Anda di halaman 1dari 21

Semantik

Semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu sema (nomina) yang


berarti ‗tanda‘ dan sema ino (verba) yang berarti ―menandai‖.
Menurut Chaer (2009), semantik adalah ilmu tentang makna atau
tentang arti. Yaitu salahsatu dari tiga tataran analisis bahasa
(fonologi, gramatikal, dan semantik). Semantik sebagai cabang ilmu
bahasa mempunyai kedudukan yang sama dengan cabang- cabang
ilmu bahasa lainnya.

(PENGANTAR SEMANTIK(PENGERTIAN, HAKIKAT, JENIS) Surianti


Nafinuddin)

a. Menurut Ferdinand de saussure (1966)

Mengemukakan semantik yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang


mengartikan, yang berwujud
Bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau
makna dari komponen yang
Pertama itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau
lambang, sedangkan yang ditandai atau
Atau yang dilambanginya adalah sesuatu yang berbeda diluar bahsa
yang lazim disebut referen atau hal
Yang ditunjuk.

b. Menurut Tarigan (1985: 2)


Mengatakan bahwa semantik dapat dipakai dalam pengertian luas
dan dalam pengertian sempit.
Semantik dalam arti sempit dapat diartikan sebagai telaah hubungan
tanda dengan objek-objek yang
Merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut.

c. Menurut Verharr (2001: 384)

Dapat dibedakan menjadi dua, yaitu semantik gramatikal dan


semantik leksikal. Istilah semantik ini
Digunakan para ahli bahasa untuk menyebut salah satu cabang ilmu
bahsa yang bergerak pada tataran
Makna atau ilmu bahsa yang mempelajari makna.

d. Menurut Chaer (2009: 6-11)

Semantik berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa yang menjadi


objek penyelidikan dapat
Dibedakan menjadi empat, yaitu (1) semantik leksikal yang
merupakan jenis semantik yang objek
Penelitiannya adalah leksikon dari suatu bahsa, (2) semantik
gramatikal yang merupakan jenis semantik
Yang objek penelitiannya adalah makna-makna gramatikal dari
tataran morfologi, (3) semantik
Sintaksikal yang merupakan jenis semantik yang sasaran
penyelidikannya bertumpu pada hal-hal yang
Berkaitan dengan sintaksis, (4) semantik maksud yang merupakan
jenis semantik yang berkenaan
Dengan pemakaian bentuk-bentuk gaya bahsa, seperti metafora,
ironi, litotes, dan sebagainya.

e. Menurut Charles Morrist

Mengemukakan bahwa semantik menelaah “hubungan-hubungan


tanda-tanda dengan objek-objek yang Merupakan wadah penerapan
tanda-tanda tersebut”.

f. Menurut J.W.M Verhaar; 1981:9

Mengemukakan bahwa semantik (inggris: semantics) berarti teori


makna atau teori arti, yakni cabang Sistematik bahasa yang
menyelidiki makna atau arti.

g. Menurut Lehrer; 1974: 1

Semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik


merupakan bidang kajian yang sangat luas, Karena turut
menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat
dihubungkan dengan Psikologi, filsafat dan antropologi.

Verba
Menurut Finoza (2004:65-66) verba adalah kata yang menyatakan
perbuatan atau tindakan, proses, dan keadaan yang bukan
merupakan sifat. Kata kerja pada umumnya berfungsi sebagai
predikat dalam kalimat. Untuk mengenali jenis kata kerja, kita dapat
mengujinya dengan menambahkan dengan +KB (kata benda)/KS
(kata sifat) di belakang

Verba adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat,


dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis,
seperti ciri kala, aspek, persona, atau jumlah (Kridalaksana,
20011:254).

Berdasarkan beberapa pengertian verba menurut para ahli di atas,


dapat disimpulkan bahwa verba adalah kelas kata yang menyatakan
perbuatan atau tindakan dan mempunyai fungsi utama sebagai
predikat.

Ciri-ciri Verba
Menurut Alwi dkk (2010:91) ciri-ciri verba dapat diketahui dengan
mengamati (1) perilaku semantik, (2) perilaku sintaktis, dan (3)
bentuk morfologisnya. Namun, secara umum verba dapat
diidentifikasi dan dibedakan berdasarkan kelas kata yang lain,
terutama dari adjektiva karena ciri-ciri sebagai berikut.

(1)Verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti


predikat atau. Contoh:
- Pencuri itu lari
- Mereka sedang belajar di kamar.
- Bom itu seharusnya tidak meledak.
- Orang asing itu tidak akan suka masakan Indonesia.
(2)Verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses,
atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas.
(3)Verba khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi
prefiks ter- yang berarti ‗paling‘,
(4)Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata
yang menyatakan makna kesangatan.

Fungsi Verba

Menurut Alwi dkk (2010:167-171) jika ditinjau dari segi fungsinya,


verba (maupun frasa verbal) terutama menduduki fungsi predikat.
Walaupun demikian, verba dapat pula menduduki fungsi lain seperti
subjek, objek, dan keterangan (dengan perluasannya berupa objek,
pelengkap, dan keterangan).

