Anda di halaman 1dari 15

Sastra Jawa Non

Balai Pustaka
Kelompok 2

1. Catur Yulia S.R. (2601420042)


2. Anggoro Wimboh N. (2601420048)
3. Amalia Octavia P. (2601420051)
4. Messi Nurzanah (2601420056)
5. Dia Awalliyah (2601420059)
Sastra Jawa Non Balai Pustaka

Sastra Jawa tidak hanya berkembang melalui penerbit Balai Puslaka, tetapi juga melalui
penerbit swasta yang di sini disebut penerbit non-Balai Pustsaka. Penerbit non-Balai Pustaka
pada umumnya diusahakan oleh orang-orang pribumi dan non-pribumi.

Penerbit non Balai Pustaka itu diantaranya adalah Paguyuban Pancasudara, Book Astra,
Purnama, Badan Penerbit Indonesia, Putra, Yayasan Bakti, Express, dan Tan Koen Swie. Di
samping itu, media masa sepert Danna Kandha, Jawi Hisworo, Pusaka Surakarta, dan
Penyebar Semangat tidak ketinggalan pula menampilkan rubrik sastra Jawa.
Kehidupan Sosial Masyarakat
o Penerbit Non Balai Pustaka tidak dimaksudkan sebagai bagian alat kolonial.Tidak bertujuan
menciptakan mode dan corak yang seragam (baik bentuk maupun isi) karena sistem pengarang,
penerbit, pembaca tidak berasal dari kekuasaan atau produk kolonial Belanda.
o Penerbit Non Balai Pustaka juga tidak didukung oleh dana pemerintah kolonial, tetapi didukung oleh
swadaya penuh, sehingga bertujuan mencari untung. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
karya-karya sastra Jawa terbitan non Balai Pustaka berani mengungkapkan masalah politik
(kebangsaan).

o Sri Soesinah (nama samaran) dalam novel “Sripanggung Ketoprak ingin memberikan
pandangannya terhadap kecenderungun kaum intelektual pada zamannya yang meremehkan tradisi
dan budaya. Kaum intelektual seharusnya dapat menjadi tulang punggung kebangsaan melalui ide-
ide dan tindakan nyata.
o Dalam pandangan Sri Soesinah tersebut terlihat bahwa Sastra Jawa Non Balai Pustaka ikut serta
dalam perjuangan kebangsaan.
Sistem Pengarang

• Diduga bahwa sastra Jawa non balai Pustaka ditulis oleh para pengarang yang berasal dari
kalangan tertentu yang tidak sejalan dengan dunia kepriyayian. Data mengenai status
sosial pengarang hingga saat ini sulit ditemukan.

• Para pengarang pada waktu itu memakai nama samaran, dikarenakan untuk menghindari
identifikasi dari pihak pemerintah Belanda sehingga pengarang dapat secara tenang
menyampaikan kritik atau gagasan kebangsaannya. Di samping itu, pemakaian nama
samaran juga erat kaitannya dengan budaya Jawa yaitu penonjolan diri merupakan suatu
tindakan yang sebaiknya dihindari.

• Oleh karena itu, di dalam khazanah sastra Jawa non-Balai Pustaka ditemukan sejumlah
nama samaran seperti Pangripta, Akoe, Pandji Poetro, Loem Mien Noe, Ki Soerjo, Ki
Loemboeng, Sri Soesinah, Atnirah, dan Sri Melati.
Sistem Penerbit

o Sistem penerbit non Balai Pustaka sangat bebas dalam menentukan karya-karya yang akan
diterbitkan. Kebebasan itu terjadi karena penerbit non Balai Pustaka tidak terikat oleh
kekuasan dan sistem pemerintah kolonial. Mereka lebih cenderung memberi kebebasan
kepada pengarang untuk berkarya dan tidak terlalu mengelola system redaksionalnya seperti
Balai Pustaka.

o Penerbit non Balai Pustaka menerbitkan karya sastra dengan didasari keinginan mencari laba
dan keinginan untuk menanamkan ideologi kebangsaan lewat karyanya tersebut. Sehingga
mereka tidak hanya menerbitkan karya-karya yang bersifat komersial, tetapi juga menerbitkan
karya-karya sastra dengan nuansa potitik. Di samping itu, mereka berani menerbitkan karya-
karya sastra yang bersifat pembaruan tanpa harus takut dicemooh sebagai karya sastra picisan.

