Anda di halaman 1dari 9

SEMIOTIK VS HIPERSEMIOTIK

1. Pendahuluan
Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya,
fungsinya, hubungannnya dengan tanda lain, pengirimnya dan penerimanya oleh
mereka yang menggunakannya (Pierce dalam Zoest, 1992: 1-5). Tanda terbagi
menjadi 2 bagian, penanda yaitu citra bunyi, sedangkan petanda yaitu gagasan tau
konsep (Untung dan Cristomy, 2004:20). Sementar versi Tonil, Semiotka
adalah ilmu tentang tanda yang mempelajari fenomena budaya,
termasuk sastra sebagai sistem tanda (berhala semiotika,
2000:1). Namun yang pastinya, Ferdinand De Saussure ialah salah
seorang dari semiotik ini. Tetapi, Saussure tidak penah berpretasi menjadi
Semiotisian, karena pusat minatnya ialah bahasa. Tapi dialah yang pertama kali
mencetuskan gagasan untuk melihat bahasa sebagai sistem tanda. Selain Saussure,
Charles Sanders Pierce juga salah seorang Semiotikus yang juga membahas
tentang tanda. Pierce melihat tanda dari tiga hubungan (Relation) yaitu hubungan
tanda dengan sifat Ground, hubungan tanda dengan Denotatum dan hubungan
tanda dengan Interpretant.
Sepertinya Pierce adalah seorang manusia yang ganjil, serba tiga, begitu
pula kategorei tanda yang dia kemukan serba tiga. Hubungan tanda dengan sifat
terdapat tiga kelompok; Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda
beradasarkan suatu sifat. Contohnya, sifat merah merupakan Qualisign, karena
merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Agar merah benar-benar berfungsi
sebagai suatu tanda, maka merah harus diberi bentuk. Maka, merah digunakan
sebagai tanda. Contohnya, bagi sosialis pada bendera merah dan untuk
menyatakan cinta dengan memberi mawar merah ke pada seseorang. Jadi, merah
sudah diberi bentuk seperti pada bendera sosialis dan pada mawar. Berarti
Qualisigns yang murni menurut Pierce tidak ada dan Qualisigns sebagai tanda
dasar harus tertanam pada bentuk yang lain supaya berfungsi sebagai tanda, ini
hanya berlaku pada Qualisigns saja.
Sinsign adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilannya pada
kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dan tanda yang

1
yang kita kenal tidak didasari oleh suatu kode disebut Sinsign. Contohnya, sebuah
jeritan berarti tanda kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Kita juga dapat
mengenal orang dari cara batuknya, dehemnya, langkah kakinya, tertawanya, nada
dasar dan suaranya.
Legisign adalah tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum,
sebuah konvensi, sebuah kode. Contohnya, tanda-tanda lalu-lintas, mengangguk
berarti tanda ’’ya’’, mengarutkan alis, berjabat tangan dan lain-lain (Zoest,
1993:18-22).
Hubungan tanda dengan Denotatum, juga ada tiga kelompok; hubungan
yang didasari oleh kemiripan disebut Ikon (Zoest, 1993:22-27). Contohnya, foto
seseorang merupakan Ikon dari orang tersebut; hubungan yang didasari oleh
adanya hubungan sebab akibat disebut dengan indeks. Contohnya, adanya asap
berarti telah terjadi sebuah kebakaran, karena asap akan didahului oleh api;
hubungan yang terbentuk beradasarkan kesepakatan, konvensi dan aturan yang
berlaku umum disebut dengan Simbol. Contohnya, asap bagi orang Indian berarti
simbol perang dengan Belanda, bukan menandai adanya kebakaran.
Hubungan tanda dengan Interpretant, juga terdapat tiga kelompok; Rheme
adalah tanda yang dapat diintrepretasikan dengan dua kemungkinan Denotatum.
Contohnya, perkataan ‘’kursi ’’ merupakan sebuah bahasa, tapi tanpa konteks,
kata ini hanya mempunyai kemungkinan denotata. Apabila kata kursi diberi
konteks, maka kursi dapat menciptakan kemungkinan-kemungkinan Interpretant
(Dalam Zoest, 1993: 27-30). Bisa saja acuannya kursi pejabat, DPR, MPR dan
sebagainya. Desicign adalah tanda apabila tanda menawarkan hubungan yang
benar-benar ada di antara tanda Denotatum. Ini, termasuk tanda yang informatif.
Hal ini, dapat dibuktikan kebenarannya. Contohnya, Preseiden SBY datang ke UI,
ini dapat dibuktikan kebenenarannya, apakah benar Presiden datang ke UI pada
waktu tersebut?. Artinya, tanda ini didukung oleh faktor eksternal. Argument
adalah suatu proses berfikir yang membuat orang memproduksi kepercayaan
terhadap sesuatu, untuk itu diperlukan proses lain untuk mendukung Argument ini.
Artinya, kebenarannya didukung oleh faktor internalnya sendiri. Contohnya,
semua mahluk pasti mati, Malaikat ialah mahluk, Malaikat pasti mati.

