Anda di halaman 1dari 22

London School Of Public Relation

Ayla Mayasintha Arhamanuzwa


22110260117
Lectures: Dr. Ni Putu Limarandani
1. Jelaskan 4(empat) alasan ilmiah pentingnya ilmu komunikasi! berikan contoh nyata
pada kehidupan sehari-hari dari masing-masing alasan yang telah anda kemukakan
tersebut.
2. Jelaskan dengan disertai contoh tentang apa yang dimaksud dengan
- Semiotika
- Hermeneutika
- Analisis isi

1. Komunikasi dapat menjadi penengah untuk suatu tujuan, ketika saya tidak dapat
hadir dalam kelas karena keadaan, saya dapat berbincang dan bernegosiasi
dengan dosen.
2. Komunikasi memungkinkan kita untuk memahami dan memperoleh pengetahuan
dan pemahaman informasi, ketika dosen menjelaskan sesuatu materi
komunikasi membuat saya mengerti apa yang dosen sampaikan kepada saya.
3. komunikasi menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan pencapaian
usaha, saat saya ingin meminta sesuatu kepada orang tua saya harus
membicarakan kebutuhan saya pada orangtua untuk mendapatkan yang saya
butuhkan.
4. Komunikasi untuk mengekspresikan suatu perasaan, saat saya merasa kesal
dengan teman saya, saya dapat mengungkapkan isi hati saya agar tidak timbul
kesalahpahaman.
Semiotika

Apabila dibahas secara etimologis, kata “semiotik” ini berasal dari Bahasa Yunani, yakni
“simeon” yang berarti tanda. Sementara itu, kata “semiotika” juga dapat merupakan
penurunan kata Bahasa Inggris, yakni “semiotics”. Nama lain dari semiotika
adalah semiology. Kemudian, apabila dikaji secara terminologis, semiotika dapat
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tanda. Tanda itu sendiri dianggap sebagai
suatu dasar konvensi sosial dan memiliki sesuatu (makna) tertentu.

Konsep dasar semiotika

Pada dasarnya, semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang makna dari tanda,
dengan menyertakan adanya mitos dan metafora yang bersangkutan dengan tanda
tersebut. Konsep-konsep dasar dari semiotika yang dicetuskan oleh Ferdinand de
Saussure ini meliputi tanda/simbol, kode, maka, mitos, dan metafora.

1. Tanda
Menurut Saussure, tanda (sign) ini terbagi menjadi tiga komponen, yakni:
• Tanda (sign), mencangkup aspek material berupa suara, huruf, gambar,
gerak, dan bentuk.
• Penanda (signifier), mencangkup aspek material bahasa, yakni apa yang
dikatakan atau didengarkan; dan apa yang ditulis atau dibaca.
• Petanda (signified), mencakup aspek mental bahasa, yakni gambaran
mental, pikiran, dan konsep.
Ketiga komponen tersebut harus memiliki eksistensi yang secara utuh. Apabila salah satu
komponennya tidak ada, maka tandanya tidak dapat dibicarakan atau bahkan
dibayangkan di benak manusia. Jadi, petanda (signified) adalah konsep yang nantinya
akan dipresentasikan oleh penanda (signifier). Hubungan antara petanda dan penanda
ini harus berkaitan satu sama lain supaya dapat menghasilkan makna atas tanda
tersebut.
Contohnya adalah kata “Gorden” itu juga merupakan sebuah tanda karena
memiliki Signifier yang berupa kata itu sendiri; dan Signified berupa kain untuk menutup
jendela. Adanya kesatuan antara kata dengan kenyataan itulah yang membuat “Gorden”
menjadi sebuah tanda (Sign).

Dalam kehidupan ini, terdapat banyak sekali tanda yang rata-rata “diproduksi” oleh
manusia, antara lain tanda gerak atau isyarat, tanda verbal berupa ucapan kata, dan
tanda non verbal berupa bahasa tubuh. Tanda isyarat misalnya lambaian tangan yang
berarti memanggil dan anggukan kepala yang berarti pernyataan setuju. Kemudian,
tanda verbal yang berupa ucapan biasanya akan diimplementasikan melalui huruf dan
angka.

