KAJIAN PUSTAKA
Semantik merupakan bagian yang tidak terlepas dari struktur bahasa yang
memiliki kaitan langsung dengan makna ujaran dan struktur makna dari suatu
berupa kata maupun kalimat memiliki makna yang dikaji dalam bidang
semantik.
semantics, dan dari bahasa Yunani sema (nomina: tanda); atau dari verba
makna (Djajasudarma, 2012: 1). Semantik berada dalam ketiga tataran bahasa
dalam gramatika atau tata bahasa). Urutan pertama ialah bunyi, kedua ialah tata
dan perbedaan makna. Persamaan kedua bidang ilmu bahasa tersebut yakni
perbedaannya terletak pada semantik lebih berfokus mengkaji makna kata dan
15
semiotik lebih fokus melakukan kajiannya pada makna yang berkaitan dengan
antara kata dengan makna dari kata tersebut, dan benda atau sesuatu yang
merujuk pada makna di luar dari bahasa tersebut. Makna pada sebuah kata,
aspek dan struktur fungsi bahasa semantik yang dapat dikorelasikan dengan
ilmu lainnya.
bahasa yang berkaitan dengan makna ungkapan dan struktur makna. Semantik
sintaksikal dan semantik maksud”. Ilmu tentang makna kata dan kalimat
yakni.
1) Semantik Leksikal
Semantik leksikal yaitu mempelajari makna yang ada pada leksem atau
kata dari sebuah bahasa. Istilah leksem adalah yang sering digunakan dalam
studi semantik untuk menyebut satuan bahasa bermakna. Berbagai makna yang
sebagai satuan semantik, leksem dapat berupa sebuah kata seperti meja, topi,
kasur, dan lainnya. Leksem dapat juga berupa gabungan kaa seperti “meja
hijau” dalam arti „pengadilan‟, “bertekuk lutut” dalam arti „menyerah‟. Maka
16
dari itu, semantik leksikal mengkaji sebuah makna yang terdapat pada leksem
Semantik leksikal dapat disebut juga makna kamus, misalkan pada makna
dan pemakan rumput (daun-daunan). Hal ini sesuai dengan pengertian dari
makna kata berhubungan erat dengan benda atau objek di alam semesta yang
terkait sebagai hubungan antara kata dengan objek. Penjelasan terkait makna
kata dapat dihubungkan dengan kata lain yang terdapat dalam sistem bahasa.
Oleh karena itu penganalisaan setiap makna kata senantiasa mengacu pada
tahapan segi semantik leksikal yang seteresunya akan dibagi dari sisi kedua
2) Semantik Gramatikal
memiliki adanya kata, frasa, morfem, klausa, dan juga kalimat. adapun tataran
dengan kata dalam bentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan
17
makna. Oleh karena itu, pada tataran ini ada masalah-masalah semantik yaitu
awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat “batu seberat itu terangkat juga
oleh abang” melahirkan makna „dapat‟ dan dalam kalimat “ketika balon itu
yang bermakna „banyak pensil‟: kata men yang bermakna „seorang pria‟
menjadi mens yang bermakna „banyak pria‟. 3) proses komposisi atau prosekan
kedua menyatakan „asal tempat‟. Begitu juga komposisi anak asuh tidak sama
„anak yang diasuh‟ sedangkan yang kedua bermakna „orang tua yang
mengasuh‟.
18
3) Semantik Sintaktikal
pengaturan dan hubungan kata dengan satuan yang lebih besar, seperti klausa,
Secara etimologi, sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu „sun‟ artinya
frasa dan di bawah tatanan kalimat. Klausa ialah satuan sintaksis yang
tersebut terdapat komponen berupa kata atau frasa yang berfungsi sebagai
predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan
sebagai keterangan.
b) Frasa, ialah sebuah satuan linguistik yang lebih besar dari kata dan lebih
kecil dari klausa dan kalimat. Frasa adalah kumpulan kata nonpredikatif.
utuh, baik dengan cara lisan maupun tulisan. Kalimat adalah satuan bahasa
19
4) Semantik Maksud
menyakitkan hati.
ironi.
