Anda di halaman 1dari 10

TEORI SASTRA SEMIOTIK

Dosen Pengampu:

Dr. Uum Qomariyah, S. Pd., M. Hum.

Disusun oleh:

Nadia Rahmania (2101419042)

Amrita Enggarwati (2101419045)

Yofi Dwi Anggun Saputri (2101419065)

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2020
LATAR BELAKANG

Sebagai wacana sastra, konteks penyampaian makna dari sebuah puisi selalu
disampaikan secara tersirat oleh penyair. Siratan makna terkadang disampaikan dengan
lambang (Semiotik). Pendekatan yang cocok digunakan yakni pendekatan Semiotik, yang
membahas mengenai ikon, indeks, dan simbol dalam sebuah karya sastra.

Terkadang pembaca susah memahami isi maksud yang pengarang sampaikan, namun
ada pula yang bisa langsung menebak maksud pengarang yang disampaikan melalui puisi
tersebut. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh pembaca agar mengetahui makan yang
tersimpan dalam puisi tersebut, salah satunya membacanya berulang-ulang, mencari unsur-
unsur dasar dalam puisi (unsur intrinsik), atau menggunakan teori atau pendekatan dalam
mengkaji karya sastra.

Semiotik adalah teori tentang tanda, ada pula yang mengatakan bahwa ini adalah teori
tentang gaya bahasa. A. Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai
tindakan komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang
mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki, untuk pemahaman gejala susastra
sebagai alat komunikasi yang khas dalam masyarakat.

