Anda di halaman 1dari 25

Brankas, Meja kantor, Kursi kantor, Meja gambar, Mesin penghancur kertas, Lemari arsip, Papan tulis.

kertas, amplop, pita mesin, tinta, karbon, klip/penjepit kertas, mesin tik, komputer, stensil, OHP, mesin
foto copy, intercom, telepon, fax, lampu, vas bunga,

Safe, office desk, office chair, desk pictures, paper shredder machines, filing cabinets, Chalkboard. paper,
envelopes, tape machines, ink, carbon, clips / paper clips, typewriter, computer, stencils, overhead
projector, photocopy machine, intercom, telephone, fax, lamp, vase,

Semiotik Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama.
Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh
ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’
dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode,
sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is
usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and
symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics
includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which
are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which
systematically communicate information or massages in literary every field of human
behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang
berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang
digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal
serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh
seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara
sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku
manusia).

Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi
sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep
ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia
antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari
suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain,
penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah
aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau
dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental
dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena
itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap
lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian
merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi
dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan
bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda)
dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah
sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-
reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara
berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan
teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun
merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang
mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik,
atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak
dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti
bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah
penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).
Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat
berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan
tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini
oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia
bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.

1. signifier

(penanda) 2. signified
(petanda)

3. denotative sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF) 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED


(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda
(2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi,
dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada
perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan
konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya,
denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat
kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai
reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba
menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut
mengatakan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman,
1999:22). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya
sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-
nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga
dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun
oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga
suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki
beberapa penanda. Berbeda dengan para ahli yang sudah dikemukakan di atas, Charles Sanders
Peirce, seorang filsuf berkebangsaan Amerika, mengembangkan filsafat pragmatisme melalui
kajian semiotik. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in
some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground.
Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni
ground, object, dan interpretant (lihat gambar 3). Atas dasar hubungan ini, Peirce membuat
klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan
legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda
atau peristiwa yang ada pada tanda. Sedangkan legisign adalah norma yang dikandung oleh
tanda. Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik
semiotik, dan pragmatik semiotik. Sintaksis semiotik mempelajari hubungan antartanda.
Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana
iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama
dalam membentuk keutuhan wacana iklan. Semantik semiotik mempelajari hubungan antara
tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses
semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan
(dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Pragmatik semiotik
mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Berdasarkan
objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon
adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah.
Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat
kemiripan; misalnya foto. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah
antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang
langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu
adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang
menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya
bersifat arbitrer, hubungan berdasarkan konvensi masyarakat. Berdasarkan interpretant, tanda
(sign, representamen) dibagi atas rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah
tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent sign atau dicisign
adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Sedangkan argument adalah yang langsung memberikan
alasan tentang sesuatu.

Semiotika dan semiologi pada dasarnya adalah dua istilah untuk satu bidang keilmuan
yang sama. Memang, beberapa tokoh mencoba untuk memberikan perbedaan pada dua istilah ini
seperti membatasi objek kajian semiologi pada bagian teoretis dan semiotika untuk bagian
praktisnya. Namun, upaya ini tidak mendapatkan landasan yang kuat berdasarkan kepada
pemakaian yang sudah umum berlaku.

Sebenarnya, dua istilah ini muncul dari dua kelompok berbeda yang melakukan kajian
dan penelitian terhadap satu bidang keilmuan yang sama. Semiologi lebih umum digunakan
dalam kajian-kajian berbahasa Prancis, sementara semiotika lebih populer digunakan dalam
kajian-kajian berbahasa Inggris.Istilah kedua ini, bahkan sekarang merupakan istilah yang paling
umum digunakan.

Bisa jadi orang-orang Prancis lebih senang menggunakan istilah semiologi karena
penggunaan Saussuer terhadapnya, sementara orang-orang Inggris lebih suka menggunakan
istilah semiotika karena penggunaan John Lock (16321704) terhadap istilah ini pertama kali,
yang secara langsung mengambilnya dari bahasa Yunani, semeiotike.Kalangan yang mempelajari
literatur Inggris tentu sudah akrab dengan pernyataan Lock dalam kajiannya yang sangat terkenal
tentang watak pemahaman bahwa istilah itu berarti mazhab tanda-tanda atau doctrine of signs.