Penelitian mengenai disfemia yang ingin dikaji ini tergolong dalam jenis
pada sebuah kata dan frasa dalam sebuah kalimat diakibatkan adanya
20
besar (Rahmawati, 2018: 42). Makna leksikal berkenaan dengan makna leksem
atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal hadir sebagai
komposisi.
Kedua istilah ini ialah bermakna dan memiliki makna. Bermakna dapat
memiliki makna dapat diartikan sebagai sesuatu yang dikaitkan dalam makna.
atas dua kelompok, yaitu (1) semantik deskriptif, yakni telaah empiris terhadap
bahasa buatan”. Semantik erat kaitannya dengan makna, baik berupa makna
dua wujud yakni Signifer (penanda) dan Signifed (petanda). Signifer adalah
ucapan yang bermakna atau tulian yang bermakna dan berupa aspek material,
yaitu sesuatu yang disampaikan, ditulis, atau dibaca. Signifed adalah uraian
mental, yakni konsep atau pikiran aspek mental dan bahasa yang tidak terlepas
dari bunyi itu sendiri. Masing-masing tanda linguistik tidak dapat terlepas dari
dua unsur dalam bahasa atau disebut intralingual yang biasanya merujuk pada
21
Kompson berpendapat bahwa “ada tiga hal yang ditegaskan oleh para
filsuf dan linguis yang berhubungan dengan upaya untuk menguraikan makna,
yaitu: (1) menerangkan kata secara alamiah; (2) menggambarkan makna secara
tiga sisi yaitu segi kata, segi kalimat, dan segi segala hal yang dibutuhkan
terkandung dalam komunikasi baik tertulis maupun lisan, berupa kata, kalimat,
ataupun ujaran. Suatu makna akan terungkap sesuai dengan kesepakan bersama
kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Makna merupakan pertautan yang ada
dengan arti yang maknanya lebih pada makna leksikal dari kata yang
Aspek makna dilihat dari segi tuturan kata, kalimat, ataupun ujaran dari
pembicara kepada pendengar dibagi empat jenis, yaitu pengertian, nilai rasa,
1) Pengertian (Sense)
bisa disebut mengerti maksud yang sejalan. Antara penutur dan mitra tutur
akan mengerti apa yang sedang dibicarakan, apabila mengerti maksud satu
22
sama lain. Sementara pengertian ini bisa mendapat kesamaan maksud jika
terjadi kesepakatan antara penutur dan mitra tutur (Prasetyo, 2018:10). Jika
mitra tutur memiliki kesamaan pengertian maka mitra tutur mengerti apa yang
disampaikan.
Contoh percakapan (1) “hari ini hujan”; dan (2) “hari ini mendung”, dalam
komunikasi tersebut tentu ada unsur mitra tutur atau pendengar (ragam lisan)
dan penutur atau pembaca (ragam tulis) mempunyai pengertian yang sama
terhadap satuan-satuan hari, ini, hujan, dan mendung. Informasi atau sesuatu
tema yang disampaikan, sehingga melalui kata-kata telah dapat dipahami tema
tersebut (Djajasudarma, 2010:3). Aspek pengertian dalam hal ini disebut juga
tema. Aspek ini terbentuk atau muncul dari pemahaman mengenai hubungan
dari kata-kata yang mewakili sebuah tema yang dimaksud. Ketika berbicara
yang diinginkan.
sikap mitra tutur terhadap hal yang sedang dibicarakan. Nilai rasa yang
berkaitan dengan makna adalah kata atau kalimat yang bersangkutan pada
makna yang berhubungan dengan nilai rasa, dan kata yang mempunyai makna
23
juga berhubungan dengan perasaan (Prasetyo, 2018:11). Hal tersebut
menunjukkan bahwa setiap kata atau kalimat memiliki makna yang berkaitan
kepada seseorang yang berperilaku baik dan tidak bersalah, maka dapat
berlangsung.
