Anda di halaman 1dari 24

3.1.

Charles Sander Peirce


Memahami Semiotika tentu tidak bisa melepaskan pengaruh dan peran
dua orang penting ini, Charles Sander Peirce dan Ferdinand De Saussure.
Keduanya meletakkan dasar-dasar bagi kajian semiotika. Peirce dikenal
sebagai pemikir argumentatif dan filsuf Amerika yang paling orisinal dan
multidimensional.22
Peirce lahir dalam sebuah keluarga intelektual pada tahun 1839. Ayahnya,
Benyamin adalah seorang profesor matematika pada Universitas Harvard.
Peirce berkembang pesat dalam pendidikannya di Harvard. Pada tahun
1859 dia menerima gelar BA, kemudian pada tahun
1862 dan 1863 secara berturut-turut dia menerima gelar M.A dan B.Sc dari
Universitas Harvard.
Teori dari Peirce seringkali disebut sebagai 'grand theory" dalam
semiotika.n Mengapa begitu? Ini lebih disebabkan karena gagasan Peirce
bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan.
Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan
menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal.
Sebuah tanda atau representamen menurut Charles S Peirce24 adalah
sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang Iain dalam
beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu Peirce disebut
interpretant— dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama,
pada gilirannya akan mengacu pada Objek tertentu. Dengan demikian
menurut Peirce, sebuah tanda atau representamen memiliki relasi
'triadik' langsung dengan interpretan dan objeknya. Apa yang
dimaksud dengan proses 'semiosis' merupakan suatu proses yang
memadukan entitas (berupa representamen) dengan entitas lain yang
disebut sebagai objek. Proses ini oleh Peirce disebut sebagai
signifikasi.
Tipologi Tanda versi Charles S Peirce
Upaya klasifikasi yang dilakukan oleh Peirce terhadap tanda
memiliki kekhasan meski tidak bisa dibilang sederhana. Peirce
membedakan tipetipe tanda menjadi : Ikon (icon), Indeks (index) dan
Simbol (symbol) yang didasarkan atas relasi di antara representamen
dan objeknya.
(1) Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan 'rupa' sehingga
tanda itu mudah dikenali oleh para pemakainya. Di dalam ikon
hubungan antara representamen dan objeknya terwujud sebagai
kesamaan dalam beberapa kualitas. Contohnya sebagian besar
rambu Ialu lintas merupakan tanda yang ikonik karena
'menggambarkan' bentuk yang memiliki kesamaan dengan objek
yang sebenarnya.
(2) Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau
eksistensial di antara representamen dan objeknya. Di dalam
indeks, hubungan antara tanda dengan objeknya bersifat kongkret,
aktual dan biasanya melalui suatu cara yang sekuensial atau
kausal. Contoh jejak telapak kaki di atas permukaan tanah,
misalnya, merupakan indeks dari seseorang atau binatang yang
telah lewat di sana, ketukan pintu merupakan indeks dari
kehadiran seorang 'tamu' di rumah kita.
(3) Simbol, merupakan jenis tanda yang bersifat abriter dan
konvensional sesuai kesepatan atau konvensi sejumlah orang atau
masyarakat. Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah
simbol-simbol. Tak sedikit dari rambu Ialu lintas yang bersifat
simbolik. Salah satu contohnya adalah rambu lalu lintas yang
sangat sederhana ini .
Dari sudut pandang Charles Peirce ini, proses signifikansi bisa saja menghasilkan
rangkaian hubungan yang tidak berkesudahan , sehingga pada gilirannya sebuah
interpretan akan menjadi representamen, menjadi interpretan lagi, jadi
representamen lagi dan seterusnya.
Charles Sanders Peirce (1893-1914) membagi tanda dan cara kerjanya ke dalam tiga
katagori sebagaimana tampak dalam tabel di bawah ini. Meski begitu dalam praktiknya,
tidak dapat dilakukan secara 'mutually exclusive' sebab dalam konteks-konteks tertentu
ikon dapat menjadi simbol . Banyak simbol yang berupa ikon. Disamping menjadi
indeks, sebuah tanda sekaligus juga berfungsi sebagai simboI.26
