Anda di halaman 1dari 21

Dalam Kajian Ilmu Komunikasi, ada juga yang disebut dengan etnografi komunikasi.

Menurut Muriel Saville-Troike dalam bukunya Etnografi Komunikasi, fokus etnografi komunikasi adalah kepada cara komunikasi di dalam komuniti bahasa itu disusun dan diatur sebagai sistem kepada peristiwa komunikasi, dan cara hal-hal ini berinteraksi dengan sistem lain dalam kebudayaan. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk memberi panduan dalam mengumpulkan dan menganalisis data deskriptif tentang bagaimana makna sosial disampaikan. Dari pemahaman yang disampaikan Troike itu, maka bisa dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut : Etnografi = memahami sebuah kebudyaaan secara menyeluruh, tanpa adanya intervensi dari peneliti, sifatnya hanya deskriftif, membiarkan budaya sebagaimana adanya. Etnografi komunikasi = untuk mengetahui bagaimana sebuah budaya memerankan sebuah proses komunikasi untuk menyampaikan sebuah pesan. Maksudnya, tatacara komunikasi dipengaruhi oleh sebuah kebudayaan, dari bahasa, hingga perilaku budaya ETNOGRAFI KOMUNIKASI DAN BERBICARA Sebelum istilah etnografi komunikasi semakin populer dipakai, istilah etnografi berbicara (ethnography of speaking) lebih awal diacu sebagai pemerian pemakaian bahasa lisan. Etnografi komunikasi menjadi lebih luas karena tidak hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan komunikasi tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda (signing). Pemakaian tuturan Apa khabar?, Comment alle vous? (bahasa Perancis), Hoe gaat het? (bahasa Belanda) dengan arti yang sama tentu saja berbeda modus kemunculannya dengan tuturan Dengan hormat, Dear Sir, Beste Meneer, Hormat kami, sincerely yours. Kelompok tuturan pertama terjadi dalam modus lisan, sebaliknya kelompok tuturan kedua hanya muncul dalam modus tulis. Kedua modus ini juga sangat berbeda dengan modus komunikasi isyarat, bahasa tubuh atau tanda yang menggunakan anggota badan atau alat. Orang Indonesia akan menganggukkan kepalanya untuk menyatakan makna setuju, tetapi orang India justru mengayunkan kepala dengan membentuk gerakan angka 8 untuk makna yang sama. Orang Tibet menggesek-gesekkan hidungnya dengan hidung teman untuk menyatakan selamat datang, sedangkan orang Indonesia melakukan hal yang sama dengan saling berjabat tangan. Menariknya lagi, Orang Tibet akan menjulurkan lidahnya sebagai sapaan untuk menyambut tamu, yang bagi orang Indonesia tindakan demikian diartikan mengejek. Sebaliknya sapaan untuk menyambut tamu orang Indonesia menyatakan selamat datang sambil mempersilahkan masuk dan seterusnya. Kalau orang Indonesia menjulurkan tangannya ke bawah sambil berjalan membungkukkan badan pertanda ia meminta permisi untuk minta lewat di hadapan orang lain, tetapi bagi orang Arab, mereka justru memegang kepala orang yang dilewatinya. Orang Jepang menggenggam keempat jemarinya kecuali kelingking untuk menyatakan makna perempuan, sebaliknya orang Indonesia mengartikan tindakan demikian sebagai pernyataan anggap remeh atau enteng terhadap seseorang atau sesuatu hal. Di samping contoh-contoh di atas, tentunya masih banyak lagi komunikasi nonverbal yang terdapat sebuah masyarakat bahasa. Hampir semua anggota badan dapat mengkomunikasikan makna tertentu sesuai dengan apa yang dipahami masyarakatnya. Demikian pula pemakaian alat

atau benda-benda juga memberi arti tersendiri bagi sebuah masyarakat tertentu. Pakaian berwarna putih yang dikenakan seorang perempuan india misalnya dimaknai sebagai pernyataan ditinggal mati sang suami. Penggunaan pluit untuk mengirimkan pesan morse juga termasuk dalam kategori ini. Perbedaan mendasar antara satu komunitas dengan komunitas lainnya dalam hal komunikasi lisan, tulis, isyarat, gerakan tubuh, dan tanda turut membangun kaidah-kaidah bahasa. Selain itu, prinsip dasar etnografi komunikasi juga memerikan perbedaan aturan berbicara (rule of speaking), misalnya kapan harus berbicara dan kapan harus diam (lih. Fasold, 1990: 40). Aturan berbicara ini bisa sangat berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Kebanyakan Orang Amerika Kulit Putih Kelas Menengah mematuhi kaidah pergantian percakapan no gap, no overlap (tidak ada kesenyapan, tidak ada tumpang tindih) (Schegloff, 1972). Dalam sebuah percakapan, mereka berbicara saling bergantian agar tidak tumpang tindih. Jika yang satu berbicara, yang lain mendengarkan. Kaidah percakapan ini disebut no overlap. Sebaliknya, jika keduanya diam lebih dari beberapa detik, mereka justru tidak merasa nyaman. Seseorang akan mengisinya dengan percakapan yang tidak penting agar tidak ada gap dalam komunikasi tersebut. Reisman (1974) menemukan kaidah yang berbeda pada masyarakat Antigua. Mereka cenderung berbicara saling tumpang tindih. Yang satu berbicara yang lain menimpali pada saat yang sama. Dengan cara ini, mereka tidak mengikuti kaidah percakapan yang no overlap. Saville-Troike (1982) melaporkan bahwa orang Indian Amerika justru biasa menunggu beberapa menit sebelum seseorang menjawab pertanyaan atau mengambil alih pembicaraan. Demikian pula halnya dengan masyarakat Lapp di Swedia Bagian Utara tempat Reisman (1974: 112) tinggal. Gap percakapan sudah menjadi bagian dari cara berbicara mereka. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa etnografi komunikasi adalah semua bentuk pemerian komunikasi yang bermakna baik menggunakan tuturan verbal maupun isyarat, bahasa tubuh atau tanda nonverbal. Dalam kajian kebahasaan pada umumnya, hanya tuturan verbal yang diperlakukan sebagai objek kajian sedangkan sisanya dianggap sebagai konteks. Pemerian pemakaian tuturan verbal saja disebut etnografi berbicara, dalam hubungan ini modus komunikasi tulis juga dikategorikan objek kajian sosiolinguistik karena media cetak juga memberi perbedaan pada pemakaian bahasa. Dalam wacana yang lebih umum, bahasa tulis, kendatipun berbeda, sebenarnya merupakan bentuk pencatatan dari komunikasi lisan. Dewasa ini etnografi komunikasi boleh saja dipandang sebagai bentuk perluasan dari etnografi berbicara, namun aspek-aspek nonverbal tadi sekali lagi hanya diperlakukan sebagai konteks yang mempengaruhi makna tuturan. Akibatnya, aspek-aspek nonverbal tersebut tidak menjadi tujuan dalam penelitian sosiolinguistik. Menurut Hymes (1962/1968: 101), ada empat hal pokok yang diuraikan dalam sebuah etnografi berbicara, yaitu pemerian situasi, pemakaian, struktur, dan fungsi aktivitas berbicara tersebut. Namun demikian, di balik pendekatan struktural-fungsional yang disarankan Hymes tersebut, hakikat etnografi bagi Milroy (1987: 172) bertujuan menyelidiki aturan-aturan berbicara (rules of speaking). Aturan-aturan berbicara ini dianalisis berdasarkan faktor-faktor situasional yang mempengaruhi pemilihan kode bahasa. Aturan berbicara (rules of speaking) sebaiknya dibedakan dengan norma bicara (norms of speaking). Walaupun keduanya menjadi lahan pemerian sebuah pendekatan etnografi, namun