Setiap kata memiliki makna tersendiri dan mempunyai nilai rasa. Nilai
rasa membuat bentuk kata yang otonom atau bebas digunakan karena memiliki
makna netral. Kata yang mengandung nilai rasa positif digunakan untuk hal-hal
baik, seperti memberi semangat, motivasi, nasihat, dan lainnya. Kata yang
Nilai rasa ini harus dilihat dari segi keagamaan, kesopanan, kesusilaan, hukum,
dan juga nilai hidup yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat yang
memiliki anggapan berbeda perihal nilai rasa (Chaer, 2008:151). Nilai rasa bisa
juga disebut sebagai aspek perasaan, yaitu perwujudan dari perasaan yang
sedang dirasakan dari penilaian terhadap sesuatu yang diwakili oleh kata-kata
24
3) Nada (Tone)
penutur terhadap mitra tutur atau dapat dikatakan sikap penulis terhadap
yang sesuai dengan situasi mitra tutur dan penutur itu sendiri. Pemilihan nada
yang digunakan terletak pada suatu konteks apakah penutur tersebut telah
mengenal mitra tutur sebelumya, apakah penutur dan mitra tutur berasal dari
latar belakang yang sama, atau apakah penutur berasal dari daerah yang sama
dengan mitra tutur. Hubungan antara penutur dan mitra tutur akan menentukan
pergi. Jika seseorang berkata “pergi!!!” ini berupa kata yang menandakan
“kereta api Yogyakarta sudah datang?” maka itu menunjukkan sebuah kalimat
dengan aspek perasaan, jika jengkel maka sikap yang dimunculkan akan
25
4) Maksud (Intension)
maksud atau biasa disebut tujuan merupakan senang tidak senang, akibat dari
maka maksud dari pembicara itu adalah mengingatkan untuk bergegas pergi,
bahwa secara sinkronis makna sebuah kata tidak dapat berubah, maka secara
diakronis ada kemungkinan bisa berubah (Chaer, 2009:130). Dengan kata lain,
makna sebuah kata secara sinkronis dapat berubah menjadi makna sebuah kata
secara bentuk diakronis. Terdapat banyak kata yang maknanya sedari dulu
dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata. Suatu kata yang
konsep makna yang terkandung telah berubah sebagai akibat dari pandangan
baru, atau teori baru dalam satu bidang ilmu atau sebagai akibat dalam
26
perkembangan teknologi (Chaer, 2009:131). Suatu kata sastra dan kata yang
bermakna tulisan memiliki hasil makna berupa “karya imaginatif” yang pada
mulanya berarti “tulis tangan”. Saat ini kata tersebut masih digunakan untuk
menyebutkan naskah yang akan dicetak, walaupun hampir tidak ada lagi
naskah yang ditulis tangan karena telah ada mesin tulis. Hal tersebut
bermakna‟A‟, lalu berubah menjadi makna „B‟ atau „C‟, jadi bentuk katanya
tetap sama tetapi konsep makna yang dikandungnya telah berubah (Chaer,
2009:132). Kata yang maknanya telah berubah sebagai akibat perubahan sosial
kemasyarakatan adalah kata sarjana. Menurut bahasa Jawa Kuno kata sarjana
ini berarti orang pandai atau „cendikiawan‟, sedangkan saat ini kata sarjana
berarti orang yang telah lulus dari perguruan tinggi, walaupun kemungkinan
mereka tidak lebih dari seseorang yang belum lulus perguruan tinggi.