(1)Verba dan Frasa Verbal sebagai Predikat


Telah dikemukakan bahwa verba berfungsi terutama sebagai
predikat atau sebagai inti predikat kalimat. Marilah kita amati fungsi
itu lebih lanjut.
- Mereka bersalam-salaman dengan akrab.
- Pekerjaannya bertani.
- Rompi yang dikenakannya anti peluru.
Verba bersalam-salaman, bertani, anti peluru berfungsi sebagai
predikat. Verba bersalam-salaman adalah verba reduplikasi yang
diikuti dengan keterangan cara dengan akrab, sedangkan verba anti
peluru adalah verba majemuk yang terdiri dari dua kata yang
manjadi satu kesatuan.
2.2.4.1 Verba dari Segi Perilaku Semantisnya
Setiap verba memilki makna inheren yang terkandung di dalamnya.
Makna inheren suatu verba tidak terlihat dengan wujud verba
tersebut. Artinya, apakah suatu verba berwujud dasar, kata yang
tanpa afiks, atau yang memiliki afiks, hal ini tidak mempengaruhi
makna inheren yang terkandung di dalamnya. Misalnya verba
membesar, menyatakan perubahan dari keadaan yang kecil ke
keadaan yang tidak kecil lagi. Verba membesar mengandung makna
inheren proses yang menyatakan adanya perubahan dari suatu
keadaan ke keadaan yang lain.

Makna inheren juga tidak selalu berkaitan dengan status


ketransitifan suatu verba. Suatu verba taktransitif dapat memiliki
makna inheren perbuatan .verba transitif pada umunya memang
mengandung makna inheren perbuatan meskipun tidak semuanya
demikian. Verba transitif mendengar atau melihat, misalnya, tidak
menyatakan perbuatan.
Verba dari Segi Perilaku Semantisnya

Tiap verba memiliki makna inheren yang terkandung di dalamnya.

Verba perbuatan
Adalah verba yang dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan “Apa
yang dilakukan oleh subjek?”. Dan dapat dipakai dalam kalimat
perintah.
Contoh :
Mendekat , mencuri, membelikan, memukuli, mandi,
memberhentikan, menakut-nakuti, naik haji.

Verba proses
Adalah verba yang dapat menjadi jawaban untuk pertanyaan “Apa
yang terjadi pada subjek?” dan tidak dapat dipakai dalam kalimat
perintah.
Contoh :
Mati, jatuh, mengering, mengecil, meninggal, kebanjiran, terbakar,
terdampar.

Verba keadaan
Adalah verba yang mengandung makna keadaan umumnya tidak
dapat menjawab kedua pertanyaan di atas dan tidak dapat dipakai
untuk membentuk kalimat perintah. Verba keadaan menyatakan
bahwa acuan verba berada dalam situasi tertentu.

Verba keadaan sering sulit dibedakan dari adjektiva karena kedua


jenis kata itu mempunyai banyak persamaan. Satu ciri yang
umumnya dapat membedakan keduanya ialah bahwa prefiks
adjektiva ter- yang berarti “paling” dapat ditambahkan pada
adjektiva, tetapi tidak pada verba keadaan.

Contoh :
Adjektiva : dingin + ter- = terdingin (paling dingin)
Sulit + ter- = tersulit (paling sulit)
Verba keadaan : suka à
Mati à tidak dapat ditambahkan ( ter- )
Berguna à

Verba pengalaman
Adalah verba yang merujuk pada peristiwa yang terjadi begitu saja
tanpa kesengajaan.

Contoh :
Ü Dia medengar lagu itu à tidak sengaja
Ü Dia mendengarkan lagu itu à disengaja

Verba yang tergolong dalam verba pengalaman :

Tahu, lupa, ingat, menyadari, melihat, dan merasa.


