggung” karya Tjaraka berikutnya
bangsa ras kulit putih yang superior telah mengutip kata “roti” secara khusus. Roti
dianggap sebagai sebuah berkah, karena adalah sebuah makanan pokok yang sudah
dengan percampuran darah keturunan itu dikonsumsi pada saat itu di dalam latar
secara otomotis dapat mengangkat derajat novel, namun dikonsumsi secara terbatas
masyarakat etnis Sunda secara khusus hanya di kalangan masyarakat Belanda
dalam struktur sosial masyarakat itu (keluarga Juragan Kawasa). Menurut
sendiri. Pandangan tersebut di sisi lain KBBI online, roti memiliki definisi sebagai
sebagai penegasan bahwa “diri” mereka makanan yang terbuat dari bahan pokok
(etnis Sunda) adalah bangsa kelas bawah tepung terigu yang banyak macamnya,
yang kedudukannya tidak sama dengan seperti roti tawar dan roti bakar. Namun,
bangsa kolonial Belanda sebagai bangsa makna roti yang dimaksud dalam
kelas atas. keseluruhan ujaran tersebut dimaknai tidak
Contoh telaah 3: hanya sebagai sebuah jenis makanan yang
“...Dupi roti nu keur sasarap abdi dikonsumsi masyarakat Sunda saat itu.
tadi aya keneh? Aya tuh dina lomari Makanan roti dalam kutipan ujaran
dua gepok...Naha kitu rek dibikeun teks tersebut secara tersirat dimaknai
ka si Kasim? Atuh model si Kasim sebagai sebuah produk komoditi yang
dibere roti make mantega mah, moal dipakai untuk melanggengkan isu rasial
teu utah geura!” (hal. 26) terhadap masyarakat Sunda. Roti dapat
“...Apa roti untuk sarapan saya tadi dikatakan sebagai produk budaya modern
masih ada? Ada di lemari, Kenapa? yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda
Mau diberikan ke si Kasim? Orang terhadap penduduk pribumi.
seperti Kasim diberi roti mentega Sebelumnya penduduk pribumi tidak
nanti dia muntah ...” mengenal roti sebagai bahan makanan
pokok yang biasa mereka konsumsi.
“...Eta oge sarua roti, ngan eta mah Sementara roti adalah makanan pokok
geus galaeun, roti geus sabaraha yang biasa dikonsumsi oleh bangsa
poe, kapan ari roti nu ditaruang ku Belanda sebagai bahan makanan pengganti
Juragan Kawasa mah, juragan- nasi, yang justru menjadi bahan makanan
516 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522

pokok bagi masyarakat Pribumi, termasuk Contoh telaah 4:


masyarakat Sunda. “...Bogoheun ka Nyai, nya Aden teh
Seperti dikutip dari artikel online cek Mandor. Piraku Mang Mandor!
detik.com, bahwa Roti di Indonesia sudah Itu mah....eh abdi mah bujang petik,
ada sejak zaman Belanda sekitar tahun keur goreng patut teh nya kampung
1930, budaya makan roti biasa dilakukan nya cacah” (hal. 30)
orang-orang Barat mulai diperkenalkan “...Aden menyukai Nyai ya? Kata
pada warga pribumi dengan cara Mandor. Tidak mungkin Mang
diperjualbelikan. Pada tahun 1950-an, Mandor! Tidak pantas untuk saya
citarasa roti sudah lebih gurih dan yang hanya buruh petik teh, sudah
aromanya lebih enak karena mulai jelek rupa ditambah orang kampung
ditambahi mentega. yang miskin..”
Roti mulai dikonsumsi oleh
Stereotipe sebagai bangsa kelas
kalangan tertentu terbatas hanya di
bawah telah melekat dalam diri masyarakat
kalangan masyarakat priyayi, sementara
Sunda itu sendiri, baik secara fisik maupun
roti masih menjadi makanan yang asing
psikis. Pandangan tersebut sebagai dampak
bagi masyarakat cacah, hal ini tergambar
dari kebijakan dan perlakuan pemerintah
dalam kutipan ujaran teks yang
kolonial Belanda terhadap masyarakat
mempercakapkan mengenai roti tersebut.
Sunda dalam novel Sripanggung.
Maka roti kembali digunakan untuk
Akibatnya diri individu masyarakat
membedakan tingkat kedudukan sosial
mengalami penindasan secara psikologis,
antara masyarakat kolonial Belanda
yang dapat berupa hilangnya rasa
dengan masyarakat Sunda. Pada kutipan
kepercayaan diri dan keberanian dalam
ujaran teks, “Atuh model si Kasim dibere
mengemukakan pendapat atau perasaannya
roti make mantega mah, moal teu utah
sendiri. Perlakuan inilah yang dapat
geura”, bila ditelaah secara keseluruhan
digolongan sebagai bentuk dari tindakan
dikaitkan dengan konteks kultural yang
diskriminasi.
lekat pada teks tersebut, maka ada makna
Hilangnya rasa percaya diri dan
lain yang disembunyikan dalam kutipan
keberanian tersebut tergambar pada ujaran
teks tersebut.
teks dalam percakapan antara Nyi Empat
Persoalannya adalah bukan hanya
dengan Mandor ketika Nyi Empat merasa
karena Si Kasim yang berasal dari
tidak pantas bersanding dengan Cep
golongan masyarakat Cacah itu tidak bisa
Tatang karena merasa dirinya hina (berasal
makan roti karena sesudahnya dia akan
dari masyarakat kelas bawah) dan buruk
muntah jika memakannya, tetapi secara
rupanya, padahal menurut gambaran
tersirat dapat berarti bahwa makanan roti
Tjaraka dalam novel, Nyi Empat
sebagai makanan yang dikonsumsi
digambarkan sebagai perempuan Sunda
masyarakat kolonial Belanda tidak pantas
yang bagus rupanya, Nyi Empat tidak
diberikan kepada Si Kasim, karena ia
hanya menawan hati Cep Tatang, namun
berasal dari masyarakat golongan cacah
juga telah berhasil memikat hati para Tuan
sebagai masyarakat kelas bawah.
Belanda pada masa itu.
Begitupun kalimat model si Kasim,
menyiratkan secara jelas bahwa ada suatu Contoh telaah 5:
proses merendahkan harga diri seseorang “...Jajaka kota putra Juragan
karena penggunakan kata “model” merujuk Mandor Besar, ku ihtiar
pada bentuk fisik. Dengan begitu makna pangjeujeuh Juragan Kawasa
“roti” tidak lagi sesederhana seperti dalam Kontrak bisa asup ka sakola MULO.
kutipan teks tersebut. Harita manéhna (Cep Tatang) geus
kelas tilu..” (hal. 15)
Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 517