memiliki kosakata tersendiri yang hanya dikenal dan digunakan dengan makna
tertentu dalam bidang tersebut. Misalkan dalam bidang pertanian memiliki kata
27
hama. Pada bidang pendidikan formal di sekolah ada kata-kata murid, guru,
ada kata-kata seperti sauh, berlabuh, nakhoda, palka, dan pelabuhan. Makna
kata yang digunakan bukan dalam bidangnya menjadi bentuk yang umum,
sedangkan kata yang bermakna digunakan dalam bidang aslinya masih pada
4) Adanya Asosiasi
yang terjadi akibat pemakaian dalam bidang lain, maka makna yang baru akan
muncul sesuai dengan kata tersebut (Chaer, 2009:135). Contohnya pada kata
tetapi juga dapat dimasukkan benda lain, seperti uang. Oleh karena itu, dalam
kalimat “beri saja amplop maka urusan pasti beres.” Kata amplop pada
kalimat tersebut merujuk pada makna „uang‟, sebab amplop yang dimaksud
bukan berisi surat atau tidak berisi apa-apa melainkan berisi uang sebagai
dengan adanya wadah. Jadi, yang disebut wadah itu berupa amplop tetapi yang
28
5) Pertukaran Tanggapan Indra
Manusia memiliki alat indra yang secara aktual telah mempunyai fungsi
Ibarat rasa manis, pedas, dan asin ditanggap oleh alat indra perasa yakni pada
lidah. Merangsang suhu, tekstur, sentuhan, dan rasa sakit direspon oleh alat
indra peraba pada kulit. Isyarat yang berkaitan pada cahaya berupa terang,
gelap, remang-remang, dan jika melihat gambar harus direspon oleh alat indra
pengelihatan yakni pada mata; sedangkan yang berkaitan dengan pembau harus
direspon dengan alat indra penciuman yaitu pada hidung. Namun, pemakaian
bahasa kerap adanya peristiwa pertukaran respon antar indra perasa, peraba,
pembau, dan pengelihatan. Rasa pedas seharusnya ditanggap oleh alat indra
perasa lidah, tertukar menjadi ditanggap oleh alat indra pendengar seperti
tampak dalam ujaran “kata-katanya cukup pedas.” Atau kasar yang seharusnya
ditanggap oleh alat indra peraba, tetapi justru ditanggap oleh alat indra
cokelat gelap sedangkan cokelat muda adalah warna cokelat terang. Cokelat
tua sama dengan cokelat muda, dan cokelat muda sama dengan cokelat tua.
Ketika menyebutkan satu objek kecil maka hal itu dianggap sama dengan
subjeknya.
29
6) Perbedaan Tanggapan
mempunyai makna leksikal yang tetap. Namun, karena pandangan hidup dan
ukuran dalam norma kehidupan dalam masyarakat banyak kata yang menjadi
memiliki nilai rasa yang “rendah”, kurang menyenangkan. Selain itu, ada juga
yang memiliki nilai rasa “tinggi”, atau menyenangkan. Kata-kata yang nilainya
merosot menjadi rendah ini lazim disebut peyoratif, sedangkan yang nilainya
naik menjadi tinggi disebut amelioratif (Chaer, 2009:137). Contoh pada kata
bang (seperti bang Dul) dianggap peyoratif; jika kata bung (Bung Karno, Bung
Hatta, dan Bung Gafur) dianggap amelioratif. Nilai rasa peyoratif dan
amelioratif tidak bersifat tetap, nilai rasa itu kemungkinan besar hanya bersifat
sinkronis.
7) Adanya Penyingkatan
Menurut Chaer (2009:138) dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau
dan let maksudnya „letnan‟; serta bentuk-bentuk yang disebut akronim seperti
30
8) Proses Gramatikal
menyebabkan terjadinya perubahan makna. Akan tetapi, dalam hal ini yang
terjadi sebenarnya bukan perubahan makna, sebab bentuk kata telah berubah
sebagai hasil proses gramatikal (Chaer, 2009:139). Jika bentuk berubah, maka
makna juga ikut mengalami perubahan. Jadi, tidak dapat dikatakan kalau dalam
hal ini telah terjadi perubahan makna, sebab yang terjadi adalah proses
9) Pengembangan Istilah
semula bermakna „lempengan kayu tipis‟ diubah menjadi istilah untuk makna
menjadi istilah untuk „pakaian‟; dan kata lainnya yang memiliki pembentukan
makna baru.
Disfemia atau biasa juga disebut disfemisme berasal dari bahasa Yunani
dys atau dus (bad, abnormal, difficult=bahasa Inggris) yang berarti “buruk”,
adalah suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan, atau menyakitkan
31
ungkapan netral (biasa) karena alasan-alasan tertentu. Smith (dalam
berfungsi menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih serius daripada
kenyataannya.
menggantikan kata yang mengandung makna kasar dengan kata halus, maka
perkataan halus tersebut dengan kata yang terasa kasar. Disfemia ini biasanya
ataupun ingin mendapat atensi. Contohnya pada “kata mengambil adalah kata
biasa bersifat lugas, namun kata tersebut diganti dengan kata mencaplok yang
(Chaer, 2009:154).
hal yang tabu, memakai kata-kata umpatan atau makian, dan kata yang
memiliki sifat vulgar”. Hal tersebut dapat menimbulkan kesan buruk bagi
gagasannya.