https://www.google.com/amp/s/dynee.wordpress.com/2009/06/29
/verba/amp/
(Mulyadi)
2.1.2 Struktur Semantis Kosakata dalam suatu bahasa memiliki
sejumlah sistem leksikal yang masing-masing dapat dianalisis dengan
memberikan komponen atau fitur semantis dalam sebuah struktur
sintaktis. Dari pemberian komponen itu dapat dibentuk struktur
semantisnya berdasarkan relasi semantis di antara unsur-unsurnya.
Dengan demikian, dapat diartikan bahwa struktur semantis adalah
jaringan relasi semantis di antara kata-kata di dalam sistem leksikal
suatu bahasa (Lyons, 1995:59). Karena itu pula dikatakan bahwa
setiap bahasa pasti memiliki struktur semantis. Pembentukan
struktur sernantis berhubungan dengan komponen semantis dan
komponen inilah pada dasarnya yang menentukan struktur lahir
bahasa. Proses pembentukannya dianggap sebagai gambaran proses
mental pengujar-pendengar sehingga prosesnya disebut bersifat
universal (Tampubolon, 1979:5-6). Sejalan dengan itu, Weinreich
(1966; dalam Allan, 1986:364) mengatakan bahwa struktur sintaktis
merupakan pola untuk komponen semantis sehingga struktur
semantis memiliki tipe kategori dan relasi sintaktis yang sama yang
ditemukan dalam sintaksis bahasa alamiah. Secara lintas bahasa,
apabila rnakna suatu bahasa berko respondensi satu lawan satu
dengan rnakna bahasa lain, kedua bahasa itu secara semantis
dianggap isomorfis atau memiliki struktur semantis yang sama.
Namun, perlu disadari bahwa tingkat isomorfisme di antara bahasa-
bahasa tidaklah sama. Ini dikarenakan struktur kosakata suatu
bahasa merupakan refleksi dari kekhasan kebudayaan masyarakat
yang menggunakan bahasa itu. Oleh karenanya, semua makna yang
terdapat dalam suatu bahasa menjadi unik bagi bahasa itu dan tidak
berlaku atau berhubungan dengan bahasa-bahasa lain. Wierzbicka
(1996 : 15-16) juga mengetengahkan bahwa dalam sebuah bahasa
setiap elemen memiliki jaringan yang unik dan menduduki tempat
khusus di dalam jaringan tersebut. Dengan membandingkan dua
bahasa atau lebih, menurutnya, sukar ditemukan jaringan hubungan
yang sama. Yang bisa diharapkan ialah ditemukannya perangkat
‘makna asali’ yang berhubungan. Selanjutnya, jika sebuah kata
dibandingkan dengan kata lain, yang secara intuitif dirasakan
berhubungan, akan dapat ditemukan makna kata yang
sesungguhnya. Bahkan kalau perbandingannya dilakukan dengan
tepat sehingga setiap elemen yang berbeda bisa diidentifikasi, ada
dua kemungkinan yang akan dijumpai, yaitu (1) ditemukan
kesimetrisan dan keteraturan dalam struktur semantisnya atau (2)
ditemukan ketidakteraturan dari jaringan elemennya.