fungsinya bagi pemakai bahasa juga berbeda. Norma berbicara sesuai namanya dapat dipahami sebagai etika yang membatasi bagaimana komunikasi yang diinginkan, tepat atau tidak tepat, pantas atau tidak pantas sesuai konteksnya. Oleh karena itu, norma berbicara diperlukan pemakai bahasa sebelum berbicara, dan norma ini menjadi pengetahuan praktis pemakainya. Di sisi lain, aturan berbicara merupakan hasil akhir kajian terhadap aktivitas berbicara. Sebagaimana ditandaskan sebagai tujuan etnografi bagi Milroy, norma menjadi bersifat teoretis dan ia berada di luar kemampuan pemakaian bahasa. Dengan kata lain, norma berbicara adalah aspek internal bahasa, sedangkan aturan atau kaidah bahasa merupakan aspek eksternal bahasa. Disimak dari teori fungsi yang banyak dikemukakan para ahli, fungsi bahasa terpokok dapat diperas menjadi dua, yaitu fungsi interaksional dan fungsi ideasional, yang pertama berfungsi untuk membina atau mempertahankan hubungan sosial dan yang terakhir berfungsi untuk menyampaikan informasi atau gagasan. Sejalan dengan dengan fungsi bahasa ini, aktivitas berbicara seyogyanya pula dapat diformalkan dalam dua bentuk, yaitu bentuk fatis dan bentuk pikiran. Klasifikasi dikotomis semacam ini tidak bertentangan dengan pendapat Bronislaw Malinowski (1949) yang mengatakan bahwa aktivitas berbicara yang pertama lebih menekankan pada modus aksi (mode of action), sedangkan aktivitas berbicara yang kedua cenderung menekankan modus kognisi (mode of thought). ayang Pandang tentang Etnografi Komunikasi Etnografi komunikasi merupakan penerapan metode etnografis pada pola komunikasi sebuah kelompok. Di sini, seorang penafsir mencoba memberikan pengertian bagi beragam bentuk komunikasi yang digunakan oleh anggota kelompok atau budaya. Gerry Phillipsen mengemukakan empat anggapan mengenai etnografi komunikasi. Pertama, adalah bahwa partisipan dalam sebuah komunitas budaya lokal menciptakan pengertian bersama. Mereka menggunakan kode-kode yang memiliki derajat pemahaman umum yang sama. Kedua, adalah komunikator dalam setiap kelompok budaya harus mengkoordinasikan tindakan mereka. Harus ada beberapa urutan atau sistem bagi apa yang dilakukan di dalam komunikasi. Ketiga, adalah pengertian dan tindakan merupakan kekhususan bagi kelompok-kelompok individu. Dengan kata lain, mereka berbeda dari satu budaya dengan budaya lainnya. Keempat, adalah tidak hanya pola perilaku dan kode yang berbeda dari satu budaya dengan budaya lainnya, tetapi juga setiap kelompok punya caranya sendiri dalam memahami beberapa kode dan tindakan tertentu.Perintis tradisi penelitian seperti ini adalah ahli Antropologi Dell Hymes. Hymes mengungkapkan bahwa llinguistik formal tidak cukup hanya untuk mengungkap sebuah pemahaman yang lengkap mengenai bahasa karena tidak mempertimbangkan beragam cara dimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Budaya berkomunikasi terjadi dalam beragam cara, tetapi sebuah bentuk pesan-pesan membutuhkan kode bersama, komunikator yang tahu dan menggunakan kode tersebut, sebuah saluran, sebuah tempat kejadian, bentuk pesan, sebuah topik, dan sebuah peristiwa yang tercipta dari perpindahan pesan. Apa saja bisa dianggap sebagai pesan jika dtafsirkan seperti itu oleh penduduk lokal. Apakah ular bisa dijadikan alat komunikasi? Bagaimana dengan mengenakan topi? Mungkin ini semua merupakan kode bersama untuk mengungkapkan sesuatu di antara

