Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Semantik

Semantik merupakan bagian yang tidak terlepas dari struktur bahasa yang

memiliki kaitan langsung dengan makna ujaran dan struktur makna dari suatu

pembicaraan. Makna bermaksud menyampaikan suatu arti dalam pembicaraan

tertentu, berdampak pada pemahaman tanggapan, serta tindakan manusia atau

kelompok (Kridalaksana, 1993:199). Setiap ujaran yang disampaikan baik

berupa kata maupun kalimat memiliki makna yang dikaji dalam bidang

semantik.

Kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris

semantics, dan dari bahasa Yunani sema (nomina: tanda); atau dari verba

samaino (menandai, berarti). Istilah tersebut digunakan para pakar bahasa

(linguis) untuk menyebut bagian ilmu bahasa (linguistik) yang mempelajari

makna (Djajasudarma, 2012: 1). Semantik berada dalam ketiga tataran bahasa

(fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Morfologi dan sintaksis termasuk

dalam gramatika atau tata bahasa). Urutan pertama ialah bunyi, kedua ialah tata

bahasa, dan urutan terakhir ada pada komponen makna.

Semantik dan semiotik merupakan dua istilah yang mempunyai persamaan

dan perbedaan makna. Persamaan kedua bidang ilmu bahasa tersebut yakni

sama-sama menjadikan makna sebagai objek kajiannya, sedangkan

perbedaannya terletak pada semantik lebih berfokus mengkaji makna kata dan

15
semiotik lebih fokus melakukan kajiannya pada makna yang berkaitan dengan

simbol, tanda, atau lambang (Suhardi, 2015:41).

Menurut Chaer (2013:4), semantik yang dibahas merupakan keterkaitan

antara kata dengan makna dari kata tersebut, dan benda atau sesuatu yang

merujuk pada makna di luar dari bahasa tersebut. Makna pada sebuah kata,

wacana atau ungkapan ditetapkan dari konteksnya. Cakupan semantik hanya

berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal, karena membahas

aspek dan struktur fungsi bahasa semantik yang dapat dikorelasikan dengan

ilmu lainnya.

Chaer (2013:7) berpendapat bahwa “semantik adalah unsur dari susunan

bahasa yang berkaitan dengan makna ungkapan dan struktur makna. Semantik

memiliki empat jenis, yaitu semantik leksikal, semantik gramatikal, semantik

sintaksikal dan semantik maksud”. Ilmu tentang makna kata dan kalimat

mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti makna.

Chaer (2013:8) menjabarkan definisi semantik berdasarkan jenisnya,

yakni.

1) Semantik Leksikal

Semantik leksikal yaitu mempelajari makna yang ada pada leksem atau

kata dari sebuah bahasa. Istilah leksem adalah yang sering digunakan dalam

studi semantik untuk menyebut satuan bahasa bermakna. Berbagai makna yang

terdapat pada leksem-leksem itu yang disebut makna leksikal. Contohnya

sebagai satuan semantik, leksem dapat berupa sebuah kata seperti meja, topi,

kasur, dan lainnya. Leksem dapat juga berupa gabungan kaa seperti “meja

hijau” dalam arti „pengadilan‟, “bertekuk lutut” dalam arti „menyerah‟. Maka

16
dari itu, semantik leksikal mengkaji sebuah makna yang terdapat pada leksem

atau kata pada sebuah bahasa.

Semantik leksikal dapat disebut juga makna kamus, misalkan pada makna

leksem “kambing” memiliki makna leksikal sejenis binatang pemamah biak

dan pemakan rumput (daun-daunan). Hal ini sesuai dengan pengertian dari

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam pembahasan relasi semantik

leksikal, Saeed (2000:63) membaginya atas beberapa bentuk relasi makna

yaitu, homonimi, polisemi, sinonimi, antonimi, hiponimi, meronimi, koleksi

angggota (member - collection), porsi massa (portion - mass). Pembentukan

makna kata berhubungan erat dengan benda atau objek di alam semesta yang

terkait sebagai hubungan antara kata dengan objek. Penjelasan terkait makna

kata dapat dihubungkan dengan kata lain yang terdapat dalam sistem bahasa.

Oleh karena itu penganalisaan setiap makna kata senantiasa mengacu pada

tahapan segi semantik leksikal yang seteresunya akan dibagi dari sisi kedua

hubungan antara kata dengan objek.

2) Semantik Gramatikal

Semantik gramatikal yaitu mengkaji sebuah makna gramatikal yang

memiliki adanya kata, frasa, morfem, klausa, dan juga kalimat. adapun tataran

bahasanya yaitu, morfologi dan sintaksis. Morfologi adalah cabang dari

linguistik yang mempelajari struktur intern kata, serta proses-proses

pembentukannya; sedangkan sintaksis adalah studi mengenai hubungan kata

dengan kata dalam bentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, dan

kalimat. Proses morfologi dan proses sintaksis masing-masing mempunyai

17
makna. Oleh karena itu, pada tataran ini ada masalah-masalah semantik yaitu

yang disebut semantik gramatikal karena objek studinya adalah makna-makna

gramatikal dari tataran tersebut.

Proses gramatikal yang terjadi dalam semantik gramatikal meliputi adanya

proses afiksasi, proses reduplikasi dan proses komposisi. 1) proses afiksasi

awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat “batu seberat itu terangkat juga

oleh abang” melahirkan makna „dapat‟ dan dalam kalimat “ketika balon itu

ditarik, papan itu terangkat ke atas” melahirkan makna gramatikal „tidak

sengaja‟. 2) proses reduplikasi seperti kata “pensil” yang bermakna “sebuah

pensil” menjadi “pensil-pensil” yang bermakna „banyak pensil‟ bahasa inggris

untuk menyatakan „jamak‟ menggunakan penambahan morfem (s) atau

menggunakan bentuk khusus. Misalnya pencil „sebuah pensil‟ menjadi pencils

yang bermakna „banyak pensil‟: kata men yang bermakna „seorang pria‟

menjadi mens yang bermakna „banyak pria‟. 3) proses komposisi atau prosekan

makna penggabungan dalam bahasa Indonesia banyak melahirkan makna

gramatikal. Makna gramatikal komposisi soto daging tidak sama dengan

komposisi soto lamongan. Komposisi pertama menyatakan „asal bahan‟ dan

kedua menyatakan „asal tempat‟. Begitu juga komposisi anak asuh tidak sama

maknanya dengan komposisi orang tua asuh. Komposisi pertama bermakna

„anak yang diasuh‟ sedangkan yang kedua bermakna „orang tua yang

mengasuh‟.

