Anda di halaman 1dari 10

Semiotika

Oleh Heronimus Delu Pingge


Prodi IPS/2019

A. Pendahuluan
Manusia merupakan makluk sosial. Tidak bisa hidup sendiri, selalu
berinteraksi dengan orang lain. Interaksi yang dibangun merupakan interaksi
timbal balik yang ditandai dengan saling memahami. Alat interaksi utama
manusia adalah komunikasi. Dalam berkomunikasi manusia membutuhkan sarana
komunikasi yang mendukung proses komunikasi atau interaksi. Atas dasar
tersebutlah manusia menciptakan tanda-tanda yang dapat ditangkap oleh
pancaindera (Pradopo,1998:42). Tanda-tanda tersebut bisa berupa bunyi-bunyian,
tanda visual yang bisa dilihat, diraba, dirasakan, ataupun bisa dicium baunya
(Liliweri,2010;Pradopo,1998). Semua tanda tersebut mulai dari yang sederhana
sampai yang paling rumit.
Reailitasnya dalam kehidupan manusia dalam memahami tanda-tanda yang
dibuat belum seragam dipahami, hal tersebut diakibatkan latar belakang dan
persepsi yang berbeda. Supaya tanda itu bisa dipahami secara benar
membutuhkan konsep yang sama supaya tidak terjadi misunderstanding atau
salah pengertian. Pendekakatan untuk memahami tanda-tanda tersebut disebut
semiotik (the study of signs)(Sartini,2011). Semiotika berperanan besar dalam
memaknai banyak hal. Mempelajari tanda berarti mempelajari bahasa dan
kebudayaan (Lustyantie,2012).
Danesi dan Person (dalam Hoed,2014) manusia adalah makhluk yang
selalu mencari makna dari berbagai hal yang disekitarnya, karena itu manusia
disebut sebagai homo signans. Untuk memahami tentang semiotika dalam tulisan
akan menguraikan tentang konsep semiotika, tokoh-tokoh dalam simiotika,
bidang terapan dalam semiotika, dan penelitian yang berkaitan dengan semiotika.

B. Pembahasan
1. Semiotika: Konsep dan Tokoh
Bicara tentang semiotika maka akan dikenal dua nama peletak dasar semiotika
yaitu Ferdinand De Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914)
(Chandler, 2001;Chandler, 2007). Lalu muncul tokoh-tokoh semiotika lainya
diantaranya adalah Charles William Morris (1901-1979), Roland Barthes

1
(1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-1993), Christian
Metz (1931-1993), Umberto Eco (1932) dan Julia Kristeva (kelahiran 1941), Louis
Hjelmslev (1899-1966) dan Roman Jakobson (1896-1982), Claude Lévi-Strauss
(lahir 1908), Jacques Lacan (1901- 1981), dan Paul Perron (Hoed,2014; Chandler,
2001;Chandler, 2007)
Semiotika itu apa?. Kata Semiotika diambil dari kata bahasa
yunani: semeion, yang berarti tanda, ilmu tentang tanda (Pradopo,1998:42). Definisi
terpendeknya adalah studi tentang tanda (Sig) (Chandler, 2001;Chandler, 2007).
Definisi “tanda” dalam kamus besar bahasa indonesia edisi V versi elektronik
mengartikan tanda untuk menyatakan sesuatu, gejala, bukti, pengenal, dan petunjuk.
Benny H. Hoed (2014) mengartikan semiotik merupakan Ilmu yang mengkaji tanda
dalam kehidupan manusia. Dia menyakini bahwa manusia memiliki kemampuan
memberikan makna pada berbagai gejala sosial budaya dan alamiah, tanda adalah
bagian dari kebudayaan manusia (Pradopo, 1998). Manusia berusaha memaknai apa
yang ada diluar dirinya (Hoed, 2014).
Semiotik secara umum didefinisikan dengan produksi tanda-tanda dan
simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk
mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal
serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa
diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut
membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau
pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia (Daniel Sudarto, Joni,
Max, 2015)
Dalam memahami tanda yang ada dalam kehidupan sosial dan budaya
membutuhan proses. Proses pemaknaan tanda dikenal dengan istilah semiosis
(Pierce dalam Hoed, 2014). sedang Hoed (2014:3) menyebutnya dengan istilah
proses “pragmasifika”. proses semiosis merupakan proses pencerapan sesuatu
dengan indra manusia yang kemudian diolah oleh kognisi. Proses selanjutnya
adalah pengolahan dalam pikiran sesuai dengan pengalaman secara lebih kopleks
terkait apa yang diindra. Proses ini disebut dengan representation, yakni ketika
pencerapan tanda terjadi secara berulang-ulang kemudian memperoleh makna yang
lebih stabil dalam kognisinya. Proses selanjutnya adalah signiflyng order, proses
gejala sosial dalam memberikan makna, pemaknaan yang didasari oleh
pembelajaran melalui konvensi sosial.

