NIM : 19201241034
Prodi / Kelas : PBSI / A 2019
Mata Kuliah : Semiotika
A. Semiotika De Saussure
Ada dua teori Saussure yang begitu terkenal, yakni tentang penanda-petanda dan
relasi sintagmatik-paradigmatik. Saussure secara sederhana menyebutkan signifier
(petanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material),
yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Sementara itu signified
(penanda) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa
(Fanani, 2013).
Signifier mengacu pada tampilan fisik dari sign yang dapat berupa goresan
gambar, garis, warna, maupun suara atau tanda-tanda lainnya, sedangkan Signified
mengacu pada makna yang tersemat pada tampilan fisik tanda tersebut (Fanani, 2013, p.
12). Sign bersifat arbitrer karena pemaknaan relasi manasuka antara signifier dan
signified. Semua itu hanya berdasarkan konvensi dalam suatu kelompok masyarakat
(Sahid, 2004, pp. 8–9). Bisa juga dikatakan ini bersifat niscaya.
Adanya petanda dan penanda dalam teori Saussure ini hanya akan sampai pada
makna denotatif. Menunjukkan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan
makna eksplisit, langsung dan pasti. Pertandaan ini paling konvensional dalam
masyarakat dan cenderung disepakati secara sosial (Piliang, 2004, p. 193). Menjadi
kekurangan Sauusure, bahwa penanda dan petanda ini tidak dapat sampai pada makna
konotasi. Makna konotasi terdapat pada tataran signifikasi (yang menghubungkan
petanda dengan penanda) kedua. Berbeda dengan denotasi yang maknanya eksplisit,
konotatif bermakna secara implisit. Dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, yang
nantinya akan membuat makna itu lebih kompleks untuk dipahami.
Saussure melihat elemen-elemen sistem tanda sebagai terbangun dari dua struktur
atau jenis hubungan, yaitu hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik (Sahid,
2004, p. 9). Dalam relasi ini, ada elemen yang hadir dan yang tidak hadir. Untuk dapat
memaknainya, haruslah mengetahui struktur dari kedudukan kedua relasi. Hubungan ini
memungkinkan adanya perbedaan antar elemen.
Menurut Ferdinand de Saussure (Fanani, 2013), tanda hanya akan dapat
merepresentasikan sesuatu jika si pembaca tanda memiliki kesamaan pengalaman atas
tanda tersebut. Sebuah kata dapat memiliki makna yang beragam ketika berada di dalam
lingkungan yang berbeda. Dibenarkan oleh Asriningsari (2010), bahwa proses signifikasi
menghasilkan makna bagi penafsir yang berbeda tergantung pada konsep secara mental
yang dimiliki penafsir mengenai tanda yang dihadapinya.
tertentu. Konotasi yang ditampilkan di dalam suatu cerita biasanya berguna untuk
memberikan suatu nilai estetika dalam karya sastra tersebut.
c) Kode Simbolik (The Symbolic Code)
Kode simbolik merupakan kode yang di dalamnya menawarkan “kontras” pada
sebuah teks, seperti feminim-maskulin, terbuka-tertutup dan siang-malam. Istilah
simbolik diartikan sebagai dunia perlambangan, dengan kata lain dunia personifikasi
manusia dalam menghayati arti kehidupan. Kode simbolik merupakan suatu aspek
pengkodean fiksi yang memiliki sifat khas dan struktural.
d) Kode Aksian
Kode aksian dikenal juga dengan istilah kode tindakan, kode ini dianggap sebagai
pelengkap utama teks yang dibaca oleh orang, artinya suatu karya teks bersifat naratif.
Kenyataannya bersifat fiksi, dengan kata lain kode aksi adalah kode tindakan atau narasi
yang urutan di dalam tindakan atau cerita.
Kode aksian merupakan prinsip di dalam tuangan bahasa secara tulis perbuatan-perbuatan
itu harus disusun secara linier. Sebuah kejadian dalam cerita rekaan tidak mungkin
ditampilkan secara serentak, namun ditampilkan secara bertahap sesuai dengan jalan
cerita yang diinginkan pengarangnya. Film dan TV menampilkan beberapa peristiwa
secara serentak, namun beda halnya dengan karya sastra yang ditulis seperti cerpen dalam
tanda tulis tentu akan sulit dan tidak memungkinkan untuk dilakukan secara serentak.
Oleh karena itu, suatu perbuatan dan peristiwa harus disusun secara linier. Pada
umumnya kronologis peristiwa ditampilkan secara berurutan dari peristiwa A ke B, C, D
dan seterusnya. Namun ada juga peristiwa yang ditampilkan secara tidak berurutan.
e) Kode Budaya (The Cultural Code or Reference Code)
Kode budaya merupakan peranan metalingual yang terjadi di dalam sastra,
dihubungkan dengan realita budaya. Latar belakang sosial budaya yang terdapat di dalam
sebuah cerita rekaan memungkinkan adanya ikatan dari budaya sebelumnya. Kode
budaya yang ditampilkan pada sebuah karya sastra biasanya ditampilkan dengan
penggunaan dua bahasa, atau menampilkan ciri khas kebudayaan suatu daerah.
b. Persamaan
E. Proses Penerapan