• Ikon = tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Keberadaan ikon
biasanya mirip dengan sesuatu hal yang dimaksudkan. Misalnya: gambar
toilet di suatu gedung atau pom bensin berarti disitu adalah tempat toilet.
• Indeks = tanda yang memiliki sebab akibat dengan apa yang diwakilinya.
Misalnya, di stiker paket kardus terdapat gambar gelas pecah, itu berarti
apabila paket tersebut dibanting maka akan pecah sama halnya dengan gelas
tersebut. Contoh lain adalah di sebuah tempat wisata, terdapat tanda berupa
jejak kaki yang berarti disitulah tempat titik fotonya.
• Simbol = tanda yang didasarkan pada konvensi, peraturan, atau perjanjian
atas kesepakatan bersama. Keberadaan simbol ini hanya dapat dipahami
artinya apabila seseorang tersebut memang sudah mengerti kesepakatan
bersama yang ada. Misalnya tanda hati berwarna merah muda itu diartikan
sebagai cinta, yang mana semua orang tanpa sadar telah menyepakati simbol
dan arti dari hal tersebut.

2. Kode
Kode juga termasuk dalam hal yang dipelajari dalam semiotika lho… Kode adalah cara
pengkombinasian tanda yang memang telah disepakati secara sosial, untuk
memungkinan pesan tersebut tersampaikan kepada orang tertentu. Menurut Barthes,
kode dalam semiotika ini memiliki lima macam, yakni:

• Kode Hermeneutik
Yaitu kode yang berupa menyodorkan berbagai pertanyaan, teka-teki, respons, enigma
(ucapan misterius), penangguhan jawab, yang pada akhirnya akan menuju pada jawaban
pasti. Kode ini berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana.

Misalnya pertanyaan-pertanyaan seperti:

“Siapakah mereka?”

“Mengapa kamu tidak datang?”

“Bagaimana dengan tujuan kita?”

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menunda jawaban yang satu dengan
jawaban lain.

• Kode Semantik
Yakni kode yang mengandung adanya konotasi (nilai rasa) pada level penanda. Konotasi
atau nilai rasa yang terdapat dalam kode ini misalnya berupa maskulinitas, feminim,
kebangsaan, dan lain-lain.

• Kode Simbolik
Yakni kode yang berkaitan dengan psikoanalisis hingga adanya pertentangan dua unsur.

• Kode Narasi (Proairetik)


Yakni kode yang memuat adanya cerita, urutan, dan narasi. Setiap karya fiksi pasti
memiliki kode ini.
• Kode Kebudayaan (Kultural)
Yaitu kode yang bersifat anonim, bawah sadar, mitos, sejarah, moral, dan legenda.

3. Makna
Apakah Grameds menyadari bahwa segala makna yang ada di kehidupan ini secara
tidak langsung diciptakan berdasarkan pada simbol-simbol yang menunjuk pada suatu
peristiwa atau objek tertentu?

Apabila membahas mengenai makna, terdapat dua macam yakni makna denotatif dan
makna konotatif. Makna denotatif adalah makna sebenarnya, mencangkup hal-hal yang
ditunjuk oleh kata-kata atau hubungan secara eksplisit antara tanda dengan referensi
yang ada. Misalnya, terdapat gambar manusia itu berarti maknanya memang
berhubungan dengan manusia selaku makhluk hidup.

Kemudian pada makna konotatif adalah makna yang tidak sebenarnya, meliputi
perasaan, emosi, nilai-nilai kebudayaan, hingga sudut pandang dari suatu kelompok.
Misalnya: gambar wajah tersenyum dapat diartikan menjadi dua makna yaitu suatu
kebahagiaan atau ekspresi penghinaan.

Menurut Barthes, untuk memahami makna konotatif yang terdapat dalam semiotika,
terdapat dua konsep yakni Mitos dan Metafora.

Macam-Macam Semiotik
Berdasarkan pada lingkup pembahasannya, maka semiotika ini dapat dibedakan menjadi
tiga macam, yakni:

1. Semiotik Murni (Pure)


Yakni semiotik yang membahas mengenai filosofis dari semiotika itu sendiri, berkaitan
dengan metabahasa.

2. Semiotik Deskriptif (Descriptive)


Yakni semiotik yang lingkup pembahasannya adalah tentang semiotik tertentu, berupa
sistem tanda tertentu dan bahasa tertentu. Kemudian, dijabarkan secara deskriptif.

3. Semiotika Terapan (Applied)


Sesuai dengan namanya, maka lingkup pembahasan dalam jenis semiotik ini adalah
membahas mengenai penerapan dari semiotika itu sendiri pada berbagai bidang atau
konteks tertentu. Misalnya yang berkaitan dengan sistem tanda sosial, komunikasi,
sastra, periklanan, film, dan lain-lain.