2
Tanda secara garis besar dikelompokkan menjadi tanda verbal dan visual
(Pradopo,1998). tanda verbal merupakan tanda kebahasaan sedangkan tanda visual
adalah tanda yang dapat diliat, misalnya lukisan, dan bangunan. Tanda visual dan
verbal tersebut bila dikaji lebih dalam dalam semotika maka akan dikenal dua aspek
tanda yaitu penanda (signifier, signifiant) dan petanda (signified, signifie).
Berdasarkan pola hubungan antara penanda dan petanda, maka ada
macam-macam tanda dalam semiotika yakni ikon,indeks, dan simbol (Hoed,2014;
Chandler, 2001; Chandler, 2007; Liliweri,2010). Ikon adalah tanda yang memiliki
kemiripan/similiarity bahkan menyerupai secara fisik dengan sesuatu yang
diwakilinya. Tanda sebagai ikon memiliki arti yang sesederhana untuk
mengkomunikasikan A maka diwakili oleh gambar A. Lukisan potret wajah yang
menyerupai seseorang adalah ikon dari orang itu. Tanda yang bersifa ikon disebut
tanda ikonik.
Indeks menunjukknan adanya hubungan alamiah yang merupakan hubungan
kausalitas antara penanda dan pertanda. Misalnya asap menandakan adanya api.
Awan menandai akan turun hujan. Pengertian simbol atau lambang adalah tanda
yang mewakili sesuatu berdasarkan kesepakatan-kesepakatan (convention) baik
sengaja atau tidak disengaja, misalnya gedung sate mewakili Bandung.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa tanda memiliki
bermacam kategori, sisi/perspektif yang beragam. Lalu bagaimana caranya agar kita
tahu bahwa sesuatu yang kita lihat/alami adalah sebuah tanda?. Peirce (dalam Hoed,
2014) menekankan adanya tiga sifat dasar atau ground tanda yaitu: a)
Qulisign/tanda kualitas (dari quality dan sign), adalah sesuatu yang dianggap
sebagai tanda berdasarkan suatu sifat, misalnya merah atau sebagai sebuah sifat
yang berdiri sendiri sebelum dikaitkan dengan sesuatu yang lain (sebelum mewakili
sesuatu yang lain selain warna). b) Sinsign/tanda tunggal, (dari singular dan sign),
Sinsign adalah sesuatu yang dianggap tanda atas dasar tampilannya dalam
kenyataan, contohnya asap sebagai tanda untuk api. Tanda akan selalu memiliki
kendaraan yang berbentuk fakta eksistensial; Hubungan kausal antara api dan asap
memungkinkan asap berfungsi sebagai penanda dari api. Intinya setiap tanda akan
menggunakan kendaraan berdasarkan koneksi eksistensial dengan objeknya.
c) Legisign/tanda hukum/aturan (dari legal dan sign), adalah sesuatu akan dianggap
tanda berdasarkan peraturan yang berlaku umum, baik secara hukum dibuat atau
secara tidak sengaja terbentuk dengan sendirinya dalam