18
3) Semantik Sintaktikal

Semantik sintaktikal yaitu menganalisis segala hal yang memiliki

hubungan dengan kajian sintaksis. Kajian sintaksis yang dimaksud adalah

pengaturan dan hubungan kata dengan satuan yang lebih besar, seperti klausa,

wacana, dan kalimat.

Secara etimologi, sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu „sun‟ artinya

dengan dan „tattein‟ artinya menempatkan. Jadi, secara etimologis sintaksis

berarti menempatkan bersama-sama kata menjadi kelompok kata atau kalimat.

Unsur bahasa yang termasuk di dalam sintaksis, meliputi:

a) Klausa, merupakan tataran dalam sintaksis yang berada di atas tataran

frasa dan di bawah tatanan kalimat. Klausa ialah satuan sintaksis yang

berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Pada konstruksi

tersebut terdapat komponen berupa kata atau frasa yang berfungsi sebagai

predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan

sebagai keterangan.

b) Frasa, ialah sebuah satuan linguistik yang lebih besar dari kata dan lebih

kecil dari klausa dan kalimat. Frasa adalah kumpulan kata nonpredikatif.

Artinya frasa tidak memiliki predikat dalam strukturnya.

c) Kalimat, ialah satuan bahasa terkecil yang mengungkapkan pikiran yang

utuh, baik dengan cara lisan maupun tulisan. Kalimat adalah satuan bahasa

terkecil yang merupakan kesatuan pikiran (Widjono: 146).

19
4) Semantik Maksud

Semantik maksud yaitu mengkaji beberapa peristiwa yang bersinggungan

dengan maraknya penggunaan gaya bahasa seperti sarkasme, sinisme,

depersonifikasi, epitet, dan metonimia sebagai berikut.

a. Sarkasme merupakan penggunaan kata, frasa, klausa yang ingin

mengatakan sesuatu dengan maksud berlainan dari apa yang

terkandung dalam kata-katanya. Sarkasme berupa sindiran yang

menyakitkan hati.

b. Sinisme merupakan mengingkari maksud yang sebenarnya atau

bersifat menyindir. Sinisme lebih keras jika dibandingkan dengan

ironi.

c. Depersonifikasi atau disebut juga pembendaan. Depersonifikasi adalah

kebalikan dari gaya bahasa personifikasi atau penginsanan.

Depersonifikasi merupakan majas yang menampilkan manusia sebagai

binatang, benda-benda alam atau benda lainnya.

d. Metonimia merupakan penggunaan kata, frasa, kalusa untuk

menyatakan bentuk hal lain.

e. Epitet merupakan analogi yang menyatakan kesamaan sifat atau ciri

khusus dari seseorang atau sesuatu hal.

Penelitian mengenai disfemia yang ingin dikaji ini tergolong dalam jenis

semantik gramatikal, dikarenakan peneliti mencoba mencari adanya makna

pada sebuah kata dan frasa dalam sebuah kalimat diakibatkan adanya

keberfungsian secara gramatikal. Makna gramatikal adalah makna yang

muncul sebagai akibat hubungan antara unsur-unsur gramatikal yang lebih

20
besar (Rahmawati, 2018: 42). Makna leksikal berkenaan dengan makna leksem

atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal hadir sebagai

akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan

komposisi.

2.2 Hakikat Suatu Makna

Secara fundamental, terdapat dua istilah yang berkaitan dengan makna.

Kedua istilah ini ialah bermakna dan memiliki makna. Bermakna dapat

diartikan dengan sesuatu yang memiliki pengaruh pada makna, sedangkan

memiliki makna dapat diartikan sebagai sesuatu yang dikaitkan dalam makna.

Menurut pendapat Tarigan (dalam Suhardi, 2015:17) “semantik dapat dibagi

atas dua kelompok, yaitu (1) semantik deskriptif, yakni telaah empiris terhadap

bahasa-bahasa ilmiah; (2) semantik murni, yakni telaah analisis terhadap

bahasa buatan”. Semantik erat kaitannya dengan makna, baik berupa makna

kata maupun pergeseran arti kata.

Menurut Saussure (dalam Lutfillah, 2014:11), tanda linguistik memiliki

dua wujud yakni Signifer (penanda) dan Signifed (petanda). Signifer adalah

ucapan yang bermakna atau tulian yang bermakna dan berupa aspek material,

yaitu sesuatu yang disampaikan, ditulis, atau dibaca. Signifed adalah uraian

mental, yakni konsep atau pikiran aspek mental dan bahasa yang tidak terlepas

dari bunyi itu sendiri. Masing-masing tanda linguistik tidak dapat terlepas dari

dua unsur dalam bahasa atau disebut intralingual yang biasanya merujuk pada

sesuatu yang merupakan unsur luar bahasa atau disebut ekstralingual.

21
Kompson berpendapat bahwa “ada tiga hal yang ditegaskan oleh para

filsuf dan linguis yang berhubungan dengan upaya untuk menguraikan makna,

yaitu: (1) menerangkan kata secara alamiah; (2) menggambarkan makna secara

alamiah; dan (3) menguraikan proses komunikasi” (Suwandi, 2008:58). Hal

tersebut menunjukkan bahwa penjelasan mengenai makna dapat dilihat dari

tiga sisi yaitu segi kata, segi kalimat, dan segi segala hal yang dibutuhkan

penutur untuk berkomunikasi. Bahwasannya makna adalah arti yang

terkandung dalam komunikasi baik tertulis maupun lisan, berupa kata, kalimat,

ataupun ujaran. Suatu makna akan terungkap sesuai dengan kesepakan bersama

dari penutur dan mitra tuturnya.

Mengkaji atau memberikan makna terhadap suatu kata ialah memaknai

kajian kata tersebut yang berkaitan dengan hubungan-hubungan agar makna

kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Makna merupakan pertautan yang ada

di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri, terutama kata-kata. Beda halnya

dengan arti yang maknanya lebih pada makna leksikal dari kata yang

cenderung terdapat dalam kamus.

2.2.1 Aspek-aspek Makna

Aspek makna dilihat dari segi tuturan kata, kalimat, ataupun ujaran dari

pembicara kepada pendengar dibagi empat jenis, yaitu pengertian, nilai rasa,

nada, dan maksud.

1) Pengertian (Sense)

Pembicaraan yang sedang dilakukan memerlukan adanya pengertian atau

bisa disebut mengerti maksud yang sejalan. Antara penutur dan mitra tutur

akan mengerti apa yang sedang dibicarakan, apabila mengerti maksud satu

22
sama lain. Sementara pengertian ini bisa mendapat kesamaan maksud jika

terjadi kesepakatan antara penutur dan mitra tutur (Prasetyo, 2018:10). Jika

mitra tutur memiliki kesamaan pengertian maka mitra tutur mengerti apa yang

disampaikan.