Definisi yang ia berikan terhadap istilah ini adalah Aktivitas yang secara khusus meneliti
tentang watak tanda-tanda yang digunakan oleh pikiran dalam mencapai pemahaman terhadap
sesuatu atau dalam menyampaikan ketahuan-ketahuannya kepada orang lain. [Essay
Concerning Human Understanding. 1689. P.32]

Pada hakikatnya, Lock bukanlah orang pertama yang menyentuh bidang keilmuan ini.
Objek kajian ini sudah ada sejak masa Plato dan Aristoteles dan terus berkembang dalam kajian
para filsuf tanpa memberikannya nama atau istilah ini. Hanya tabiat keilmuan modern dan
spesifikasi bidang membuat istilah ini menjadi lebih spesial sebagai salah satu kajian kritik
susastra, sejak awal abad ke-20. Dalam perkembangannya, semiotika menjadi pisau analitik
terhadap apa pun yang berperan sebagai tanda dan struktur tanda yang mewakili pikiran manusia.

Objek kajian bidang ini merupakan kristalisasi dari perpaduan tiga bidang utama kajian dan
menjadi mazhab tersendiri dalam filsafat, yaitu (1) Pragmatisme yang menjadi karakter kajian
filsuf Amerika, Charles Sanders Peirce (18391914); (2) Phenomelogi yang selalu terkait dengan
nama E. Husserl (18591938); dan (3) Strukturalisme yang berlandaskan pada kajian-kajian
Saussure dalam linguistik.

Bagaimana istilah ini dalam padangan Peirce? Semiotika adalah proses simbolisasi atau
representasi (semiosis). Proses, yaitu dinamika yang terpadu di dalamnya tiga unsur dinamis,
yakni tidak tetap, tidak final, dan tidak pasti. Dalam teorinya tentang tanda, Peirce
mendefinisikannya sebagai representasi terhadap sesuatu bahwa ia mampu menyampaikan
sebagian sisi atau dayanya kepada orang lain.

Kris Budiman, dengan bahasa yang singkat padat, menguraikan bahwa semiotika dalam
pandangan Peirce merujuk kepada doktrin formal tentang tanda-tanda. Jadi, yang menjadi dasar
dari semiotika adalah konsep tentang tanda. Tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang
tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri punsejauh terkait dengan pikiran
manusiaseluruhnya terdiri dari tanda-tanda. Karena, bilatidak demikian, manusia tidak akan
dapat menjalin hubungannya dengan realitas.

Bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia,
sedangkan tanda-tanda non-verbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka
praktik sosial konvensional lainnya dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari
tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan atas dasar relasi-relasi. [Kris Budiman, Kosa
Semiotika. Jogjakarta: LKiS, 1999, hlm. 108.]

Konsep dasar yang diperkenalkan oleh Peirce dalam semiotika bahwa ada tiga komponen yang
saling terikat atau berkorelasi satu sama lain, yaitu: tanda, objek yang ditunjukkan oleh tanda itu,
dan faktor penafsirnya (interpretant).

Dalam kajian semiotika, objek yang ditunjukkan oleh tanda biasa disebut dengan petanda
meskipun penyebutan ini masih harus dijelaskan lebih jauh secara ilmiah.Dalam teori Saussure,
petanda (signifie) adalah sandingan penanda (siginifiant). Sebuah tanda, khususnya tanda
kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi-dua atau dwimuka,terdiri dari unsur
penanda (citra-bunyi) dan petanda (konsep). Kedua elemen tanda benar-benar menyatu dan
saling tergantung. Kombinasi dari kedua unsur inilah yang kemudian menghasilkan tanda.Jadi,
tanda dalam kajian ini berbeda dengan penanda yang hanya menjadi unsurnya.

Mungkin dari sudut ini kemudian Peirce melihat bahwa tanda tidak menunjukkan kepada
sesuatu secara utuh, yakni kepada seluruh sisi dan dayanya, tetapi hanya kepada sebagiannya.
Artinya, hubungan antara tanda dan objek yang ditunjukkan adalah hubungan yang taksempurna.
Oleh karena itu, dibutuhkan komponen ketiga yang ia sebut faktor penafsir atau interpretant.
Jadi, hubungan ini berpotensi beda dan selalu bisa mengalami perubahan sesuai dengan faktor
penafsirnya itu. Karenanya, tanda bersifat dinamis.

Menurut teori Peirce, dalam kaitannya dengan tiga komponen itu, ada tiga metode utama
yang bisa kita tetapkan secara spesifik untuk melakukan proses representasi, penunjukan, atau
simbolisasi. Oleh karenanya, kita bisa membedakan tanda-tanda ke dalam tiga tipe. Pertama,
tanda yang menyerupai objek yang direpresentasikan atau acuan simbolnya, seperti maket dan
peta. Peirce menyebut tanda ini dengan istilah icon, yaitu bentuk pengecilan dari objeknya atau
miniatur. Kedua, tanda yang berkaitan secara nyata dengan objek yang ditunjukkannya seperti
jarum jam dan penunjuk arah angin (weathercock). Tipe ini disebut oleh Peirce dengan istilah
index. Ketiga, tanda yang keterikatannya dengan objek petandanya berlaku dalam pandangan
umum atau tradisi (arbiter dan linear), seperti kata dan tanda lalu lintas. Tipe ketiga ini disebut
oleh Peirce dengan istilah simbol.
Perbedaan representasi atau simbolisasi akan sangat besar pada objek tanda yang sangat
abstrak. Bisa dinilai dengan melakukan klasifikasi berdasarkan tiga tipe tanda ini. Sebagai
contoh, dan ini paling krusial dalam pandangan manusia, eksistensi Tuhan dalam kehidupan
manusia dan bagaimana kelompok-kelompok sebut saja agama-agamamerepresentasikan Tuhan
dari keyakinannya.