2.1.3. Peran Semantis


Peran semantis ialah peran yang diberikan pada argumen predikat
yang secara tipikal verba. Setakat ini, diantara linguis (lihat Foley dan
Van Valin, 1985; Frawley, 1992; Haegeman, 1992) belum ada
kesepakatan tentang berapa banyak label peran yang harus
diberikan untuk menandai argumen verba (Haegeman, 1992:41).
Masalah yang mendasarinya adalah bahwa penentuan peran
semantis bukanlah tugas yang mudah (Frawley, 1992:201) sebab
analisis yang dilakukan biasanya bersifat intuitif. Oleh sebab itu,
terbuka kemungkinan untuk mengidentifikasi peran yang berbeda
pada argumen yang sama. Dalam makalah ini konsep peran
semantis yang digunakan mengikuti gagasan Foley dan Van Valin
(1985), yang menawarkan label aktor (actor) dan pender ita
(undergoer) untuk menerangkan relasi semantis antara predikat dan
argumennya. Yang dimaksud dengan aktor adalah argumen yang
mengekspresikan partisipan yang melakukan, mempengaruhi, atau
mengendalikan situasi yang dinyatakan oleh predikat, sedangkan
penderita ialah argumen yang mengekspresikan partisipan yang tidak
melakukan, mengawali, atau mengendalikan situasi, tetapi argumen
itu dipengaruhi oleh aktor dengan berbagai cara (Foley dan Van
Valin, 1985:29). Aktor dan pender ita adalah sebuah peran umum
(macroroles) yang di dalamnya terlibat peran-peran yang lebih
khusus, seperti agen, pasien, tema, lokatif, dan sebagainya. Boleh
dikatakan bahwa aktor dan pender ita hanyalah, label abstrak yang
perealisasiannya pada argumen akan memunculkan berbagai peran
yang berbeda sesuai dengan ciri semantis predikatnya. Sebuah
hierarki tematis diketengahkan Foley dan Van Valin untuk
menerangkan seluruh peran yang kemungkinan terlibat dalam
pemetaan argumen. Adapun hierarkinya adalah sebagai berikut :
AKTOR : Agen pemengaruh (Effector) Lokatif Tema PENDERITA:
pasien Dikatakan Foley dan Van Valin bahwa hierarki aktor dimulai
dari atas ke bawah, sedangkan hierarki penderita dari bawah ke atas
(lihat panah). Hal ini mengindikasikan bahwa pilihan pertama untuk
aktor adalah agen sementara untuk penderita adalah pasien. Peran-
peran lain terletak di antara kedua peran tersebut. 2.1.4 Komponen
Semantis Komponen semantis secara sederhana dapat diartikan
sebagai fitur yang dimiliki oleh sebuah unsur leksikal. Dalam analisis
tradisional tesnya dinamakan analisis komponensial atau analisis
makna suatu bentuk ke dalam komponen semantis. Frawley
(1992:12) menyebut komponen ini sebagai properti semantis, yaitu
satuan yang mendasari intuisi kita tentang makna harfiah dan yang
berhubungan dengan struktur gramatikal sebuah bahasa. Jadi, secara
konseptual sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar dari kedua
terminologi ini. Konsep komponen semantis yang akan diadopsi
untuk menemukan struktur semantis verba tindakan bersumber dari
gagasanHopper dan Thompson (1980). Ada sepuluh komponen yang
diketengahkan oleh kedua linguis ini, yakni (1) partisipan, (2) kinesis,
(3) aspek, (4) pungtualitas, (5) kesengajaan (volitionality), (6) afirmasi
(affirmation), (7) modus (mode), (8) keagenan (agency), (9)
keterpengaruhan objek (affectedness of object), dan (10)
pengkhususan objek (individuation of object). Dari sepuluh
komponen di atas, komponen yang umum dijumpai pada sebuah
verba tindakan adalah komponen kinesis, aspek, kesengajaan, dan
keagenan. Ini beralasan mengingat pada sebuah verba tindakan
biasanya ada tindakan yang dialihkan dari satu partisipan ke
partisipan yang lain (kinesis), tindakan itu sudah selesai dilakukan
(aspek), agen melakukan tindakannya dengan sengaja (kesengajaan),
dan sebagai akibatnya, tingkat keagenannya tinggi. Jadi, keempat
komponen tersebut merupakan ciri universal dari sebuah verba
tindakan.
STRUKTUR SEMANTIS VERBA TINDAKAN
3.1 Verba Menangkap Verba menangkap memerlukan dua argumen
dalam konstruksi gramatikal, yang masing-masing dipetakan pada
slot subjek dan objek. Fitur untuk argumen subjek berupa entitas
bernyawa dan untuk argumen objek berupa entitas bernyawa atau
tidak bernyawa. Sebuah konstruksi menjadi tidak berterima secara
semantis (selanjutnya akan diberi notasi asterisk [*]) kalau entitas
tidak bernyawa dipetakan pada slot subjek. Misalnya, (1) Kiper itu
menangkap bola. (*Bola menangkap kiper itu.) (2) Dia menangkap
ikan dengan jala. (3) polisi menangkap para penjahat. Argumen
subjek pada (1-3) mengekspresikan bahwa partisipannya melakukan