2
Kemudian terdapat ahli semiotik lain yaitu Barthes. Pendekatan dalam
semiotik Barthes, melihat teks sebagai tanda yang memiliki segi ekspresi dan isi.
Oleh karena itu teks ia lihat sebagai: (1)suatu maujud yang mengandung unsur-
unsur kebahasaan, (2) suatu maujud yang untuk memahaminya harus tertumpu
pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam bahasa teks itu, (3) sebagai suatu bagian
dari kebudayaan. Sebenarnya semiotik ala Barthes dengan Pierce mempunyai
kesamaan konsep, hanya saja pada teori Barthes lebih bersifat tertutub sedangkan
pada teori Pierce lebih terbuka, karena proses semiosis menurutnya tidak terbatas.
Gambaran di atas hanyalah memng tidak begitu rumit dan tampit apa adanya,
namun ketika anasir-anasir itu sudah bisa dikatakan kurang ajar adalam artian
melewati batas-batas tersebut maka Piliang berusaha mensejajari ahli-ahli tanda di
atas, dengan dunia Hypernya.

B. Semiotik vs Hipersemiotik
Berbeda dengan Semiotik, hipersemiotik merupakan ilmu di luar batas
realitas, yang mana relitas yang digambarkan Hiper ini telah direlisasikan sejak
zaman dahulu hingga zaman sekarang. Kata hiper berarti berlebih-lebihan dan di
luar kaidah-kaidah yang ideal. Namun begitu, hipersemiotik tetap berangkat dan
berasal dari pengembangan semiotik itu sendiri.
Eko dalam Piliang (2003) mengatakan bahwa semiotik itu sendiri
sesungguhnya teori untuk berdusta, yang mana di saat semiotik itu diterapkan
akan menemukan dan mempraktekan dua tujuan sekaligus yaitu kejujuran dan
kebohongan. Tepatnya semiotik itu adalah teori untuk berdusta, menipu dan
membohongi siapa saja, teori dusta ini disebut piliang dengan Hipersemiotik,
ketika semiotik itu telah di tafsirkan melebihi idealnya dan melewati batas-batas
terhadap apa yang telah digambarkan Sausure tentang semiotik dan relasi-relasi
yang membangun kelahiran semiotik tersebut. Sausure menggambarkan bahwa
prinsip dalam semiotik ditandai dengan adanya prinsip struktural yang mana relasi
antra antara bersifat material, prinsip kesatuan yang tidak dapat memisahkan
antara penanda dengan tinanda, tak obahnya seperti selembar kertas, konvensional
yang lahir berdasarkan persekutuan pendapat para ahli bahsa, prinsip ketetapan di
dalam ruang dan waktu, merepresentasikan realita dan keberlanjutan. Nah, di