Selain itu, Peirce juga memilah-milah tipe tanda menjadi katagori lanjutan, yakni
katagori Firstness, secondness dan thirdness. Tipe-tipe tanda tersebut meliputi (I)
qualisign, (2) signsign, dan (3) legisign. Begitu juga dibedakan menjadi (I) rema (rheme),
(2) tanda disen (dicent sign) dan (3) argumen (argument).
Dari berbagai kemungkinan persilangan di antara seluruh tipe tanda ini tentu dapat
dihasilkan berpuluh-puluh kombinasi yang kompleks.
3.2. Ferdinand De Saussure
Selain Charles S Peirce, pendekatan semiotika yang terus berkembang hingga Saat
ini amat berhutang budi pada peletak dasar Semiotika Iainnya yakni Ferdinand de
Saussure yang lebih terfokus pada semiotika linguistik.
"Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik
modern dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de
Saussure," demikian pujian dari John Lyons.27
Saussure memang terkenal dan banyak dibicarakan orang karena
teorinya tentang tanda.Meski tak pernah mencetak buah pikirannya
dalam sebuah buku, para muridnya mengumpulkan catatan-catatannya
menjadi sebuah outline.
Saussure dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857, dan dia hidup sezaman
dengan Sigmund Freud dan Emile Durkheim. Selain sebagai seorang
ahli lin ,usitik, dia 'u a seorang spesialis
bahasa-bahasa Indo Eropa dan Sansekerta
yang menjadi sumber pembaruan intelektual
dalam bidang ilmu sosial dan kemanusiaan.
Pandangannya tentang Tanda sangat berbeda
dengan pandangan para ahli lingusitik di
jamannya. Saussure justru 'menyerang
pemahaman historis terhadap bahasa yang
dikembangkan pada abad Ke-19. Saat itu,
Studi bahasa hanya berfokus kepada perilaku
linguistik yang nyata (Parole). Studi tersebut
menelusuri perkembangan kata-kata dan ekspresi sepanjang sejarah,
mencari faktorfaktor yang berpengaruh seperti geografi, perpindahan
penduduk dan faktor Iain yang mempengaruhi perilaku linguistik
manusia.
Saussure justru menggunakan pendekatan anti historis yang melihat
bahasa sebagai sebuah sistem Yang utuh dan harmonis secara internal
atau dalam istilah Saussure disebut sebagai langue. Dia mengusulkan
teori bahasa yang disebut sebagai strukturalisme untuk menggantikan
pendekatan historis dari para pendahulunya. Bahasa di mata Sausssure
tak ubahnya sebuah karya musik (simfoni) dan bila kita ingin
memahaminya kita harus memperhatikan keutuhan karya musik secara
keseluruhan dan bukan kepada permainan individual dari setiap
pemain musik
Sedikitnya ada Lima pandangan Saussure yang terkenal yaitu soal (I) signifier
(penanda) dan Signified (petanda), (2) form (bentuk) dan content (isi); (3)
langue (bahasa) dan parole (tuturan/ujaran); (4) synchronic (sinkronik) dan
Diachronic; serta (5) syntagmatic dan associative atau paradigmatik.2S
3.3. Roland Barthes
Kancah penelitian Semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama
Roland Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan kajian
yang sebelumnya puny-a warna kental strukturalisme kepada semiotika
teks.29
Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai
kunci dari analisisnya. Barthes menggunakan versi yang jauh lebih
sederhana saat membahas model 'glossematic sign' (tanda-tanda
glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, Barthes
mendefinisikan sebuah tanda (Sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri
dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R ) dengan
content (atau signified) (C): ERC. Sebuah sistem tanda primer (primary
sign system) dapat menjadi sebuah elemen dari sebuah sistem tanda
yang lebih lengkap dan memiliki makna yang berbeda ketimbang
semula.
Barthes menulis :
Such sign system can become an element of a more comprehensive sign system.
If the extension is one ofcontent, the primary sign ( El RI c i ) becomes the
expression of a secondary sign system :