Semiotik merupakan bahasa yang mencerminkan bahasa sastra yang estetis, sistematis
dan memiliki pluralitas makna ketika dibaca oleh pembaca dalam memberi pemahaman
terhadap teks karya sastra.
A. PENGENALAN TEORI SASTRA SEMIOTIK
1. Pengertian Semiotik
Definisi semiotika dapat dipahami melalui pengertian semiotika yang berasal
dari kata semeion, bahasa asal Yunani yang berarti tanda. Semiotika ditentukan
sebagai cabang ilmu yang berurusan dengan tanda, mulai dari sistem tanda, dan
proses yang berlaku bagi penggunaan tanda pada akhir abad ke-18. J.H. Lambert,
seorang filsuf Jerman yang sempat dilupakan, menggunakan kata semiotika sebagai
sebutan untuk tanda. Ilmu tanda, sistem tanda, serta proses dalam penggunaan tanda
hingga pada taraf pemahaman melalui makna memerlukan kepekaan yang besar.
Makna yang berada dibalik setiap karya sastra atau bahasa, dengan kepekaan tersebut
akan dapat diungkap dan dipahami dengan baik.
Pengertian semiotik yang pernah dikatakan pada catatan sejarah semiotik,
bahwasanya semiotik merupakan ilmu tentang tanda-tanda yang menganggap
fenomena komunikasi sosial atau masyarakat dan kebudayaan. Hal tersebut dianggap
sebagai tanda-tanda semiotik dalam mempelajari sistem-sistem, aturan- aturan dan
konvensi.
Semiotik adalah teori tentang tanda, ada pula yang mengatakan bahwa ini
adalah teori tentang gaya bahasa. A. Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah
tanda sebagai tindakan komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model
sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki, untuk
pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas dalam masyarakat.
Semiotik merupakan bahasa yang mencerminkan bahasa sastra yang estetis, sistematis
dan memiliki pluralitas makna ketika dibaca oleh pembaca dalam memberi
pemahaman terhadap teks karya sastra.
2. Teori semiotik menurut para ahli
a. Charles Sander Pierce (1839-1913), mengemukakan tentang teori segitiga makna :
 Tanda (sign), adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh
pancaindra manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasi)
hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda terbagi menjadi tiga yaitu simbol, ikon,
dan indeks. Simbol adalah tanda yang muncul dari kesepakatan atau konvensi-
konvensi bahasa. Ikon adalah tanda-tanda yang muncul dari perwakilan fisik.
Indeks adalah tanda yang muncul dari hubungan sebab akibat. Dalam
penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan semiotik, tanda berupa
indeks yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan
hubungan sebab-akibat.
 Interpretant atau penggunaan tanda, adalah konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna
yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
 Objek, adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu
yang dirujuk tanda.
b. Ferdinad De Sausure, mengemukakan pembagian tanda menjadi :
 Penanda (Signifer) adalah tanda yang dapat dilihat dari bentuk fisik
 Pertanda (Signifed) adalah makna yang terungkap melalui konsep fungsi atau
nilai-nilai yang terkandung.
c. Rolan Barthes, membagi tanda menjadi dua yaitu :
 Denotasi, yaitu tingkat pertanda yang menjelaskan hubungan penanda dan
pertanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti.
 Konotasi, yaitu tingkat pertanda menjelaskan hubungan penanda dan pertanda
yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan
tidak pasti.
3. Ilmu tanda
Sebagai ilmu tanda, semiotik membagi aspek tanda menjadi penanda
(signifier) dan petanda (signified) dengan pemahaman penanda sebagai bentuk formal
yang menandai petanda, dipahami sebagai sesuatu yang ditandai oleh penanda. Unsur
karya sastra dalam bentuk tanda dibedakan atas ikon, dengan pengertian sebagai tanda
yang memiliki hubungan alamiah antara penanda dan petanda, indeks sebagai tanda
yang bersifat memiliki hubungan kausal antara penanda dan petanda, serta simbol
yang merupakan tanda petunjuk yang menyatakan tidak adanya hubungan alamiah
antara penanda dan petanda, bersifat arbitrer dan ditentukan oleh konvensi