3
dalam Hipersemiotika melampau batas-batas tersebut, sehingga membentuk
struktur yang jauh lari dari dasar semiotik, Piliang menggambarkan Hipersemiotik
itu lebih mengutamakan perubahan dan transpormasi, permaian tanda di
permukaan (imanensi), mementingkan perbedaan dari pada konvensi,
mementingkan permainan pada tingkat tuturan, keterputusan, dan raja
kebohongan (simulasi).
Sejalan dengan itu, dia juga menjadikan tanda dengan berbagai macam
bentuk rona dan kejadian yang cukup menantang para pengamat tanda. Ada yang
dinamakan dengan tanda sebenarnya yang mempunyai hubungan relatif simetris
dengan realitas/tanda kejujuran, tanda palsu atau tanda gadungan atau hanya
menyerupai seperti icon dalam pemahaman Pierce, tanda dusta yang mana tanda
yang menggunakan tanda dan penanda yang salah, sementara realitas yang dicapai
juga salah, tanda daur ulang tanda yang aneh tapi bermanfaat bagi dunia kekinian,
tanda buatan yang sengaja diciptakan lewat teknologi mutakhir, seperti foto
sknadal SBY dengan perempuan cantik, dan kemudian tanda ekstrim sebagai
tanda yang hiperbola (Piliang, 2003:51-58).
Namun Budrilar mengatakan tiada salahnya kita menikmati hidup dalam
dunia simulasi, menikmati hidup dalam hiperealitas walau sesungguhnya
berakibat fatal sekali. Sebab di sini manusia akan melupakan tuhannnya sebagai
pencipta, terjadi pemutusan hubungan dengan spiritual, simulasi itu sendiri
menurutnya tidak hanya melipatgandakan being, tetapi sudah menciptakan model
yang tanpa asal usul atau realitas, Hiperealitas. Tanda tidak ada lagi acuannya
dalam realitas, semuanya berupa penanda. Maka di sinilah yang dikatakan piliang
(2006) bahwa manusia terjebak dalam bujuk rayu dan ketersesatan tanpa
bertujuan, citraan adalah segala-galanya bagi manusia. Tanda menciptakan
mitosnya sendiri dalam nostalgia dan mengambil alih makna secara atuh, hayalan-
hayalan semu tetapi terlihat sangat nyata. Padahal awalnya simulasi dianggap
Budrilar sebagai strategi intelektual, namun perkembangannya membawa dampak
menuju hiperrealitas sebagai akibat dari pengalaman kebendaan itu sebagai hasil
dari sebuah proses. Di sinilah awal runtuhnya ideiolgi, mungkin bisa jadi dari
sinilah berasalnya dari KKN yang menggejala di Indonesia dewasa ini. Sebab
yang cenderung dan menjadi pujaan adalah hayalan-hayalan akan nafsu, baik