Tokoh-Tokoh Dalam Semiotika


1. Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure dikenal sebagai Bapak Semiotika Modern yang membagi
membagi relasi antara penanda (signifier) dan petanda (signified) berdasarkan konvensi
yang disebut dengan signifikansi. Menurut Saussure, semiotika adalah kajian yang
membahas tentang tanda dalam kehidupan sosial dan hukum yang mengaturnya. Beliau
sangat menekankan bahwa tanda itu memiliki makna tertentu karena sangat dipengaruhi
oleh peran bahasa.
Saussure kemudian membagi konsep semiotik berdasarkan 3 konsep, yakni:

• Significant dan Signifie


• Langue dan Parole
• Synchronic dan Diachronic
• Syntagmatic dan Paradigmatic
Significant dan Signifie

Dalam konsep yang pertama, Saussure mengungkapkan bahwa significant atau petanda
ini merupakan hal-hal yang dapat diterima oleh pikiran manusia, seperti gambaran visual
asli dari objek. Sementara Signifie menjurus pada makna yang dipikirkan oleh manusia
setelah mereka menerima sebuah tanda.

Contohnya adalah “Gorden”. Dalam Significant, gorden adalah komponen dari kata
gorden itu sendiri yakni G-O-R-D-E-N. Sedangkan, Signifie dari gorden adalah apa yang
dipikirkan manusia tentang definisinya, yakni kain yang dipasang di jendela untuk
menghalangi masuknya cahaya.

Parole dan Langue

Menurut Saussure, Langue adalah suatu sistem tanda dengan pengetahuan yang dimiliki
oleh masyarakat akan suatu hal tertentu. Sementara itu, Parole adalah tindakan yang
dilakukan oleh individu berdasarkan pada kemauan dan kecerdasan berpikir.

Synchronic dan Diachronic

Yakni konsep yang mempelajari bahasa dalam kurun waktu tertentu.


Pada Synchronic adalah penjelasan mengenai kondisi tertentu yang berhubungan
dengan suatu masa atau waktu. Kemudian, Diachronic adalah penjelasan tentang
perkembangan setelah suatu hal terjadi di suatu masa tertentu.

Syntagmatic dan Paradigmatic

Yakni hubungan unsur yang memuat susunan atau rangkaian kata dan bunyi dalam suatu
konsep. Syntagmatic adalah unsur dari susunan suatu kalimat yang tidak dapat
digantikan dengan unsur lainnya. Sementara itu, Paradigmatic adalah unsur kalimat yang
dapat digantikan dengan unsur lainnya, dengan catatan harus memiliki makna sama.

2. Charles Sanders Pierce


Menurut Pierce, tanda dalam semiotika akan selalu berkaitan dengan logika, terutama
logika manusia untuk menalar adanya tanda-tanda yang muncul di sekitarnya. Pierce
membagi tanda atas tiga hal, yakni ikon, indeks, dan simbol.

Penjelasan mengenai ikon, indeks, dan simbol telah dijabarkan sebelumnya ya…

Menurut Pierce, terdapat sebuah analisis yang berkaitan dengan esensi tanda dan
mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda akan ditentukan oleh objeknya:

• Menjadi tanda yang berupa ikon apabila diikuti oleh sifat objeknya.
• Menjadi tanda yang berupa indeks, ketika kenyataan dan keberadaannya
berkaitan dengan objek individual.
• Menjadi tanda yang berupa simbol, ketika sesuatu hal diinterpretasikan
sebagai objek denotatif akibat kebiasaan yang berlaku.
Pierce juga membagi tanda menjadi sepuluh jenis berdasarkan segitiga model semiotika,
yakni:

1. Qualisign, yakni kualitas yang dimiliki oleh tanda. Contohnya: “suaranya


keras”, berarti orang itu tengah marah.
2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang diperlihatkan kemiripannya. Contoh: foto,
diagram, peta, dan lain-lain.
3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda yang didasarkan pada pengalaman
langsung. yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya
disebabkan oleh sesuatu. Contoh: sebuah pantai dipasang bendera
bergambar tengkorak, berarti sebelumnya telah ada yang nyawa yang
terenggut di lokasi tersebut.
4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu.
Contoh: tanda larangan masuk di pintu ruangan kantor.
5. Iconic Legisign, yakni tanda yang memberikan informasi akan norma atau
hukum. Contoh: rambu lalu lintas.
6. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu pada objek tertentu
disertai kata ganti penunjuk. Contoh: “Mana cerminku?” dan kemudian
dijawab “Itu!”
7. Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna akan informasi dan
menunjuk pada subjek informasi. Contoh: lampu merah yang ada di atas mobil
ambulance berputar-putar, menandakan bahwa di dalam mobil tersebut ada
seseorang yang sakit dan harus segera dilarikan ke rumah sakit.
8. Rhematic Symbol, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui
asosiasi ide umum.
9. Dicent Symbol, yakni tanda yang langsung menghubungkan dengan objek
melalui adanya asosiasi di dalam otak. Contoh: seseorang berkata “Pergi!”.
Ketika mendengar hal tersebut yang padahal hanya berupa suara, tetapi otak
kita menafsirkan apabila dituliskan maka akan membentuk kalimat yang
memiliki tanda baca seru.
10. Argument, yakni tanda yang mereferensikan atas sesuatu berdasarkan
alasan tertentu.
3. Roland Barthes
Barthes juga termasuk dalam jajaran tokoh besar di dunia semiotika. Menurutnya,
semiotika adalah ilmu yang digunakan untuk memaknai suatu tanda, yang mana bahasa
juga merupakan susunan atas tanda-tanda yang memiliki pesan tertentu dari masyarakat.
Tanda di sini juga dapat berupa lagu, dialog, not musik, logo, gambar, mimik wajah,
hingga gerak tubuh.

Beliau mencetuskan model analisis tanda signifikansi menjadi dua tahap atau biasanya
disebut dengan two order of signification. Kemudian, membaginya kembali menjadi
denotasi dan konotasi.

Dalam signifikansi tahap pertama, berupa hubungan antara petanda dan penanda dalam
bentuk nyata alias denotasi, yakni makna asli yang dipahami oleh kebanyakan orang.
Misalnya kata “ayam” memiliki makna denotasi sebagai “unggas yang menghasilkan telur
dan berkotek”.

Kemudian dalam signifikansi tahap kedua, terdapat konotasi yang menggambarkan


hubungan ketika tanda tersebut bercampur dengan perasaan atau emosi. Meskipun
makna denotasi dan konotasi ini memiliki perbedaan, tetapi seringkali orang tidak
menyadari perbedaan tersebut, sehingga membutuhkan analisis semiotika untuk
menyelidikinya.

Hermeneutika

hermeneutika sebagai bagian dari filsafat dan metode berpikir sering digunakan dalam
kajian human sciences. Dalam empat dasawarsa belakangan ini, hermenetika muncul
kepermukaan sebagai salah satu alternatif pendekatan keilmuan yang bisa dikatakan
sebagai respon terhadap filsafat positivisme yang “menyangga” peradaban modern akan
tetapi tidak memberikan solusi bagi problem-problem kemanusiaan yang muncul akibat
berbagai kemajuan di bidang teknologi, industri, dan informasi.

Secara historis, pada masa Yunani Kuno, hermeneutika sudah menjadi wacana dan
kajian filsafat. Kemudian pada masa scholastik, para teolog Kristen menggunakan
metode hermeneutik untuk menginterpretasikan Kitab Suci, dan para hakim
menggunakannya ketika menerapkan hukum lama untuk kasus-kasus baru yang
sebelumnya belum pernah muncul.

. Makna Hermeneutika

Akar kata hermeneutika berasal dari kata kerja bahasa Yunani hermeneuein, yang secara
umum diterjemahkan “to inter- pret”, dan kata bendanya hermeneia yang berarti
“interpretation”. Eksplorasi atas asal usul dua kata ini membawa kita kepada
penggunaannya pada masa lampau dalam wilayah teologi dan literatur. Hermeneuein
dan hermeneia dalam berbagai bentuknya telah dipakai dalam teks-teks klasik seperti
yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau On Interpretation, yaitu bahwa
kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata
yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan. Selain Aristoteles, dua
kata tersebut digunakan

oleh para penulis atau filosof klasik seperti Plato, Xenophon, Plutarch, Euripides,
Epicurus, Lucretius, dan Longinus (Palmer,1969).

Munculnya istilah hermeneuein atau hermeneia terkait dengan tokoh mitologis, Hermes,
yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada
manusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap.
Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke
dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Tugas Hermes ini sangat
penting bagi kehidupan manusia, karena jika terjadi kesalahpahaman manusia dalam
memahami pesan-pesan dewa maka akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia.
Hermes harus mampu menginterpretasikan pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan
oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang
mengemban misi tertentu. Keberhasilan misi ini tergantung sepenuhnya pada metode
bagaimana misi itu disampaikan. Oleh karena itu, hermeneutika pada akhirnya diartikan
sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti
(Sumaryono,1999).