o Untuk memasarkan dan mendristribusikan hasil produksinya, mereka memasang iklan di


media masa cetak seperti majalah dan koran. Selain itu, juga dilakukan melalui cara khusus
misalnya melalui suplemen buku. Hal ini dilakukan oleh beberapa penerbit swasta seperti Tan
Koen Swie, Poernama, dan Astra.
Sistem Pembaca

o Pada masa ini pembaca sastra Jawa lebih variatif. Dengan kata lain, pembaca sastra Jawa non
Balai Pustaka tidak hanya mereka yang telah lulus sekolah alau murid-murid sekolah, tetapi
juga pembaca umum.

o Pembaca sastra Jawa non Balai Pustaka tidak mempunyai keterikatan khusus dengan penerbit-
penerbit tertentu, sehingga mereka dengan bebas dapat mengarahkan keinginan untuk
menikmati bacaan yang diinginkan sesuai dengan minatnya.
Jenis Karya Sastra
1.Prosa

● Dalam kurun waktu 1917 hingga 1942 keberadaan prosa Jawa modern dimulai dengan terbitnya novel
Pamoring Dhusun (Hardjawiraga,1917) terbitan Papyrus. Selain itu, penerbit Papyrus menerbitkan novel
Rara Kadreman (Mas Kuswadihardia. 1917).
● Pada masa selanjutnya, terbit novel Basiran-Basiran (Raden Pandji Soerjawidjaja, 1919) terbitan
Landsdrukrij. Di dalam novel itu diungkapkan masalah yang berkajtan dengan pencapaian kebahagiaan
melalui usaha yang keras.
● Tahun 1930 an, sastra Jawa modern terbitan non Balai Pustaka memasuki situasi baru. Pada tahun-tahun
tersebut sastra Jawa modern tidak hanya mengungkapkan masalah didaktis dan berlatar istana sentris seperti
sebelum tahun 1930. Persoalan yang diungkapkan dalam sastra Jawa modern tahun 1930an lebih berva riasi,
khususnya yang bersangkut-paut dengan masalah kebangsaan.
● Penerbit non Balai Pustaka juga mempublikasikan karya sastra jenis cerita pendek. Penerbitan pertama
terdapat dalam Panjebar Semangat, (rubrik "Lelakon" Peristiwa), dengan judul "Mitra Darma: Bisa
Nulungi Mitrane”.
2.Puisi