4
nafsu kebendaan, ekonomi, jabatan hingga nafsu seks. Referensi yang tersisa
hanyalah massa yang selalu memamahbiak apa yang dihasilkan dunia citraan,
dibuat norma baru, sistem nilai namun hanyalah menjadi pajangan belaka sebab
menurut Budrilar massa yang dihasilkan Hipereralitas ini cenderung pasif atau
diam, sebab massa itu sendiri telah terjebak dalam lingkaran setan. Bagimanapun
juga masa telah terperangkap ke dalam dunia penampakan sehingga massa
tercerabut dari akar spiritualnya sendiri, tercerabut dari ideologi dan tercerabut
dari mitos-motos masa lalu yang mana dulunya mampu mengendalikan massa,
dulunya mampu membuat massa tersebut bahkan sangat agamais, namun sekarang
dunia hayal mengalahkan semua itu. Betul kata Derida bahwa telah terjadi
pemaknaan penanda sebagai penanda dan bukan sebagai tinanda lagi (Piliang,
2003:140). Di sini tanda kehilalangan loyalitas kediriannya, membaur dengan
nafsu serakah akan duniawi.
Sejalan dengan itu, jauh sebelumnya Eko juga telah menulis tentang dunia
hiperealitas tahun 1973 dalam bukunya Travels in Hiperreality (piliang, 2003:51).
Yang diproduksi pada dunia hiperealitas dunia yang tidak nyata, ilusi, mimpi dan
hayal. Dunia hiperealitas adalah kopi dari realita yang dikodekan, ikon atau
menyerupai saja. Sebab nostalgia masa lalu telah menggugah hati masyarakat
untuk menciptakan kembali apa yang ada pada kejayaan masa lalu, ini sebagai
dampak dari ketiadaan realitas. Seperti di Minangkabau tengelamnya konsep
penghulu kini kembali digalakan lagi tetapi tidak seperti sebagaimana yang
diharapakan, selesai jadi penghulu, penghulu pergi ke rantau tinggallah anak
kemenakan terkatung-katung di kampung halaman. Selanjutnya ilusi dan fantasi
yang berlebihan kembali membangkitkan animisme dan dinamisme, percaya pada
hal-hal yang bersifat kengerian dan roh nenek moyang yang bergentayangan,
abegai contoh suguhan televisi yang memuat filem misteri ilahi, kuasa ilahi,
gambaran surga neraka, anak yang menjadi hewan karena durhaka pada orang tua,
kerasukan, dan segala macamnya itu merupakan proyek dari halusisnasi atas
kerinduan akan nilai-nilai yang dulu pernah ada, nilai-nilai yang hilang dalam
dunia realitas sangat didambakan, namun sayangnya tidak sesuai dengan realias
kekinian.

5
Perhatikan wajaha Islam sekarang ini, sepertinya hanya berguna untuk
mengusir setan saja, begitu rendahnya sebuah agama bagi masyarakat
hiperrealitas tersebut. Sat nyoblorong naik daratan buru-buru memanggil ustad,
saat nyirokidul merngamuk zkir masala dilakukan, aneh!.

3. Pesimistis Produk Hypersemiotik


Kita kembali pada tindakan-tindakan yang telah dipadatkan, dan di saat
makna kehilangan perannya di dalam realitas, maka saat itulah terciptanya Cyber
yang semakin berkuasa terhadap manusia sebagai penciptanya. Mesin-mesin
dijadikan acuan realitas yang tidak pernah ditemukan dalam realitas itu sendiri.
Apa yang dihasilkan mesin dianggap kebenaran, apa yang diiming-imingkan
membuat masyarakat menghayal dan bermimpi disiang bolong. Bayangkan saja,
semua informasi berskala dunia dapat diakses lewat media internet. Berita skandal
sexs madona, skandal artis ngetop, free sexs, cybersexs, violence dapat diakses
dengan sekejap, seakan-akan dunia ini tanpa pembatas. Namun, seperti yang
ditegaskan sebelumnya semuanya itu adalah kenisbian, tanpa tujuan, tanpa akhir
yang nyata, semua berada pada titik kesemuan belaka. Punya ilmu pengetahuan
yang tinggi tetapi diperbudak oleh ilmunya, ahli filsafat nyatanya menjadi budak
filsafat, ahli kebudayaan tetapi dipenjara oleh kebudayaan itu sendiri, sehingga
kesombongan harus ditaklukan dengan kesombongan model baru, dan
kesombongan model baru juga harus ditaklukan dengan kesombongan model baru
pula.
Pelipatan dunia yang seperti itu semakin dan telah digambarkan Pilang
dalam bukunya dunia yang dilipat. Pemadatan tingkah laku, hubungan sosial
masyarakat model baru membunuh realiats yang telah ada, hal itu tanpa sesuatu
pun dapat membendung. Seyogyanya sebuah keterlenaan, sebab semua barang
produksi telah dimanfaatkan di luar batas-batas kegunaannya sebagai pemuas
hasrat manusia dan itu dilakukan berulang-ulang, semuanya serba simpel dan
instans sekaligus memudahkan. Begitulah ketika waktu semakin ditaklukan,
segala ruang yang harus dilewati telah disingkirkan, untuk menempuh jarak yang
begitu jauh pun dapat dilakukan dengan sekejap dan tepat. Tampaknya, siapa saja
yang mampu memepermainkan tanda, dengan mengangggap penanda (subjek)