Dalam Islam, Tuhan hanya boleh direpresentasikan dalam simbol, yaitu kata yang mewakili
eksistensi-Nya. Itu pun masih dengan pembatasan-pembatasan, yang kemudian melahirkan
banyak aliran berkaitan dengan Nama dan Sifat. Perintah menghadap kiblat dalam shalat sekilas
merupakan tanda yang berbentuk index. Namun, hanya bisa dimaknai sebagai pelaksanaan
perintah dan makna lain di luar penunjukkan terhadap eksistensi Tuhan (posisi).

Eksistensi Tuhan dalam agama lain direpresentasikan dalam bentuk yang berbeda, tergantung
sejauh mana ajaran agamanya membolehkan. Kristen, misalnya, simbolisasi eksistensi Tuhan
diwujudkan dalam bentuk salib. Agama lain, dalam bentuk arca-arca atau lainnya yang mewakili
eksistensi Tuhan, sesuai ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.

Alasan semiotik kenapa Islam melakukan pembatasan terhadap penunjukkan eksistensi Tuhan ini
bisa ditelusuri, dari konsep Peirce tentang tanda, bahwa relasi tanda dan objek yang
ditunjukkannya adalah taksempurna. Tanda tidak selalu menunjukkan kepada objeknya secara
utuh, yakni kepada seluruh sisi dan dayanya. Sementara itu, Tuhan adalah
Mahasempurna.Dengan demikian, bisa dipahami bahwa Islam sangat menjaga bentuk
representasi itu agar jangan sampai simbol yang digunakan untuk mengungkapkan eksistensi-
Nya mencederai kandungan maksudnya yang utuh dan sempurna.

Dalam pembicaraan sederhana dan diskusi lepas dengan teman saya, TaufikDamas, muncul
kesimpulan bahwa semakin abstrak sesuatu, semakin luhur dan suci. Juga, semakin sulit untuk
diwakilkan dengan suatu tanda yang mengacu pada maknanya yang utuh dan sempurna. Tuhan
adalah wujud yang paling abstrak, paling tak terjangkau.

Bisasaya tambahkan bahwa semakin abstrak sesuatu, semakin besar peran faktor penafsir yang
bertautan dengan tanda pada satu sisi dan dengan objek yang ditunjukkan oleh tanda pada sisi
lain. Semakin besar pula potensi perbedaan dalam relasi itu.
Dari konsep ini, kita bisa melihat hal-hal lain dan bagaimana manusia mencoba
merepresentasikan dalam tanda-tanda yang digunakannya. Cinta dan kasih sayang, misalnya.  

Kembali kepada pembahasan konsep tanda dalam pandangan Peirce. Sedikit banyak, dalam
membangun konsepnya tentang tanda dengan prinsip berikutini, Peirce telah menorehkan garis-
garis awal bagi sebagian prinsip Dekonstruktivisme. Dia coba memecah relasi unsur dan
melihatnya satu per satu untuk dijadikan bahan analisis. Dari situ ia melihat bahwa relasi antara
tanda dan faktor penafsir bergantung erat dengan relasi antara tanda dan objek.

Dengan demikian, faktor penafsir bertautan dengan objek sebanding pertautannya dengan tanda
itu sendiri. Dari sini, faktor penafsir dapat dipandang sebagai tanda lain (kedua) yang
dimunculkan oleh tanda yang asli (pertama) di dalam pikiran seseorang yang melihat atau
mendengar dan mencoba memahaminya.

Secara singkat, itu berarti bahwa proses penafsiran pada kenyataannya tidak lain adalah proses
menempatkan tanda pada tanda lain, apa pun bentuknya. Seseorang yang mendengar kata
Padang, misalnya, bisa jadi memerlukan icon sebuah maket konstruksi kota, atau index penunjuk
ke sebuah kota, atau simbol kata sinonim atau yang menjelaskan. Demikianlah, menafsirkan
Padangartinya menggantikan tanda asli (pertama) dengan tanda lain (kedua), apa pun jenisnya,
sehingga benak sang pendengar tidak beralih kepada makna lain yang berupa tanah lapang yang
luas.