Tema yang menyangkut pembicaraan sehari-hari, misalnya tentang cuaca.

Contoh percakapan (1) “hari ini hujan”; dan (2) “hari ini mendung”, dalam

komunikasi tersebut tentu ada unsur mitra tutur atau pendengar (ragam lisan)

dan penutur atau pembaca (ragam tulis) mempunyai pengertian yang sama

terhadap satuan-satuan hari, ini, hujan, dan mendung. Informasi atau sesuatu

yang disampaikan mempunyai persoalan ini yang biasanya disebut tema.

Ketika memahami informasi yang diberikan maka seseorang tersebut mengerti

tema yang disampaikan, sehingga melalui kata-kata telah dapat dipahami tema

tersebut (Djajasudarma, 2010:3). Aspek pengertian dalam hal ini disebut juga

tema. Aspek ini terbentuk atau muncul dari pemahaman mengenai hubungan

dari kata-kata yang mewakili sebuah tema yang dimaksud. Ketika berbicara

seseorang menggunakan kata-kata yang dapat mewakili atau mendukung ide

yang diinginkan.

2) Nilai Rasa (Feeling)

Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa bersinggungan pada

sikap mitra tutur terhadap hal yang sedang dibicarakan. Nilai rasa yang

berkaitan dengan makna adalah kata atau kalimat yang bersangkutan pada

perasaan, baik berupa dorongan maupun penilaian. Setiap rasa mempunyai

makna yang berhubungan dengan nilai rasa, dan kata yang mempunyai makna

23
juga berhubungan dengan perasaan (Prasetyo, 2018:11). Hal tersebut

menunjukkan bahwa setiap kata atau kalimat memiliki makna yang berkaitan

dengan nilai rasa. Menggambarkan perasaan jengkel, terharu, gembira, gatal,

panas, bahkan sedih, diperlukan menggunakan kata yang sesuai. Misalnya

pernyataan “keparat kau” jika disampaikan ke orang yang berperilaku buruk

maka pantas untuk menerima ungkapan tersebut, tetapi ketika disampaikan

kepada seseorang yang berperilaku baik dan tidak bersalah, maka dapat

menimbulkan amarah orang tersebut. Dengan demikian, situasi yang berkaitan

dengan makna perasaan selalu sesuai dengan keadaan yang sedang

berlangsung.

Setiap kata memiliki makna tersendiri dan mempunyai nilai rasa. Nilai

rasa membuat bentuk kata yang otonom atau bebas digunakan karena memiliki

makna netral. Kata yang mengandung nilai rasa positif digunakan untuk hal-hal

baik, seperti memberi semangat, motivasi, nasihat, dan lainnya. Kata yang

mengandung nilai rasa negatif perlu berhati-hati saat ingin menggunakannya.

Nilai rasa ini harus dilihat dari segi keagamaan, kesopanan, kesusilaan, hukum,

dan juga nilai hidup yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat yang

memiliki anggapan berbeda perihal nilai rasa (Chaer, 2008:151). Nilai rasa bisa

juga disebut sebagai aspek perasaan, yaitu perwujudan dari perasaan yang

sedang dirasakan dari penilaian terhadap sesuatu yang diwakili oleh kata-kata

yang digunakan. Aspek ini berhubungan dengan sikap pembicara, keinginan,

dan proses penilaian terhadap sesuatu yang akan dilakukan.

24
3) Nada (Tone)

Menurut Djajasudarma (2010:5), aspek makna nada (tone) adalah sikap

penutur terhadap mitra tutur atau dapat dikatakan sikap penulis terhadap

pembaca. Aspek makna ini mengimplikasikan penutur untuk memilah kata

yang sesuai dengan situasi mitra tutur dan penutur itu sendiri. Pemilihan nada

yang digunakan terletak pada suatu konteks apakah penutur tersebut telah

mengenal mitra tutur sebelumya, apakah penutur dan mitra tutur berasal dari

latar belakang yang sama, atau apakah penutur berasal dari daerah yang sama

dengan mitra tutur. Hubungan antara penutur dan mitra tutur akan menentukan

sikap yang dapat terlihat dalam pemilihan kata yang digunakan.

Setiap nada yang digunakan memiliki makna berbeda-beda, misalnya kata

pergi. Jika seseorang berkata “pergi!!!” ini berupa kata yang menandakan

pembicara kesal. Jika seseorang berkata “pergi?” maka itu menandakan

pembicara sedang menyindir. Adapun misalnya kalimat “kereta api

Yogyakarta sudah datang.” ini berupa kalimat informasi dan menggunakan

nada datar tidak memiliki penegasan. Apabila seseorang tersebut mengucapkan

“kereta api Yogyakarta sudah datang?” maka itu menunjukkan sebuah kalimat

tanya dan nada yang digunakan memiliki penekanan di akhir kalimat.

Djajasudarma (2010:5) mengatakan bahwa aspek nada berhubungan erat

dengan aspek perasaan, jika jengkel maka sikap yang dimunculkan akan

berlainan dengan perasaan gembira terhadap lawan bicara.

25
4) Maksud (Intension)

Menurut Shipley (dalam Pateda, 2001:95) bahwasannya “aspek makna

maksud atau biasa disebut tujuan merupakan senang tidak senang, akibat dari

usaha keras yang dilaksanakan”. Setiap pengungkapan memiliki maksud yang

diinginkan, baik itu sifatnya persuasif, imperatif, pedagogis, politis, naratif,

maupun deklaratif. Misalkan dalam pengungkapan “tidak lama lagi hujan”

maka maksud dari pembicara itu adalah mengingatkan untuk bergegas pergi,

menyuruh membawa payung, atau bahkan menunda kepergian.

2.2.2 Penyebab Perubahan Makna

Pada pembicaraan terdahulu telah disebutkan bahwa makna sebuah kata

secara sikronis tidak akan berubah. Afirmasi ini menggambarkan pengertian

bahwa secara sinkronis makna sebuah kata tidak dapat berubah, maka secara

diakronis ada kemungkinan bisa berubah (Chaer, 2009:130). Dengan kata lain,

makna sebuah kata secara sinkronis dapat berubah menjadi makna sebuah kata

secara bentuk diakronis. Terdapat banyak kata yang maknanya sedari dulu

hingga sekarang belum pernah berubah. Banyak faktor yang menyebabkan

terjadinya perubahan makna sebuah kata, diantaranya sebagai berikut.