anggota sebuah kelompok. Kita tidak bisa mengetahuinya sampai dilakukan studi etnografi selanjutnya. Ahli etnografi komunikasi lainnya, Donal Carbaugh, menulis bahwa etnografi komunikasi memiliki, paling tidak, tiga macam masalah. 1) menemukan jenis identitas bersama yang tercipta melalui komunikasi dalam komunitas budaya, misal pemandu sorak basket. Identitas semacam ini merupakan bentuk pengertian para anggota mengenai siapa mereka sebagai sebuah kelompok, juga merupakan serangkaian sifat yang dengannya sebagian besar anggota komunitas saling mengenal. 2) untuk mengungkap pengertian bersama mengenai tampilan publik yang terlihat dalam kelompok. Apa yang merupakan komunikasi di dalam budaya, dan pengertian seperti apa yang dimunculkan oleh beragam tampilan? Apa yang dikomunikasikan oleh para pemandu sorak dalam pertandingan bola basket SMU? 3) mengetahui kontradiksi atau paradoks dalam kelompok. Bagaimana ini semua ditangani melalui komunikasi? Bagaimana sebuah budaya memperlakukan para anggotanya sebagai individu, sambil juga memberikan perasaan sebagai bagian komunitas? Bagaimana memberikan otonomi itu diberikan sambil tetap mempertahankan otoritas? Bagaimana cara mengajarkan peranan sambil tetap mempertahankan idealisme kebebasan? Dalam mengatasi masalah etnografis ini, maka dimunculkan tiga jenis pertanyaan. Pertanyaan mengenai norma-norma mencari cara bagaimana komunikasi digunakan untuk menentukan sekumpulan standar dan mencari cara bagaimana gagasan benar-dan-salah mempengaruhi pola komunikasi. Pertannyaan mengenai bentuk berusaha mencari macam bentuk komunikasi yang digunakan di dalam masyarakat. Perilaku seperti apa yang dianggap sebagai komunikasi; dan bagaimana mengaturnya? Pertanyaan mengenai kode budaya memusatkan perhatian bagi pengertian simbol dan perilaku yang digunakan dalam sebagai bentuk komunikasi dalam komunitas budaya.Perluasan dari bidang ini adalah etnografi komparatif, yang melibatkan penciptaan kategori yang berlaku di sepanjang budaya tersebut. Hyme menunjukkan satu set yang terdiri dari sembilan kategori yang bisa digunakan untuk membandingkan budaya-budaya yang berbeda. 1. Cara berbicara, atau pola komunikasi yang akrab bagi para anggota 2. Kelompok pembicara fasih yang ideal, atau apa yang merupakan komunikator sangat sempurna. 3. Komunitas bahasa, atau kelompok itu sendiri dan batas-batasnya. 4. Situasi bahasa, atau semua waktu yang komunikasi itu dianggap tepat dalam suatu komunitas. 5. Peristiwa bahasa, atau kejadian seperti apa yang dianggap sebagai komunikasi bagi para anggota suatu kelompok. 6. Tindakan bahasa, atau sekumpulan perilaku tertentu yang dijadikan contoh komunikasi di dalam sebuah peristiwa bahasa.

7. Komponen tindakan bahasa, atau apa yang dianggap oleh kelompok sebagai elemen dari sebuah tindakan komunikatif. 8. Aturan berbicara dalam komunitas, atau panduan atau standar dimana perilaku komunikatif dinilai. 9. Fungsi bahasa di dalam komunitas, atau komunikasi seperti apa yang diyakini bisa diraih. Sekumpulan konsep ini merupakan daftar kategori yang dengannya beragam budaya bisa diperbandingkan. Dua budaya misalnya dari suku Jawa dan Madura memiliki banyak kejadian yang dianggap sebagai komunikasi, beragam perilaku yang dianggap tepat dalam kejadian tersebut, dan mungkin beberapa aturan berbeda mengenai bagaimana berkomunikasi itu. Di sisi lain, mereka juga mungkin memiliki jenis dan fungsi yang sama mengenai komunikasi. (Dihimpun dari berbagai sumber) Diposkan oleh TAUFIK AL AMIN di 18:27 Pendahuluan Istilah etnografi sebenarnya merupakan istilah antropologi. Etnografi merupakan embrio dari antropologi, yaitu lahir pada tahap pertama dari perkembangannya, yaitu sebelum tahun 1800-an. Etnografi merupakan hasil-hasil catatan penjelajah Eropa tatkala mencari rempah-rempah ke Indonesia. Mereka mencatat semua fenomena menarik yang dijumpai selama perjalanannya, antara lain berisi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari sukusuku bangsa tersebut (Koentjaraningrat, 1989). Kata etnografi, berasal dari bahasa Yunani, berarti sebuah deskripsi mengenai orang-orang atau, secara harfiah, penulisan budaya (Atkinson, 1992).Dalam perspektif keilmuan, tipe penelitian etnografi menurut Ember dan Ember (1990) mengemukakan bahwa etnografi adalah salah satu tipe penelitian antropologi budaya. Hal serupa dinyatakan oleh Neuman (2000), yaitu bahwa etnografi muncul dari antropologi budaya. Istilah etnografi berasal dari kata Ethnos (bangsa) berarti orang atau folk, sementara Graphein (menguraikan) mengacu pada penggambaran sesuatu. Oleh karena itu etnografi merupakan penggambaran suatu budaya atau cara hidup orang-orang dalam sebuah komunitas tertentu. Etnografi adalah usaha untuk menjelaskan suatu budaya atau suatu aspek dari budaya. Secara lebih khusus, etnografi berusaha memahami tingkah laku manusia ketika mereka berinteraksi dengan sesamanya di suatu komunitas. Singkatnya, etnografer berusaha memahami budaya atau as-pek budaya melalui serangkaian pengamatan dan interpretasi perilaku manusia, yang berinteraksi dengan manusia lain. Frey et al (1992) berpendapat etnografi digunakan untuk meneliti perilaku manusia dalam lingkungan spesifik alamiah. Etnografer berusaha menangkap sepenuh mungkin, dan berdasarkan perspektif orang yang diteliti, cara orang menggunakan

simbul dalam konteks spesifik. Etnografi sering dikaitkan dengan hidup secara intim dan untuk waktu yang lama dengan suatu komunitas pribumi yang diteliti yang bahasanya dikuasai peneliti. Sarantakos (1993) mengemukakan bahwa budaya merupakan konsep sentral dari etnografi. Budaya dipelajari sebagai sebuah kesatuan. Entitas budaya adalah sistem yang digunakan bersama oleh komunitas. Para anggota budaya ini mempelajari unsur-unsur dan konfigurasinya melalui interaksi, serta dengan cara hidup dalam budaya lain. Guna mencapai hal itu, kerja etnografer tak dapat dilakukan di tataran permukaan, ia perlu melakukan in-depth studies. Cara ini menjadi jaminan kedalaman informasi yang diperoleh peneliti, sekaligus kedalaman penghayatan atas pengalaman budaya yang dimiliki oleh subjek penelitian. Etnografi yang akarnya antropologi pada dasarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari (Symon dan Cassell, 1998). Ini berarti, sebagai sebuah disiplin riset, etnografi didasarkan pada kultur konsep yang tersusun, menggunakan kombinasi teknikteknik pengamatan, wawancara, dan ana-lisis dokumen, untuk merekam komunikasi dan perilaku orang-orang dalam latar sosial tertentu. Etnografi menekankan pada budaya dan kekhasan orang-orang di dalamnya, yaitu apa yang menjadi karakteristik dasar sebuah kelompok dan apa yang membedakan mereka dari kelompok lain. Disamping itu, etnografi mengandalkan keterlibatan peneliti dalam kelompok atau komunitas selama jangka waktu tertentu di lapangan. Lama tidaknya penelitian etnografi ini bergantung pada pemahaman terhadap gejala yang diteliti. Penelitian bisa berlangsung dalam kurun waktu singkat bila hanya meliputi satu peristiwa, misalnya meneliti tentang tata cara upacara perkawinan adat Betawi. Sebaliknya, akan berlangsung dalam waktu yang lama bila hendak meneliti a single cociety, masyarakat yang kompleks.