Jika disebutkan sebelumnya bahwa tanda dalam konsep Peirce mencakup seluruh konstruksi
struktur dalam kehidupan yang dapat ditangkap oleh pikiran manusia, maka bahasa sebagai
konstruksi pemikiran dan pengetahuan, menurut Peirce, merupakan struktur tanda-tanda yang
saling berjalin, bertaut, berpadu, dan mampu melahirkan tanda-tanda yang lain dari dalam
konstruksinya tanpa batas dan ikatan.

Artinya, prinsip dinamisme tanda merupakan karakter dominan dalam teori Peirce, yaitu apa
yang kita sebut sebagai perintisan terhadap teori Dekonstruktivisme yang cenderung
membebaskan tanda-tanda dari ikatan-ikatan tradisionalnya atau ikatan-ikatan lazimnya.
Peirce pada dasarnya membahas ilmu tentang tanda-tanda secara umum, tidak terfokus pada
bahasa atau alam sadar seperti dilakukan oleh Husserl (18591938) setelahnya. Husserl
merupakan salah seorang pendiri mazhab Phenomenology modern.

Relasi Makna C.S Pierce

“Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu  dalam beberapa hal atau
kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu
tanda yang setara, atau barang kali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang
diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda yang pertama. Tanda itu menunjukan
sesuatu, yakni objeknya”

1. DE Saussure dan Semiologi

Setelah De Saussure meninggal (1915), terbit bukunya yang terkenal berjudul Cours de
Linguisti1que Generale. Buku yang membawa perubahan mendasar bagi bidang linguistik ini,
merupakan catatan peserta kuliah Linguistik umum de Saussure.

Sumbangan de Saussure bagi semiologi pertama-tama adalah penekanan pentingnya suatu ilmu
tanda yang tercantum dalam kata pengantar bukunya. Kedua, ia mengembangkan definisi tanda
bahasa yang kemudian dikembangkan lagi oleh pengikut strukturalisme dalam suatu sisitem
tanda yang lebih luas.

2. Pengertian Dasar Linguistik Umum Ferdinand de Saussure

Pengertian dasar linguistik de Saussure bertolak dari sederetan dikotomi (pasangan definisi yang
beroposisi). Adapun yang akan dibahas di sini bukanlah linguistik de Saussure, melainkan inti
semiologi yang juga menjadi dasar konsep linguistiknya.

2.1 Dikotomi “Parole” dan “Lanque”

Menurut de Saussure, langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota
masyarakat pemakai bahasa tersebut. Adapun parole adalah penggunaan bahasa secara
individual.

Secara implisit dapat ditangkap bahwa langue dan parole beroposisi, tetapi sekaligus juga saling
tergantung. Itu berarti bahwa tidak ada yang lebih utama. Di satu pihak sistem yang berlaku
dalam langue adalah hasil produksi dari kegiatan parole, dan di lain pihak pengungkapan parole
serta pemahamannya hanya mungkin berdasarkan penelusuran sebagai sistem.

2.2 Dikotomi “Signifiant” (Penanda) dan “Signifie” (Petanda) dalam “Langue”


Salah satu ciri dasar signifiant dan signifie sebagai bagian dari tanda dan tanda itu sendiri adalah
sifatnya yang relatif. Justru karena langue adalah suatu sistem, bagian dari tanda itu dan tanda itu
sebagai kesatuan, maka langue mendapatkan identitas dari arti hanya karena menjadi bagian  dari
sistem semacam itu.

Masih berkaitan dengan tanda bahasa, de Saussure berpendapat bahwa ciri dasar tanda bahasa
adalah arbitraritas (kesemenaan) absolut. Ini dipertentangkannya dengan tanda bahasa yang
mempunyai motivasi. Tanda bahasa jenis itu disebutnya simbol.

Arbitraritas tanda bahasa ini tercermin dalam pembentukan signifiant dan signifie secara
sembarangan. Bertentangan dengan itu pada simbol ada kaitan antara signifiant dan signifie.

Dalam perkembangan pengertiannya untuk de Saussure, tanda adalah simbol, sedangkan simbol
di bidang semiotika dalam pengertian de Saussure disebut ikon.

2.3 Dikotomi antara Sintagma dan Paradigma

Ciri dasar lain dari langue adalah susunannya yang linear dan berlangsung dalam waktu. Ini
membedakannya dari sistem yang tanda-tandanya bersifat ruang. Hubungan dari penanda
akuistis ini hanya ada dalam garis waktu karena unsur-unsurnya dilafalkan satu persatu dan
membentuk suatu rangkaian. Jenis hubungan semacam ini disebut de Saussure sintagma.
Sintagma dipertentangkannya dengan hubungan asosiatif dari tanda serupa yang dapat
dipertukarkan dalam sintagma. Hubungan asosiatif dari tanda disebutnya paradigma.

Aspek sintagma dan paradigma bahasa harus dibedakan dari aspek perkembangan waktu.
Dengan melihat perkembangan sepanjang masa, kita mengkaji bahasa dengan pendekatan
diakronis. Di lain pihak dengan mengkaji bahasa pada suatu masa tertentu, kita mengkaji dengan
pendekatan sinkronis.