1) Perkembangan dalam Ilmu dan Teknologi

Perkembangan dalam bidang ilmu dan kemajuan dalam bidang teknologi

dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata. Suatu kata yang

sebelumnya mengandung konsep makna sederhana, tetap digunakan walaupun

konsep makna yang terkandung telah berubah sebagai akibat dari pandangan

baru, atau teori baru dalam satu bidang ilmu atau sebagai akibat dalam

26
perkembangan teknologi (Chaer, 2009:131). Suatu kata sastra dan kata yang

bermakna tulisan memiliki hasil makna berupa “karya imaginatif” yang pada

mulanya berarti “tulis tangan”. Saat ini kata tersebut masih digunakan untuk

menyebutkan naskah yang akan dicetak, walaupun hampir tidak ada lagi

naskah yang ditulis tangan karena telah ada mesin tulis. Hal tersebut

menunjukkan adanya perubahan terhadap perkembangan teknologi.

2) Perkembangan Sosial dan Budaya

Perkembangan dalam bidang sosial kemasyarakatan dapat menyebabkan

terjadinya perubahan makna. Perubahan makna ini hampir sama dengan

perkembangan dalam ilmu dan teknologi. Sebuah kata yang mulanya

bermakna‟A‟, lalu berubah menjadi makna „B‟ atau „C‟, jadi bentuk katanya

tetap sama tetapi konsep makna yang dikandungnya telah berubah (Chaer,

2009:132). Kata yang maknanya telah berubah sebagai akibat perubahan sosial

kemasyarakatan adalah kata sarjana. Menurut bahasa Jawa Kuno kata sarjana

ini berarti orang pandai atau „cendikiawan‟, sedangkan saat ini kata sarjana

berarti orang yang telah lulus dari perguruan tinggi, walaupun kemungkinan

lulusnya hanya dengan indeks prestasi kurang memuaskan dan kemampuan

mereka tidak lebih dari seseorang yang belum lulus perguruan tinggi.

3) Perbedaan Bidang Pemakaian

Menurut Chaer (2009:133) setiap bidang kehidupan atau kegiatan

memiliki kosakata tersendiri yang hanya dikenal dan digunakan dengan makna

tertentu dalam bidang tersebut. Misalkan dalam bidang pertanian memiliki kata

benih, menuai, panen, menggarap, membajak, menabur, menanam, pupuk, dan

27
hama. Pada bidang pendidikan formal di sekolah ada kata-kata murid, guru,

ujian, menyalin, menyontek, membaca, dan menghapal. Pada bidang pelayaran

ada kata-kata seperti sauh, berlabuh, nakhoda, palka, dan pelabuhan. Makna

kata yang digunakan bukan dalam bidangnya menjadi bentuk yang umum,

sedangkan kata yang bermakna digunakan dalam bidang aslinya masih pada

tergabung dalam poliseminya, karena makna-makna tersebut masih saling

berhubungan atau masih mempunyai persamaan antar makna.

4) Adanya Asosiasi

Penggunaan kata di luar bidangnya, sesuai dengan yang dibahas pada

uraian sebelumnya memiliki hubungan atau pertautan dengan makna yang

digunakan dalam bidang asalnya. Sedikit berbeda dengan pergantian makna

yang terjadi akibat pemakaian dalam bidang lain, maka makna yang baru akan

muncul sesuai dengan kata tersebut (Chaer, 2009:135). Contohnya pada kata

amplop yang berasal dari bidang administrasi atau surat-menyurat, makna

asalnya adalah „sampul surat‟. Kegunaan amplop selain dimasukkan surat,

tetapi juga dapat dimasukkan benda lain, seperti uang. Oleh karena itu, dalam

kalimat “beri saja amplop maka urusan pasti beres.” Kata amplop pada

kalimat tersebut merujuk pada makna „uang‟, sebab amplop yang dimaksud

bukan berisi surat atau tidak berisi apa-apa melainkan berisi uang sebagai

suapan. Adanya asosiasi amplop dan uang merupakan memiliki keterkaitan

dengan adanya wadah. Jadi, yang disebut wadah itu berupa amplop tetapi yang

dimaksud berupa isinya (uang).

28
5) Pertukaran Tanggapan Indra

Manusia memiliki alat indra yang secara aktual telah mempunyai fungsi

tertentu untuk merangsang isyarat yang sedang berlangsung di sekitarnya.

Ibarat rasa manis, pedas, dan asin ditanggap oleh alat indra perasa yakni pada

lidah. Merangsang suhu, tekstur, sentuhan, dan rasa sakit direspon oleh alat

indra peraba pada kulit. Isyarat yang berkaitan pada cahaya berupa terang,

gelap, remang-remang, dan jika melihat gambar harus direspon oleh alat indra

pengelihatan yakni pada mata; sedangkan yang berkaitan dengan pembau harus

direspon dengan alat indra penciuman yaitu pada hidung. Namun, pemakaian

bahasa kerap adanya peristiwa pertukaran respon antar indra perasa, peraba,

pembau, dan pengelihatan. Rasa pedas seharusnya ditanggap oleh alat indra

perasa lidah, tertukar menjadi ditanggap oleh alat indra pendengar seperti

tampak dalam ujaran “kata-katanya cukup pedas.” Atau kasar yang seharusnya

ditanggap oleh alat indra peraba, tetapi justru ditanggap oleh alat indra

pengelihatan (mata), seperti pada ujaran “tingkah lakunya kasar,” (Chaer,

2009:136). Penggunaan bahasa Indonesia secara umum banyak sekali terjadi

perbandingan-perbandingan antar subjek, misalnya cokelat tua adalah warna

cokelat gelap sedangkan cokelat muda adalah warna cokelat terang. Cokelat

tua sama dengan cokelat muda, dan cokelat muda sama dengan cokelat tua.

Ketika menyebutkan satu objek kecil maka hal itu dianggap sama dengan

subjeknya.

29
6) Perbedaan Tanggapan

Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah

mempunyai makna leksikal yang tetap. Namun, karena pandangan hidup dan

ukuran dalam norma kehidupan dalam masyarakat banyak kata yang menjadi

memiliki nilai rasa yang “rendah”, kurang menyenangkan. Selain itu, ada juga

yang memiliki nilai rasa “tinggi”, atau menyenangkan. Kata-kata yang nilainya

merosot menjadi rendah ini lazim disebut peyoratif, sedangkan yang nilainya

naik menjadi tinggi disebut amelioratif (Chaer, 2009:137). Contoh pada kata

bang (seperti bang Dul) dianggap peyoratif; jika kata bung (Bung Karno, Bung

Hatta, dan Bung Gafur) dianggap amelioratif. Nilai rasa peyoratif dan

amelioratif tidak bersifat tetap, nilai rasa itu kemungkinan besar hanya bersifat

sinkronis.