suatu tindakan pada argumen objek. Partisipan ini disebut sebagai
agen. Jika dicermati pengaruh tindakan agen pada argumen objek
sangat berbeda. Bola pada (1), karena entitas tidak bernyawa, tidak
mender ita akibat tindakan agen. Gagasan penderitaan hanya bisa
dihubungkan dengan ikan pada (2) dan para penjahat pada (3). Oleh
karena itu, struktur semantis tentatif yang dapat dipetakan dalam
bingkai NSM adalah ‘X melakukan sesuatu pada Y’ dan bukan ‘X
melakukan sesuatu yang buruk pada Y’. Masalahnya adalah apakah
tindakan agen itu dilakukan dengan sengaja atau tidak. Pada (1-3) di
atas jelas bahwa inisiatif tindakan ada pada agen. Artinya, jika agen
tidak melakukan sesuatu, tidak akan terjadi apa-apa. Ini
dimungkinkan karena situasi berada dalam kendali agen. Pada (1),
misalnya, ‘kiper’-lah yang menginginkan situasi itu terjadi (‘bola itu
ditangkap’). Atas dasar itu, pemetaan ‘makna asali’-nya adalah
‘sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu’. Situasinya berbeda
dengan argumen objek. Pada (1) tidak bisa kesan terpaksa diberikan
pada bola sebab entitas tidak bernyawa tidak mempunyai keinginan.
Sebaliknya, dalam bahasa alamiah, ikan pada (2) dan para penjahat
pada (3) pasti tidak ingin dirinya ditangkap. Namun, karena situasi
bukan dalam kendali ikan dan para penjahat, situasinya tetap terjadi.
Jadi, tindakan agen bukan suatu kebetulan. Ini terbukti dengan
menyisipkan frase dengan sengaja, konstruksinya berterima dalam
bahasa Indonesia. Misalnya, (4) a. Kiper itu dengan sengaja
menangkap bola. B. Nelayan itu dengan sengaja menangkap ikan
dengan jala. C. Polisi dengan sengaja menangkap para penjahat.
Ditambahkan bahwa ciri semantis yang inheren pada verba ini ialah
agen bertindak dengan tangan, bukan dengan kaki atau indera yang
lain. Kalau ada spesifikasi makna biasanya diperlukan tambahan frase
oblik sebagai ciri instrumen yang digunakan untuk melakukan
tindakan tersebut; misalnya, dengan jala, dengan kail, seperti pada
(2). Namun, bila tidak, konstruksi (2) akan tetap dipahami bahwa
agen bertindak dengan tangan. Itu sebabnya, adanya frase dengan
tangan pada (1) dan (3) menghasilkan konstruksi yang tidak
gramatikal. Misalnya, (5) a. *Kiper itu menangkap bola dengan
tangan. B. *polisi menangkap para penjahat dengan tangan. Namun,
eksplikasi ini belum bisa membedakan verba menangkap dengan
verba lain yang secara intuitif dirasakan berhubungan, seperti
memegang, meraba, menggenggam, menyentuh, menjamah,
memukul, mencubit, dan lain-lain. Semua verba tersebut
mengisyaratkan bahwa tindakan agen juga dilakukan dengan tangan.
Tentunya diperlukan eksplorasi lebih lanjut pada verba ini.
Yang segera tampak ialah agen bertindak setelah argumen objek (Y)
bergerak. Hal ini tidak diimplikasikan oleh verba yang lain. Pada
verba memegang, misalnya, yang secara semantis lebih erat
hubungannya dengan verba menangkap, sukar berterima hila
dikatakan bahwa argumen objek pada verba ini bergerak. Untuk
membuktikan hal ini, cermati konstruksi (6a-b). (6) a. Kiper itu
berhasil menangkap bola yang ditendang pemain lawan. B. *Kiper itu
berhasil memegang bola yang ditendang pemain lawan. Dari uraian
di atas disimpulkan bahwa struktur semantis verba menangkap
adalah : X melakukan sesuatu pada Y sesuatu terjadi karena X
menginginkan sesuatu setelah Y bergerak, X melakukan sesuatu
dengan ini (tangan) X melakukan sesuatu seperti ini 3.2 Verba
Menendang Verba menendang mensyaratkan dua argumen yang
menempati slot subjek dan objek. Argumen subjek terdiri atas
entitas bernyawa, sedangkan argumen objek terdiri atas entitas
bernyawa atau tidak bernyawa. Kedua entitas bernyawa dapat
dipertukarkan dalam sebuah konstruksi gramatikal, seperti (7) dan
(8), tetapi akan menjadi anomali hila entitas tidak bernyawa
menempati slot subjek. Misalnya, (7) Adik menendang kuda itu. (8)
Kuda itu menendang adik. (9) Ayah menendang meja. (*Meja
menendang ayah). Sama halnya dengan verba menangkap, pada
verba ini argumen subjek mengekspresikan suatu tindakan pada
argumen objek. Pengaruhnya pada argumen objek juga sangat
berbeda karena pada slot objek ada dua tipe entitas, yakni bernyawa
dan tidak bernyawa, sehingga tidak mungkin semua entitasnya
menderita akibat tindakan agen. Jadi, pola sintaksis pertama dari
verba ini ialah ‘X melakukan sesuatu pada Y’. Di samping itu, pada
verba ini terealisasi gagasan kesengajaan. Tindakan agen bukanlah
karena adanya kekuatan lain yang memaksanya melakukan