Di mulai dengan dikotomi perole dan langue, de Saussure membedakan aspek intern dan ekstern
dari linguistik. Sifat sistem intern bahasa digambarkannya melalui pembentukan satuan dalam
oposisi dari penanda dan petanda, yang mendapatkan identitasnya melalui posisinya dalam
struktur sistem tersebut. Tanda bahasa dibedakan de Saussure antara tanda bahasa semena
absolut, tanda bahasa yang tidak semena absolut, dan tanda bahasa bermotivasi yang merupakan
simbol. Sintagma linear bahasa, yang bersifat waktu, dipertentangkannya dengan asosiasi
paradiogma yang susunannya bersifat ruang.

3. Generalisasi Pengerian Dasar Semiologi Dewasa ini

Untuk dapat memberi gambaran dari keadaan semiologi dewasa ini perlu disinggung pokok-
pokok lain yang memperluas pengertian-pengertian yang telah dimulai de Saussure.

“Parole”, Isyarat, dan Instrumen


Dalam generalisasi de Saussure terbukti bahwa kegiatan bicara (parole) memegang peranan
penting. Melalui kegiatan bicara yang bersifat kongkret terbentuk suatu sisitem bahasa yang
bersifat abstrak. Semiologi seperti halnya linguistik terjadi dalam praktik komunikasi.

Dalam semiologi di bidang komunikasi, Buyssens dan Prieto menggunakan istilah isyarat untuk
parole. Maksudnya adalah fakta yang langsung dapat ditangkap, dan di samping itu masih
memberikan informasi tambahan tentang fakta-fakta lain yang tidak dapat ditangkap secara
langsung. Semua isyarat komunikasi juga merupakan tada adanya indikasi; indikasi bukkan saja
menunjukkan adanya pengiriman, melainkan juga “membocorkan” siapa/apa pengirimnya.
Namun, tidak semua indikasi memberi isyarat supaya dipahami.

Manusia dalam kegiatan berkomunikasi menggunaan instrumen. Isyarat adalah hal khusus dalam
aksi komunikasi dari sebuah instrumen. Prieto yang dipengaruhi de Saussure, memandang
isayarat sebagai kejadian khusus dari realisasi yang bersifat instrumental untuk mewujudkan aksi
khusus dari komunikasi.
RANGKUMAN FILSAFAT

 
 

I.    PENGERTIAN FILSAFAT

1. Arti Istilah dan Rumusan Filsafat


 

            Istilah filsafat bisa dilacak etimologinya dari istilah Arab falsafah, atau bahasa
Inggris Philosophy yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia yang terbentuk dari dua
akar kata : philen (mencintai) dan sophos (bijaksana), atau juga philos (teman) dan
Sophia (kebijaksanaan). Jadi filsafat adlah cinta akan kebijaksanaan.

            Secara terminologis, penulis menggunakan definisi filsafat sebagai berikut :

Filsafat adalah kegiatan / hasil pemikiran / perenungan yang menyelidiki sekaligus


mendasari segala sesuatu yang berfokus pada makna di balik kenyataan/ teori yang ada
untuk disusun dalam sebuah system pengetahuan rasional.

2. Objek Studi dan Metode Filsafat


 
            Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada. “Ada” itu sendiri dapat
dipilah dalam tiga kategori : tipikal/ sungguh-sungguh ada dalam kenyataan, ada dalam
kemungkinana, ada dalam pikran atau konsep.

            Objek formal filsafat adalah hakikat terdalam / substansi/ esensi/ intisari.

3. Bidang Kajian Filsafat


 

a.       Ontologi,

b.      Epistimologi,

c.       Aksiologi

4. Aliran / Mazhab dalam Filsafat


 

5. Cabang-Cabang Filsafat
 

a.       Metafisika

      studi tentanag sifat yang terdalam dari kenyataan / keberadaan. Persoalan-
persoalan metafisis dibedakan menjadi tiga yaitu persoalan ontologism, persoalan
kosmologis, dan persoalan antropologis.

b.      Epistemologi

      Berarti ilmu tentang pengetahuan, mempelajari asala muasal / sumber, struktur,
metode, dan validitas pengetahuan, yang kesemuanya bisa dikembalikan untuk
menjawab pertanyaan : “Apa yang dapat saya ketahui?”.

c.       Logika

      Berarti ilmu, kecakapan, alat untuk berpikir secara lurus.


d.      Etika (Filsafat Moral)

      Objek material etika adalah perbuatan atau perilaku manusia secara sadar dan
bebas.

e.       Estetika (Filsafat Keindahan)

      Merupakan kajian filsafat tentang keindahan.