Misi “memahamkan pesan kepada umat manusia” yang diemban oleh Hermes ini secara
implisit berhubungan dengan tiga dasar makna direktif hermeneuein dan hermeneia. Tiga
makna direktif ini digunakan untuk tujuan seperti: 1) Mengekspresikan suara dalam kata-
kata, atau “mengatakan”. 2) Menjelaskan, seperti menjelaskan situasi, dan 3)
menerjemahkan, seperti menerjemahkan bahasa asing ke dalam bahasanya sendiri.
Ketiga arti ini dapat diekspresikan dengan kata “to interpret” atau “menafsirkan”. Masing-
masing tuj

menentukan independensi dan signifikansi makna interpretasi. Suatu interpretasi, oleh


karenanya, dapat merujuk kepada ketiga tujuan tersebut. Seseorang dapat mencatat
bahwa fondasi “proses Hermes” adalah kerja; dan kerja dalam ketiga kasus tersebut
kadang-kadang berbentuk asing, keterpisahan dalam waktu, ruang, atau pengalaman,
dan kadang-kadang membutuhkan representasi, eksplanasi, atau terjemahan yang
membawa konsekuensi pemahaman. Semua hal tersebut perlu diinterpretasikan
(Palmer,1969).

Interpretasi literal dapat dimasukkan dalam kerangka interpretasi ini. Wilayahnya bisa
mencakup proses pertama dan kedua (mengatakan dan menjelaskan), atau bahkan
mencakup proses yang ketiga (menerjemahkan). Literatur membuat representasi dari
sesuatu yang harus dipahami. Suatu teks bisa jadi terpisah di dalam subyeknya dari kita
yang disebabkan oleh waktu, tempat, bahasa, dan rintangan- rintangan lain dalam
memahami. Hal ini dapat juga terjadi dalam memahami teks skriptural atau kitab suci.
Tugas interpretator harus menjadikan sesuatu yang tidak familier, jauh, dan kabur
maknanya menjadi sesuatu yang riil, dekat, dan dapat dinalar. Aspek yang beragam dari
proses interpretasi ini sangatlah vital dan integral dalam kajian literatur dan demikian juga
dalam kajian teologi.
Dalam kajian filsafat sejarah dan ilmu- ilmu sosial (social sciences) dibedakan antara
penjelasan (eksplanasi) tindakan dan keyakinan-keyakinan manusia dan pemahaman
maknanya, yakni antara penjelasan mengapa ada tindakan atau keyakinan tertentu
dalam kehidupan dan pemahaman agen apa yang terlibat dalam gerakan-gerakan atau
keyakinan-keyakinan apa yang merepresentasikan hal itu.

Kalangan “positivis” menegaskan bahwa pemahaman makna mencakup rekonstruksi


imajinatif intensi dan tujuan aktornya. Rekonstruksi semacam itu bermanfaat untuk
memformulasikan sebuah hipotesis dengan mencoba menjelaskan sebab-sebab
munculnya tindakan. Namun demikian, pemahaman tidak bisa dimasukkan sebagai
bagian dari logika keilmuan itu sendiri. Aspek ilmiah dari studi tindakan (tingkah laku)
cenderung mengkonstruksi penjelasan hipotesis yang dapat dimasukkan dalam teori-
teori umum tingkah laku manusia, dan mengujinya melalui metode-metode observasi
empirik yang reliable. Dari sini, kemudian dapat dirumuskan hukum-hukum atau teori-
teori universal yang dengannya dapat meramalkan atau menjelaskan peristiwa atau
tindakan-tindakan yang akan terjadi (Gadamer,1987).

Berbeda dengan model penjelasan ini, teori hermeneutika menegaskan bahwa logika
sejarah dan ilmu sosial tidak sama dengan logika ilmu kealaman (natural sci- ences),
karena pemahaman interpretatif bermain di dalamnya. Dalam pandangan ini, memahami
tindakan atau keyakinan tertentu termasuk bagian dari tugas ilmiah itu sendiri yang
mencoba menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Tugas ini mencakup “membaca” situasi,
menempatkan gerakan- gerakan dan kata-kata dalam konteks pemahaman dengan
warna tindakan atau keyakinan yang lain. Dalam kerangka pemahaman model inilah
Gadamer membangun pemikiran hermeneutiknya. Gadamer membedakan antara dua
bentuk pemahaman, yakni pemahaman kebenaran isi dan pemahaman intensi. Yang
pertama merujuk kepada bentuk pengetahuan substanstif. Di sini, pemahaman berarti
melihat “kebenaran” sesuatu. Bentuk pemahaman kedua, berlawanan dengan yang
pertama, mencakup pengetahuan

kondisi, yakni alasan di balik klaim seseorang. Pemahaman seperti ini mencakup juga
pemahaman psikologis, biografis, atau kondisi historis di belakang suatu klaim atau
tindakan sebagai oposisi terhadap pemahaman substantif suatu klaim atau tindakan itu
sendiri. Apa yang dipahami bukan isi kebenaran suatu klaim atau poin tindakan tertentu,
tetapi dorongan-dorongan di belakang rekayasa seseorang atas klaim atau tindakan
(Ibid;Gadamer, 1987).