perbuatan tersebut, melainkan benar-benar karena ia
menginginkannya. Bahkan, dalam bertindak agen tidak sempat
memikirkan atau merencanakan perbuatannya. Ini disebabkan
kepungtualan verba ini. Artinya, pada verba menendang tidak
ditemukan tahap transisi antara titik awal perbuatan dengan titik
akhir perbuatan. Tindakannya berlangsung dengan cepat. Tes
sintaktisnya ialah bila disisipkan frase dengan lambat, konstruksinya
menjadi anomali. Misalnya, (10) a. *Adik dengan lambat menendang
kuda itu. B. *Kuda itu dengan lambat menendang adik. C. *Ayah
dengan lambat menendang meja. Mungkin ada yang tidak
sependapat kalau verba menendang tidak dapat dikaitkan dengan
ketidaksengajaan. Ini menyangkut intuisi, yang bisa berbeda antara
satu penutur dengan penutur lain. Kendatipun begitu, intuisi yang
dikemukakan tetap beralaskan argumentasi struktural. Cobalah
pertimbangkan kembali konstruksi (7-9) di atas. Pada konstruksi itu,
kuda itu (7) dan adik (9), seperti sudah dijelaskan, menderita akibat
tindakan agen. Makna yang tersirat pada verba ini selain tindakan
agen berlangsung cepat, juga dilakukan dengan kuat. Oleh
©2003 Digitized by USU digital library 12 sebab itu, sulit diterima
bila tindakan agen yang membuat argumen objek menderita
dikatakan tidak sengaja. Dengan argumentasi itu, penyisipan frase
tidak sengaja akan menyebabkan konstruksi itu tidak gramatikal. (11)
a. *Adik tidak sengaja menendang kuda itu. B. *Kuda itu tidak
sengaja menendang adik. C. *Ayah tidak sengaja menendang meja.
Dari eksplikasi yang dilakukan, eksponen leksikal yang perlu
ditambahkan pada verba ini ialah ‘sesuatu terjadi (seperti kuda itu
ditendang) karena X menginginkan sesuatu’. Pemetaan di atas tetap
belum memadai untuk mengidentifikasi makna verba ini. Gagasan
yang lebih khusus adalah perbuatan agen dilakukan dengan kaki.
Terbukti bahwa adanya tambahan frase dengan kaki, konstruksi di
bawah ini tidak berterima dalam bahasa Indonesia. Misalnya, (12) a.
*Adik menendang kuda itu dengan kaki. B. *Kuda itu menendang
adik dengan kaki. C. *Ayah menendang meja dengan kaki. Lalu, apa
perbedaan makna verba ini dengan menyepak ? Dalam bahasa
Indonesia makna kedua verba ini tidak berbeda. Kedua kata itu dapat
bersubstituasi dalam konstruksi gramatikal tanpa memiliki nuansa
semantis, seperti pada (13) berikut. (13) a. Amir menendang bola
itu. B. Amir menyepak bola itu. Dari eksplikasi di atas dapat
dipetakan struktur semantis verba menendang sebagai berikut : X
melakukan sesuatu pada Y sesuatu terjadi karena X menginginkan
sesuatu X melakukan sesuatu dengan ini (kaki) X melakukan sesuatu
seperti ini 3.3 Verba Membeli Verba membeli mempunyai dua slot
untuk ditempati argumen subjek dan objek. Komponen pengisi slot
subjek mesti bernyawa, sedangkan pada slot objek tidak bernyawa.
Adanya fitur ini tidak mengizinkan kedua argumennya dipertukarkan.
Misalnya, (14) a. Ibu membeli sepatu. B. *Sepatu membeli ibu.
Selanjutnya, argumen subjek pada verba ini berperan sebagai agen
sebab bertindak pada argumen objek. Namun, tindakan agen tidak
berpengaruh apa-apa karena sepatu (14a) tidak mengalami
perubahan bentuk atau wujud setelah dikenai tindakan. Dalam
kerangka NSM, eksplikasi ini menghasilkan pola sintaksis ‘X
melakukan sesuatu pada Y’. Properti yang lain ialah agen bertindak
dengan sengaja. Gagasan ini relevan pula dengan ketidakpungtualan
verba membeli. Di sini ada rentang waktu sebelum terjadinya
peristiwa yang memungkinkan agen untuk memikirkan atau
merencanakan tindakannya. Lagi pula, verba ini mengimplikasikan
bahwa tindakan .agen terjadi di suatu tempat, yang menuntut
adanya partisipan lain sebagai penjual. Dengan kata lain, agen hanya
bisa membeli sepatu kalau ada seseorang yang menjualnya. Dalam
situasi demikian, agenlah yang mendatangi tempat itu untuk
melakukan perbuatannya sehingga komponen kesengajaan inheren
pada verba ini. Mungkin saja penjual yang rnendatangi agen. Tetapi,
ini bukan situasi yang alamiah. Lagi pula, apa yang diekspresikan oleh
verba ini pada kenyataannya berada dalarn kendali agen.
Peristiwanya tidak akan terjadi kalau agen tidak rnenginginkannya.
Inilah bukti lain rnengapa komponen kesengajaan bergayut dengan
verba ini. Perhatikan konstruksi berikut ini. (15) a. Ibu dengan
sengaja membeli sepatu. B. *Ibu tidak sengaja membeli sepatu.
Eksplikasi di atas memungkinkan hadirnya ‘makna asali’ dalam pola
