Anda di halaman 1dari 4

TEORI TENTANG BEKERJANYA MAKNA TANDA DLM PESAN

KOMUNIKASI

Semiotic (Semiotika): Teori-teori, Metode Penelitian atau Teknik Analisis


Tanda-tanda
Secara umum perintis semiotika terdiri dari ahli linguistik asal Swis, Ferdinan
deSaussure, yang kemudian dikembangkan oleh Roland Barthes, filosof dan
budayawan asal Perancis; dan Charles Sanders Pierce, filosof dan ahli kebudayaan
asal Amerika Serikat.
Semiotika, atau semiotik, berasal dari kata dalam bahasa Latin semeion, yang
berarti tanda. Semiotika mempelajari bagaimana berfungsi atau bekerjanya
makna tanda-tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik dan bisa
dipersepsi alat indera kita; tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri dan
bergantung pada pengenalan oleh penggunanya, sehingga bisa disebut sebagai tanda.

Semiotik versi Ferdinand deSaussure


Bagi Saussure, tanda merupakan obyek fisik dengan suatu makna; atau,
sebuah tanda selalu mengandung penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda
adalah citra tanda seperti yang kita persepsi (seperti: tulisan, gambar, suara/bunyi,
aroma, dlsb.); petanda adalah konsep mental (dalam pikiran kita) yang diacu/dirujuk
oleh penanda. Konsep mental ini secara umum ”sama” pada anggota ”kebudayaan
yang sama” yang memakai ”bahasa yang sama”. Versi Saussure bisa dibuat model
(Dua Sisi Makna Tanda) sbb:

Tanda

Tersusun atas

Penanda + Petanda
(aspek fisik) (aspek mental)

Aspek fisik adalah segala sesuatu yang dapat dipersepsi atau dicerap dengan
memakai alat indera kita (dilihat, didengar, dicium aromanya, dsb). Aspek mental
adalah segala gambaran yang berkembang dalam pikiran kita berkait aspek fisik yang
tercerap melalui alat indera tadi. Ketika kita mendengar sebutan kata ”Anjing!”, maka
konsep ”keanjingan” muncul di benak kita. Begitu pun ketika kita melihat adegan
”memasak ikan” di teve, di benak kita muncul konsep ”memasak”, ”ikan”, ”bumbu”,
”cita rasa”, dsb.
Bagi Saussure, makna tanda bersifat arbiter (semena-mena, sekehendak para
pemakai tanda), tergantung bagaimana kelompok pemakai tanda, dan ”menyepakati”
maknanya. Dengan demikian, makna tanda bergantung konvensi (kesepakatan)
kelompok budaya pemakai suatu tanda. Oleh karenanya pula, kadang makna tanda
merupakan cultural meaning; lain budaya, bisa lain petandanya meski menyangkut
penanda yang sama – warna merah bisa berbeda makna antara menurut orang Jawa
dan menurut orang Tionghwa.
Semiotik versi Charles Sanders Peierce
Dalam memulai bahasannya, Peirce mengenalkan model segitiga pemaknaan
tanda, seperti tampak dalam gambar berikut:

Segitiga Pemaknaan Tanda

Representamen

Interpretan Obyek

Tanda, pada aspek representament, versinya Peirce, menyerupai konsep


penanda bagi Saussure. Sementara obyek adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda
(yang ada di luar representamen dan di dlm pikiran pemakai tanda), menyerupai
petanda dlm konsepnya Saussure. Interpretan, yang dimaksud di sini, adalah pikiran
pemakai tanda (peserta komunikasi). Ketiga unsur ini merupakan sisi-sisi dari proses
pertandaan yang selalu ada dan saling terkait satu sama lain. Tanda tak pernah
berfungsi tanpa terhubung interpretan dan obyek. Obyek tak pernah
terkomunikasikan tanpa ada representament dan keterlibatan interpretan. Sesuatu
menjadi interpretan manakala berinteraksi dengan representamen dan terhubung oleh
obyek.
Peierce membagi tanda ke dalam 3 macam:
1. Ikon: tanda yang maknanya didasarkan pada kemiripan antara representament
dan obyeknya. Misal: foto, lukisan, maket, miniatur, peta, patung dlsb.
2. Simbol: tanda yang maknanya tersusun melalui konvensi (kesepakatan)
anggota masyarakat pemakai tanda. Misal: warna (gambar) bendera, model
busana, model desain kendaraan, kata-kata, jenis ketawa, jenis tepuk tangan,
dlsb.
3. Indeks: tanda yang maknanya tersusun dengan memakai logika hubungan
kausal (sebab-akibat), yang di dalamnya terdapat faktor sebab dan faktor
akibat. Unsur tanda (representamen) memakai faktor akibat sementara unsur
obyek memakai faktor sebab. Misal: asap merupakan akibat adanya api.
Sebagai akibat, asap dipakai sebagai tanda adanya api (faktor sebab). Dengan
demikian, ada asap berarti ada api.