7) Adanya Penyingkatan

Menurut Chaer (2009:138) dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau

ungkapan yang sering digunakan, maka kemudian tanpa diucapkan atau

dituliskan secara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya. Oleh karena

itu, orang-orang menggunakan singkatan daripada bentuk utuhnya. Kata-kata

yang disingkat seperti dok maksudnya „dokter‟, lok maksudnya „lokomotif‟

dan let maksudnya „letnan‟; serta bentuk-bentuk yang disebut akronim seperti

tilang untuk „bukti pelanggaran‟, satpam untuk „satuan pengamanan‟, hankam

untuk „pertahanan keamanan‟, kemdikbud untuk „kementerian pendidikan dan

kebudayaan republik Indonesia‟ dan akronim lainnya.

30
8) Proses Gramatikal

Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi akan

menyebabkan terjadinya perubahan makna. Akan tetapi, dalam hal ini yang

terjadi sebenarnya bukan perubahan makna, sebab bentuk kata telah berubah

sebagai hasil proses gramatikal (Chaer, 2009:139). Jika bentuk berubah, maka

makna juga ikut mengalami perubahan. Jadi, tidak dapat dikatakan kalau dalam

hal ini telah terjadi perubahan makna, sebab yang terjadi adalah proses

gramatikal, dan proses tersebut telah “melahirkan” makna-makna gramatikal.

9) Pengembangan Istilah

Pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan

memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia yang ada dengan memberi makna

baru, baik dengan menyempitkan makna kata tersebut, meluaskan, maupun

memberikan makna baru (Chaer, 2009:140). Contohnya kata papan yang

semula bermakna „lempengan kayu tipis‟ diubah menjadi istilah untuk makna

„perumahan‟; kata sandang yang semula bermakna „selendang‟ kini diangkat

menjadi istilah untuk „pakaian‟; dan kata lainnya yang memiliki pembentukan

makna baru.

2.3 Hakikat Disfemia

Disfemia atau biasa juga disebut disfemisme berasal dari bahasa Yunani

dys atau dus (bad, abnormal, difficult=bahasa Inggris) yang berarti “buruk”,

adalah suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan, atau menyakitkan

hati mengenai sesuatu atau seseorang dan merupakan pengganti untuk

31
ungkapan netral (biasa) karena alasan-alasan tertentu. Smith (dalam

Ramadhani, 2017:12) bahwa disfemia merupakan suatu pernyataan yang

berfungsi menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih serius daripada

kenyataannya.

Disfemia merupakan antonimnya eufemia. Apabila eufemia bentuk usaha

menggantikan kata yang mengandung makna kasar dengan kata halus, maka

antonimnya yang berupa disfemia adalah suatu upaya untuk mengubah

perkataan halus tersebut dengan kata yang terasa kasar. Disfemia ini biasanya

digunakan dalam keadaan yang tidak ramah untuk mengungkapkan kekesalan

ataupun ingin mendapat atensi. Contohnya pada “kata mengambil adalah kata

biasa bersifat lugas, namun kata tersebut diganti dengan kata mencaplok yang

sebenarnya mempunyai makna „memasukkan begitu saja ke mulut‟ seperti

dalam kalimat „dengan seenaknya Israel mencaplok wilayah mesir itu‟”

(Chaer, 2009:154).

Menurut Gluck (dalam Kurniawati, 2011:21) “disfemia merupakan

ungkapan yang bias, menyinggung atau bahkan melukai, mengutarakan suatu

hal yang tabu, memakai kata-kata umpatan atau makian, dan kata yang

memiliki sifat vulgar”. Hal tersebut dapat menimbulkan kesan buruk bagi

pembicara dan pendengar akan merasa tidak nyaman. Seseorang yang

menggunakan disfemia memiliki niat untuk terlihat tegas dalam menyampaikan

gagasannya.

Disfemia merupakan suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan,

atau menyakitkan hari mengenai sesuatu atau seseorang (Rifa‟i, 2012:44).

Disfemia digunakan untuk menunjukkan kejengkelan, memberikan tekanan

32
tanpa terasa kekasarannya, dan untuk mencapai efek pembicaraan menjadi

tegas. Bentuk penggunaan disfemia dapat digunakan dalam karya sastra

sebagai alat untuk memperoleh efek keindahan, mengedepankan, dan

mengaktualkan sesuatu yang dituturkan. Mengingat bahwasannya karya sastra

merupakan cara pengarang untuk menyampaikan ide atau gagasannya kepada

pembaca.

Disfemia berarti menggunakan dengan sengaja suatu ungkapan atau kata-

kata yang bermakna kasar dan tidak sopan (Kurniawati, 2011:53). Selain itu,

disfemia bersinonim dengan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati,

menjijikkan, kasar atau tidak sopan, vulgar, tabu, dan tidak senonoh. Dengan

kata lain, pemakaian disfemia adalah upaya penggantian kata atau bentuk lain

yang bernilai rasa positif atau netral dengan kata lain yang bernilai kasar atau

negatif. Dengan demikian, disfemia erat kaitanya dengan nilai rasa, yaitu

makna yang dibawa oleh suatu kata. Nilai rasa tersebut antara lain

menyeramkan, mengerikan, menakutkan, menjijikkan, dan menguatkan.

Kesimpulan dari beberapa pengertian tentang disfemia adalah bahwa

disfemia merupakan penggunaan kata-kata kasar dan bernilai rasa kurang

sopan, menyakitkan, vulgar, tabu, dan tidak senonoh. Penggunaan kata-kata

tersebut untuk mengganti ungkapan-ungkapan yang bernilai rasa lebih halus.

Kata-kata berdisfemia ini biasanya muncul dalam situasi yang tidak ramah,

biasanya untuk mengungkapkan kekesalan atau kejengkelan dan juga disfemia

merupakan cara mengungkapkan pikiran dan fakta melalui kata atau ungkapan

yang bermakna keras, kasar, tidak ramah, atau berkonotasi tidak sopan

(Prasetyo, 2018:25). Hal tersebut dikarenakan alasan-alasan tertentu, misalnya

33
untuk melepaskan kekesalan hati, kemarahan, kekecewaan, frustasi, dan rasa

benci atau tidak suka dan juga untuk menggantikan kata atau ungkapan yang

maknanya halus, biasa, atau tidak menyinggung perasaan.