32
tanpa terasa kekasarannya, dan untuk mencapai efek pembicaraan menjadi
pembaca.
kata yang bermakna kasar dan tidak sopan (Kurniawati, 2011:53). Selain itu,
menjijikkan, kasar atau tidak sopan, vulgar, tabu, dan tidak senonoh. Dengan
kata lain, pemakaian disfemia adalah upaya penggantian kata atau bentuk lain
yang bernilai rasa positif atau netral dengan kata lain yang bernilai kasar atau
negatif. Dengan demikian, disfemia erat kaitanya dengan nilai rasa, yaitu
makna yang dibawa oleh suatu kata. Nilai rasa tersebut antara lain
Kata-kata berdisfemia ini biasanya muncul dalam situasi yang tidak ramah,
merupakan cara mengungkapkan pikiran dan fakta melalui kata atau ungkapan
yang bermakna keras, kasar, tidak ramah, atau berkonotasi tidak sopan
33
untuk melepaskan kekesalan hati, kemarahan, kekecewaan, frustasi, dan rasa
benci atau tidak suka dan juga untuk menggantikan kata atau ungkapan yang
Berdasarkan prinsip, bahasa terdiri dari dua bagian, yaitu: 1) segi bentuk,
2) segi makna yang mengungkap bentuk itu sendiri. “Bentuk bahasa terdiri atas
Makna leksikal ialah makna yang berkaitan erat dengan setiap leksem
sebagai bagian dari satuan leksikon. Menurut Chaer (2009:117) bahwa “makna
leksikal ini merupakan makna yang secara inheren ada di dalam kata itu
terlepas dari konteks apapun”, contohnya seperti kata pulpen memiliki makna
„sejenis alat tulis yang dibuat dari bahan plastik dan memiliki tinta‟, hal
tersebut menunjukkan bahwa makna leksikal yakni makna apa adanya, makna
yang sesuai dengan hasil observasi, makna yang tidak terlepas dari rujukan.
Makna leksikal mengacu pada makna lambang kebahasaan yang masih bersifat
dasar, belum mengalami konotasi dan hubungan gramatikal dan bersifat leksem
merujuk pada hubungan antar unsur bahasa dalam satuan yang lebih besar,
misalnya hubungan antara kata dengan kata lain dalam frasa atau klausa.
34
Makna gramatikal biasanya bertentangan dengan makna leksikal. Makna
leksikal mengacu pada makna kata atau leksem yang sesuai dengan referennya,
maka makna gramatikal merupakan makna yang muncul sebagai hasil proses
gramatikal.
1) Kata
Kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian. Batasan kata
ada dua hal, yaitu setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap
dan tidak berubah, serta tidak dapat diselipi fonem lain. Hal itu menunjukkan
bahwa kata merupakan satuan bahasa yang paling kecil dan memiliki satu
pengertian, semua morfem yang menyatu jadi satu dengan kata lain maka
bentuk jadiannya biasa disebut kata. Bentuk pemakaian disfemia yang berupa
2) Frasa
nonpredikatif, atau lazim disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi
35
sintaksis dalam kalimat. Contoh bentuk pemakaian disfemia yang berupa frasa
sebagai berikut.
kata mempersulit.
gegabah.
3) Klausa
Klausa merupakan kelompok kata yang terdiri atas subjek dan predikat.
Kalimat sederhana terdiri atas satu klausa. Klausa sebagai bentuk kalimat
sederhana atau dapat disebut sebagai calon kalimat. Contoh pemakaian bentuk
Dasar ya, urat malumu sudah putus. Klausa urat malumu sudah putus
dan frasa sudah putus berfungsi sebagai predikat. Klausa urat malu
sudah putus merupakan bentuk disfemia dari klausa tidak punya malu.
Disfemia atau lebih tepatnya pengasaran makna tidak dapat terlepas dari
ungkapan hinaan, ejekan, makian, bullying, dan hal lainnya. Wijaya (2004:
kata yang bernilai rasa baik ternyata dapat berwujud sebagai berikut.