Semiologi versi Roland Barthes


Mulanya, Barthes mengembangkan semiologinya Saussure. Maka ia
mengembangkan konsep penanda dan konsep petanda versinya Saussure, dengan
menyertakan level-level pemaknaan denotatif dan konotatif. Makna denotatif adalah
makna tanda yang bersifat langsung, tersurat dan relatif umum. Sehingga orang
cenderung sama dalam memaknainya. Makna konotatif adalah makna tanda yang
terbentuk dengan menyertakan aspek emosi (psikologi) yang khas suatu kelompok
atau sub budaya. Sebuah pernyataan, secara konotatif bisa bermakna tertentu bagi
orang Jawa (misal: kasar) sementara bagi orang Batak, maknanya beda lagi (misal:
standard saja). Kata-kata ”....dilakukan penyesuaikan harga”, secara konotatif, di
mata komunitas politik, bisa berarti ”dilakukan kenaikan harga”. Padahal makna
(denotatif) ”disesuaikaan” dengan makna ”dinaikkan” itu berbeda. Sebuah foto wajah
dengan teknik low angle pemotretannya, secara konotatif bisa bermakna
”kewibawaan”, ”kekuasaan”, ”keangkuhan”, dsb. Bagi Barthes, dalam semiologi
(Barthes biasa pakai istilah ”semiologi”), level pemaknaan yang penting adalah level
konotatif, atau level yang lebih tinggi lagi, yakni level mitologis (mitos)

Dalam rangka mengaitkan antara konsep penanda-petanda dan makna


denotatif-konotatif, Barthes mengembangkan model pemaknaan seperti tampak
dalam gambar berikut:

1. Penanda Denotatif 2. Petanda Denotatif


3. Tanda Denotatif
4. Penanda Konotatif 5. Petanda Konotatif
6. Tanda Konotatif

Pertemuan penanda denotatif (1) dengan petanda denotatif (2) menghasilkan


tanda denotatif (3). Tanda denotatif juga bisa sekaligus merupakan penanda konotatif
(4), dan jika bertemu petanda konotatif (5) menghasilkan tanda konotatif (6). Alur
berpikir macam ini bisa berlangsung bolak-balik; misal, bermula dari tanda denotatif
(3), kita cermati penanda denotatif (1) lalu menuju petanda denotatif (2); juga dari
tanda konotatif (6), menuju penanda konotatif (4) lalu ke petanda konotatif (5).

Konsep-konsep Penting yang lain (bukan dari Barthes) dalam Semiotika:


1. Metafora (Metaphore)
Metafora dapat diartikan sebagai upaya komunikasi dengan menggunakan
analogi. Bunga mawar analog dengan rasa cinta. Maka mengomunikasikan
perasaan cinta, bisa memakai mawar merah (red rose), tanpa kata. Tak ada
hubungan nyata antara rasa cinta dan mawar merah. Foto prawedding dengan
background langit warna jingga analog dengan romantisme. Tak ada kaitan
nyata antara warna jingga dan romantisme. Begitu pula, antara kasih sayang
dan warna pink; tak ada hubungan nyata. Kedua pihak berada di dalam sistem
yang terpisah.
2. Metonimi (Methonimy)
Metonimi bisa diartikan sebagai upaya komunikasi dengan memakai asosiasi.
Mobil Lamborgini mengasosiasikan status sosial ekonomi pemakainya. Baju
koko mengasosiasikan bahwa sang pemakai adalah muslim. Mahkota di atas
kepala mengasosiasikan kekuasaan, kemenangan, dan sebagainya. Shopping
di Plaza Indonesia atau di Senayan City mungkin mengasosiasikan
kemewahan (status)? Dalam metonimi, penanda (Lambrgini, mahkota, baju
koko dsb.) merupakan bagian dari sistem yang lebih besar seperti status sosial
ekonomi, kekuasaan, kemusliman dan sebagainya sebagai petandanya.
3. Sintagmatik
Konsep ini dipopulerkan oleh Vladimir Prop. Sintagmatik diartikan sebagai
relasi fungsional antar bagian dalam teks, atau antar tanda satu dan tanda-
tanda lain dalam sistem paket tanda. Misal dalam sebuah video klip musik,
terdapat lirik lagu, irama lagu, instrumen musik (elemen audio), berrelasi
secara fungsional dengan elemen-elemen visualnya. Lagu yang melo
dibarengi visualisasi lingkungan kehidupan macam apa, lirik kritik sosial
diilustrasikan secara visual dengan gambar apa, lengkingan gitar elektrik
dibarengi visualisasi sayatan gitar sang gitaris, dsb. Dalam film, terdapat
cerita yang memiliki alur (plot), terbagi ke dalam adegan-adegan (scene),
dialog, music ilustration, sound & visual effect, dsb. Masing-masing berrelasi
secara fungsional, secara padu, saling support satu-sama-lain.
4. Paradigmatik
Konsep ini dipopulerkan oleh Levi’s Strauss. Paradigmatik diartikan sebagai
relasi oposisional antar bagian dalam teks. Dalam iklan, misal, terdapat peran
anak dan peran ortu. Diantara kedua peran yang dikonstruksi oleh pembuat
iklan, dianalisis dengan analisis relasi oposisional (hubungan perlawanan)
antara peran anak dan peran ortu. Jika dijumpai sisi-sisi negatif anak di satu
pihak, sisi-sisi positif ortu di pihak lain, maka iklan ini mengandung
pemihakan terhadap para ortu di satu sisi, di sisi lain iklan ini
menndiskreditkan anak-anak. Dalam film, terdapat cerita yang
menggambarkan watak tokoh-tokohnya. Mereka diidentifikasi,
dikelompokkan lalu ditaruh dalam posisi berlawanan. Mana-mana dalam
kelompok yang digambarkan negatif, siapa saja dalam kelompok lain yang
digambarkan secara positif. Kelompok kulit putih, misal, digambarkan
cenderung positif sementara kulit hitam digambarkan cenderung negatif. Film
ini mengandung ideologi rasial, yakni berpihak pada ras kulit putih. Dalam
film-film Bolliwood, terdapat ideologi yang berpihak kepada kasta bawah.
Sang penjahat biasanya berkasta tinggi sementara sang hero, berlatar kasta
rendah. Makanya industri film di sana didukung konsumen yang merupakan
kelompok mayoritas, dari kasta bawah.

Anda mungkin juga menyukai