3
2. Bidang/Pokok Semiotika
Disepakati bawah semiotika itu berkaitan dengan tanda, makna, dan manusia.
Akan tetapi perlu diketahui pokok semiotikan atau lebih tepatnya teori semiotika.
Tulisan ini mengambil empat tokoh semiotika yang teorinya sering dipakai dalam
kajian memaknai tanda. Bagian a dan b dsarikan dari bukunya Beny A. Hood (2014)
yang berjudul Semiotik dan Dinamika Sosial Budada sedangkan c, dan d, disarikan
dari bukunya Alex Sobur yang berjudul Semiotika Komunikasi (2013).
a. Semiotika Stuktural dari Ferdinand de Sausure (1857-1913)
Semiotika struktural berhulu pada teori tentang tanda bahasa dari
Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam catatan kulianya yang kemudian
dibukukan (1916) disebutkan lima hal penting, yakni; 1) tanda terdiri dari
penanda (signifiant) dan petanda (signifie) yang hubungan pemaknaanya didasasri
oleh konvensi sosial; 2) karena itu bahasa merupakan gejala sosial yang bersifat
arbitrer serta konvensional dan terdiri dari parangkat kaidah sosial yang didasari
bersama (langue) praktik sosial (parole); 3) hubungan antar tanda bersifat
sintagmatis (In-praesentia) dan asosiatif (in-absentia); dan bahasa dapat didekati
secara diagkronis (perkembanganya) atau sinkronis (sistemnya pada kurun waktu
tertentu); 5) sebagai gejala sosial, bahasa terdiri dari dua tataran, yakni kaida
sistem internal (langue) dan praktik sosial (parole).
disini akan dibicarakan tiga hal pertama diatas yang relevan dengan
semiotika. Pemaknaan tanda bahasa menurut de Saussure terjadi apabila manusia
mengaitkan penanda dengan petanda. Karena yang dibicarakan adalah tanda
bahasa, kaitan antara penanda dan petanda didasari oleh konvensi sosial. Bahasa
terdiri dari tanda-tanda yang tersusun secara linear dan berdampingan. Susunan
antar tanda dikatakan didasari oleh relasi sintagmatik linear, misalnya Ali Makan
Nasi. Tanda bahasa juga dapat dilihat dalam rangka asosiatif. Sebuah kata seperti
Mahasiswa dapat menimbulkan asosiasi (spontan) pada sejumlah kata lain,
misalnya Dosen, ujian, buku, sks, universitas, fakultas, menyontek, demo, tapi
mungkin tidak (segera) dengan terasi, bakteri, gudeg, atau kecap manis. Namun
dalam konteks yang lebih terbatas, relasi asosiatif terdapat pada kaitan sistem
bahasa itu sendiri. Kata mahasiswa dapat dibentuk dalam kaitan sistem
gramatikal bahasa indonesia, seperti sitem imbuhan ke-mahasiswa-an, sistem
gabungan kata gerakan mahasiswa (de Saussure, 1916).

4
Relasi antar tanda ini tidak hanya dilihat pada tanda bahasa, tapi juga pada
lukisan, atau lagu, puisi. Relasi singtagmatis pada lukisan pemandangan sawah
dan gunung kita dapati diunsur-unsur lukisan tersebut sperti posisi sawah,
rumah, pepohonan, dan gunung yang biasanya diatur dengan perspektif. Relasi
sintagmatis pada lukisan tidak linear. Pada lagu kita mendengar urutan tanda dan
kata yang diciptakan oleh pengarangnya. Pada dasarnya relasi sintagmatis pada
lagu bersifat linear. Relasi asosiatif pada lukisan dan lagu bisa menimbulkan
asosiasi pengalaman pada seseorang.Dalam semiotik berbagai relasi itu
diterjehmahkan dalam pengertian “makna”.
Dalam kebudayaan, pemaknaan terbentuk secara sosial. Ini didasari antara
lain oleh apa yang disebut “ingata kolektif” suatu masyarakat. Ingatan kolektif
atau kesadaran kolektif merupakan langue (kaida sosial yang disepakati) dan
pelaksanaanya merupakan aspek parole. Secara struktural ini desebut dengan
relasi asosiatif.
Berdasarkan pemisahan yang tegas antara langue dan parole dan
kemampuan ilmu pengetahuan dalam penelitian langue maka penelitian mengenai
pengetahuan tentang tanda hanya terdiri dari penelitian-penelitian tentang
signifikat dan signifian, atau lebih jelasnya kesatuan di antara keduanya, yaitu
tanda. Bagi Saussure tanda bukanlah merupakan sesuatu yang melambangkan
sesuatu (konsep atau referen), melainkan "tanda"adalah kesatuan antara signifian
dan signifikat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, seperti dua sisi satu
lembar kertas• Oleh karena itu, model tanda versi Saussure dapat digambarkan
sebagai berikut;