Spradley(1979) menyarankan penggunaan etnografi dilakukan bila peneliti ingin memahami dan belajar pada masyarakat. Namun, tidak sekedar itu, masyarakat tersebut memiliki pola-pola perilaku dan pola-pola untuk berperilaku tertentu yang membedakan masyarakat lain. Artinya, budaya harus diberi makna yang lebih luas, sehingga etnografi bisa juga digunakan dalam masyarakat yang kompleks, seperti kelompok-kelompok dalam masyarakat kota yang memiliki subkultur tersendiri. Kelompok-kelompok itu bisa didasarkan atas latar belakang etnis, agama, umur, atau profesi dan kelas sosial. Para etnografer mengamati dan mengajukan pertanyaan ihwal cara orang-orang berinteraksi, bekerjasama, dan berkomunikasi termasuk dengan peneliti secara alamiah dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dalam etnografi, suatu kelompok (seperti organisasi, departemen, tim proyek atau konsultan, maupun kelompok sosial) digambarkan sebagai agregasi atau satuan sosial yang anggotanya bersama-sama menciptakan realitas sosial mereka, dan memiliki serangkaian tindakan yang dikoordinasikan di seputar realitas tersebut. Etnografi membawa peneliti membenamkan diri ke dalam sebuah kelompok, organisasi, atau komunitas di lapangan dalam jangka waktu yang lebih panjang. Etnografi bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya, baik yang bersifat material seperti artefak budaya (alat-alat, pakaian, bangunan dan sebagainya) dan yang bersifat abstrak, seperti pengalamanpengalaman, kepercayaan, norma, dan sistem nilai kelompok yang diteliti. Uraian tebal (thick description) merupakan ciri utama etnografi (Clifford Geertz, 1973 dan Lindlof, 1995). Etnografi memanfaatkan beberapa teknik pengumpulan data, meskipun teknik utamanya adalah pengamatan berperan-serta (participant observation). Lindlof(1995) mengemukakan etnografer tidak mengingkari teknik penelitian kuantitatif; mereka juga sering menggunakan sensus dan prosedur statistik

untuk menganalisis pola-pola atau menentukan siapa yang menjadi sampel penelitian. Etnografer juga terkadang menggunakan tes diagnostik, inventori kepribadian, dan alat pengukuran lainnya. Pendeknya, etnografer akan memanfaatkan metode apapun yang membantu mereka mencapai tujuan etnografi yang baik. Etnografi modern muncul pada tahun 1920-an dan 1930-an, ketika para ahli antropologi seperti Malinowski (1922), Boas (1928), dan Mead (1953) menyelidiki berbagai budaya non-Barat dan cara-cara hidup orang-orangnya. Sosiologi mazhab chicago belakangan mempunyai pengaruh pada metode etnografi melalui kajian-kajian anggotanya terhadap budaya pinggiran dan subkultursubkultur yang asing secara kultural (socially strange), seperti perkampungan kumuh, ghetto-ghetto Yahudi, dan geng-geng perkotaan. Dibidang komunikasi terencana, riset etnografi telah mengeksplorasi topiktopik besar seperti Hubungan Masyarakat di Bangalore, India (Sriramesh, 1996), pengalaman konsumsi pada etnis minoritas, kelompok orang-orang Pakistan di Inggris (Jamal dan Chapman,2000), identitas profesi di sebuah biro iklan Swedia (Alvesson, 1994), dan penafsiran iklan oleh siswa-siswa sekolah di Inggris (Ritson dan Elliott, 1999). . Etnografi sebagai Metode Penelitian Etnografi merupakan metode yang memiliki posisi yang cukup penting di antara metode-metode kualitatif. Posisi penting etnografi dalam kajian antropologi antara lain dinyatakan oleh James Spradley : ethnographic fieldwork is the hallmark of cultural anthropology. Penilaian serupa juga dikemukakan oleh Clifford Geertz: in anthropology, or anyway social anthropology, what the practitioners do is ethnography. Ada 2 (dua) pijakan teoritis yang memberikan penjelasan tentang model etnografi, yaitu interaksi simbolik dan aliran fenomenologi, termasuk konstruksi sosial dan etnometodologi. Teori interaksi simbolik, budaya

dipandang sebagai sistem simbolik dimana makna tidak berada dalam benak manusia, tetapi simbol dan makna itu terbagi dalam aktor sosial di antara, bukan di dalam, dan mereka adalah umum, tidak mempribadi. Budaya adalah lambang-lambang makna yang terbagi (bersama). Budaya juga merupakan pengetahuan yang didapat seseorang untuk menginterpretasikan pengalaman dan menyimpulkan perilaku sosial (Spradley, 1979). Penelitian etnografi dengan landasan pemikiran fenomenologi adalah inti dari proses mediasi kerangka pemaknaan. Hakekat dari suatu mediasi tertentu akan bergantung dari hakekat tradisi dimana terjadi kontak selama penelitian lapangan (Michael H. Agar, 1986 dan Giddens 1976). Etnometodologi adalah kajian terhadap proses yang dilakukan oleh individu-individu manusia untuk membangun dan memahami kehidupannya sehari-hari (Bogdan & Biklen, 1982). Penelitian etnografi tidak saja berbentuk etnografi lengkap (comprehensive ethnography) dimana mencatat satu total way of life atau memberikan satu deskripsi utuh, lengkap dan mendetail tentang sistem sosial dan sistem kebudayaan suatu suku bangsa dan topic oriented ethnography (monografi) yang terfokuskan pada satu aspek tertentu, melainkan mulai beranjak kearah hyphothesis oriented ethnography yang bertujuan untuk menguji hipotesa dan tidak sekedar mendeskripsikan. Langkah-langkah etnografi menurut pemikiran James Spradley dikenal sebagai alur maju bertahap (Developmental Research Sequences) terdiri atas dua belas langkah: (1) Menetapkan informan; (2) Mewawancarai informan;(3) Membuat catatan etnografis; (4) Mengajukan pertanyaan Deskriptif; (5) Menganalisis hasil wawancara; (6) Membuat analisis domain; (7) Mengajukan pertanyaan struktural; (8) Membuat analisis taksonomik; (9) Mengajukan pertanyaan kontras; (10) Membuat analisis komponen; (11) Menemukan tema-tema budaya; (12) Menulis laporan etnografi. Sementaraitu riset LeCompte dan Schensul (1999) menuangkan