2.3.1 Bentuk Kebahasaan Disfemia

Berdasarkan prinsip, bahasa terdiri dari dua bagian, yaitu: 1) segi bentuk,

2) segi makna yang mengungkap bentuk itu sendiri. “Bentuk bahasa terdiri atas

bentuk-bentuk gramatikal yang berupa wacana, kalimat, klausa, frasa, kata,

morfem” (Prasetyo, 2018:19). Disfemia berkaitan dengan dua jenis makna,

yaitu: 1) makna leksikal dan 2) makna gramatikal.

Makna leksikal ialah makna yang berkaitan erat dengan setiap leksem

sebagai bagian dari satuan leksikon. Menurut Chaer (2009:117) bahwa “makna

leksikal ini merupakan makna yang secara inheren ada di dalam kata itu

terlepas dari konteks apapun”, contohnya seperti kata pulpen memiliki makna

„sejenis alat tulis yang dibuat dari bahan plastik dan memiliki tinta‟, hal

tersebut menunjukkan bahwa makna leksikal yakni makna apa adanya, makna

yang sesuai dengan hasil observasi, makna yang tidak terlepas dari rujukan.

Makna leksikal mengacu pada makna lambang kebahasaan yang masih bersifat

dasar, belum mengalami konotasi dan hubungan gramatikal dan bersifat leksem

atau makna yang sesuai dengan referensinya.

Makna gramatikal merupakan makna yang terjadi akibat hasil proses

gramatikal. Pada bahasa Indonesia, proses gramatikal yang terjadi berupa

reduplikasi, komposisi, afiksasi, dan proses pengalimatan. Makna gramatikal

merujuk pada hubungan antar unsur bahasa dalam satuan yang lebih besar,

misalnya hubungan antara kata dengan kata lain dalam frasa atau klausa.

34
Makna gramatikal biasanya bertentangan dengan makna leksikal. Makna

leksikal mengacu pada makna kata atau leksem yang sesuai dengan referennya,

maka makna gramatikal merupakan makna yang muncul sebagai hasil proses

gramatikal.

Menurut Putri (2016:48) bentuk kebahasaan disfemia dibagi menjadi tiga

jenis, yaitu kata, frasa, dan klausa. Berikut penjelasannya.

1) Kata

Kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian. Batasan kata

ada dua hal, yaitu setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap

dan tidak berubah, serta tidak dapat diselipi fonem lain. Hal itu menunjukkan

bahwa kata merupakan satuan bahasa yang paling kecil dan memiliki satu

pengertian, semua morfem yang menyatu jadi satu dengan kata lain maka

bentuk jadiannya biasa disebut kata. Bentuk pemakaian disfemia yang berupa

kata dicontohkan sebagai berikut.

a. Pemuda UMNO mencaplok Kepulauan Riau dengan seenaknya.

Kata mencaplok merupakan disfemia untuk menggantikan frasa

mengambil dengan begitu saja.

b. Setelah menduduki jabatan penting, dia dengan segera mendepak

orang-orang yang tidak disukai.

Kata mendepak digunakan untuk mengganti kata mengeluarkan.

2) Frasa

Frasa merupakan satuan gramatikal yang berupa gabungan kata bersifat

nonpredikatif, atau lazim disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi

35
sintaksis dalam kalimat. Contoh bentuk pemakaian disfemia yang berupa frasa

sebagai berikut.

a. Khasmir banjir darah 14 tewas.

Frasa banjir darah dipilih sebagai disfemia dari kata kisruh.

b. Kedatangannya akan memperkeruh situasi pertandingan.

Kata akan memperkeruh merupakan frasa yang akan menggantikan

kata mempersulit.

c. Dia sangat sembrono dalam mengerjakan sesuatu

Kata sangat sembrono merupakan frasa yang menggantikan kata

gegabah.

3) Klausa

Klausa merupakan kelompok kata yang terdiri atas subjek dan predikat.

Kalimat sederhana terdiri atas satu klausa. Klausa sebagai bentuk kalimat

sederhana atau dapat disebut sebagai calon kalimat. Contoh pemakaian bentuk

disfemia dalam klausa adalah sebagai berikut.

Dasar ya, urat malumu sudah putus. Klausa urat malumu sudah putus

merupakan bentuk disfemia, frasa urat malu berfungsi sebagai subjek

dan frasa sudah putus berfungsi sebagai predikat. Klausa urat malu

sudah putus merupakan bentuk disfemia dari klausa tidak punya malu.

Disfemia atau lebih tepatnya pengasaran makna tidak dapat terlepas dari

ungkapan hinaan, ejekan, makian, bullying, dan hal lainnya. Wijaya (2004:

245) mengatakan bahwa “Disfemia bahasa Indonesia sebagai pengganti kata-

kata yang bernilai rasa baik ternyata dapat berwujud sebagai berikut.

36
1) Pengasaran makna atau makian berupa satuan kebahasaan, yakni kata

dalam penggunaan pengasaran makna yaitu berbentuk suatu kata dan

diubah ke dalam bentuk makna gramatikal yang mempunyai nilai rasa

halus.

2) Pengasaran makna atau makian berupa satuan kebahasaan, yakni frasa

dalam pemakaian bentuk pengasaran makna yakni berbentuk suatu frasa

dan diubah dengan bentuk yang berbeda dan mempunyai nilai rasa yang

halus.

3) Pengasaran makna dan makian berupa satuan kebhasaan, yakni klausa

penggunaan kata kasar berbentuk klausa dan diubah dengan suatu bentuk

yang lain mempunyai nilai rasa halus.

2.3.2 Nilai Rasa Disfemia

Djajasudarma (2013:13) menyatakan bahwa “disfemia yang berhubungan

dengan nilai kasar tidak terlepas dari adanya makna emotif. Makna emotif

merupakan makna yang dikaitkan dengan perasaan penulis dan pembaca ke arah

positif maupun negatif”. Hal tersebut menimbulkan reaksi terhadap rangsangan

pada penutur yang berkaitan pada penilaian terhadap sesuatu. Ungkapan “kau

anjing,” dari penggunaan kata anjing ini akan memunculkan rasa tidak

menyenangkan bahkan marah yang dirasakan pendengar. Kata anjing tersebut

selalu dihubungkan dengan sesuatu yang najis, karena dalam ajaran islam anjing

merupakan hewan yang haram. Oleh karena itu, pendengar akan tersinggung dan

marah.