(kesepakatan bersama). Kaitannya dengan bahasa dan sastra (kesusastraan) maka
pendekatan semiotik ditetapkan pada tindakan analisis tanda yang terbaca terhadap
karya sastra terbaca.
Secara struktural, Barthes (1957) menyatakan bahasa atau perangkat yang
digunakan untuk menguraikan bahasa (metabahasa) dan konotasi merupakan hasil
pengembangan dalam cara manusia memaknai tanda. Segala bentuk bahasa yang
dipergunakan dalam membangun karya sastra dengan kandungan makna di dalamnya
akan menjadi sebuah tanda. Dengan demikian, bahasa karya sastra dapat dikatakan
sebagai ikon, indeks, maupun simbol yang disajikan dan dihadirkan dengan makna.
Dan ilmu yang mendasari proses penelusuran dan upaya pemahaman bahasa sebagai
tanda atas makna tertentu yang dimiliki karya sastra disebut dengan semiotika.
4. Bahasa sebagai Tanda
Bahasa merupakan sebuah konservasi atau upaya pengawetan secara teratur
yang terkuat terhadap kebudayaan manusia. Aktivitas kesastraan memiliki kualitas
luas dan kompleks yang memungkinkan munculnya aspek-aspek pembangun
kebudayaan dan bahasa sastra dianggap sebagai sistem model kedua dari bahasa
(Nyoman, 2004:111) seperti yang diintroduksi oleh Lotmann (1977:15) menjadi
sebuah metafora, konotasi dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya. Sehingga bahasa
adalah sistem tanda. Makna yang terkandung di balik kata, frase, maupun kalimat
pada karya sastra menghadirkan pemahaman bahwasanya apa yang hadir merupakan
tanda yang dimiliki oleh petanda.
Menurut North (1990:42), tanda-tanda hadir dalam pikiran penafsir (Noman,
2004:111) yang diinterpretasikan, dan semiotika sebagai ilmu menurut Arthur Asa
Berger (2000), secara definitif mengartikan bahwasanya tanda memiliki hal yang
diwakilinya dengan bahasa metaforis konotatif, hakikat kreativitas imajinatif menjadi
faktor utama karya sastra yang diduga didominasi oleh sistem tanda. Tanda-tanda
sastra dari pemahamannya sebagai tanda terdapat pada teks tertulis, hubungan antara
penulis, karya sastra dan pembaca yang mengatakan karya sastra mengandung makna
tanda-tanda sebagai tanda non verbal yang secara semiotik dihubungkan dengan
ground, denotatum, intepretant sebagai objek nyata yang sejajar dengan penanda
(signifier).
Teks dan konteks atau situasi termasuk dalam faktor unsur kebahasaan yang
dikatakan pula oleh Whorf (1958) bahwasanya bahasa dapat membentuk pikiran dan
mempengaruhi eksternalisasi kebudayaan yang berkaitan dengan pencipta karya
sastra. Rangkaian nilai yang terbaca dan dipahami sebagai pesan (message) secara
implisit disampaikan dalam bentuk lain sebagai tanda. Semiotika sebagai ilmu yang
mengkaji pemaknaan dan kehidupan tanda, mendefinisikan, tanda berkedudukan
sebagai relasi antara ekspresi dan isi yang mewakili, serta ingin disampaikan untuk
dipahami. Untuk itulah, dunia semiotika menganggap bahwasanya bahasa sebagai
salah satu unsur penting pembangun karya sastra merupakan sistem tanda.
5. Kelebihan dan kelemahan Semiotik dalam Menelaah Karya Sastra
a. Kelebihan semiotik dalam menelaah karya sastra :
 Memperindah karya sastra
 Mengetahui keindahan karya sastra
 Dalam penelitian analisisnya lebih spesifik dan komprehensif
 Memberikan pemahaman makna dari simbolik baru dalam membaca karya
sastra
 Kita pembaca minimal mengetahui dua makna yaitu makna bahasa secara
literlag dan makna simbolik (global).
b. Kelemahan semiotik dalam menelaah karya sastra :
 Kurang memperhatikan struktur, mengabaikan unsur intrinsik
 Memerlukan banyak dukungan ilmu bantu lain seperti linguistik, sosiologi,
psikologi, dll
 Perlu kematangan konsep luas tentang sastra wawasan luas, dan teorinya
 Peranan peneliti sangat penting, ia harus jeli, teliti, dan menguasai materi yang
akan diteliti secara totalitas, karena kalau tidak itu tidak terpenuhi maka
makna yang ada dalam teks cenderung kurang tereksplor untuk diketahui oleh
pembaca, justru cenderung menggunakan subjektifitasnya yang menampilkan
itu semua dan itu sangat riskan untuk meneliti dengan teori ini.