Gambar 1. model tanda versi Saussure (Chandler, 2007:14)

Semua yang diuraikan diatas dikenal dengan teori semiotik struktural.


Pertama, karena menyangkut tanda dan pemaknaannya secara dwipihak, kedua
karena makna didentifikasi melalui relasi antartanda. Ketig, karena pemaknaan
tidak hanya individual tapi juga sosial. Teori tanda de Saussure disebut juga
dikotomis (dwipihak) karena menggunakan model dua pihak: signifiant-signifie,
sintagmatik-asosiatif, dan langue-parole.

5
b. Semiotik Pragmatis dari Charles Sanders Pierce
Charles Sanders Pierce (1839-1914) merupakan tohoh simotik dari
Amerika serikat. Bagi Charles Sanders Pierce tanda dan pemaknaan bukanlah
sturktur melainkan proses kognisi yang disebutnya simiosis. Jadi simiosis
merupakan proses pemaknaan dan penafsiran tanda. Bila dikaji lebih dalam
proses semiosis merupakan proses ketika sebuah tanda berfungsi sebagai sebuah
tanda yang mewakili yang ditandainya (Hoed dalam Pradopo, 1998). semiosis
sebenarnya yang menjadi pusat kajian dari semiotika bukan hanya tanda saja.
Pierce (Dalam Hoed, 2014) bahwa proses semiois adalah proses “triadik” karena
mencakup tiga tahap secara bersama. tahap pertama adalah pencerapan aspek
representamen tanda (pertama melalui pancaindera), tahap kedua mengaitkan
secara spontan representamen dengan pengalaman dalam kongnisi manusia yang
memaknai representamen itu (disebut obyek), dan ketiga menapsirkan obyek
sesuai dengan keinginannya. Tahap ketiga ini disebut dengan interpretant. Cara
pemaknaan tanda melaluo kantan antara representamen dan obyek didasari oleh
pemikiran bahwa obyek tidak selali sama dnegan reelalitas yang diberikan oleh
representamen. Obyek timbul karena pengalaman meberikan makna.

Gambar 2. proses semiois “triadik” oleh Pierce (Chandler, 2007:14)

Kategori tanda menurut Pierce meliputi Index, icon dan symbol.


Pemahaman tentang ketiga kategori tersebut bisa dilihat pada tulisan diatas
(bagian 1. semiotika; konsep dan tokoh).
c. Semiologi dan Mitologi oleh Rolan Barthes
Pada tahun 1956, Roland Barthes yang membaca karya Saussure: Cours de
linguistique générale melihat adanya kemungkinan menerapkan semiotik ke
bidang-bidang lain. Ia mempunyai pandangan yang bertolak belakang dengan
Saussure mengenai kedudukan linguistik sebagai bagian dari semiotik.
Menurutnya, sebaliknya, semiotik merupakan bagian dari linguistik karena

6
tanda-tanda dalam bidang lain tersebut dapat dipandang sebagai bahasa, yang
mengungkapkan gagasan (artinya, bermakna), merupakan unsur yang terbentuk
dari penanda-petanda, dan terdapat di dalam sebuah struktur.
Di dalam semiologi Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat
pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi
justru lebih diasosiasi dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan
keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan
dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan
bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alami yang dikenal
dengan teori signifikasi. Teori ini berlandaskan teori tentang tanda yang
dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, hanya saja dilakukan perluasan makna
dengan adanya pemaknaan yang berlangsung dalam dua tahap, sebagaimana
tampak dalam bagan berikut ini .

