Anda di halaman 1dari 3

Hanna Mazaya Hadi

1903764
Bahasa dan Sastra Indonesia
Nondik 3A

Resume Literasi Sastra Spiritual

Sastra spiritual yaitu sastra yang memberikan pencerahan kepada pembacanya


agar menjalankan nilai-nilai keagamaan di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
adanya aspek spiritual di dalam sastra, bisa memunculkan kesadaran batin untuk
berbuat kebaikan, dan agar lebih menghayati dan memahami nilai-nilai spiritual.
Keberadaan sastra spiritual tidak kalah penting dengan sastra-sastra lainnya karena
sangat berkaitan dengan realita, terutama dengan berada di lingkungan beragama.
Di Indonesia sendiri, ada banyak pengarang sastra spiritual, dimulai dari era
Pujangga Lama, diantaranya ada Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdurrauf
Singkil dan Nurrudin Ar-Raniri, lalu pada era Balai Pustaka dan Pujangga baru, ada
Hamka A. dan A. Navis. Pada era sastra kontemporer terdapat Sutardji Calzoum
Bachri, Iwan Simatupang, dan Ayu Utami. Kemudian dalam masa modern atau saat
ini yang paling terkenal ada Habiburrahman el Shirazy, Asma Nadia, Tere Liye, Helvi
Tiana Rosa, dan Ahmad Fuadi. Bentuk sastra spiritual bermacam-macam, mulai dari
novel, cerpen, puisi, puisi, syair, pantun, hikayat, sampai berbentuk film. Beberapa
contoh novel spiritual yang terkenal yaitu novel karya Asma Nadia yang berjudul
Assalamualaikum Beijing, dan Surga yang Tak Dirindukan, kemudian novel karya
Tere Liye yaitu Hafalan Shalat Delisha, Moga Bunda Disayang Allah, Bidadari-
bidadari Surga, novel Helvy Tiana Rosa berjudul Ketika Mas Gagah Pergi, dan juga
novel Ahmad Fuadi, Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara. Untuk
contoh karya cerpen spiritual yaitu ada Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis, dan
Turun Haji karya Uum G. Karyanto. Puisi, contohnya puisi Gus Mus yang berjudul
Aku Melihatmu, saya juga pernah membaca puisi berjudul Pemeluk Agama karya Joko
Pinurbo yang bertemakan spiritual. Kemudian, syair karya Nuruddin ar-Raniri yang
berjudul Bustan as-Salatin (Taman Raja-raja). Hikayat, misalnya hikayat Hang Tuah
dan Hikayat Abu Nawas. Terakhir, literasi sastra spiritual dengan bentuk film. Dalam
beberapa tahun terakhir, banyak film bertemakan spiritual yang dirilis, ada juga
diantaranya yang dialihwahanakan dari novel, contohnya seperti judu-judul berikut:
Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman el Shirazy, 2008), Hafalan Shalat Delisa (Tere Liye,
2011), Negeri 5 Menara (Ahmad Fuadi, 2012), dan Surga yang Tak Dirindukan
(Asma Nadia, 2015). Contoh dari film spiritual yang bukan merupakan alih wahana
sendiri yaitu Ave Maryam (2019), Mencari Hilal (2015), Sang Pencerah (2010), dan
Haji Backpacker (2014).
Karya-karya tersebut termasuk ke dalam sastra spiritual karena mengandung
komponel nilai-nilai spiritual. Menurut Elkins, dkk. komponen tersebut adalah
sebagai berikut: (1) Dimensi transenden, individu spiritual percaya tentang adanya
dimensi transeden (hal-hal yang melampaui dari apa yang terlihat); (2) Tujuan dalam
hidup, pemahaman tentang proses pencarian makna di dalam hidup; (3) Hidup,
individu spiritual memiliki motivasi untuk memenuhi misi hidupnya sesuai target-
target konkret; (4) Kesakralan hidup, kemampuan untuk melihat kesakralan dalam
hal-hal yang ada di dalam hidup; (5) Nilai-nilai material, kesadaran bahwa dalam
nilai-nilai material juga terdapat sumber kebahagiaan manusia; (6) Altruisme,
kesadaran akan tanggung jawab untuk menjaga sesama; (7) Idealisme, kepercayaan
akan potensi baik manusia yang bisa diwujudkan dalam kehidupan; (8) Buah dari
spiritualitas, komponen ini merupakan cerminan pemandaatan dari kedelapan
komponen sebelumnya. Dengan melihat nilai-nilai spiritual tersebut, kemudian dapat
ditarik manfaat dari sastra spiritual, misalnya dengan melakukan studi literatur
terhadap karya sastra yang ada, dan melihat nilai-nilai spiritualias yang tercermin di
dalamnya. Terakhir, jika melihat batasan-batasan dalam menulis karya spiritual yang
terlihat cukup sensitif, jika karya yang ditulis atau dibuat itu memang mengandung
nilai manfaat dalam hubungan dengan Tuhan dan hubungan sesama maka hal tersebut
termasuk ke dalam literasi sastra spiritual.