37
Makna emotif merupakan makna yang ditimbulkan akibat adanya respon

pembaca atau rangsangan pembicara mengenai penilaian terhadap sesuatu yang

terjadi dalam urutan kata “engkau kerbau”. Kata kerbau memunculkan perasaan

tidak enak dari pendengar atau dengan kata lain, kata kerbau mengandung

makna emosi. Kata kerbau dihubungkan dengan perilaku yang malas, lamban,

dan dianggap sebagai penghinaan. Pendengar merasa tersinggung, perasaan yang

tidak enak, tidak heran orang yang mendengar kata itu akan mengambil sikap

melawan. Masri, dkk (2001:72) mengungkapkan bahwasannya “dilihat dari nilai

rasa, penggunaan disfemia menunjukkan kecenderungan menyeramkan,

mengerikan, menakutkan, menjijikkan, dan menguatkan”. Berikut ini adalah

beberapa nilai rasa yang terdapat pada penggunaan disfemia.

1) Nilai Rasa Menyeramkan

Nilai rasa menyeramkan merupakan nilai rasa yang menceritakan suatu

peristiwa atau suasana yang menyeramkan sehingga bulu kuduk bediri. Contoh

penggunaan bentuk disfemia yang memiliki nilai rasa menyeramkan tampak

dalam kalimat di bawah ini.

(1) Perbuatan bejat itu terjadi Jumat (25/6) lalu sekitar pukul 23.00 WIB

(1a) Perbuatan asusila itu terjadi Jumat (25/6) lalu sekitar pukul 23.00 WIB

Pada kalimat (1) dan (1a) terlihat bahwa kata bejat dipakai untuk

menggantikan kata asusila. Dilihat dari makna emotif, kata bejat dan asusila

memiliki nilai rasa yang berbeda, karena kata bejat mempunyai nilai rasa lebih

kasar atau lebih buruk daripada kata asusila.

38
2) Nilai Rasa Mengerikan

Nilai rasa mengerikan merupakan nilai rasa yang mendefinisikan perihal

suatu hal yang tidak pantas dilakukan oleh manusia. Nilai rasa mengerikan

terlihat dalam kalimat berikut ini.

(2) Tauke jagung dicincang pedagang karena menagih hutang.

(2a) Tauke jagung dibunuh pedagang karena menagih hutang.

(2b) Setelah dicuci, daging kemudian dicincang menjadi beberapa bagian.

Kata dicincang dalam kalimat (2) dipakai untuk menukarkan kata dibunuh

pada kalimat (2a). Tidak hanya bernilai makna kasar, suatu bentuk penukaran

tersebut juga menguraikan hal-hal yang memberi dampak mengerikan dan tidak

sepatutnya dilakukan oleh manusia. Dalam konteks kalimat (2b) kata dicincang

dipakai pada konteks hewan, pada kata dicincang yang terdapat kalimat (2)

mempunyai nilai rasa yang lebih kasar dan mengerikan daripada kata dibunuh

pada kalimat (2a). Kata dicincang memiliki makna kegiatan memotong daging

hingga halus.

3) Nilai Rasa Menakutkan

Nilai rasa menakutkan merupakan nilai suatu rasa yang menguraikan suatu

perihal yang memiliki kaitan dengan makhluk supranatural seperti jin, iblis, setan,

hantu, dan sejenisnya. Selain itu juga nilai rasa menakutkan dapat menimbulkan

hal yang berkaitan dengan binatang buas yang menimbulkan perasaan ketir bagi

manusia karena bertindak menyerang bahkan melukai. Misalkan penggunaan

disfemia yang memiliki rasa menakutkan tampak pada kalimat berikut ini.

39
(3) Kami mengharapkan agar tidak ada dajjal politik dalam kabinet.

(3a) Kami tidak mengharapkan adanya setan dalam kabinet.

(3b) Datangnya hari kiamat akan ditandai dengan munculnya dajjal.

Pada kalimat (3) dan (3a) tampak bahwa kata dajal digunakan untuk

mengganti kata setan. Makna emotif yang ada pada keduanya bersifat sama,

tetapi memiliki perbedaan pada nilai rasa. Kata dajjal bernilai rasa lebih

menakutkan dibandingkan dengan kata setan. Konteks kalimat (3b) kata dajal

mengacu pada raja setan. Kata dajjal mempunyai nilai rasa yang lebih

menakutkan daripada kata setan, karena kata dajal mempunyai makna „raksasa

besar‟.

4) Nilai Rasa Menjijikkan

Nilai rasa menjijikkan ialah nilai rasa yang mengungkapkan peristiwa yang

kotor atau jorok yang dapat melahirkan perasaaan geli atau jijik seperti peyakit

dan kotoran. Nilai rasa menjijikkan terlihat dalam kalimat berikut.

(4) Penolakan kali ini tidak terlepas dari banyaknya borok dalam BPPN

(4a) Penolakan kali ini tidak terlepas dari banyaknya masalah dalam BPPN.

(4b) Kaki anak kecil itu bernanah karena penyakit borok.

Pada kalimat (4) dan (4a) terlihat bahwa kata borok digunakan sebagai bentuk

disfemia untuk menggantikan kata masalah. Berdasarkan makna emotif, kedua

kata tersebut memiliki muatan nilai rasa berbeda. Kata borok mempunyai nilai

rasa yang lebih besar dan menggelikan daripada kata masalah. Kalimat (4b) kata

40
borok dipakai untuk menunjukkan jenis penyakit. Kata borok bermakna „luka

bernanah dan berbau busuk.‟

5) Nilai Rasa Menguatkan

Nilai rasa menguatkan ialah nilai rasa yang bermaksud lebih menyampaikan

suatu tekanan kepada hal tertentu. Penggunaan disfemia dimaksudkan untuk

menguatkan makna bentuk penggantinya saja. Contoh pemakaian bentuk disfemia

yang mempunyai nilai rasa menguatkan terdapat kalimat berikut.

(5) Untuk apa mereka menjadi seorang pemimpin jikalau menjalankan

pemilihan bupati saja tidak becus.

(5a) Untuk apa mereka menjadi seorang pemimpin jikalau menjalankan

pemilihan bupati saja tidak cakap.

Kata becus dalam kalimat (5) dipilih untuk mengubah posisi kata cakap pada

kalimat (5a). Tidak hanya bernilai rasa lebih kasar, kata becus dapat pula

digunakan dalam menguatkan makna negatif dan kata tersebut boleh didahului

oleh bentuk negatif “tidak”. Hal tersebut berbeda dengan kata cakap yang jarang

digunakan dalam bentuk negatif.