Dengan begitu, primary sign adalah denotative sedangkan secondary


sign adalah satu dari connotative semiotics. Konsep connotative inilah
yang menjadi kunci penting dari model semiotika Roland Barthes.
Fiske menyebut model ini sebagai Signifikasi dua tahap (two order of
signification).
Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama
merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan Signified (content)
di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang disebut
Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign).
Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan
signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi
ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta
nilai-nilai dari kebudayaannya.
Konotasi mempunyai makna
LargtE yang subjektif atau paling tidak
intersubjektif. Dengan kata lain,
denotasi adalah apa yang
digambarkan tanda terhadap
sebuah objek, sedangkan makna
Langue konotasi adalah bagaimana cara
menggambarkannya.
Konotasi bekerja dalam tingkat
subjektif sehingga kehadirannya
tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif
sebagai fakta denotatif.31 Karena itu, salah satu tujuan analisis
semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka
berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah
dalam mengartikan makna suatu tanda.
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda
bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan
menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala
alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai
suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati,
manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai
feminimitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan.32
Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos
dapat berangkai menjadi Mitologi yang memainkan peranan penting
dalam kesatuan-kesatuan budaya. Sedangkan Van Zoest (1991)
menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan
jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat di dalamnya.33
Dalam pandangan Umar Yunus, mitos tidak dibentuk melalui
penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang
digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam
masyarakat. Ia mungkin hidup dalam 'gosip' kemudian ia mungkin
dibuktikan dengan
tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan Oleh mitos yang
ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka
tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam mitos.34
Sebuah teks, kata Aart van Zoest tidak pernah lepas dari ideologi dan
memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu
ideologi.35 Sedangkan Eriyanto menempatkan ideologi sebagai konsep
sentral dalam analisis wacana Yang bersifat kritis.
Hal ini menurutnya, karena teks, percakapan dan Iainnya adalah bentuk
dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu.36
Secara etimologis ideologi berasal
dari bahasa Greek, terdiri atas kata
idea dan logos. Idea berasal dari
kata idein yang berarti melihat,
sedangkan kata logia berasal dari
kata logos Yang berarti kata-kata.
Dan arti kata logia berarti science
(pengetahuan) atau teori.
Konsep ideologi juga bisa dikaitkan
dengan wacana. Menurut Teun A van Dijk, ideologi terutama
dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu
atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota suatu
kelompok akan bertindak dalam situasi Yang sama, dapat
menghubungkan masalah mereka dan memberinya kontribusi dalam
membentuk solidaritas dan kohesi di dalam kelompok.
Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi
penting37. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak
personal atau individual: ia membutuhkan 'share' di antara anggota
kelompok organisasi atau kreativitas dengan orang Iainnya.
Hal-hal yang dibagi (sharing) tersebut bagi anggota kelompok
digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam
bertindak dan bersikap. Misalnya, kelompok tertentu yang mempunyai
ideologi feminis, antirasis dan pro lingkungan akan membawa nilai-nilai
itu dalam semua tindakan mereka.
Baca lebih lengkap, Junus Umar, 1981.Mitos dan Komunikasi, Jakarta: Sinar Harapan, hal 74
Baca Van Zoest, 1991, Fiksi dan non fiksi dalam kajian semiotika. Penerjemah Manoekmi Sardjoe,
Jakarta: Intermasa, hal.70
Eriyanto, (2001) Op.Cit hal. 13
Ibid.,hal 67-68

Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal


di antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu ideologi
tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi, tetapi juga
membentuk identitas diri kelompok, membedakannya dengan
kelompok lain.
Ideologi di sini bersifat umum, abstrak dan nilai-nilai yang terbagi
antar anggota kelompok menyediakan dasar bagaimana masalah harus
dilihat. Dengan pandangan semacam itu, wacana lalu tidak dipahami
sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara ilmiah, karena
dalam setiap wacana selalu terkandung ideologi untuk mendominasi
dan berebut pengaruh.
Dalam sebuah teks berita, dapat dianalisis apakah teks yang muncul
tersebut adalah pencerminan dari ideologi seseorang atau kelompok,
apakah dia feminist antifeminist kapitalis, sosialis dan sebagainya.
Maka dari itu, analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara
tertutup, tetapi harus melihat konteks, terutama bagaimana ideologi
dari kelompokkelompok yang ada tersebut berperan dalam membentuk
wacana.

3.4. Umberto Eco


Umberto Eco lahir pada 5 Januari 1932 di
Alessandria, wilayah Pedmont Italia. Awalnya
ia belajar hukum, kemudian mempelajari
filsafat dan sastra sebelum akhirnya menjadi
ahli semiotika. Sebelum menjadi intelektual di
bidang semiotika, Eco mempelajari teori-teori
estetika Abad pertengahan. Di Universitas
Turin, Eco menulis Tesisnya tentang Estetika
Thomas Aquinas dan meraih gelar doktor
dalam bidang filsafat pada 1954 saat dia
berusia 22 tahun. Dia kemudian memasuki
dunia jurnalisme sebagai editor untuk program
budaya di jaringan televisi RAI.
Dia - sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang dalam buku
"Hipersemiotika' Tafsir Cultural Studies Atas matinya Makna, (2003)
—menegaskan bahwa semiotika adalah teori dusta. Eco mengatakan
bahwa :....pada prinsipnya (semiotika) adalah sebuah disiplin yang
mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta.
Definisi ini meskipun agak aneh secara eksplisist menjelaskan betapa
sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta
tampaknya menjadi prinsip utama semiotika.
Bab 3. Tohh-To"1

25
Menurut Eco, semiotikus terkenal Italia itu, tanda dapat digunakan untuk menyatakan kebenaran
sekaligus juga untuk menyatakan suatu kebohongan.

Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal
yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain.
Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu
tertentu. Dengan demikian semiotika pada prinsipnya adalah suatu disiplin yang mempelajari apa pun yang dapat
digunakan untuk meyatakan suatu kebohongan. Jika sesuatu itu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan
kebohongan, sebaliknya tidak bisa digunakan untuk mengatakan

Anda mungkin juga menyukai