6
sebagai pengauasa yang mengeksploitasi petanda (objek) dialah yang akan maju,
sementara bagi siapa yang cenderung diam akan tergilas dalam percaturan global.
Apakah manusia kembali pada zaman primitif? Jawabnya ‘iya’, yang
mana pada masa ini manusia telah kehilangan nilai-nilai, kehilangan agama,
persahabatan, sosial, kegotong royongan dan segala macam nilai yang bersifat
positif. Piliang menginginkan kembali menciptakan sistem nilai tersebut, norma-
norma namun entah siapa yang berbuat nilai-nilai tersebut kembali ditunggangi
oleh kepentingan akan materi dan kekuasaan. Kalau tidak menguntungkan, nilai
dan norma-norma itu tidak akan bertahan lama. Kembali ke nagari dan kembali ke
surau? Itu cerita sudah menjadi cerita basi jika dihadapkan pada manusia
hiperealitas. Sebab kenyataanya di lapangan fenomena tersebut nyata, lihatlah
penghulu yang seharusnya menjaga harta pusaka kini menjual habis harta pusaka,
lincin tandeh, gelar penghulu bak barang dagangan.
Piliang mempertegas bahwa untuk mengembalikan manusia kontenporer
pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan hati, dan ketajaman hati ditengah-
tengah bujuk rayu, dan kepalsuan masyarakat konsumer, maka sebuah ruang bagi
pengasahan spiritual harus dibangun kembali dari puing-puing reruntuhannya.
Yasraf mencemaskan jika itu tidak dilakukan maka masyarakat global akan
hanyut dalam belantara bujuk rayu, keterpesonaan, dan ketergiuran tanpa akhir
dan tenggelamlah ke dalam lembah ekstasi yang ektrims. Lalu siapa dana apa
yang mamapu mebangunkan manusia hiperrealitas dari keterlenaan, dari mimpi,
ilusi? Bagi masyarakat pengagum nilai-nlai spiritual obatnya adalah virus, seperti
ESQ power? ternyata kian hari virus ini juga kian merusak jaringan-jaringan
spiritual itu sendiri, orang mau membayar mahal untuk mengikuti ESQ power,
sementara tetangga di sebelah rumah sudah dua hari tidak mengenal nasi, alias
kelaparan.
Okelah, pada masa sekarang seiring majunya sistem pendidikan, semakin
banyak pula intelektual muda yang dihasilkan, namun masih jauh panggang dari
api. Sebab intelektual sekarang, guru-guru sekarang tidak seidealnya intelektual
dan guru-guru yang pernah ada sebelumnya. Kita bisa memperhatikan bahasa
yang digunakannya, cenderung kasar dan kesannya membunuh karakter. Kenapa?
Kita kembali pada bagian awal, katakanlah sebagai akbibat dari sebuah kejenuhan