“...Pemuda kota putra Juragan kopi, tebu, teh, dan rempah-rempah di


Mandor Besar, atas usaha dan dunia internasioanl.
dukungan dari Juragan Kawasa Para Priyayi ini yang membantu
Kontrak ia bisa masuk ke sekolah Belanda untuk “menekan” golongan cacah
MULO. Saat itu ia (Cep Tatang) untuk bekerja kepada pemerintah Belanda.
sudah menginjak kelas tiga...” Pada kutipan tuturan di atas tergambar
bahwa ada dua tokoh yang bernama
“...Kabeneran eta mah Juragan „Juragan Mandor Besar‟ yang diposisikan
Mandor Besar, abong anak emas sebagai elit priyayi dan tokoh „Juragan
Juragan Kawasa, kapan Kawasa Kontrak‟ yang diposisikan sebagai
nyakolakeun ka Ha-I-Es oge hese, orang dari bangsa Belanda yang diberi
teu sagala anak jelema ditarima, mandat untuk menguasai „kontrak‟ dalam
mangkaning ieu mah make bisa asup hal ini perkebunan teh. Cep Tatang sebagai
sakola Walanda sagala, nya terus ka putera dari Juragan Mandor Besar, yang
Mulo..” (hal. 19) dapat dikatakan merupakan kaki tangan
“...Kebetulan dia anak Juragan dari Juragan Kawasa Kontrak
Mandor Besar, mentang-mentang mendapatkan akses pendidikan yang layak
anak emas Juragan Kawasa, sebagai penduduk pribumi dengan status
bersekolah di Ha-I-Es saja sulit, elit priyayi disebabkan adanya hubungan
tidak semua anak manusia diterima, kedekatan antara elit priyayi dengan
apalagi ini bisa sampai disekolahkan bangsa Belanda.
ke sekolah Belanda segala, ke
MULO...”
Lebih jauh hubungan seperti itu
telah memunculkan dampak yang lebih
“...Atuh da di kelas tilu mah, ngan kompleks terhadap nasib kaum cacah, di
saurang-urangna bangsa urang mana para kaum cacah tersebut terjebak di
mah, nya Cép Tatang. Sawaréhna antara berbagai kepentingan yang
mah sinyoh wungkul. Ti sajumlah disodorkan para elit priyayi tersebut
murid kabéh aya tilu ratusna bangsa dengan bangsa Belanda. Ujaran teks sastra
urangna mah ngan aya lima welas yang diucapkan tokoh yang menyatakan
para putra ménak.. ” (hal. 64) bahwa “tidak semua anak manusia dapat
“...di kelas tiga hanya ada satu orang diterima di sekolah khusus” tersebut
yang berasal dari bangsa kita, yaitu menegaskan adanya praktek atau tindakan
Cep Tatang. Sebagian yang sinyoh diskriminasi terhadap masyarakat Sunda di
(keturunan Belanda). Dari sejumlah bidang pendidikan.
tiga ratus murid hanya ada lima
belas putra bangsawan dari bangsa Contoh telaah 6:
kita..” “...bujang-bujang kontrak, pukul
lima rebun-rebun kudu geus
Dalam praktik sosial kala itu, ngajingjing émbér-émbér, mawa
Bangsa Belanda memanfaatkan peran elit péso pangot mangkat ka kebon
priyayi dari golongan bumiputera untuk nyadap getah karét. Bujang-bujang
meneguhkan posisi kolonial dalam kebon atawa sok disebut kuli-kuli
mengeruk sebanyak mungkin tenaga kerja kontrak, awéwé-lalaki, ogé barudak
pribumi yang berasal dari golongan cacah nu sawawa rebun-rebun geus
(miskin). Dengan adanya para priyayi, diharudum halimun, kudu geus aya
Belanda dengan mudah mengatur urusan di kebon téh, metik pucukna..” (hal.
perekonomian yang dipakai untuk 14)
memasok pendapatan mereka terutama di “...buruh-buruh kontrak itu pada jam
bidang perdagangan hasil kebun seperti lima subuh sudah harus membawa
518 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522