langkah-langkah umum yang dapat diterapkan sebagian besar tipe etnografi: (1) Temukan informan yang tepat dan layak dalam kelompok yang dikaji; (2) Definsikan permasalahan, isu, atau fenomena yang akan dieksplorasi; (3) Teliti bagaimana masingmasing individu menafsirkan situasi dan makna yang diberikan bagi mereka; (4) Uraikan apa yang dilakukan orang-orang dan bagaimana mereka mengomunikasikannya; (5) Dokumentasikan proses etnografi; (6) Pantau implementasi proses tersebut; (7) Sediakan informasi yang membantu menjelaskan hasilhasil riset. Teknik pengumpulan data lapangan dapat menggunakan salah satu atau lebih yang termasuk dalam metode etnografi, yaitu observasi partisipatif, in-depth interview, focus group discussion (FGD), dan life history (Rejeki, 2004). Tampilan hasil penelitian etnografi yang dibantu oleh perterjemah dalam mengartikan makna dari satu budaya kedalam suatu bentuk yang tepat pada budaya yang lain dalam pengumpulan datanya menghasilkan 6 (enam) bentuk paparan, yakni (1) ethnocentric descriptions adalah studi yang dibentuk dengan tidak menggunakan bahasa asli dan mengabaikan makna yang ada. Masyarakat dan cara berperilaku dikarakteristikkan secara stereotipe; (2) social science descriptions digunakan untuk studi yang terfokus secara teoritis pada uji hipotesis; (3) standard ethnographies menggambarkan variasi luas yang ada pada penutur asli dan menjelaskan konsep asli. Studi ini juga menyesuaikan kategori analitisnya pada budaya lain; (4) monolingual ethnographies, seorang anggota masyarakat yang dibudayakan menulis etnografi dalam bahasa aslinya. Etnografer secara hati-hati membawa sistem semantik bahasanya dan menterjemahkan ke dalam bahasanya; (5) life histories adalah salah satu bentuk deskripsi yang menawarkan pemahaman terhadap budaya lain. Mereka yang melakukan studi ini akan mengamati

secara mendetail kehidupan seseorang dan proses yang menunjukkan bagian penting dari budaya tersebut. Semua dicatat dalam bahasa asli, kemudian diterjemahkan dan disajikan dalam bentuk yang sama sesuaidengan pencatatan; serta (6) ethnographic novels. Penelitian etnografis dapat dibedakan dari karakteristiknya: (1) Deskriptif (konvensional, interpretatif) dan (2) kritikal (mempertanyakan, emansipatif), yang diteliti adalah praktek-praktek sosial dalam kaitannya dengan sistem dan budaya makro (Poerwandari, 2001). Etnografi deskriptif mengungkap pola, tipologi, dan kategori. Salah satu karakteristik laporan etnografi deskripsi padat (thick description) tidak hanya didapat dari merekam apa saja yang dilakukan partisipan. Thick description merupakan catatan pangalaman yang padat dan mendetail terhadap pengalaman, pola, dan koneksi hubungan sosial yang menyatukan orangorang. Geertz, 1973 menyatakan, tujuan dari deskripsi yang padat adalah untuk menarik kesimpulan yang luas dari fakta-fakta yang kecil, namun memiliki struktur yang sangat padat. Deskripsi yang padat melampaui hal-hal faktual Artinya, deskripsinya bersifat analitis sekaligus teoritis. Etnografi deskriptif berfokus pada deskripsi tentang komunitas atau kelompok. Melalui analisis, etnografi deskriptif mengungkapkan pola, tipologi, dan kategori. Pada etnografi kritis kajian terhadap faktor-faktor sosial-makro seperti kekuasaan, dan meliputi asumsi-asumsi akal sehat serta agenda-agenda tersembunyi. Etnografi kritis dimaksudkan untuk menghasilkan perubahan pada latar yang diteliti. Misalnya, menyuarakan pihak-pihak yang lemah. Contoh : mengangkat masalah yang berhubungan dengan sebuah kelompok atau komunitas, membantu mereka mengklarifikasi kebutuhannya, kemudian memberi informasi yang memungkinkan mereka mampu memfasilitasi perubahan tersebut setelahnya. Seiring perkembangan antropologi yang kian spesifik dan kelahiran disiplindisiplin

turunan yang baru, etnografi kemudian tidak lagi memonopoli trade mark antropologi, namun tetap ikut mewarnai kajiankajian di lapangan baru yang tumbuh belakangan. Dengan demikian etnografi dapat dimaknai sebagai metode penelitian. Etnogafi diperlakukan sebagai metode penelitian berpayung di bawah paradigma konstruktivisme dan di dalam perspektif teoritik interpretivisme. Hal ini dapat dilihat dalam tabel 1. TABEL 1. Perspektif Teoritik dan Metode Penelitian dalam Konstruktivisme Sumber : Hidayat(2002) diolah oleh Birowo (2004) Di dalam melakukan penelitian, peneliti etnografi perlu memiliki landasan berfikir sesuai dengan paradigmanya, yakni konstruktivisme (Birowo, 2004). Menurut paradigma konstruktivisme, pengetahuan harus dibangun, diketemukan. Konstruktivisme dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan seperti Piaget (1977), Glaserfeld (1984,1992), Fosnot (1989), Vygotsky, Leontev,Bathkin (1991) dkk. Dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan kepada subjek penelitian, peneliti konstruktivis mencoba menangkap apa yang terdapat dalam benak subjek, dan kemudian mengkonstruksinya menjadi suatu konsep ilmu pengetahuan. Ada dua cabang konstruktivisme, yaitu konstruktivisme individual dan konstruktivisme sosio-kultural. Pada konstruktivisme individual, peneliti menggali potensi pengetahuan yang ada di benak subyek. Pada konstruktivisme sosiokultural, peneliti membimbing subjek untuk mengkonstruk realita yang ada di masyarakat (di luar diri subjek). Ada beberapa karakteristik yang membedakan penelitian konstruktivisme dengan penelitian lainnya (klasik dan kritis), pertama, dalam dimensi ontologis (asumsi tentang realitas), realitas diasumsikan peneliti sebagai konstruksi sosial. Dan kebenaran atas realitas itu sifatnya relatif, ia berlaku dalam konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para pelaku sosial yang diteliti. Oleh karena