sintaksis seperti ‘sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu’ dan
‘X melakukan sesuatu di tempat ini’. Eksplikasi ini belum tuntas. Ada
properti lain yang perlu dipetakan agar verba ini berbeda dengan
verba lain yang memiliki medan semantis yang sama (misalnya,
membayar). Properti ini menyangkut karakteristik argumen
objeknya. Pada verba membeli, fitur untuk argumen objek haruslah
benda konkret, seperti rumah, baju, mobil, sepeda, dan sebagainya,
sedangkan pada verba membayar bisa berupa benda abstrak. Karena
itu, dalam bahasa alamiah penutur dapat mengatakan (16a), tetapi
tidak (16b). (16) a. Ibu membayar utang. B. *Ibu membeli utang
Eksplikasi yang terakhir mengindikasikan bahwa argumen Dbjek pada
verba membeli menuntut adanya perpindahan benda yang dibeli
sementara pada verba membayar hal itu tidak mutlak. Dengan
perkataan lain, pada verba membeli, setelah agen (X) melakukan
sesuatu (membeli sepatu), sesuatu itu (sepatu) berpindah pada agen.
Berdasarkan uraian di atas dapat disebutkan bahwa struktur
semantis verba membeli sebagai berikut : X melakukan sesuatu pada
Y sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu setelah X
melakukan sesuatu di tempat ini sesuatu berpindah pada X X
melakukan sesuatu seperti ini 3.4 Verba Menangis Verba menangis
pada struktur sintaktis hanya membutuhkan satu argumen yang
menempati slot subjek. Ciri semantisnya berupa entitas bernyawa
dan insan dan tidak berterima bila slotnya diisi oleh entitas tidak
bernyawa dan bukan insan, seperti pada (18). Misalnya, (17) Butet
menangis. (18) a. *Kucing itu menangis. B. *Gunung itu menangis.
Pada (17) argumen subjek bukanlah pengendali situasi. Mengikuti
Voley dan Van Valin (1985), argumen ini berperan sebagai pasien.
Situasinya tetap akan terjadi meskipun pasien tidak
menginginkannya. Ini dimungkinkan sebab tindakan pasien
©2003 Digitized by USU digital library 14 bukanlah suatu situasi
yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu rangkaian peristiwa dari
tindakan atau keadaan argumen lain yang bersifat implisit. Hal ini
sejalan pula dengan prinsip pengendalian Givon (1975:63), yang
mengatakan bahwa suatu peristiwa yang subjeknya tidak memiliki
pengendali, peristiwa yang terjadi mungkin akibat suatu tindakan
atau keadaan. Tes sintaktisnya bisa diuji melalui operasi kausatif,
seperti pacta (19) dan (20) di bawah ini. (19) Dia menangiskan Butet.
(20) a. Kematian ayahnya menyebabkan Butet menangis. B. Butet
menangis karena ayahnya mati. Dari konstruksi di atas terlihat
bahwa argumen dia (19) merupakan penyebab (causer) sehingga
pasien melakukan tindakannya. Demikian pula, argumen kematian
ayahnya atau ayahnya mati pada (20) yang digolongkan sebagai
keadaan. Dari dua konstruksi itu lebih alamiah bila penyebab dari
tindakan pasien adalah suatu keadaan dan bukan suatu tindakan.
Artinya, pada (17) ‘tindakan Butet’ lebih disebabkan oleh suatu
keadaan tertentu (20) dan bukan oleh tindakan tertentu (19).
Pandangan ini mungkin kontroversial, tetapi pertimbangkan
argumentasi berikut. Menangis bukanlah tindakan yang bersifat
habitual, melainkan insidental. Dalam bahasa alamiah tindakan ini
dilakukan oleh seseorang bila dia mengalami kesedihan atau
kekecewaan. Sebagai ekspresi dari perasaan itulah perbuatan ini
dilakukan. Oleh karenanya, perangkat ‘makna asali’ yang terlibat
lebih tepat kalau dibentuk dalam pola sintaksis berikut : ‘sesuatu
terjadi karena X merasakan sesuatu yang buruk’ dan bukan ‘sesuatu
terjadi karena Y (seseorang) melakukan sesuatu yang buruk’.
Perbuatan menangis pada hakikatnya dilakukan pasien secara
terpaksa. Secara normal tidak akan ada orang yang ingin melakukan
tindakan ini. Namun, karena pasien tidak mampu melakukan suatu
tindakan untuk mengatasi situasi yang dialaminya, ia terpaksa juga
melakukannya. Pada konteks tertentu memang mungkin saja orang
menangis karena keinginannyai misalnya, bila orang itu
melakukannya dengan maksud-maksud tertentu. Namun, perlu
diingat bahwa situasi yang dibicarakan di sini adalah situasi alamiah.
Oleh sebab itu, konstruksi (21) tidak akan berterima dalam bahasa
Indonesia. (21) *Butet dengan sengaja menangis. Jadi, struktur
semantis verba menangis dapat dikemukan sebagai berikut : X
melakukan sesuatu Sesuatu terjadi karena X merasakan sesuatu yang
buruk X tidak menginginkan ini terjadi tetapi X tidak dapat
melakukan apa pun karena ini, X melakukan sesuatu X melakukan
sesuatu seperti ini