ember dan pisau untuk pergi ke dalam prakteknya, Bangsa Belanda


kebun menyadap karet. Buruh-buruh memanfaatkan peran elit priyayi dari
kebun atau sering disebut kuli-kuli golongan bumiputera untuk meneguhkan
kontrak, perempuan dan laki-laki, posisi kolonial dalam mengeruk sebanyak
juga anak-anak remaja pagi buta mungkin tenaga kerja pribumi yang berasal
yang diselimuti kabut, harus sudah dari golongan cacah (miskin). Dengan
ada di kebun untuk memetik pucuk adanya para ménak ini, Belanda dengan
teh..” mudah mengatur urusan perekonomian
mereka di Indonesia.
Kutipan dalam ujaran teks dalam
Sedangkan golongan cacah (miskin)
novel “Sripanggung” karya Tjaraka di atas
yang dimaksud adalah masyarakat pribumi
terdapat dalam bagian awal novel. Sebuah
etnis Sunda yang bekerja di perkebunan
deskripsi awal untuk menggambarkan
sebagai tenaga buruh, seperti dalam
kehidupan masyarakat etnis Sunda di
kutipan teks sastra: “buruh-buruh kebun
kontrak atau perkebunan teh Malabar.
atau sering disebut kuli-kuli kontrak.
Sesuai dengan undang-undang
Dengan memanfaatkan peran para ménak
penggolongan penduduk yang ditetapkan
yang ditempatkan dalam kedudukan yang
Belanda, masyarakat Pribumi dalam hal ini
tinggi dan menguntungkan dan
termasuk juga masyarakat etnis Sunda
ketidakberdayaan yang dialami masyarakat
digolongkan menjadi masyarakat kelas
golongan cacah, pemerintah Kolonial
bawah. Namun tak berhenti sampai di situ,
Belanda telah berhasil melegitimasi diri
masih dengan campur tangan pemerintah
sebagai ras kelas atas yang dapat dengan
kolonial Belanda, penduduk pribumi
mudah melakukan tindakan diskriminasi
terbagi pula dalam dua golongan dengan
terhadap masyarakat pribumi sebagai ras
kedudukan yang tidak sama, yakni
kelas bawah.
masyarakat golongan miskin (cacah) dan
Tokoh Cep Tatang dalam novel
masyarakat golongan priyayi (ménak).
“Sripanggung” karya Tjaraka merupakan
Dalam struktur sosial masyarakat
representasi dari masyarakat golongan
Sunda kala itu (latar waktu dalam novel
ménak, maka dapat pula dikatakan sebagai
Sripangggung), masyarakat golongan
wakil dari masyarakat kolonial Belanda.
priyayi digambarkan sebagai masyarakat
Tokoh Cep Tatang merupakan anak dari
dengan kedudukan lebih tinggi dan
Mandor Besar, seorang pribumi golongan
„terhormat‟ dibandingkan dengan
ménak sebagai kaki tangan kepercayaan
masyarakat golongan cacah (miskin).
orang Belanda. Sedangkan tokoh Nyi
Kalangan masyarakat ménak biasanya
Empat dan ayahnya, yakni Kasim adalah
diberi mandat oleh pemerintahan kolonial
reprsentasi dari masyarakat golongan
Belanda untuk mengatur pemerintahan
cacah. Maka kisah cinta yang tak dapat
setingkat desa, seperti yang dijelaskan
terwujud di antara Cep Tatang dan Nyi
Furnivall dalam buku Sistem Tanam Paksa
Empat karena perbedaan kelas sosial
di Jawa menjelaskan bahwa kebijakkan
merupakan representasi dari tindakan
Van den Bosch adalah memperkuat posisi
diskriminasi ras yang dilakukan bangsa
para bupati dan membiarkan desa,
Belanda.
republik-republik kecil dengan campur
tangan sesedikit mungkin tetap berada di Contoh telaah 7:
bawah kekuasaan kepala desa (van Niel, “...Kasim bodo hah! Empat candak
2003: 238) buru-buru kadieu. Engke Kasim
Tak hanya itu, masyarakat golongan kagungan artos seueur, ditambah
ménak juga diberi mandat untuk mengatur deui salawe, jadi lima puluh ”
urusan kontrak (perkebunan) di bawah (hal. 45)
pengawasan Juragan Kawasa “...Kasim bodoh! Segera Empat
(pemerintahan kolonial Belanda). Maka, bawa ke sini. Nanti Kasim saya beri
Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 519