itu dikenal prinsip relativisme dalam memahami suatu realitas. Kedua, dalam dimensi epistemologis (asumsi tentang relasi antara peneliti dan yang diteliti), interaksi antara peneliti dan yang diteliti diasumsikan ada. Melalui interaksi ini akan diperoleh pemaha-man tentang realitas sebagai temuan penelitian. Peran peneliti dalam kerangka ini adalah sebagai transaksionalis atau subjektivis. Ketiga, dalam dimensi aksiologis (asumsi tentang nilai-nilai), peneliti berberan sebagai fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas para pelaku sosial. Nilai, etika, dan pilihan moral peneliti dalam kerangka ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses penelitian. Dengan kata lain peneliti akan memainkan peran sebagai interested scientist. Keempat, dalam dimensi metodologis (asumsi tentang cara memperoleh pengetahuan), penelitian dilakukan dengan cara reflektif/dialektik. Melakukan penelitian secara reflektif berarti peneliti akan melakukan memberi tekanan pada cara-cara empatik dan interaksi dialektis antara ia sebagai peneliti dan mereka yang diteliti. Etnografi dalam Penelitian Komunikasi. Metode etnografi dapat diterapkan dalam penelitian komunikasi. Penerapan dalam tataran kajian etnografi komunikasi merupakan metode etnografi yang diterapkan untuk melihat pola-pola komunkasi kelompok. Kelompok dalam kerangka ini memiliki pengertian sebagai kelompok sosiologis (sociological group). Oleh karena itu dapat pula dikemukakan sebagai penerapan metode etnografi untuk melihat pola-pola komunikasi komunitas (community). Etnografi bukan semata-mata pekerjaan lapangan. Etnografi juga merupakan sebuah deskripsi-kisah atau laporan tertulis-mengenai suatu kelompok masyarakat yang dihasilkan oleh (para) peneliti yang melewatkan periode waktu cukup panjang, guna membenamkan diri dalam konteks kelompok atau komunitas yang diteliti. Tujuannya adalah menggambarkan realitas sosial sebuah kelompok, sehingga dapat dipahami oleh para pembaca etnografi.

Etnografi komunikasi dalam organisasi bertujuan untuk mengungkapkan struktur makna dalam latar penelitian, menyintesiskan gambaran mengenai realitas kelompok yang mencirikan dan memisahkan mereka, menyajikannya secara luas untuk memicu pertimbanganpertimbangan yang lebih mendalam (Whitney, 1994). Ada empat asumsi etnografi komunikasi, pertama, para anggota budaya akan menciptakan makna yang digunakan bersabersama. Mereka menggunakan kode-kode yang memiliki derajat pemahaman yang sama. Kedua, para komunikator dalam sebuah komunitas budaya harus mengkordinasikan tindakan-tindakannya. Oleh karena itu di dalam komunitas itu akan terdapat aturan atau sistem dalam komunikasi. Ketiga, makna dan tindakan bersifat spesifik dalam sebuah komunitas, sehingga antara komunitas yang satu dan lainnya akan memiliki perbedaan dalam hal makna dan tindakan tersebut. Keempat, selain memiliki kekhususan dalam hal makna dan tindakan, setiap komunitas juga memiliki kekhususan dalam hal cara memahami kode-kode makna dan tindakan (Gerry Phillipsen dalam Littlejohn, 2002). Adanya perbedaan dalam pemahaman budaya dari komunitas yang satu dan komunitas lainnya, (Dell Hymes dalam Littlejohn, 2002) membuat kategori yang dapat digunakan untuk membandingkan budaya-budaya yang berbeda, sebagai berikut : (1) Ways of speaking. Dalam kategori ini peneliti dapat melihat pola-pola komunikasi komunitas; (2) Ideal of the fluent speaker. Sesuatu yang menunjukkan hal-hal yang pantas dicontoh/ dilakukan oleh seorang komunikator; (3) Speech community. Komunitas ujaran itu sendiri, berikut batas-batasnya; (4) Speech situation. Situasi ketika sebuah bentuk ujuran dipandang sesuai dengan komunitasnnya; (5) Speech event. Peristiwa-peristiwa ujaran yang dipertimbangkan merupakan bentuk komunikasi yang layak bagi para anggota komunitas budaya; (6) Speech act. Seperangkat

perilaku khusus yang dianggap komunikasi dalam sebuah peristiwa ujaran; (7) Component of speech acts. Komponen tindak ujaran; (8) The rules of spaking in the community. Garis-garis pedoman yang menjadi sasaran penilaian perilaku komunikatif; (9) The function of speech in the community. Fungsi komunikasi dalam sebuah komunitas. Dalam kerangka ini, menyangkut kepercayaan bahwa sebuah tindakan ujaran dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dalam komunitas budaya. Adapun unit analisis utama adalah interpretasi dari para pelaku sosial, terutama mereka yang termasuk ke dalam golongan lapisan pertama (first order), yang terdiri dari para anggota komunitas kebanyakan. Selain interpretasi, unit analisis lainnya adalah tindakan dan interaksi. Tekniknya adalah teknik kualitatif melalui tahap-tahap pengkajian data, mereduksi data, mengategorikan data, dan memeriksa keabsahan data. Setelah data dikumpulkan, dianalisis, kemudian dilakukan interpretasi data. Tujuan interpretasi data adalah, pertama, mendeskripsikan fakta yang ada. Kedua, mendeskripsikan fakta secara analitik, dan ketiga, menyusun teori substantif atau teori yang disusun dari dasar atau dari data (Moleong, 1994) Selain kemampuan etnografi komunikasi dapat melihat variabilitas komunikasi tersebut, juga memiliki kelebihan untuk pertama, mengungkap jenis identitas yang digunakan bersama oleh anggota komunitas budaya. Identitas tersebut diciptakan oleh komunikasi dalam sebuah komunitas budaya. Identitas itu sendiri pada hakekatnya merupakan perasaan anggota budaya tentang diri mereka sebagai komunitas. Kedua, mengungkap makna kinerja publik yang digunakan bersama dalam komunitas. Ketiga, mengungkap kontradiksi atau paradoks-paradoks yang terdapat dalam sebuah komunitas budaya (Donal Carbaugh dalam Littlejohn, 2002). Untuk mengungkap aspek-aspek tersebut, ada tiga pertanyaan yang harus dikejar, yaitu pertanyaan tentang (1) norma; (2) bentuk;