2. Bidang-bidang Hermeneutika

Dalam sepanjang sejarahnya, hermeneutika secara sporadis tumbuh dan berkembang


sebagai teori interpretasi saat ia diperlukan untuk menerjemahkan literatur otoritatif di
bawah kondisi-kondisi yang tidak mengijinkan akses kepadanya karena alasan jarak
ruang dan waktu atau pada perbedaan bahasa. Sebagai cara untuk memperoleh
pemahaman yang benar, hermeneutika pada awalnya dipergunakan dalam tiga jenis
kapasitas: pertama, membantu diskusi mengenai bahasa teks, yaitu kosa kata dan tata
bahasa, yang pada gilirannya memunculkan filologi; kedua, memfasilitasi eksegesis
literatur suci; dan ketiga, menuntun yurisdiksi (Gadamer, 1987).

Hermeneutika belakangan ini muncul dalam diskursus filsafat ilmu-ilmu sosial, filsafat
seni dan bahasa, dan dalam kritik sastra. Persoalan-persoalan hermeneutika yang
berpusar pada subyektivitas dan obyektivitas makna segera memunculkan bidang-
bidang hermeneutika yang jelas-jelas terpisah, yaitu teori hermeneutika, filsafat
hermeneutika, dan hermeneutika kritis.

Teori hermeneutika memusatkan diri pada persoalan teori umum interpretasi sebagai
metodologi bagi ilmu-ilmu humaniora. Sasaran yang ingin dicapai oleh teori hermeneutika
adalah sebuah pemahaman makna “yang relatif objektif”

dengan menggunakan serangkaian aturan yang telah dirumuskan dalam rangka


memfasilitasi interpretasi yang benar. Teori hermeneutika sebagai epistemologi dan
metodologi pemahaman selanjutnya dikembangkan oleh Dilthey. Ia berurusan dengan
epistemologi dalam konteks “Cri- tique of Historical Reason” yang mengusahakan sebuah
penelitian transendental atas kondisi-kondisi mengenai kemungkinan pengetahuan
historis dengan mengikuti contoh yang telah disediakan oleh Kant dalam “Critique of Pure
Reason”. Dilthey mempertajam aspek metodo- logisnya menjadi interpretasi atas
dokumen- dokumen yang secara linguistik sempurna (Bleicher, 2007).

Filsafat hermeneutika memperingatkan kita akan bahaya obyektivisme di balik


pendekatan metodis dan obyektivikasi atas interpretasi ekspresi-ekspresi manusia.
Dengan mengembangkan kesadaran mengenai “pra struktur” pemahaman filsafat
hermeneutik menghindarkan lebih jauh asumsi naif mengenai adanya pengetahuan yang
obyektif atau netral sepenuhnya, berdasarkan kenyataan bahwa kita sesungguhnya
menginterpretasikan obyek sebagai sesuatu sebelum kita meng- investigasinya
(Bleicher:395-396,2007). Salah satu pandangan utama filsafat hermeneutik menegaskan
bahwa ilmuwan sosial atau interpretator dan obyek yang diinterpretasikan pada
prinsipnya telah dihubungkan oleh sebuah konteks tradisi. Hal ini mengindikasikan,
bahwa ia telah memiliki sebuah pra-pemahaman atas objek tersebut, sehingga tidak
mungkin untuk memulai dengan sebuah pemikiran yang netral. Filsafat hermeneutik tidak
bertujuan mencapai sebuah pengetahuan objektif dengan menggunakan prosedur-
prosedur metodis, melainkan pada pengungkapan dan deskripsi fenomenologis
mengenai Dasein

manusia dalam temporalitas dan historisitasnya (Bleicher:ix-x,2007).