6. Jalinan Ilmu, Filsafat Agama dan Seni


 

      Manusia                       Agama                                    

      Filsafat                                    Seni

II. PENGERTIAN FILSAFAT ILMU

1. Arti Istilah Definisi Filsafat Ilmu


 

Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan mengenai


segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi
dari kehidupan manusia ( The Liang Gie, 2004:61)

2. Cakupan dan Permasalahan Filsafat Ilmu


 
Menurut John Loss filsafat ilmu dapat digolongkan menjadi empat konsepsi yaitu:

      Berusaha menyusun padangan-pandangan dunia sesuai atau berdasarkan toeri-teori


ilmiah yang penting.

      Memaparkan praanggapan dan kecenderungan paera ilmuwan

      Sebagai suatu cabang pengetahuan yang menganalisis dan menerangkan konsep dan
teori dari ilmu.

      Sebagai pengetahuan kritis derajat kedua yang menelaah ilmu sebagai sasarannya.

            Enam problem atau permasalahan mendasar :

a.       problem-problem epistimologi tentang ilmu

b.      problem-problem metafisis tentang ilmu

c.       problem-problem metodologis tentang ilmu

d.      problem-problem logis tentang ilmu

e.       problem-problem etis tentang ilmu

f.       problem-problem estetis tentang ilmu

3. Berbagai Pendekatan Filsafat Ilmu


 

          Menurut Peter Angelas, filsafat ilmu mempunyai empat bidang konsentrasi yang
utama, yaitu :

      Telaah mengenai berbagai konsep, praanggapan, dan metode analisis, perluasan dan
penyusunannya untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat
      Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu berikut stuktur
perlambangannya.

      Telaah mengenai saling kaitan dia antara di antara berbagai ilmu

      Telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan yang berkaitan penerahan manusia


terhadap realitas, hubungan logika dll.

4. Sejarah dan Perkembangan Filsafat Ilmu


 

Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sejak abad ke-17. kemudianpada tahun
1853, Auguste Comte mengadaka penggolongan ilmu pengetahuan.  Pada dasrnya,
penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Augute Comte, sejalan dengan
sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu
pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Dengan mempelajari gejala-
gejala yang paling sederhana dan umum secara tenang dan rasional, kita akan
memperoleh landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang saling terkait untuk dapat
berkembang lebih cepat. Dalam penggolongan ilmu pengetahuan tersebut, dimulai dari
Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosiologi.

Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas, keteraturan dan
ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terlebih dahulu adalah yang
lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada
setiap ilmu yang dibelakangnya. Jika dilihat dari sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama atau
istilah filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alm. Hal ini dapat dilihat dari judul karya
utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton : New Priciles of Chemical Philosophy.

Filsafat dimulai oleh Thales sebagai filsafat jagat raya yang selanjutnya
berkembang kearah kosmologi.

Dalam abad-abad selanjutnya filsafat berkembang melalui dua jalur yaitu : filsafat
alam dan filsafat moral. Filsafat alam mempelajari benda dan peristiwa alamiah,
sedangkan filsafat moral mempelajari ewajiban manusia seperti etika, politik dan
psikologi.setelah memasuki abad ke-20 filsafat dalam garis besar dibedakan menjadi dua
ragam yaitu: filsafat kritis dan filsafat spekulatif. Filsafat kritis memusatkan perhatian
pada analisis secara cermat terhadap makna berbagai pengertian yang diperbincangkan
dalam filsafat misslnya substansi, eksistensi, moral, realitas, sebab, nilai, kebenaran,
keindahan, dan kemestian.filsafat spekulatif sendiri merupakan nama lain dari metafisika.

5. Fungsi dan Arah Filsafat Ilmu


 

            Filsafat ilmu diharapkan dapat mensistematiskan, meletakkan dasar, dan memberi
arah kepada perkembangan sesuatu ilmu maupun usaha penelitian ilmuan untuk
mengembangkan ilmu. Dengan filsafat ilmu, proses pendidikan, pengajaran, dan
penelitian dalam suatu bidang ilmu menjadi lebih mantap dan tidak kehilangan arah.

            Secara umum, fungsi filsafat ilmua adalah untuk :

  Alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.

  Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat
lainnya.

  Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.

  Memberikan ajaran tentang moral dan etika  yang berguna dalam kehidupan.

  Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek
kehidupan.

III.      SUBSTANSI FILSAFAT ILMU

1. Kenyataan atau Fakta


 
            Kenyataan atau fakta adalah sesuatu yang benar-benar terjadi dan memiliki bukti
tetai tidak mungkin dengan alat-alat yang serba kasar seperti panca indera, manusia dapat
menyaksikan hakikat semua kenyataan sebagai kebenaran sejati. Untuk dapat meraih
hakikat kenyataan sebagai kebenaran sejati, disamping panca indra dan akal, manusia
dikaruniai pula budi sebagai alat perantara antara akal dan Tuhan.