dan (3) kode-kode budaya. Pertanyaan tentang norma adalah pertanyaan yang menyangkut dengan pencarian cara-cara komunikasi yang digunakan untuk memantapkan seperangkat patokan dan gagasan tentang benar dan salah yang mempengaruhi pola-pola komunikasi. Pertanyaan tentang bentuk adalah pertanyaan yang terkait dengan jenis komunikasi yang digunakan dalam komunitas, yaitu menyangkut suatu perilaku yang dapat dikategorikan sebagai komunikasi. Selain itu pertanyaan tersebut juga menyangkut tentang cara pengorganisasian perilaku komunikasi tersebut. Sementara pertanyaan tentang kodekode budaya memberikan perhatian pada makna simbol dan perilaku yang digunakan sebagai komunikasi dalam komunitas budaya. Dalam disiplin ilmu public relations dan komunikasi pemasaran, pendekatan etnografi mempunyai potensi untuk mengungkapkan bagaimana pertukaran komunikasi dan interaksi dipengaruhi oleh budaya. Di dunia periklanan, Mark Ritson dan Richard Elliott(1999) melakukan riset etnografi di sebuah sekolah menengah: Pengaruh Iklan terhadap Interaksi Keseharian para Siswa Sekolah Menengah di Inggris Bagian Utara. Ia menghabiskan waktu enam minggu mengamati serangkaian (perilaku) komunikasi yang berhubungan dengan iklan, serta pertukaran sosial di antara para siswa. Ia membuat catatan-catatan detail dan melakukan wawancara kelompok. Temuannya, pilihan siswa terhadap iklan favoritnya memiliki hubungan derajat tinggi dengan faktor signifikansi budaya. Sebagai contoh, siswa-siswa yang diteliti secara berkesinambungan memperbarui portofolio pribadi mengenai iklan favorit mereka yang dievaluasi dan dipromosikan oleh kelompok yang lebih besar. Melalui pengetahuan dan penafsiran bersama terhadap teks iklan, anggota-anggota kelompok menguatkan citra pribadinya lewat ikatanikatan kuat pada kelompok sosial yang berinteraksi dengan mereka.. Ritson dan Elliott menyimpulkan bahwa perbedaan konteks sosial kemungkinan sama saja dengan perbedaan

konteks media dalam memengaruhi efek iklan. Oleh karena itu, mereka menyarankan agar riset konsumen semestinya diarahkan lebih banyak lagi pada penerimaan dan eksplorasi konteks sosial yang mengandung, menghambat, sekaligus menyampaikan makna teks-teks iklan. Mats Alvesson (1994) melakukan kajian etnografi menghabiskan waktu beberapa bulan di sebuah biro iklan kecil di Swedia, guna meneliti bagaimana para praktisi periklanan menggambarkan diri mereka, pekerjaan dan organisasi mereka, profesi serta klien mereka. Proses risetnya dicirikan oleh: (1) Observasi terencana maupun observasi spontan; (2) Wawancara terencana dan percakapanpercakapan spontan; (3) Analisis dokumen; dan (4) wawancara formal dengan anggota senior dari biro iklan lain, guna menyediakan profil yang lebih luas mengenai biro-biro iklan, dan mencegah agar tidak terjebak pada pola yang lebih eksentrik dari biro iklan yang diteliti. Kajiannya menyimpulkan bahwa industri periklanan di Swedia bersifat relatif homogen, karena sebagian besar temuannya di satu organisasi juga ditemukan dalam organisasi lainnya. Di dunia maya, riset etnografi menarik untuk dilakukan adalah kajian terhadapkomunitas virtual, seperti kelompokkelompok yang berkumpul atau berkomunikasi melalui media komputer. Ward(1999) meneliti komunitas-komunitas virtual menggunakan metode etnografi yang diadaptasinya untuk riset internet. Ward berupaya mengeksplorasi makna bersama yang dimiliki oleh para partisipan website. Seperti dalam metode etnografi, ia menerapkan metode observasi berperanserta, wawancara, dan diskusi kelompok terarah (focus group), tetap dengan mengingat fakta bahwa peneliti media online tidak memiliki kontrol terhadap proses wawancara sebesar wawancara langsung. Dalam wawancara online, terdapat distribusi kekuasaan yang lebih merata. Para partisipan, seperti halnya peneliti, mengajukan pertanyaanpertanyaan. Sementara itu, penafsiran