uang banyak, ditambah salawe, jadi sebuah hal yang lumrah atau biasa terjadi
lima puluh..” dalam sebuah hubungan antara buruh dan
majikannya. Pemilihan kata „bodoh‟
“...Ulah bohong ka Juragan (anom menyiratkan sebuah pernyataan kultural
Anton). Engke Juragan bendu ka yang lebih luas maknanya sebagai sebuah
Kasim. Mun bohong engke Empat bentuk penindasan mental.
dipaksa dibawa ku mandor ka dieu. Makna kata „bodoh‟ dalam
Maneh ku Juragan diusir teu keseluruhan konteks kalimat ujaran
meunang aya di kontrak ” (hal. 45) tersebut tentu dapat dimaknai, pertama,
“...Jangan bohong sama Juragan. bahwa si Kasim memang bodoh dalam arti
Nanti Juragan marah pada Kasim. kata sesungguhnya karena tidak dapat
Kalau bohong nanti Empat dibawa menangkap maksud atau keinginan dari
paksa oleh Mandor ke sini. Lalu Juragan Anton yang tidak sabar ingin
kamu Juragan usir dari kontrak bertemu dengan Nyi Empat, kedua, Si
(perkebunan teh)..” Kasim bodoh karena tidak mau menuruti
keinginan Juragan Anton untuk
Dua kutipan ujaran teks sastra di
menyerahkan Nyi Empat lalu
atas tidak lagi secara tersirat namun telah
menyembunyikan Nyi Empat, ketiga,
begitu terang dan jelas menunjukkan
Kasim bodoh karena tidak mau menerima
perlakuan diskriminasi yang dilakukan
iming-iming uang yang akan diberikan jika
bangsa Belanda terhadap masyarakat
ia menyerahkan Nyi Empat pada juragan
golongan cacah (miskin). Hal tersebut
Anton.
tergambar dalam kutipan ujaran teks sastra
Ketiga makna tersebut secara
dalam novel “Sripanggung” karya Tjaraka
tersirat telah menunjukkan adanya indikasi
tersebut di atas.
bahwa Kasim sebagai representasi dari
Percakapan dalam kutipan tersebut
masyarakat golongan cacah harus
dilakukan di antara dua tokoh bernama
menuruti kehendak Juragan Anton sebagai
Kasim sebagai representasi masyarakat
representasi dari masyarakat kelas atas
golongan cacah dan Juragan Anton
bangsa Belanda. Harga diri Nyi Empat
sebagai representasi masyarakat kolonial
sebagai seorang perempuan bahkan
Belanda. Juragan Anton yang jatuh cinta
disandingkan dengan iming-iming uang
terhadap Nyi Empat lantas meminta Kasim
sebesar lima puluh rupiah, uang yang kala
(ayah Nyi Empat) untuk „menyerahkan‟
itu mungkin hanya cukup untuk membeli
anaknya.
lima karung beras. Namun, bagi Juragan
Perlakuan Juragan Anton terhadap
Anton jumlah uang tersebut dirasa cukup
Kasim tentu bukan perlakuan yang baik
dan pantas untuk „membeli‟ seorang
dengan meminta Nyi Empat secara paksa
perempuan Sunda yang berasal dari
hanya karena Juragan Anton
masyarakat golongan cacah (miskin), yang
menginginkannya. Di sisi lain, Kasim
pada masa itu kondisi ekonominya serba
berusia lebih tua daripada Juragan Anton,
kekurangan sebagai pekerja buruh pemetik
di mana seharusnya Juragan Anton
teh di perkebunan.
bersikap lebih menghormatinya. Namun,
Perlakuan diskriminasi lainnya juga
tentu saja konsep tata krama ini tidak
tergambar dalam kutipan ujaran teks sastra
berlaku pada saat itu, bahwa Kasim tetap
lainnya dalam teks sastra dalam novel
direpresentasikan sebagai kaum kelas
“Sripanggung” karya Tjaraka seperti dalam
bawah yang kedudukan sosialnya lebih
kutipan kalimat: “...kalau bohong nanti
rendah.
Empat dipaksa dibawa mandor ke sini, dan
Secara lebih eksplisit, penggunaan
lalu kamu, Juragan usir dari kontrak
kalimat “Kasim Bodoh” yang ditujukan
(perkebunan)”. Pertanyaan kultural dalam
Juragan Anton terhadap ayah Nyi Empat
kutipan teks sastra tesebut jelas bermakna
tentu tidak lagi dapat dipandang sebagai
520 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522

