1903764
Bahasa dan Sastra Indonesia
Nondik 2A
Menurut Alwi, et.al. (1998) dalam buku Analisis Kalimat (Putrayasa, 2008:76)
ciri-ciri verba dapat diamati dari perilaku semantiknya, perilaku sintaksisnya, dan
dari bentuk morfologisnya. Jika dilihat dari segi perilaku semantiknya, verba
mengandung makna inheren yaitu menjadi sebuah sifat. Kemudian, jika diamati
dari perilaku sintaksisnya, verba berpengaruh besar terhadap keberadaan unsur
lainnya yang boleh atau harus ada di dalam suatu kalimat, contohnya verba
tertentu dapat mengharuskan adanya subjek sebagai pelaku, namun melarang
adanya nomina di belakang verba tersebut, ataupun aturan-aturan lainnya
(Putrayasa, 2008:76-78).
Setelah ciri-ciri verba, selanjutnya ada sifat verba. Dirangkum dari Muslich
(2010), Sifat-sifat berikut adalah yang membedakan dari yang lainnya, terutama
adjektiva: (1) fungsi utama verba adalah sebagai predikat/inti predikat, (2)
memiliki makna dasar perbuatan, proses, atau keadaan yang bukan sifat, (3) tidak
dapat diberi prefiks ter- yang berarti ‘paling’, berbeda dengan adjektiva yang bisa
diberi prefiks ter- (tercantik, tertinggi).
Dari segi bentuk, verba dapat dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu verba asal;
dapat berdiri tanpa afiks, makna leksikalnya pun dapat langsung diketahui, dan
verba turunan; verba yang telah melalui proses afiksasi, baik pada kata maupun
kelompok katanya. Verba turunan dapat dibagi lagi menurut dasarnya:
1) Dasar bebas dengan afiks wajib, contohnya pada kata mendarat, melebar,
bersuami, dan bertelur.
2) Dasar bebas dengan afiks manasuka, contohnya (be) kerja, (me) masak,
(men) jahit.
3) Dasar terikat dengan afiks wajib, contohnya menyelenggarakan,
mengungsi.
4) Reduplikasi, contohnya berjalan-jalan, minum-minum,
5) Majemuk, contohnya naik haji, campur tangan, cuci muka. (Muslich,
2010:38)
Menurut Muslich dalam buku Garis Besar Tata Bahasa Bahu Bahasa Indonesia,
verba turunan melalui sebuah proses morfologis yaitu proses penurunan verba.
Dalam proses penurunan verba terjadi afiksasi, dimana prefiks, sufiks, atau
keduanya ditambahkan pada kata atau kelompok kata. Tidak semua afiks dapat
ditambahkan ke pada verba, karena itu ada yang disebut dengan prefiks verbal dan
sufiks verbal. Prefiks verbal dalam bahasa Indonesia adalah meng-, per-, ber-,
(pada jenis klausa/kalimat tertentu) di-, dan ter-. Sedangkan sufiks verbal dalam
bahasa Indonesia terdiri dari -kan dan -i.
Kondisi ketiga adalah jika prefiks tertentu melekat pada dasar yang sudah
bernomina, maka sufiks itu lebih tinggi letaknya darpipada prefiks dalam heirarki
penurunan kata. Keempat, Tempat sufiks dalam hierarki akan lebih tinggi
daripada prefiks apabila prefiks tersebut melekat bersama sufiks tertentu, yang
hubungan dasarnya dengan sufiks tersebut telah menumbuhkan makna tersendiri.
Kelima, penurunan kata prefiks akan berada di posisi lebih tinggi daripada sufiks
apabila keduanya berada di pada dasar, dan hubungan prefiks dengan dasar telah
mengubah kelas dari kata tersebut. Terakhir, makna dapat menentukan hierarki
pembentukan jika prefiks tertentu ada bersama sufiks, kemudian keduanya
membentuk makna leksikan tanpa menjadi konfiks (Muslich, 2010:40-41).
Beralih kepada morfologi verba beserta semantiknya, tadi telah sedikit disinggung
perihal verba transitif, intransitif, dan semitransitif. Yang pertama akan dibahas
adalah morfologi verba transitif. Muslich (2010) menyatakan bahwa makna dari
verba transitif yaitu “mengungkapkan peristiwa yang melibatkan dua atau tiga
maujud (sumber peristiwa/pelaku/pengalam; maujud yang
dikenai/sasaran/tujuan; dan untuk verba dwitransitif, maujud yang dialatkan)”.
Peristiwa apabila ditinjau dair pelakunya maka akan menjadi sebuah kalimat pasif,
begitupun sebaliknya, jika peristiwa ditinjau dari sasarannya maka akan menjadi
kalimat aktif.