3.5 Verba Pergi Verba pergi mewajibkan hadirnya satu argumen


pada slot jek dengan komponen semantis bernyawa dan insane Bila
lentitas tidak bernyawa dan tidak insan ditempatkan pada slot
subjek, yang dihasilkan adalah konstruksi anomali, seperti pada (23).
(22) Nenek pergi. (23) a. *Kucing itu pergi. B. *Kursi pergi.
©2003 Digitized by USU digital library 15 Pada (22) argumennya
berperan sebagai agen. Di sini tidak ada perasaan terpaksa bagi agen
dalam bertindak. Agen menginginkan situasinya terjadi. Ini berarti
komponen kesengajaan sangat relevan pada verba ini. Perhatikan
konstruksi (24) berikut. (24) a. Nenek dengan sengaja pergi. B.
*Nenek tidak sengaja pergi. Melalui eksplikasi ini, pola sintaksis yang
dapat dibuat ialah ‘X (nenek) melakukan sesuatu’ dan ‘sesuatu
terjadi karena X menginginkan sesuatu’ Gagasan khusus pada verba
ini ialah tindakan agen melibatkan sebuah gerakan. Secara implisit
agen berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun, gaga
san ini belum dapat mernbedakan verba pergi dengan verba lain
yang dirasakan berhubungan, seperti berjalan, berlari, berangkat,
dan datang. Semua kata ini juga melibatkan gerakan. Oleh karena itu,
diperlukan eksplikasi lebih jauh sehingga terlihat karakteristik
semantis dari verba pergi. Verba pergi tergolong verba yang telis.
Tindakan agen pada (22) sudah selesai dilakukan. Dengan
menggunakan komponen aspek pada semua verba tersebut,
perhatikan konstruksi berikut ini. (25) a. Nenek sudah pergi. B.
*Nenek sudah berjalan. C. *Nenek sudah berlari. D. Nenek sudah
berangkat. E. Nenek sudah datang. Pada (25) verba pergi,
berangkat, dan datang sama-sama tergolong verba telis. Bagaimana
ketiga verba ini dibedakan ? Sekarang cermati konstruksi berikut.
(26) a. Nenek pergi ke Bandung dengan mobile b. Nenek berangkat
ke Bandung dengan mobile c. Nenek datang ke Bandung dengan
mobile (27) a. Nenek pergi ke kamar mandi. B. *Nenek berangkat ke
kamar mandi. C. *Nenek datang ke kamar mandi. Ada dua hal yang
bisa dirumuskan dari konstruksi (26-27). Pertama, pada verba pergi,
agen dapat bergerak ke tempat dekat atau ke tempat yang jauh,
sedangkan pada verba berangkat agen hanya bisa berpindah ke
tempat yang jauh. Kedua, bertitik tolak dari posisi agen, pada verba
pergi agen bergerak menjauhi posisinya atau bergerak ke luar
(outer), sedangkan pada verba datang agen bergerak mendekati
posisinya atau bergerak masuk (inner). Agar lebih jelas, perhatikan
skema di bawah ini. Pergi A B datang Lebih jauh, verba pergi,
berangkat, dan datang tidak mengkhususkan tipe instrumen yang
digunakan untuk bergerak. Berbeda halnya dengan verba berjalan
dan berlari, yang diyakini bahwa penutur bahasa Indonesia secara
intuitif pasti mengetahui bahwa tindakan agen dilakukan dengan
kaki.
©2003 Digitized by USU digital library 16 Berdasarkan eksplikasi di
atas, struktur semantis verba pergi adalah : X melakukan sesuatu
sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu X bergerak dari
tempat yang dekat ke tempat yang jauh X melakukan sesuatu dengan
ini (mobil, sepeda, kapal) X melakukan sesuatu seperti ini 3.6 Verba
Bertemu Verba bertemu mensyaratkan dua argumen sebagai pilihan
valensinya, yang diletakkan pada slot subjek dan komplemen. Ciri
semantis argumennya bernyawa, seperti pada (28a) dan menjadi
anomali jika entitasnya tidak bernyawa, seperti pada (28b). (28) a.
Ali bertemu (dengan) Amir di pasar. B. *Kucing itu bertemu (dengan)
tikus. Gagasan semantis pada verba ini ialah argumen subjek
bertindak pada argumen komplemen. Pada (28) Ali bertindak pada
Amir, tetapi tindakan Ali tidak berpengaruh pada Amir. Tidak ada
perubahan yang dialami Amir akibat tindakan Ali. Justru yang
diisyaratkan adalah bahwa Amir melakukan tindakan yang sama
pada Ali. Jadi, agen tidak mengendalikan situasi sebab tindakannya
dilakukan secara tidak sengaja. Buktinya, dengan frase tidak sengaja,
(29a) berterima, tetapi tidak (29b). (29) a. Ali tidak sengaja bertemu
(dengan) Amir di pasar. B. *Ali dengan sengaja bertemu (dengan)
Amir di pasar. Komponen lain yang terungkap ialah verba ini
tergolong verba yang telisi artinya, tindakan agen sudah selesai
dilakukan. Pemetaan komponen aspek direfleksikan pada (30a) dan
tidak berterima pada (30b-c). (30) a. Ali sudah bertemu (dengan)
Amir di pasar. B. *Ali belum bertemu (dengan) Amir di pasar. C. *Ali
akan bertemu (dengan) Amir di pasar. Lebih khusus, pada verba ini
agen dalam bertindak menggunakan mata dan bukan instrumen yang
lain. Seseorang dikatakan bertemu dengan orang lain berarti setelah
keduanya saling melihat, berhadapan muka, dan bahkan mungkin
berbicara. Dalam bahasa alamiah, jika seseorang mengatakan
bertemu dengan orang lain, maka tidak mungkin ia tidak melihatnya
atau hanya melihatnya dari jauh. Oleh karena itu, penutur bahasa
Indonesia akan menolak konstruksi (31a-b) karena dianggap tidak
masuk akal. Misalnya, (31) a. *Ali bertemu (dengan) Amir, tetapi
mereka tidak saling melihat. B. *Ali dari jauh bertemu (dengan) Amir.
Properti lain yang tidak bisa dihilangkan adalah frase keterangan
(tempat). Verba bertemu mensyaratkan di mana peristiwanya
terjadi. Kalau seseorang memberitahukan pada temannya bahwa dia
bertemu dengan orang lain, biasanya temannya pasti bertanya di
mana pertemuan itu terjadi. Dari semua eksplikasi di atas, struktur
semantis verba bertemu adalah : X melakukan sesuatu pada Y pada
waktu itu, Y melakukan sesuatu yang sama sesuatu terjadi di tempat
ini (pasar, taka) X dan Y melakukan sesuatu dengan ini (mata) X dan Y
melakukan sesuatu seperti

Anda mungkin juga menyukai