akhir data tetap terbuka bagi negosiasi ulang antara peneliti dan yang diteliti.Ward (1999) berpendapat bahwa komunitas seperti itu tidak perlu harus didasarkan pada kesamaan lokasi geografis (misalnya kantor atau daerah pinggir kota). Kesamaan minat dapat mengganti kesamaan lokasi geografis. Pengamatan berperanserta yang dilakukan Ward terhadap interaksi antara dua media buletin perempuan menunjukkan bahwa para partisipan merasakan pemahaman yang sama, yang ditransfer dari dunia virtual ke dalam wilayah fisik mereka. Temuannya menyipulkan : Situs Cybergirl merupakan tempat yang sangat positif bagi perempuan untuk mengeksplorasi internet dan ambil bagian dalam penciptaan sebuah komunitas. Dalam konteks kajian Komunikasi Antar Budaya (KAB), khususnya dalam kawasan komunikasi silang budaya, etnografi komunikasi bermanfaat untuk melihat variabilitas komunikasi silang budaya. Budaya mencakup keseluruhan sistem komunikasi yang terdiri dari perilaku manusia baik secara verbal maupun nonverbal. Pemahaman akan perbedaan budaya dalam kerangka komunikasi silang budaya dari para partisipan komunikasi menjadi aspek signifikan dalam kajian KAB. Komunikasi silang budaya merupakan kawasan kajian KAB yang mempelajari bagaimana komunikasi berbeda secara silang budaya (across culture). Sebagai bagian integral dari KAB, pemahaman akan komunikasi silang budaya akan dapat mengantarkan pada pemahaman terhadap aspek kontak dan komunikasikomunikasi, dimana kedua aspek tersebut merupakan thema sentral KAB.(Rejeki, 2004). Gudykunst (2002) mengemukakan komunikasi silang budaya dengan analisis emik diperlukan untuk mempelajari KAB. Pendekatan emik, sebaiknya membangun kerangka teoritik dari bawah (grounded), dalam konteks (lokus) budaya tertentu, dan karena itu sifatnya sangat spesifik, eksklusif, kasuistis, non generalisasi. Dengan pendekatan inilah, seorang peneliti malah didorong untuk

membebaskan diri dari berbagai teori dan penjelasan ilmiah yang berkenaan dengan fokus penelitiaannya. Analisis emik dalam kaitannya dengan penelitian budaya merupakan suatu upaya menguraikan aspek-aspek budaya dengan bertolak dari sudut pandang para anggota komunitas pemilik budaya (the natives point of view), namun tanpa harus mengabaikan analisis ilmiah peneliti, sedangkan prinsip nonjudgmental (orientasi yang tidak menilai) sesungguhnya merupakan prinsip tidak menyatakan pendapat atas realitas yang diamati. Prinsip ini mendorong peneliti untuk melakukan eksplorasi tanpa menilai. Oleh karena itu pemahaman (verstehen) peneliti terhadap suatu budaya pada akhirnya merupakan pemahaman budaya seperti yang dipahami oleh para anggota budaya. Dalam kaitannya dengan pengumpulan data, maka analisis emik pun memerlukan teknik pengumpulan data yang bersifat emik. Baik pengumpulan data maupun analisisnya yang bersifat emik. Apabila seorang peneliti akan menguraikan perilaku manusia, ada 2 (dua) titik tolak yaitu pendekatan etik dan emik yang dianut dan bermanfaat menurut situasi tertentu. Jika peneliti menggunakan pendekatan emik merupakan esensi yang sahih untuk satu bahasa atau satu kebudayaan pada satu waktu tertentu. Pendekatan emik merupakan usaha untuk mengungkapkan dan menguraikan pola suatu bahasa atau kebudayaan tertentu dari cara unsur-unsur bahasa atau kebudayaan itu berkaitan satu dengan lainnya dalam melakukan fungsi sesuai dengan pola tersebut. Pendekatan emik tidak berusaha menguraikan segi generalisasi ke dalam klasifikasi yang diperoleh sebelum studi suatu kebudayaan dilakukan. Ciri-ciri pendekatan emik adalah struktural yang berarti peneliti berasumsi bahwa perilaku manusia terpola dalam sistempola itu sendiri. Satuan-satuan dari sistem terpola tersebut bersama-sama dengan satuansatuan kelompok struktur itu membentuk masyarakat tertentu melalui aksi dan reaksi para anggotanya. Jadi, bukan terdiri dari tindakan

analis untuk mencapai konstruk yang dapat diterapkan pada data itu. Dengan demikian tujuan pendekatan emik ialah mengungkapkan dan menguraikan sistem perilaku bersama satuan strukturnya dan kelompok struktur satuan-satuan itu. Tetapi pada kenyataannya, peneliti kualitatif cenderung menggunakan gabungan kedua pendekatan etik dan emik. Pendekatan etik, peneliti mencermati teori yang relevan dengan fokus penelitiaannya, dan membuat sintesis (menyatukan) berbagai teori itu menjadi kerangka teori. Moleong (1994) mengemukakan ada empat langkah dasar dalam pendekatan etik, yaitu peneliti: (1) mengelompokkan secara sistematis seluruh data yang dapat diperbandingkan, seluruh kebudayaan dunia, ke dalam sistem tunggal; (2) menyediakan seperangkat kriteria untuk mengklasifikasikan setiap unsur data; (3) mengorganisasikan data yang telah diklasifikasikan ke dalam tipe-tipe; (4) mempelajari, menemukan, dan menguraikan setiap data baru yang ditemukan ke dalam kerangka sistem yang telah dibuatnya sebelum mempelajari kebudayaan dari data yang ditemukan. Peneliti kualitatif mulanya membangun kerangka teoritiknya dengan pendekatan etik. Kerangka ini bersifat tentatif. Kemudian, ketika ia melakukan pengumpulan data lapangan membangun kerangka teoritiknya dengan pendekatan emik. Dengan demikian, peneliti kualitatif tidak sepenuhnya bebas dari teori-teori lain, tetapi memanfaatkan teoriteori yang relevan sebagai pemandu untuk membangun teorinya sendiri. Kesimpulan Penelitian dengan menggunakan metode etnografi merupakan kajian terhadap cara hidup suatu kelompok (budaya), komunitas tertentu atau organisasi. Waktu yang digunakan relatif cukup lama. Pengumpulan data melalui etnografi atau kerja lapangan (fieldwork), berlangsung terutama melalui observasi terencana maupun spontan, wawancara, analisis dokumen, maupun hasilyang padat bersifat analitis dan teoritis mengenai

suatu kebudayaan. Teori muncul dari perpaduan antara perspektif emik (orang dalam) dan etik (kerangka konseptual ilmiah yang dikembangkan dari bacaan dan riset primer) DAFTAR PUSTAKA Birowo, M. Antonius (2004). Meode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Gitanyali. Bungin, Burhan (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Daymon, Holloway (2008). Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relations & Marketing Communications. Yogyakarta: Benteng. Irawan, Prasetya (2006). Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok: FISIP UI. Maryaeni (2005). Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara Moleong, Lexy J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Mulyana, Deddy (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Poerwandari, Kristi (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 UI Salim, Agus (2006). Teori & Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sugiyono (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA. Suyanto&Sutinah (2006). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana. * riset itu sendiri, merupakan deskripsi tertulis

Anda mungkin juga menyukai