2. Kebenaran
 

            Berikut beberapa macam tentang kebenaran :

      Kebenaran Koherensi : Adanya kesesuaian atau keharmonisan antar suatu yang
memiliki hierarki yang tinggi dari suatu unsure tersebut, baik berupa skema, ataupun
nilai.

      Kebenaran Korespondensi :Terbuktinya sesuatu dengan adanya kejadian yang sejalan
atau berlawanan arah antara fakta yang diharapkan, antara fakta dan keyakinan.

      Kebenaran Performatif : Pemikiran manusia yang menyatukan segalanya dalam


tampilan actual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya. Baik yang praktis,
teoritik maupun yang filosifik. Sesuatu benar apabila dapat diaktualisasikan dalm
tindakan.

      Kebenaran Pragmatik :Yang benar adalah yang konkrit, individual dan spesifik.

      Kebenaran Proporsi :Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proporsinya benar, yakni
bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proporsi.

      Kebenaran Struktural Paradigmatik :Merupakn perkembangan dari kebenaran dari


perkembangan korespondensi.

3. Konfirmasi
 
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan
dating, atau memberikan pemaknaan.

4. Logika Inferensi
 

Penarikan kesimpulan baru dianggap sahih apabila dilakukan menurut cara


tertentu, yakni berdasarkan logika.

5. Telaah Konstruksi Teori


 

Adalah sekumpulan proporsi yang saling berkaitan secar logis untuk memberikan
pengertian mengenai sejumlah fenomena.

Teori mempunyai peranan penting antara lain:

      Berfungsi sebagai pedoman, bagan sistemanisasi, atau system acuan.

      Memberikan suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang semula belum
dipetakan.

      Menunjukkan atau menyarankan kea rah-arah penyelidikan lebih lanjut.

IV. DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU

1. Dimensi Ontologis
 

            Ontologis merupakan bagian dari metafisika umum. Ontologis merupakan suatu
pengkajian mengenai teori yang ada.

a.       Metafisika : merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat


yang tersimpul dibelakang dunia fenomenal. Metafisika melampaui pengalaman
denagn objek yang non-empiris.
Tafsiran dalam Metafisika:

  Animisme :Dalam dunia ini terdapat wujud-wujud gaib yang bersifat lebih tinggi
atau lebih kuasa dubandingkan alam yang nyata.

  Materialisme :Apa yang ada di dunia ini yang dapat kita pelajari.

  Mekanistik :Melihat gejala alam, temasuk manusia yang merupaka gejala mkimi-
fisika semata.

  Vitalistik :Hidup adalah sesuatu yang unik dan berbeda secara subtansi dengan
proses di atas.

  Monistik :Proses berfikir sebagai aktivitas elektro-kimia dari otak

  Dualistic :Membedakan antara zat dan kesadaran yang bagi mereka  berbeda
secara generic, secara subtansif.

b.      Asumsi dalam ilmu :

  menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain,


umpamanya dalam bentuk, struktur dan sifat.

  Menganggap bahwa suatu benda tidak mengalamai perubahan dalam jangka


waktu tertentu.

  Pilihan diantara Determinase (Pengetahuan adalah bersifat empiris yang


dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal), Pilihan bebas
(Manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terkait
pada hukumalam yang tidak memberikan alternative), dan probalistik
(Menekankan pada keseimbangan antara kedua aliran di atas)

c.       Penggolongan ilmu

       Plato : dialektika, fisika, etika


       Aristoteles : logika, politik, metafisika, etika

       Ampere : rethorika, estetika

       Wildelband : kosmologi, noologi

       H.A Dardini ; IPA, IPS, humaniora

d.      Pola hubungan ilmu

  Multidisipliner :Ditandai oleh kegiatan studi yang tertuju pada sebuah sentral
dari sudut perspektif disiplin ilmu yang terpisah tanpa adanya kesatuan
konsep.

  Interdisipliner :Ditandai oleh interaksi dua atau lebih interdisipliner ilmu


berbeda dengan bentuk komunikasi konsep atau ide.

  Lintadisipliner :Ditandai oleh orientasi horizontal karena melumatnya batas-


batas disiplin ilmu yang sudah mapan.

e.       Tugas – tugas ilmu pengetahuan

      Eksplanatif : menerangkan gejala-gejala alam

      Prediktif : meramalakan kejadian-kejadian di masa depan

      Control : mengendalikan peristiwa yang akan datang.

f.       Batas pengkajian ilmu

  Tidak semua permasalahan kehidupan manusia dapat dijawab tuntas oleh ilmu.

  Nilai kebenaran ilmu bersifat positif dalam arti berlakunya sampai saat ini dan
juga bersifat relative atau nisbi dalam arti tidak mutlak kebenarannya.

  Batas dan relativitas ilmu pengetahuan bermuara pada filsafat.


2. Dimensi Epistimologis
 

            Epistimologi berarti ilmu atau teori tentang pengetahuan, yakni ilmu yang
membahas tentang masalah-masalah pengetahuan.