2.3.3 Tujuan Penggunaan Disfemia

Wardaugh (dalam Prasetyo, 2018:24) menyatakan bahwa “disfemisme

bertujuan untuk memberikan gambaran negatif tentang suatu tindakan

seseorang yang berhubungan dengan kata-kata tabu”. Pemakaian kata yang

tabu yakni untuk mencari minat seseorang, menyatakan perilaku yang tidak

41
hormat, memperlihatkan sifat yang agresif atau provokatif, mengejek-ejek

seorang pejabat, serta pembujuk bersifat verbal.

Disfemisme secara umum digunakan untuk membahas mengenai

lawan, menyatakan ketidaksepakatan terhadap argumen seseorang, membahas

mengenai sesuatu yang dianggap sebagai suatu yang berkedudukan rendah,

dan digunakan untuk merendahkan seseorang (Prasetyo, 2018:25).

“Sementara itu, Zollner (dalam Prasetyo, 1018:24) menguraikan beberapa

alasan penggunaan disfemisme antara lain”.

Alasan penggunaan disfemisme antara lain, yaitu untuk (1)

memandang rendah lawan, (2) menyatakan suatu bentuk tidak

suka, serta ketidaksepakatan pada pendapat seseorang, (3)

memperkukuh suatu penghinaan (4) memberikan suatu gambaran

yang negatif perihal pasangan politik, dimulai dari padangan,

perbuatan, serta prestasi yang dicapai, (5) berhubungan dengan

agama dan kepercayaan seseorang, (6) sebagai tujuan teroris, (7)

menarik perhatian banyak orang.

Dari uraian di atas dapat diberi simpulan bahwa disfemia adalah pergantian

suatu ungkapan memiliki makna yang tidak berpihak atau halus terhadap

ungkapan lain. Setiap ujaran yang memiliki makna serupa, tetapi memiliki nilai

rasa yang lebih kasar dari ungkapan sebelumnya. Bentuk-bentuk disfemia dapat

berbentuk kata, frasa, klausa, atau bahkan kalimat. Dalam lingkup nilai rasa

emotif penggunaan disfemia dapat terlihat dalam lima bentuk, yaitu mengerikan,

menyeramkan, menjijikkan, menakutkan, dan menguatkan. Nilai rasa berupa

42
emotif tidak hanya terkandung dalam disfemia, tetapi penggunaan suatu disfemia

juga digunakan dalam membahas hal tabu, seperti melakukan perbandingan antara

perilaku manusia dengan perilaku binatang atau hewan, menyebutkan suatu kata

yang berkaitan pada ketabuan organ seksual, serta menghina kekurangan fisik dan

mental terhadap seseorang. Penggunaan disfemia tidak hanya dilakukan pada

kegiatan sehari-hari, tetapi media massa juga menggunakan hal tersebut, seperti

berita yang mengandung click bait dengan tujuan agar mendapatkan perhatian dari

masyarakat.

2.4 Dampak Disfemia dalam Komentar Netizen

Penggunaan disfemia yang berlebihan dalam suatu komentar di media

sosial, memberikan beberapa dampak dari berkomentar tersebut. Dampak yang

dimunculkan dalam kelebihan pemakaian disfemia yakni berupa ujaran kebencian

atau biasa disebut dengan istilah hate speech. Menurut Febriani (2018:2) “ujaran

kebencian atau hate speech merupakan tindakan komunikasi yang dilakukan oleh

suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan

kepada individu/kelompok lainnya yang menuju pada aspek seperti ras, warna

kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.”

Penggunaan hate speech dilakukan dengan mudah menggunakan media sosial, hal

tersebut dikarenakan tingkat keberanian seseorang lebih tinggi saat tidak

berhadapan langsung dengan yang ingin diberi komentar. Ujaran kebencian (Hate

Speech) saling berkaitan dengan penggunaan disfemia, yang dimana ujaran-

ujarannya berupa makna kasar.

43
Ujaran kebencian yang dilontarkan oleh pengguna sosial media dalam

kolom komentar memicu pengguna lainnya berkomentar hal yang serupa dan hal

yang kontra dengan komentar sebelumnya. Adanya hal tersebut memacu saling

memberikan ujaran kasar dan tidak sopan, menimbulkan adanya fitnah atau tidak

sesuai dengan fakta yang ada, perbuatan tidak menyenangkan, bahkan penghinaan

yang ada dalam komentar tersebut. Indonesia memiliki pasal yang menangani

ujaran kebencian terhadap seorang individu atau kelompok, baik berbentuk tulisan

maupun lisan. Pasal tersebut tertera pada Surat Edaran Kapolri No: SE/06/X/2015

Pasal 156, Pasal 157, Pasa; 310, dan Pasal 311. Adapun bentuk ujaran kebencian

(Hate Speech) sebagai berikut.

2.4.1 Penghinaan

Menurut R. Soesilo (1991:225) dalam bukunya yang berjudul Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap

Pasal Demi Pasal dalam penjelasan pasal 310 KUHP, menjelaskan bahwa

“menghina adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, yang

diserang biasanya merasa malu.” Objek penghinaan adalah berupa rasa harga diri

atau martabat mengenai kehormatan dan mengenai nama baik bersifat individual

ataupun kelompok.

2.4.2 Penistaan

Penistaan adalah suatu perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan

yang dilarang, karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap

prasangka baik dari pihak pelaku ataupun korban (Febriani, 2018:54). Menurut

Pasal 310 ayat (1) KUHP “penistaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan

dengan cara menuduh seseorang atau kelompok telah melakukan perbuatan

44
tertentu dengan maksud agar tuduhan itu diketahui oleh orang banyak.” Perbuatan

yang dituduhkan tersebut tidak perlu suatu perbuatan yang dapat dihukum seperti,

mencuri, menggelapkan uang, berzina, dan sebagainya, tetapi cukup dengan

perbuatan yang memalukan.

2.4.3 Menghasut

Menurut Febriani (2018:55) menghasut artinya mendorong, mengajak,

membangkitkan, atau membakar semangat seseorang agar berbuat sesuatu. Dalam

kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut lebih keras

daripada „memikat‟ atau „membujuk‟ akan tetapi bukan „memaksa‟. Kegiatan

menghasut akan selalu ada dalam kolom komentar yang sedang viral, baik hasutan

berupa positif maupun negatif.

2.4.4 Pencemaran Nama Baik

Pencemaran nama baik dalam KUHP disebut juga defamation yakni

tindakan mencemarkan nama baik atau kehormatan seseorang melalui cara

menyatakan sesuatu baik secara lisan maupun tulisan (Febriani, 2018:53).

Pencemaran nama baik ini biasanya terjadi dalam peristiwa yang tidak sesuai

dengan fakta, tetapi hal yang diada-adakan.

45

Anda mungkin juga menyukai