Resume Literasi Sastra Perlawanan

Sastra perlawanan adalah sastra yang membahas tentang perlawanan dari pihak yang
tertindas kepada pihak yang menindas, dimana ada masyarakat yang merasakan
ketidakadilan, sedangkan pihak yang dominan, mayoritas, berkuasa, bertindak
semena-mena, maka sastra digunakan untuk menyuarakan protes akan ketidakadilan
tersebut. Di Indonesia, sastra perlawanan mulai marak pada zaman orde baru, dimana
pada zaman itu masyarakat merasakan ketidakpuasan akan pemerintahan Soeharto,
media-media pun dibungkam, sehingga sastra menjadi berperan besar dalam
menyuarakan perlawanan. Sastra perlawanan memiliki ciri-ciri, yaitu sebagai berikut:
(1) terdapat berbagai macam tema perlawanan, misalnya, ketidakadilan, pelanggaran
hak, kekuasaan yang sewenang-wenang, penindasan kemanusiaan, bahkan bisa
tentnang perlawanan hegemoni di dalam dunia sastra itu sendiri; (2) ada pesan yang
ingin disampaikan; (3) perlawanannya merupakan perlawanan terhadap hal-hal yang
dinilai buruk (stereotipe, dogmatis); (4) bentuknya bisa bacaan, menyebarluaskan
bacaan, atau mencipta karya sastra. Contoh karya sastra perlawanan juga beragam,
dalam bentuk novel, ada judul-judul seperti novel Putri karya Putu Wijaya yang
bercerita tentang permasalahan gender, ada novel yang membahas perlawanan akan
nilai patriarki seperti karya Oka Rusmini yang berjudul Tarian Bumi dan Kenanga,
dan yang sangat melegenda yaitu novel Harimau! Harimau karya Mochtar Lubis,
yang mengambil tema perlawanan simbolik terhadap pemerintahan orde baru. Karya
yang berbentuk puisi di antaranya puisi Wiji Thukul berjudul puisi Bunga dan
Tembok dimana pada masa tersebut pemerintah sedang gencar membangun
infrastuktur dengan melakukan penggusuran rumah penduduk, kemudian ada juga
Sajak Tahun Baru 1990 karya Rendra yang mengambil tema demoralisasi. Selain
kedua jenis karya tersebut, ada juga Essai yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer
yang berjudul The Book That Killed Colonialism, dimana dalam essay tersebut
Pramoedya menceritakan bagaimana novel Max Havelaar menyingkap pelanggaran
yang dilakukan pihak kolonial di Indonesia, ada juga cerpen karya Alimudin yang
berjudul Safrida Askariyah yang menceritakan tentnang perjuangan rakyat aceh
melawan dominasi pemerintah pusat. Dengan kajian isu-isu mutakhir terkait sastra
perlawanan dapat dilihat bahwa karya sastra dapat digunakan oleh para sastrawan
untuk membawa ide-ide yang mewakili masyarakat yang tertindas dan juga
menyuarakan persepsi yang lebih radikal, membawa pandangan alternatif, dari
kelompok masyarakat itu sendiri, berlainan dengan pandangan yang telah ada. Lalu
dalam kesimpulan yang dibuat, ada poin tentang bagaimana karya sastra perlawanan
mungkin sudah tidak lagi se-marak atau sebanyak dulu, hal ini juga disebabkan
karena berkembangnya media menjadi lebih bebas, sehingga tersedia lebih banyaknya
tempat yang kini dapat mewadahi suara perlawanan baik itu milik para rakyat, para
minoritas, selain dari membuat karya sastra.

Anda mungkin juga menyukai