7
terhadap relitas yang kurang bersahabat dengan anak-didiknya atau bosan melihat
anak didik tidak mendapat penghidupan yang layak setelah mencapai gelar sarjana
yang akhirnya beubah menjadi penggangguran bersertifikat? sementara itu
sebagai dampak dari keegoan yang berlebihan terhadap disiplin ilmu yang
dimilikinya membuat mereka lupa akan keintelektualan, maka dibuat pengkotakan
terhadap ilmu itu sendiri, terbentuk blok-blok walau masih satu fakultas. Mungkin
Bapak itu dan Ibuk itu orang sastra berkumpul dengan orang sasatra saja atau
Bapak dan Ibuk itu golongan linguistik maka berkumpul pulalah di gerbong
linguistik. Orang sastra bisa saja menganggap lingiustik itu tidak cerdas, tidak
intelek, terlalu kaku cara berfikirnya dan segala macam, seakan-akan
kehadirannya tridak layak dan juga sebaliknya. Padahal tanpa disajari mereka
telah keluar dari jalunya sebagai intelektual, memandang trendah dan remeh
sebuah bidang ilmu, wajarkah intelektual bersikap demikian? Apa masih layak
dikatan sebagai intelektual? Seiring dengan itu tanpa disadari bahasa-bahasa
orang kalah tersebut berhamburan tak terarah, kasar dan membunuh karakter.
Lalu virus apa yag mampu menyadarkan masyarakat dari krisis
kepemimpinan? Jawabnya pemimpin baru dan selalu pemimpin baru, sehingga
pemimpin yang lama tidak mempunyai waktu untuk berbenah diri dalam masa
jabatan yang begitu singkat. Ketidakpercayaan tehadap pemimpin menjadi
persoalan yang nyata, KKN, pendusta, lamban dan segala macamnya.
Menganggap seorang pemimpin serupa dengan bintang filem supermen yang
ditonton di TV, atau Rambo yang menaklukan Vietnam. Namun, Eko telah
mengatakan hal ini adalah dampak dari janji utopia kemajuan yang tidak
terpenuhi oleh bapak-bapak posmoderen. Dunia hiperealita digambarkan seperti
padang pasir, dari kejauhan terlihat air ternyata setelah didekati hanya pasir yang
kering kerontang meradang.
Lalu kemana perginya ruang sunyi? ruang penyepi untuk beristitarahat
sejenak dari kepenatan dunia, berdialog langsung dengan pencipta memalui zikir
dan segala macamnya? Jawabnya dia tidak pergi kemana-mana, cuma ruang itu
dilipat hingga mencapai batas yang tidak bisa dilipat lagi. Seungguhnya masih
banyak virus-virus yang berpotensi menjadi pendakwah masyarakat hipereralitas.

8
Namun, bagaiamanapun juga kertas putih ini dan waktu presentasi yang juga
sudah dilipat ini tidak akan cukup untuk membahas hal itu semua.

Kesimpulan
Sesungguhnya, zaman terus berulang, banyak orang menyebut dunia
sekarang sudah rusak, itu betul, namun kerusakan tersebut sudah di awali sejak
dunia ini ada, hanya saja penamaan dan masanya saja yang berbeda. Kalau dulu
sebelum Agama Islam masuk, dunia dikenal dengan Zaman Jahiliah, sekarang
berpindah sebutan menjadi Hiperrealitas, yang mana kadar dari sikap dan tingkah
laku manusia kurang lebih sama, hanya teknologi yang mampu membedakan dua
masa tersebut.
Namun begitu, kembali penulis katakan terjadinya pemutusan hubungan
dengan spiritual, ketuhanan, sehingga muncullah tuhan-tuhan baru yang bergaya
Amnehotib, Godgather, bapak angkat, ibuangkat dan segal macamnya. Alhasil,
terciptalah dunia-dunia kecil tetapi masih dibawah kolong langit yang sama.
Sebab bagimanapun juga tuhan –tuhan tersebut belum mampu membuat kolong
langit sendiri, meskipun di antara mereka sudah mampu menaklukan keganasan
alam sekitar. Haruskah tuhan mengutus kembali para rasul dan para nabi?
Wallhua’lam bissahab!

Daftar Bacaan

Piling, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat, Tamasya melanpou Batas-batas
Kebudayaan. Yokyakarta dan Bandung: Jala Sutra.

--------------------------. 2003. Hiper Semiotika, Tafsir Cultural Studies Atas


Matinya Makna. Bandung: Jal Sutra.

Tonil. 2000. Berhala Semiotika. Yokyakarta: Tonil Press.

Yuwono, Untung dan T. Cristomy. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Direktorat


Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.

Zoest, Art Van. 1993. Semiotika. Jakarta :Yayasan Sumber Agung.

Anda mungkin juga menyukai