36
1) Pengasaran makna atau makian berupa satuan kebahasaan, yakni kata
halus.
dan diubah dengan bentuk yang berbeda dan mempunyai nilai rasa yang
halus.
penggunaan kata kasar berbentuk klausa dan diubah dengan suatu bentuk
dengan nilai kasar tidak terlepas dari adanya makna emotif. Makna emotif
merupakan makna yang dikaitkan dengan perasaan penulis dan pembaca ke arah
pada penutur yang berkaitan pada penilaian terhadap sesuatu. Ungkapan “kau
anjing,” dari penggunaan kata anjing ini akan memunculkan rasa tidak
selalu dihubungkan dengan sesuatu yang najis, karena dalam ajaran islam anjing
merupakan hewan yang haram. Oleh karena itu, pendengar akan tersinggung dan
marah.
37
Makna emotif merupakan makna yang ditimbulkan akibat adanya respon
terjadi dalam urutan kata “engkau kerbau”. Kata kerbau memunculkan perasaan
tidak enak dari pendengar atau dengan kata lain, kata kerbau mengandung
makna emosi. Kata kerbau dihubungkan dengan perilaku yang malas, lamban,
tidak enak, tidak heran orang yang mendengar kata itu akan mengambil sikap
peristiwa atau suasana yang menyeramkan sehingga bulu kuduk bediri. Contoh
(1) Perbuatan bejat itu terjadi Jumat (25/6) lalu sekitar pukul 23.00 WIB
(1a) Perbuatan asusila itu terjadi Jumat (25/6) lalu sekitar pukul 23.00 WIB
Pada kalimat (1) dan (1a) terlihat bahwa kata bejat dipakai untuk
menggantikan kata asusila. Dilihat dari makna emotif, kata bejat dan asusila
memiliki nilai rasa yang berbeda, karena kata bejat mempunyai nilai rasa lebih
38
2) Nilai Rasa Mengerikan
suatu hal yang tidak pantas dilakukan oleh manusia. Nilai rasa mengerikan
Kata dicincang dalam kalimat (2) dipakai untuk menukarkan kata dibunuh
pada kalimat (2a). Tidak hanya bernilai makna kasar, suatu bentuk penukaran
tersebut juga menguraikan hal-hal yang memberi dampak mengerikan dan tidak
sepatutnya dilakukan oleh manusia. Dalam konteks kalimat (2b) kata dicincang
dipakai pada konteks hewan, pada kata dicincang yang terdapat kalimat (2)
mempunyai nilai rasa yang lebih kasar dan mengerikan daripada kata dibunuh
pada kalimat (2a). Kata dicincang memiliki makna kegiatan memotong daging
hingga halus.
Nilai rasa menakutkan merupakan nilai suatu rasa yang menguraikan suatu
perihal yang memiliki kaitan dengan makhluk supranatural seperti jin, iblis, setan,
hantu, dan sejenisnya. Selain itu juga nilai rasa menakutkan dapat menimbulkan
hal yang berkaitan dengan binatang buas yang menimbulkan perasaan ketir bagi
disfemia yang memiliki rasa menakutkan tampak pada kalimat berikut ini.
39
(3) Kami mengharapkan agar tidak ada dajjal politik dalam kabinet.
Pada kalimat (3) dan (3a) tampak bahwa kata dajal digunakan untuk
mengganti kata setan. Makna emotif yang ada pada keduanya bersifat sama,
tetapi memiliki perbedaan pada nilai rasa. Kata dajjal bernilai rasa lebih
menakutkan dibandingkan dengan kata setan. Konteks kalimat (3b) kata dajal
mengacu pada raja setan. Kata dajjal mempunyai nilai rasa yang lebih
menakutkan daripada kata setan, karena kata dajal mempunyai makna „raksasa
besar‟.
Nilai rasa menjijikkan ialah nilai rasa yang mengungkapkan peristiwa yang
kotor atau jorok yang dapat melahirkan perasaaan geli atau jijik seperti peyakit
(4) Penolakan kali ini tidak terlepas dari banyaknya borok dalam BPPN
(4a) Penolakan kali ini tidak terlepas dari banyaknya masalah dalam BPPN.