Bagan 1. perluasan makna oleh Barthes (Lustyantie,2012:4)

Berdasarkan bagan itu, pemaknaan terjadi dalam dua tahap. Tanda


(penanda dan petanda) pada tahap pertama dan menyatu sehingga dapat
membentuk penanda pada tahap kedua, kemudian pada tahap berikutnya penanda
dan petanda yang yang telah menyatu ini dapat membentuk petanda baru yang
merupakan perluasan makna.
Contoh, penanda (imaji bunyi), mawar mempunyai hubungan RI (relasi)
dengan petanda (konsep) “bunga yang berkelopak susun dan harum”. Setelah
penanda dan petanda ini menyatu, timbul pemaknaan tahap kedua yang berupa
perluasan makna. Petanda pada tahap kedua disebutnya konotasi, sedangkan
makna tahap pertama disebut denotasi. Barthes tidak hanya mengemukakan
perluasan makna, melainkan juga menampilkan adanya perluasan bentuk yang
disebutnya metabahasa.
Dengan demikian, semiologi Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan
sistem bahasa dalam dua tingkatan bahasa. Bahasa pada tingkat pertama adalah
bahasa sebagai objek dan bahasa tingkat kedua yang disebutnya metabahasa.

7
Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang berisi penanda dan petanda.
Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat
pertama sebagai petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri
dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama
disebutnya dengan istilah denotosi atau sistem terminologis, sedang sistem tanda
tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi.
Konotasi dan metabahasa adalah cermin yang berlawanan satu sama lain.
Metabahasa adalah operasi-operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa
ilmiah yang berperan untuk menerapkan sistem riil, dan dipahami sebagai petanda,
di luar kesatuan penanda-penanda asli, di luar alam deskriptif. Sementara itu,
konotasi meliputi bahasa-bahasa yang utamanya bersifat sosial dalam hal pesan
literal memberi dukungan bagi makna kedua dari sebuah tatanan artifisial atau
ideologis secara umum.
d. Semiotika Umberto Eco
Eco (2009: 7) mengungkapkan bahwa semiotika berkaitan dengan segala
hal yang dapat dimaknai sebagai suatu tanda-tanda. Sebuah tanda adalah segala
sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai pengganti untuk sesuatu yang lain.
Teori semiotika adalah bahwa tanda yang dimaksud adalah sebuah satuan kultural
(Eco dalam Benny 2011: 25).Satuan kultural menurut Syuropati (2011: 85) adalah
tanda bahwa kehidupan sosial telah memberi kita buku-buku imaji, tanggapan
yang sesuai untuk menafsirkan pertanyaan yang mendua, kata-kata mendua,
kata-kata untuk menafsirkan definisi dan demikian pula sebaliknya. Akibat dari
upaya memasukkan status tanda sebagai suatu satuan kultural, sebuah teori
tentang tanda akan mampu menjelaskan bagaimana tanda bisa memiliki banyak
makna, bagaimana makna datang dari kemampuan, pemakai bahasa atau sistem
tanda, dan bagaimana akhirnya makna baru bisa terbentuk. Oleh karena itu
semiotika menjadikan kebudayaan sebagai objek kajian utama.