Ada lima jenis dasar bentuk dari verba transitif menurut Muslich: 1) Dasar
tunggal/dasar pangkal: peluk, jahit, masak, cuci. 2) Dasar majemuk (dasar pangkal
majemuk): uji coba, maju mundur. 3) Dasar pangkal (tunggal/majemuk) ditambah
sufiks (-kan/-i): jauhkan, sangkutpautkan. 4) Dasar pangkal (tunggal) ditambah
prefiks (per-): perlambat. 5) Dasar pangkal (tunggal/majemuk) dengan konfiks
atau dengan prefiks + sufiks (per- -kan, per- -i, ber- -kan): perdagangkan,
persenjatai.
Kedua, yaitu morfologi verba taktransitif. Ciri dari morfologi verba taktransitif
dari segi morfologi yaitu takmengenal oposisi pasif-aktif, tidak memiliki bentuk
khusus untuk kalimat imperatif, paradigma intinya terdiri dari satu bentuk, ciri-ciri
ini juga dimiliki oleh verba semistransitif. Jika tadi terdapat lima dasar bentuk dari
verba transitif, verba taktransitif memiliki enam dasar bentuk yaitu (Muslich,
2010:47-50):
1. Pangkal tunggal saja (jatuh, pergi, hilang).
2. Pangkal majemuk (compang-camping, masuk angin).
3. Dasar pangkal (tunggal/majemuk) dengan konfiks, atau dengan prefiks +
sufiks (per- -kan, per- -i, ber- -kan): pergadangkan, persenjatai,
berangkatkan.
4. Pangkal nominal dengan prefiks se- (setuju, serumah).
5. Pangkal dengan konfiks ber- -an (berpergian, berlarian) atau ke- -an
(kepanasan, kelaparan).
6. Pangkal dengan prefiks + sufiks (bersenjatakan, berasaskan).
Rinciannya verba taktransitif akan dibagi lagi berdasarkan dasarnya. Verba
taktransitif asal, verba taktransitif jenis ini diantaranya ada yang berbentuk
dasar/pangkal atau asal saja (naik, hidup, sampai). Ada juga yang berpangkal
majemuk (campur tangan, naik banding, minta diri). Bentuk selanjutnya adalah
reduplikasi dengan perubahan (bolak-balik). Terakhir yaitu pasangan kontras
(naik turun, datang pergi).
Selain itu verba taktransitif dapat juga diturunkan dari numeralia, verba
taktransitif berprefiks ber-, verba taktransitif dengan konfiks ber- -an, verba
taktransitif dengan konfiks ke- -an, verba taktransitif yang berprefiks ber- dan
bersufiks –kan, dan turunan-turunan tersebut masing-masing menghasilkan makna
tafsiran yang berbeda-beda pula.
Ciri-ciri verba majemuk diantaranya bermakna satu artinya makna dari kata
tersebut tidak bisa dipisahkan (misalnya ‘makan hati’, maknanya tidak bisa
dipecah menjadi makan dan hati), karena hal tersebut maka bila diberi verba
majemuk keterangan, keterangan itu adalah untuk semua unsur. (saya selalu
makan hati, kata ‘selalu’ menjelaskan ‘makan hati’ bukan hanya kata ‘makan’
saja). Lalu, komponen dari kata majemuk tidak bisa diperluas lagi, misalnya dari
‘makan hati’ menjadi makan hati sapi. Konstruksi komponennya tak bisa dibolak-
balik karena akan berbeda atau tidak ada maknanya (contoh: makan hati hati
makan). Terakhir, komponen verba majemuk tidak dapat dipisahkan dengan
penyisipan (terjun payung terjun dengan payung. x ).
Setelah pembahasan tentang verba dan macam-macamnya, kelas kata ini tentu
saja memiliki fungsi spesifik yang berbeda dengan kelas kata yang lain. Dikutip
dari Muslich (2010), fungsi utama dari verba (frasa verbal) yaitu menduduki
fungsi predikat, namun tidak memungkiri bahwa verba juga dapat menduduki
fungsi lain seperti subjek, objek, dan bahkan keterangan. Jika verba menduduki
keterangan, maka perluasannya yaitu atributif (keterangan nomina) dan juga
apositif (menerangkan pekerjaannya).
Verba atau kata kerja memiliki suatu posisi yang penting, dengan aturan-aturan
yang telah dirangkum di atas, tentu saja ada sedikit pengecualian, juga kenyataan-
kenyataan lain diluar dari seluruh pengklasifikasian umum tentang verba.
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Masnur. 2010. Garis-garis Besar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Bandung: PT Refika Aditama.
Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Analisis Kalimat (Fungsi, Kategori, dan Peran).
Bandung: PT Refika Aditama.