Dalam perkembangan selanjutnya, hermeneutik meluas menjadi sebuah metode kritik


yang secara sistematis mengubah bentuk komunikasi. Apel dan Habermas melangkah
pada bidang hermeneutika kritis ini. Mereka mengkombinasikan pendekatan metodik dan
objektif dengan mengusahakan pengetahuan yang secara praktis relevan. Yang
dimaksud “Kritis” di sini secara umum adalah penaksiran atas hubungan-hubungan yang
telah ada dalam pandangan standar yang berasal dari pengetahuan mengenai sesuatu
yang lebih baik yang telah ada sebagai sebuah potensi atau tendensi di masa kini; ia
dituntun oleh prinsip rasio sebagai tuntutan komunikasi tanpa tekanan dan pembatasan
diri (Bleicher:xii,2007).

3. Pendidikan Sebagai Kajian Hermeneutik


Untuk pembahasan tentang “peleburan” pendidikan dalam pembahasan hermeneutika,
saya harus kembali kepada pengertian hermeneutika sebagaimana yang dipahami oleh
Richard Palmer. Menurut Palmer, hermeneutika adalah sebuah teori yang mengatur
tentang metode penafsiran, yaitu interpretasi terhadap teks dan tanda- tanda lain yang
dapat dianggap sebagai teks (Palmer,1969). Perluasan makna teks ini berimbas kepada
interpretasi wacana-wacana lain selain teks yang tertulis itu sendiri. Paul Recoeur,
misalnya memperluas konsep teks kepada setiap tindakan yang disengaja untuk
mencapai tujuan tertentu. Pengertian ini dikembangkan oleh Recoeur untuk membangun
sebuah epistemologi baru bagi ilmu-ilmu sosial maupun humaniora. Ia menganggap
bahwa objek kajian dari ilmu- ilmu sosial dan humaniora memiliki karakter sebagai teks;
oleh karena itu, metodologi yang digunakannya harus berupa metodologi

yang menyerupai kajian interpretatif yang ada dalam hermeneutika (Recoueur, 2005).

Selain Recoeur, sebelumnya Gadamer juga telah memperluas kajian hermenetika dalam
berbagai bidang. Dalam karyanya “Hermeneutics, Religion, and Ethics”, Gadamer secara
nyata menerapkan hermeneutika dalam kajian keagamaan dan etika. Bahkan dalam
salah satu pembahasannya, Ia mendialogkan antara agama dan sains. Bagaimana kita
memahami kembali agama (Kristen) yang dulu berada di bawah otoritas gereja dan
makna agama yang sekarang dikelilingi oleh kemajuan sains. Di sinilah Gadamer telah
menerapkan analisis hermeunetiknya secara menarik (Gadamer, 1999).

Pendidikan sebagai eksistensi yang ada di dunia ini adalah suatu realitas sosial, realitas
yang memuat aktivitas atau tindakan-tindakan tertentu yang oleh aktor- aktornya
dikembangkan untuk tujuan tertentu. Pendidikan dengan segala aspek yang terkandung
di dalamnya seperti visi, misi, dan tujuan lembaga, kurikulum, dan strategi
pembelajarannya adalah sekumpulan teks atau wacana yang bisa dimasuki berbagai
interpretasi. Sebagai sebuah teks atau wacana, pendidikan oleh karenanya menjadi
lahan subur penerapan hermeneutika, baik sebagai metode, filsafat, maupun kritik.

Perubahan paradigma pendidikan yang ada di Indonesia pada dasarnya adalah hasil dari
sebuah interpretasi aktor-aktornya melalui proses dialogis dengan realitas empirik,
dengan dinamika perkembangan iptek, globalisasi, tuntutan dunia kerja, demokrasi,
pluralisme, dan ideologi-ideologi lainnya yang sekarang ini terus menjadi wacana
eksistensial.

Analisis isi

Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian analisis isi deskriptif. Max
Weber (dalam Eriyanto, 2013: 15) menuliskan bahwa analisis isi adalah sebuah metode
penelitian dengan menggunakan seperangkat prosedur untuk membuat inferensi yang
valid dari teks. Menurut Eriyanto (2010: 47) analisi deskriptif adalah analisis isi yang
dimaksudkan untuk menggambarkan secara detail suatu pesan atau seuatu teks
tertentu. Desain analisis ini tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis tertentu
atau menguji hubungan diantara variabel. Analisis isi semata untuk deskripsi,
menggambarkan aspek-aspek dan karakteristik suatu pesan.

Dalam kajian Weber, ada beberapa langkah dalam analisis isi untuk mengumpulkan
data diantaranya:

1. Menetapkan unit terekam, hal ini sangat penting dalam proses pengategorian data.
Dalam metode ini dapat dilakukan dengan beberapa level:

- Kata, yaitu mengklasifikasi masing-masing kata


- Paragraf, kalau sumber daya manusia atau komputer yang tersedia terbatas, peneliti
dapat mereduksinya dengan melakukan pengkodean berdasarkan paragraf. Namun hal
ini sulit mendapatkan hasil yang reliable karena cakupannya terlalu luas.