 Puisi terbitan non-Balai pustaka tidak jauh berbeda dengan, puisi terbitan Balai pustaka. Umumnya puisi non
Balai pustika diterbitkan dan dimuat dalam majalah swasta. Secara kuantitatif jumlah puisi non-Balai pustaka
tidak banyak karena masyarakat belum dapat merenggangkan diri dengan bacaan berbentuk novel atau roman.
Selain itu, situasi puisi Jawa modem tetap diselingi oleh bentuk puisi tradisional atau tembang yang sudah
mapan di hati pembaca.
 Majalah terbitan non-Balai pusraka yang mendukung kehidupan puisi Jawa modern antara lain Panjebar
Semangat dan Swara Tama. Penerbit swasta lebih bebas menerima karya puisi dengan berbagai tema karena
tidak harus taat pada kebijakan pemerintah kotonial.
 Salah satu puisi non-Balai Pustaka yang terdapat dalam majalah Swara Tama misalnya yang berjudul "Ilat“
(tidak diketahui dengan jelas siapa pengarangnya).
Judul Karya Tonggak
Perlu diketahui bahwa tidak semua karya sastra terbitan non balai pustaka dapat dinilai penting dalam konteks
sejarah sastra Jawa karena karya karya itu tidak semuanya menampilkan pembaruan gagasan. Adapun beberapa
karya yang dapat dianggap penting di antaranya:
● Pamoring Dhusun (Hardjawiraga, 1917). Di dalam karya tersebut terungkap suatu gagasan mengenai
realisme. Artinya. Didalam karya itu diuraikan tentang cara hidup yang harus ditempuh manusia untuk
mencapai kesuksesan.
● Gagasan realisme juga diungkapkan oleh Raden Pandji Surjawidjaja dalam Basiran Basirun (1919). Di
dalam novel itu Raden Surjawidjaja menunjukkan bahwa sekolah (belajar) adalah jawaban lerhadap masa
depan.Lewat tokoh Basiran dan Basirun. Novel karya Raden Pandii Surjawidjaja tersebut menangkis
(mengesampingkan kepercayaan terhadap masalah ramal-meramal).Novel Pamoring Dhusun dan Basiran-
Basirun dapat dianggap sebagai karya penting karena keduanya nenawarkan konsep atau gagasan baru
(realisme) di tengah dunia (budaya) Jawa. Dengan kata lain, kedua novel itu ditulis di tengah dunia sasta Jawa
yang cenderung mengetengahkan masalah romantis lewat cerita babad atau pewayangan.
● Novel Siti Rokanah (1921) karya Mas Ngabehi Mangoenwidjaja.Novel Siti Rokanah dikatakan
sebagai karya penting dalam sejarah sastra jawa modern non balai Pustaka karena novel ini
menceritakan tentang nasib wanita dalam peran dan kesejajarannya dengan kaum laki-laki.
● Pada Dekade tahun 1930-an muncul gagasan baru berupa jenis cerita detektif.Karya ini
diangggap penting karena jenis cerita detektif belum pernah ditulis dan diterbitkan oleh
penerbit non balai Pustaka.Karya tersebut diantaranya:Sumirat (R.M.Hatma
Sarodji,1930),Indiana (Adi Soendjojo,t.t),Kembang Kapas (R.S.Wiradarmadja,1938),Pethi
Wasijat (Jasawidagda,1939),Sipanggung Kethoprak (Sri Susinah,1938),dsb.
● Dalam sejarah sastra jawa modern,jenis cerita pendek (cerkak) juga menempati bagian penting.Cerpen
pertama terbitan non balai pustaka adalah Mitra Darma yang terbit dalam Panyebar Semangat pada 21
Oktober 1933.Cerpen ini memiliki kebaruan dalam subtema yaitu memperjuangkan kebudayaan daerah
yang menjadi bagian dari profesi masyarakat.Dengan dimulainya muncul cerpen Mitra Darma
ini,akhirnya Panyebar Semangat menerbitkan cerpen cerpen berikutnya,antara lain : Pilih Pilih Tebu
(Desember,1933),Dudu Nabi (14 Desember 1935),Kuntul Biru (16 November 1935),Cobaning Ngaurip
(28 Oktober 1939),Blenggune Dhuwit (3 Agustus 1940),Konang Seta (31 Agustus 1940).
● Berdasarkan pengamatan dapat dikatakan bahwa cerpen hanya berkembang dalam Panyebar
Semangat,bukan dalam majalah kejawen,hal ini disebabkan majalah swasta tersebut memiliki sejarah
hidup yang panjang dan terlibat langsung dalam berbagai masalah yang dialami Masyarakat Jawa.
● Dalam sastra jawa modern non balai pustaka,jenis puisi atau gegurutan boleh dikatakan tidak ada yang
dapat dikatakan penting.Hal ini karena jumlah geguritan sangat sedikit.Disamping itu,geguritan
geguritan itu sama sekali belum menunjukan adanya yang benar benar baru.
 
 
 
Tema
● Kehadiran sastra jawa modern non balai pustaka yang dikelola oleh orang orang non pribumi
(Indo-Belanda dan Cina) dan sastra jawa modern non balai pustaka yang dikelola oleh orang
orang pribumi ternyata memberikan warna berbeda dalam penyajian tema cerita.Tema yang
dikelola oleh orang orang non pribumi lebih condong dalam tema pendidikan.
● Perkembangan tema sastra jawa modern non balai pustaka mulai terlihat pada tahun 1930-an
yaitu mengangkat tema tema stereotipe (perkawinan).
● Tema sastra jawa modern mengalami perkembangan yang berarti ketika Sri Susinah menulis
Sipanggung Kethoprak (1938) dengan menyodorkan tema actual tentang perjuangan
kebangsaan lewat perjuangan kebudayaan.
● Perkembangan tema sastra jawa modern non balai pustaka tidak hanya pada novel tetapi
juga pada cerita pendek yang dimuat dimedia massa (majalah) berbahasa jawa yang rata rata
mengangkat tema emansipasi wanita.
● Kemudian pada tahun 1940 muncul pula tema penelusuran tindak kejahatan melalui cerpen
berjudul Konang Sari (31 Agustus 1940)
Bahasa

● Sastra jawa modern terbitan non balai pustaka pada hakikatnya ditulis dalam Bahasa
jawa ragam krama dan Bahasa jawa ragam ngoko (dalam hal narasi).
● Novel maupun cerita pendek jawa terbitan non balai pustaka yang menggunakan Bahasa
jawa ragam ngoko mulai mencuat semenjak memasuki tahun 1930-an,khususnya sejak
majalah Panyebar Semangat mempelopori pemakaian Bahasa narasi ngoko dalam karya
sastra.
● Kemudian ditahun tahun menjelang kedatangan penjajahan Jepang,kekuatan Bahasa
jawa Ragam krama sebagai narasi kian tampak,Misalnya pada Novel yang berjudul
Sumirat (R.M Hata Sarodji,1930)
 
MATURNUWUN

Anda mungkin juga menyukai