  Konsep dasar ilmu pengetahuan

  Fungsi panca indera bagi perkembangan ilmu pengetahuan

  Fungsi akal bagi perkembangan ilmu pengetahuan

  Peranan budi dalam menemukan hakikat kenyataan

  Hukum sebab akibat : seseorang mendapat pengetahuan tentang suatu masalah denagn
jalan menyusun pikiran untuk mengetahui sebab kejadiannya dan akibatnya.

  Sumber pengetahuan : pengalaman (aliran empirisme), akal atau rasio (aliran


rasionalisme), budi sebagai sumber pengetahuan sejati (aliran kritisme).

  Batas –batas pengetahuan : yang dapat dipercaya adalah hanya apa yang sekarang, pada
saat ini, yang diberikan kepada kita dalam pengalaman (aliran skeptisisme), adanya
kebenaran objektif, terlepas dari subjek-subjek yang diketahuinya (aliran objektivisme),
kesadaran akan tujuan pada barang sesuatu, benda yang dituju (aliran
fenomenologisme)

  Objek pengetahuan : objek rasa, objek bukan rasa, dan objek luar rasa.

  Metode ilmu pengetahuan : metode induksi dan metode deduksi

3. Dimensi Aksiologis
 

            Aksiologi adalah studi tentang nilai atau kualitas. Satu wilayah penting penelitian
untuk aksiologi ini adalah aksiologi formal dan kekakuan matematis.
 

V.    PENGEMBANGAN DAN PNERAPAN TEORI

1. Pengembangan Teori dan Alternatif Metodologinya


 

Kesamaan antara ilmu pengetahuan dan filsafat, bahwa keduanya sama- sama
mengejar kebenaran. Kebenaran yang ditemukan tidak sekedar demi kepentingan teori
saja, melainkan demi kepentingan serta peningkatan hidup menusia seluruhnya.
Perbedaannya terletak pada obyek yang diselidiki serta sudut tinjauannya terhadap obyek
ilmu pengetahuan dari penyelidikan lahirlah ilmu- ilmu pengetahuan khusus, seperti ilmu
bumi, ilmu alam dan sebagainya.

Kajian filsafat ilmu :

      Ontology

      Epistimologi

      Aksiologi

Ilmu khusus yang sesuai dengan obyek kajiannya antara lain :

  Metaphysica Generalis

  Theodicia Naturalis

  Cosmologia

  Anthropologia Filosofica

  Filsafat Biologie

  Filsafat Psichologi
  Filsafat Sosiologie

  Epistimologi

  Filsafat Etica

  Filsafat Estetika

Metode dalam penyelidikan ilmu dan filsafat :

      Metode histories

      Sistematis

2. Etika dan Pengembangan Ilmu dan Teknologi


 

          Etika adalah studi bagaimana seseorang harus memperlakukan manusia dan
keberadaan yang lain, berisi identifikasi hak-hak yang dimiliki setiap entitas. Hanya saja
perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat ini terkadang tidak sejalan dengan
tujuan semuala yaitu menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan tanpa
menimbulkan kerusakan serta keinginan manusia yang cinta damai. Sebagai contoh
adanya pengeboman, pemalsuan obat dan produk-produk, cloning yang tidak sesuai dan
senjata nuklir penghancur masal.

3. Jalinan Fungsional Agama, Filsafat dan Ilmu


 

Yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran. Demikianpula ilmu dan agama.
Kebenaran dalam filsafat dan ilmu adalah kebenaran akal, sedangkan kebenaran dalam
agama adalah kebenaran wahyu. Kita tidak  akan mencari mana yang paling benar, akan
tetapi melihat apakah keduanya dapat berdampingan dan hidup damai,. Meskipun filsafat
dan ilmu mencari kebenaran secara akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun
ilmu bermacan-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda. Demikian
halnya dengan agama, terdapat bermacam-macam dan kesemuanya mengajarkan tentang
kebenaran. Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka
antara filsafat, ilmu dan agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling
mendukung. Ketiganya dapat menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul
dalam kehidupan.

4. Implikasi dan implementasi Filsafat Ilmu dalam


 

Pengembangan Keilmuan dan Kependidikan

Implikasi merupakan hubungan atau keterlibatan, sedangkan impementasi adalah


penerapan. Teknologi kini telah merambah pada dunia yang lain yakni pendidikan.
Missal, kolaborasi antara dunia pendidikan dan teknologi yakni i-learning. Dengan
adanya hal tersebut menunjukka bahwa dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan telah
mengalmi metamorfosis. Perubahan-perubahan tersebut tak lain juga didasari oleh
pemikiran filsafat. Dengan hal ini diharapkan segala jenis bentuk pendidikan yang positif
dapat dirasakan oleh setiap manusia dimanapun berada.

Anda mungkin juga menyukai