- Keseluruhan teks, hal ini dilakukan dalam pengecualian ketika teks tersebut tidak
terlalu banyak, seperti cerpen, headline berita, dan berita koran.
2. Menetapkan kategori, ada dua tahap dalam menetapkan kategori. Pertama kita harus
mengetahui apakah hubungannya ekslusif (spesial). Kedua, harus seberapa dekatkah
hubungan antar unit dalam kategori.

3. Melakukan tes koding di teks sampel. Hal ini di upayakan agar tidak ada ambiguitas
dalam kategori. Tahapan ini juga digunakan untuk merevisi hal- hal yang tidak tepat
dalam skema klasifikasi

4. Menilai akurasi atau reabilitas.


5. Merefisi aturan pengkodingan.
Validitas analisis isi memang sedikit berbeda dengan penelitian yang lain,

validitas ini bukan berarti menghubungkan dua variabel atau menghubungkan teori,
tetapi validitas disini merupakan skema klarifikasi atau gabungan interpretasi yang
menghubungkan isi penelitian dan sebab-sebabnya dalam penelitian. Skema klarifikasi
merupakan upaya penelitian yang pengkategorian pemilihan katanya bermakna sama
atau berdekatan. Sehingga, pengkategorian kata dalam penelitian harus cermat dalam
menangkap makna yang ada dalam isi. (Weber, 1990:30)

Analisis isi menurut Holsti (1968:601) merupakan sembarang teknik penelitian yang
ditujukan untuk membuat kesimpulan dengan cara mengidentifikasi karakteristik
tertentu pada pesan-pesan secara sistematis dan objektif. Menurut Lasswell 1946,
analisis isi adalah sebuah model komunikasi

stimulus-respons yang tak diragukan lagi berorientasi behavioris yang mengemukakan


bahwa hubungan antara pengirim, stimulus dan penerima bersifat simetris. Isi atau
muatan dipandang sebagai hasil proses komunikasi yang distrukturkan sesuai dengan
rumus klasik Lasswell: "Siapa berkata tentang apa, pada saluran mana, kepada siapa,
dan dengan efek yang bagaimana".

Menurut arten (1983:45) pembahasan analisis isi yang lebih jauh memiliki karakteristik-
karakteristik berikut ini: struktur dan selektivitas proses-proses komunikasi,
perkembangan indikator yang dapat dideteksi dan teknik analisis yang punya banyak
variasi , kemajuan sistem notasi melalui inklusi domain non- verbal dan kemajuan
dalam analisis data melalui paket analisis teks elektronik. "Perdebatan panjang dan
melelahkan dengan para linguis, yang stok pengetahuan mengenai analisis teks dan
klarifikasi teks yang mereka miliki telah sepenuhnya diabaikan oleh analisis isi, secara
berlahan akan terjadi juga. Pada dasarnya, istilah analisis isi hanya mengacu pada
metode-metode yang memusatkan perhatian pada aspek-aspek isi teks yang bisa
diperhitungkan dengan jelas dan langsung dan sebagai sebuah perumusan bagi
frekuensi relatif dan absolut kata per teks atau unit permukaan.

a) Proses Analisis Isi


Proses analisis isi ada sembilan tahap, (Mayring 1988:42)

• Penentuan materi
• Analisis situasi tempat asal teks
• Pengarakteran materi secara formal
• Penentuan arah analisis

• Diferensiasi pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab sesuai

dengan teori yang ada

• Penyeleksian teknik-teknik analitis (ringkasan, eksplikasi,

penataan)

• Pendefisian unit-unit analisis


• Analisis materi (ringkasan, eksplikasi, penataan)
• Interpretasi

b) Tujuan motode analisis isi


Tujuan yang ingin dicapai oleh metode analisis isi mungkin bisa dipahami

dengan mengacu pada sederet kutipan berikut, yang disusun sesuai dengan
urutan kronologis:
Dalam analisis isi, kita memandang pernyataan dan tanda sebagai bahan
mentah yang harus diringkas agar bisa menghasilkan:
(1) dampak isi pada pembaca, atau (2) pengaruh kontrol terhadap isi. (Lasswell
1941, dikutip dari Lasswell 1946: 90).
References

Widodo, S. A. (2008). Metode Hermeneutik dalam Pendidikan. Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga.
Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika, Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English
Lexicon, on Perseus

Anda mungkin juga menyukai