1903764
Bahasa dan Sastra Indonesia
Nondik 3A
Sastra perlawanan adalah sastra yang membahas tentang perlawanan dari pihak yang
tertindas kepada pihak yang menindas, dimana ada masyarakat yang merasakan
ketidakadilan, sedangkan pihak yang dominan, mayoritas, berkuasa, bertindak
semena-mena, maka sastra digunakan untuk menyuarakan protes akan ketidakadilan
tersebut. Di Indonesia, sastra perlawanan mulai marak pada zaman orde baru, dimana
pada zaman itu masyarakat merasakan ketidakpuasan akan pemerintahan Soeharto,
media-media pun dibungkam, sehingga sastra menjadi berperan besar dalam
menyuarakan perlawanan. Sastra perlawanan memiliki ciri-ciri, yaitu sebagai berikut:
(1) terdapat berbagai macam tema perlawanan, misalnya, ketidakadilan, pelanggaran
hak, kekuasaan yang sewenang-wenang, penindasan kemanusiaan, bahkan bisa
tentnang perlawanan hegemoni di dalam dunia sastra itu sendiri; (2) ada pesan yang
ingin disampaikan; (3) perlawanannya merupakan perlawanan terhadap hal-hal yang
dinilai buruk (stereotipe, dogmatis); (4) bentuknya bisa bacaan, menyebarluaskan
bacaan, atau mencipta karya sastra. Contoh karya sastra perlawanan juga beragam,
dalam bentuk novel, ada judul-judul seperti novel Putri karya Putu Wijaya yang
bercerita tentang permasalahan gender, ada novel yang membahas perlawanan akan
nilai patriarki seperti karya Oka Rusmini yang berjudul Tarian Bumi dan Kenanga,
dan yang sangat melegenda yaitu novel Harimau! Harimau karya Mochtar Lubis,
yang mengambil tema perlawanan simbolik terhadap pemerintahan orde baru. Karya
yang berbentuk puisi di antaranya puisi Wiji Thukul berjudul puisi Bunga dan
Tembok dimana pada masa tersebut pemerintah sedang gencar membangun
infrastuktur dengan melakukan penggusuran rumah penduduk, kemudian ada juga
Sajak Tahun Baru 1990 karya Rendra yang mengambil tema demoralisasi. Selain
kedua jenis karya tersebut, ada juga Essai yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer
yang berjudul The Book That Killed Colonialism, dimana dalam essay tersebut
Pramoedya menceritakan bagaimana novel Max Havelaar menyingkap pelanggaran
yang dilakukan pihak kolonial di Indonesia, ada juga cerpen karya Alimudin yang
berjudul Safrida Askariyah yang menceritakan tentnang perjuangan rakyat aceh
melawan dominasi pemerintah pusat. Dengan kajian isu-isu mutakhir terkait sastra
perlawanan dapat dilihat bahwa karya sastra dapat digunakan oleh para sastrawan
untuk membawa ide-ide yang mewakili masyarakat yang tertindas dan juga
menyuarakan persepsi yang lebih radikal, membawa pandangan alternatif, dari
kelompok masyarakat itu sendiri, berlainan dengan pandangan yang telah ada. Lalu
dalam kesimpulan yang dibuat, ada poin tentang bagaimana karya sastra perlawanan
mungkin sudah tidak lagi se-marak atau sebanyak dulu, hal ini juga disebabkan
karena berkembangnya media menjadi lebih bebas, sehingga tersedia lebih banyaknya
tempat yang kini dapat mewadahi suara perlawanan baik itu milik para rakyat, para
minoritas, selain dari membuat karya sastra.