adanya sikap merendahkan dan sewenang- Tokoh Ibu Eneng dalam kutipan
wenang yang dilakukan oleh bangsa ujaran teks sastra dalam novel
Belanda terhadap masyarat pribumi etnis Sripanggung karya Tjaraka digambarkan
Sunda golongan cacah. sebagai representasi dari masyarakat
Maka, jika Kasim si tokoh dari golongan ménak yang telah diangkat
golongan cacah yang diposisikan sebagai kedudukan sosialnya dalam struktur sosial
buruh di perkebunan milik Juragan masyarakat Sunda karena telah dinikahi
Kawasa tidak mau menuruti kehendak oleh Tuan dari bangsa Belanda, yakni yang
pribadi majikannya, meski di sisi lain hal bernama Tuan Susman. Oleh karena itu,
tersebut dapat merugikan atau Ibu Eneng yang dulu disebut Nyi Suminah
membahayakan dirinya sendiri, Kasim mendapat kedudukan sosial yang tinggi,
yang tidak berdaya akan diperlakukan meski sebelumnya bahkan Ibu Eneng
sewenang-wenang oleh Juragan Kawasa, berprofesi sebagai ronggeng ketuk tilu,
contohnya dipecat dari pekerjaannya sebuah profesi yang pada kala itu dianggap
sebagai buruh perkebunan bahkan diusir sebagai profesi rendahan di mata
keluar dari tempat tinggalnya di masyarakat.
perkebunan. Meski pada akhirnya Tuan Susman,
Pernyataan-pernyataan kultural yang pemilik perkebunan di Gunung Surandil
termanifestasikan dalam serangkaian ditangkap oleh bangsa Jepang pada saat
tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh masa pendudukan Jepang dimulai di
masyarakat kolonial Belanda terhadap Indonesia, Ibu Eneng tetap memiliki
masyarakat pribumi etnis Sunda muncul kedudukan sosial yang lebih tinggi
dari adanya prasangka yang menganggap dibandingkan dengan dengan masyarakat
bahwa kedudukan bangsa ras kulit putih golongan cacah pada umunya.
(bangsa Belanda) lebih tinggi daripada
bangsa pribumi sebagai representasi ras D. PENUTUP
mongolid. Prasangka tersebut yang Konsep rasial dalam arti sebuah
akhirnya menyebabkan bangsa Belanda sikap membedakan kedudukan seorang
melegalkan segala bentuk tindakan manusia dengan manusia lainnya
diskriminasi terhadap masyarakat pribumi berdasarkan etnis atau fisik yang dimiliki.
di Indonesia, khususnya masyarakat Tindakan membedakan inilah yang
Sunda. akhirnya menimbulkan prasangka dari
pihak yang merasa lebih unggul (ras kulit
Contoh telaah 8:
putih) atas ras kulit mongolid. Prasangka
“...Ibu Eneng téh urut nyai-nyai
yang secara radikal telah memunculkan
Tuan Susman, Kawasa Kontrak
kolonialisasi dari bangsa kolonial terhadap
Gunung Surandil. Disebut Ibu
bangsa yang dijajah.
Eneng téh sanggeus jadi nyai-nyai,
Maka pada hakikatnya, tindakan
da tadina mah ngaranna téh Nyi
diskriminasi ras tidak dapat dipisahkan
Suminah anak tua kampung
dengan kolonialisme, karena keduanya
Lemburawi, kungsi jadi ronggéng
terikat dalam sebuah hubungan sebab-
ketuk tilu sagala.. ” (hal. 73)
akibat. Adanya sikap rasial, membedakan
“..Ibu Eneng itu bekas Nyai nya
kedudukan sosial manusia telah
Tuan Susman, pemilik perkebunan
menyebabkan manusia yang dipandang
di Gunung Surandil. Disebut Ibu
rendah tersebut dikolonialisasi dan
Eneng setelah jadi Nyai, sebelumnya
mendapatkan tindakan diskriminasi.
ia bernama Nyi Suminah, putranya
Dengan kata lain kolonialisasi adalah
anak tetua kampung Lemburawi,
sebuah konstruksi bangsa kolonial atau
pernah juga menjadi ronggeng ketuk
penjajah untuk mendapatkan legitimasi
tilu..”
atas sikap kesewenang-wenangan yang
Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda..... (Nursolihah dan Reiza D. Dienaputra) 521