3. Penelitian Dalam Semiotika

Karena tanda itu menandai sesuatu (yang penting, maka dalam penelitian
semiotika itu yang dicari adalah tanda-tanda penting, bermakna. Culler (dalam
Pradopo, 1998) meneliti sesuatu adalah memburu tanda-tanda (the pursuit of signs).
Pendekatan semiotika untuk penelitian membedakan dua jenis semiotika yaitu

8
semiotika komunikasi dan komunikasi signifikasi (Eco dalam Hoed, 1992).
semiotika komunikasi menekankan pendekatan pada teori produksi tanda yang
salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu
pengiriman, penerima, kode, pesan, saluran komunikasi, dan acuan. Semiotika
signifikasi memberikan tekanan pada pada teori tanda dan pemahaman dan konteks
tertentu. Pendekatan ini tidak mempersoalkan adanya tujuan komunikasi, yang
diutamakan adalah segi pemahaman sesuatu tanda. Dengan demikian, proses
kognisinya lebih diperhatikan daripada komunikasinya. Semiotika signifikasi itu
terjadi pada penelitian karya sastra maupun teks yang memerlukan pemaknaan
lainnya. Perbedaan keduanya harus diperhatikan dalam penelitian semiotika tapi
tidak perlu dipertentangkan, bahkan harus saling melengkapi (Hoed dalam Pradopo,
1998).
Seperti yang dijelaskan diatas bahwa tanda-tanda bermakna itu berupa ikon,
indeks, atau simbol. Dalam penelitian semiotika komunikasi pastilah yang dicari
adalah tanda-tanda yang penting untuk berkomunikasi, yaitu tanda-tanda untuk
menyampaikan pesan dari pengirim kepada penerima.tiap-tiap jenis komunikasi
atau mempunyai aturan, sistem, atau konvensi-konvensi yang sesuai dengan
jenisnya. Semiotika signifikasi juga mempunyai aturan, sistem, atau
konvensi-konvensi tertentu yang membuat tanda-tanda mempunyai makna. Untuk
memberi makna kepada karya sastra, pertama kali dipergunakan metode pencarian
tanda-tanda, yaitu mencari tanda-tanda tertentu dapat memberikan makna suatu hal
atau keadaan.
Art Van Zoest (dalam Pradopo, 1998) yang berjudul Semiotika (Tentang Tanda,
Cara Kerjanya, dan apa yang dilakukan dengannya), memberikan beberapa contoh
penerapan semiotika dalam beberapa bidang. Bidang-bidang penerapan yang
dikemukakan adalah 1) arsitektur, tata ruang, 2) film, 3) sandiwara, 4) Musik. 5)
kebudayaan, 6) interaksi sosial, 7) psikologi dan, 8) media massa.

C. Kesimpulan
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Dalam hal ini, fenomena
kemasyarakatan dan kebudayaan merupakan sistem tanda-tanda. Tanda-tanda
tersebut berupa ikon, indeks dan simbol. Dengan mengetahui sistem, aturan-aturan,
dan konvensi-konvensi, tanda-tanda dapat dimengerti dan dipahami.

D. Daftar Pustakan

9
Chandler, D. (2001). Semiotics for Beginners dari
https://www.semanticscholar.org/s2001https://pdfs.semanticscholar.org/fd6d/
0474ace7823e35b478145ce1d765cd5142ca.pdf diakses 10 Oktober 2019

Chandler, D. (2007). Semiotics The Basics Secon Edition. Routledge:Madison Ave,


New York.

Hoed, Benny, H. (2014). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok. Komunitas
Bambu.

Sartini, N. W. (2011). Tinjauan Teoritik tentang Semiotik. Dari


http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Tinjauan%20Teoritik%20tentang%2
0Semiotik.pdf di akses 10 okteber 2019.

Sobur, Alex. (2013). Semiotika Komunikasi. Bandung: Pt Remaja Roa karya

Sudarto, A. D., Jhony,. dan Max, R. (2015). Analisis Semiotika Film “Alangkah
Lucunya Negeri Ini”. Journal “Acta Diurna”. IV(1).

Lustyantie, N. (2012). Pendidikan Semiotik Model Rolan Barthes Dalam Karya


Sastra Prancis. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional FIB UI, 19
Desember 2012.

Pradopo, R.D. (1998). Semiotika: Teori, Metode dan Penerapanya. Jurnal


Humaniora, 7(Jan-Maret), pp(42-48)

Liliweri, A. (2011). Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Kencana: Jakarta

10

Anda mungkin juga menyukai