Pada kalimat (4) dan (4a) terlihat bahwa kata borok digunakan sebagai bentuk
kata tersebut memiliki muatan nilai rasa berbeda. Kata borok mempunyai nilai
rasa yang lebih besar dan menggelikan daripada kata masalah. Kalimat (4b) kata
40
borok dipakai untuk menunjukkan jenis penyakit. Kata borok bermakna „luka
Nilai rasa menguatkan ialah nilai rasa yang bermaksud lebih menyampaikan
Kata becus dalam kalimat (5) dipilih untuk mengubah posisi kata cakap pada
kalimat (5a). Tidak hanya bernilai rasa lebih kasar, kata becus dapat pula
digunakan dalam menguatkan makna negatif dan kata tersebut boleh didahului
oleh bentuk negatif “tidak”. Hal tersebut berbeda dengan kata cakap yang jarang
tabu yakni untuk mencari minat seseorang, menyatakan perilaku yang tidak
41
hormat, memperlihatkan sifat yang agresif atau provokatif, mengejek-ejek
Dari uraian di atas dapat diberi simpulan bahwa disfemia adalah pergantian
suatu ungkapan memiliki makna yang tidak berpihak atau halus terhadap
ungkapan lain. Setiap ujaran yang memiliki makna serupa, tetapi memiliki nilai
rasa yang lebih kasar dari ungkapan sebelumnya. Bentuk-bentuk disfemia dapat
berbentuk kata, frasa, klausa, atau bahkan kalimat. Dalam lingkup nilai rasa
emotif penggunaan disfemia dapat terlihat dalam lima bentuk, yaitu mengerikan,
42
emotif tidak hanya terkandung dalam disfemia, tetapi penggunaan suatu disfemia
juga digunakan dalam membahas hal tabu, seperti melakukan perbandingan antara
perilaku manusia dengan perilaku binatang atau hewan, menyebutkan suatu kata
yang berkaitan pada ketabuan organ seksual, serta menghina kekurangan fisik dan
kegiatan sehari-hari, tetapi media massa juga menggunakan hal tersebut, seperti
berita yang mengandung click bait dengan tujuan agar mendapatkan perhatian dari
masyarakat.
atau biasa disebut dengan istilah hate speech. Menurut Febriani (2018:2) “ujaran
kebencian atau hate speech merupakan tindakan komunikasi yang dilakukan oleh
suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan
kepada individu/kelompok lainnya yang menuju pada aspek seperti ras, warna
Penggunaan hate speech dilakukan dengan mudah menggunakan media sosial, hal
berhadapan langsung dengan yang ingin diberi komentar. Ujaran kebencian (Hate
43
Ujaran kebencian yang dilontarkan oleh pengguna sosial media dalam
kolom komentar memicu pengguna lainnya berkomentar hal yang serupa dan hal
yang kontra dengan komentar sebelumnya. Adanya hal tersebut memacu saling
memberikan ujaran kasar dan tidak sopan, menimbulkan adanya fitnah atau tidak
sesuai dengan fakta yang ada, perbuatan tidak menyenangkan, bahkan penghinaan
yang ada dalam komentar tersebut. Indonesia memiliki pasal yang menangani
ujaran kebencian terhadap seorang individu atau kelompok, baik berbentuk tulisan
maupun lisan. Pasal tersebut tertera pada Surat Edaran Kapolri No: SE/06/X/2015
Pasal 156, Pasal 157, Pasa; 310, dan Pasal 311. Adapun bentuk ujaran kebencian
2.4.1 Penghinaan
Pasal Demi Pasal dalam penjelasan pasal 310 KUHP, menjelaskan bahwa
diserang biasanya merasa malu.” Objek penghinaan adalah berupa rasa harga diri
atau martabat mengenai kehormatan dan mengenai nama baik bersifat individual
ataupun kelompok.
2.4.2 Penistaan
yang dilarang, karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap
prasangka baik dari pihak pelaku ataupun korban (Febriani, 2018:54). Menurut
Pasal 310 ayat (1) KUHP “penistaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan
44
tertentu dengan maksud agar tuduhan itu diketahui oleh orang banyak.” Perbuatan
yang dituduhkan tersebut tidak perlu suatu perbuatan yang dapat dihukum seperti,
2.4.3 Menghasut
menghasut akan selalu ada dalam kolom komentar yang sedang viral, baik hasutan
Pencemaran nama baik ini biasanya terjadi dalam peristiwa yang tidak sesuai
45