mereka lakukan terhadap bangsa yang DAFTAR SUMBER


dijajah, yang mereka anggap sebagai 1. Jurnal
bangsa kelas dua, dan tidak lebih tinggi Mahardika, Rany. “Analisis Struktural dan
kedudukannya dibanding bangsa ras kulit Psikologis dalam Novel Sripanggung
putih. karya Tjaraka” dalam Dangiang Sunda
Novel Sunda Sripanggung karya Vol. 3 No.2 Agustus 2015.
Tjaraka dengan latar waktu dalam cerita
Mulyani, Mimin. 2006. “Pencitraan Tokoh
tersebut disetting antara tahun 1940-1950-
an, di mana dapat disebut sebagai masa Utama dalam Novel Sripanggung
peralihan antara masa akhir kekuasaan karya Tjaraka” : Fakultas Ilmu
pemerintahan kolonial Belanda atas bangsa Budaya Universitas Padjadjaran.
Hindia Belanda yang kini bernama Nurfaidah, Resti. “Feodalisme dalam Novel
Indonesia, lalu kemudian kekuasaan Pipisahan karya RAF” dalam Jurnal
diambil alih oleh Jepang. Novel Patanjala Vol. 7 no. 1, Maret 2015: 81-
Sripanggung adalah representasi atas sikap 96.
rasial dan tindakan kolonialisme yang
2. Buku
dilakukan bangsa Belanda sebagai wakil
dari bangsa ras kulit putih (kaukasia) Cahyono, Edi. 2003.
terhadap bangsa Indonesia sebagai bangsa Jaman Bergerak di Hindia Belanda:
dengan ras mongoloid. Mosaik Bacaan Kaoem Tempo Doeloe.
Kisah cinta antara Cep Tatang Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
sebagai wakil dari masyarakat golongan Fulthoni, et.al. 2009.
priyayi dengan Nyi Empat sebagai wakil Memahami Diskriminasi: Buku Saku
dari masyarakat golongan cacah (miskin) untuk Kebebasan Beragama. Jakarta
telah memberikan gambaran bagaimana Selatan: The Indonesian Legal Resource
bangsa Belanda telah berhasil Center (ILRC).
mengkonstruksi tingkatan kedudukan Kutha Ratna, Nyoman. 2013.
sosial masyarakat Sunda sebagai produk Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
kultural pada masa itu, sehingga Sastra. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
memengaruhi struktur sosial masyarakat Rahayu Tamsyah, Budi. 1996.
Sunda sampai dekade akhir tahun 50-an, Pangajaran Sastra Sunda. Bandung:
masa di mana bangsa Belanda dipukul Pustaka Setia.
mundur dari Indonesia oleh Jepang sebagai
Tjaraka. 2002.
penguasa baru.
Sripanggung. Bandung: Kiblat Buku
Persoalan mendasarnya bukan Utama.
hanya Nyi Empat yang tidak dapat bersatu
dengan Cep Tatang karena perbedaan kelas Van Niel, Robert. 2003.
sosial, namun dengan menelaah secara Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta:
PT. Pustaka LP3ES Indonesia.
kritis beberapa pernyataan kultural dalam
kutipan ujaran teks sastra dalam novel Spoonley, Paul. 1993
Sripanggung karya Tjaraka, maka dapat Racism and Ethnicity. OUP Australia
disimpulkan bahwa sikap rasial secara and New Zealand.
lebih aktif telah melanggengkan tindakan-
tindakan diskriminasi yang dilakukan 4. Internet
bangsa Belanda terhadap masyarakat etnis “Roti dinikmati orang Indoensia dari
Sunda. Masa Kolonial hingga Era Digital”,
diakses dari
(https://m.detik.com/food/info-
kuliner/d-2586680/roti-dinikmati-
orang-indonesia-dari -masa-
522 Patanjala Vol. 10 No. 3 September 2018: 507 - 522

kolonial hingga era--digital),


tanggal 27 Mei 2018, pukul 16.00
WIB.

Anda mungkin juga menyukai