B. PENERAPAN SASTRA SEMIOTIK PADA SUATU KARYA SASTRA


Penelitian dilakukan pada suatu pilihan kata yang digunakan Pringadi Abdi Surya
dalam puisi Daun Jendela. Secara umum puisi tersebut mengungkapkan gambaran
perasaan Pringadi Abdi Surya yang mendalam mengenai hal yang dilihatnya.

Ia berharap ada yang membukanya setiap pagi

dan seekor burung gereja yang tersesat

bertengger ramah di punggungnya.


Kutilang yang sering bernyanyi

dan belum belajar cara membuang kotoran.

Ternyata, nyanyian kutilang pun tak sanggup menahan kematian.

Ia tahu, di luar sana, udara semakin berat.

Dan maha hebat Tuhan yang menjinjing matahari.

Sesekali, ia melirik ke dalam kamar, dan

membuang suar lampu yang belum dipadamkan.

Seorang laki-laki tengah mendengkur

dan beradu sakti dengan jam waker.

Dari judul puisi Daun Jendela memiliki makna konotasi atau makna kias.
Kata daun memiliki makna bagian tanaman yang tumbuh berhelai-helai pada ranting.
Namun, kata daun jendela merupakan sebuah makna kias yang berarti papan penutup
jendela.

Diksi yang digunakan oleh Pringadi Abdi Surya menggunakan kata metafora
yang bersimbolik dengan pendeskripsian dari apa yang dilihat oleh Pringadi Abdi Surya.

Analisis I

Ia berharap ada yang membukanya setiap pagi

dan seekor burung gereja yang tersesat

bertengger ramah di punggungnya.

Dalam larik tersebut terdapat tiga diksi yang menggunakan kata yang bermetafor dan
bersimbol yakni,

1. Kata tersesat memiliki makna salah jalan. Dalam larik tersebut kata tersesat ditujukan
kepada seekor burung. Hal itu hanyalah imaji pengarang mengenai apa yang
dilihatnya yang menganggap seekor burung yang hinggap ia katakan seperti sedang
tersesat.
2. Kata ramah memiliki makna baik hati dan menarik budi
bahasanya. Ramah merupakan sebuah kata sifat yang ditujukan kepada manusia,
namun Pringadi Abdi Surya menganggap seekor burung dalam puisinya memiliki
makna yang sama dengan manusia.
3. Kata punggungnya  punggung + -nya.
Punggung memiliki arti bagian belakang tubuh manusia atau hewan. Dalam puisi
Pringadi Abdi Surya kata ganti orang ketiga dalam Kata punggungnya mengacu pada
jendela. Ia mengibaratkan sebuah jendela yang ia lihat memiliki punggung yang
sedang dihinggapi seekor burung.

Penggalan larik dalam puisi Daun Jendela memiliki makna simbolik yakni perasaan imaji
Pringadi Abdi Surya yang seperti mengetahui perasaan jendela yang ingin ada yang
membukanya setiap pagi, dengan di hinggapi seekor burung gereja di atas kusen jendela.

Analisis II

Kutilang yang sering bernyanyi

dan belum belajar cara membuang kotoran.

Ternyata, nyanyian kutilang pun tak sanggup menahan kematian.

Dalam larik tersebut terdapat tiga diksi yang menggunakan kata yang bermetafor dan
bersimbol yakni,

1. Kata bernyanyi memiliki arti mengeluarkan suara yang bernada. Kutilang yang
sedang berkicau diibaratkan sedang bernyanyi dalam Pringadi Abdi Surya.
2. Kata belajar memiliki arti berusaha memiliki kepandaian atau ilmu. Imaji Pringadi
Abdi Surya mengibaratkan kutilang dapat belajar seperti manusia untuk membuang
kotorannya.
3. Kata kematian memiliki arti proses kehilangan nyawa. Kematian yang dimaksud oleh
Pringadi Abdi Surya berkonteks pada jendela. Ia mengimajinasikan bahwa jendela
memiliki nyawa dan sedangkan di ambang kematian. Makna yang tersembunyi di
dalamnya yakni usia jendela kamar yang sudah tua.
Penggalan larik tersebut memiliki makna simbolik yakni Pringadi Abdi Surya seolah tau
jika kicauan burung kutilang dapat memperkuat jendela, namun tidak. Jendela adalah
makhluk tak hidup dan tidak akan pernah hidup.

Analisis III

Ia tahu, di luar sana, udara semakin berat.

Dan maha hebat Tuhan yang menjinjing matahari.

Dalam larik tersebut terdapat dua diksi yang menggunakan kata yang bermetafor dan
bersimbol yakni,

1. Kata berat menyatakan suatu ukuran. Pringadi Abdi Surya mengibaratkan bahwa
udara memiliki berat.
2. Menjinjing matahari. Pringadi Abdi Surya mengimajinasikan bahwa matahari ada
yang menjinjing. Padahal matahari berotasi sehingga timbullah siang dan malam.

Penggalan larik tersebut memiliki makna simbolik yakni Pringadi Abdi Surya
menganggap jendela (dalam teks : Ia) mengetahui keadaan di luar rumah yang sedang
terjadi angin besar, oleh karena itu Pringadi Abdi Surya menyimbolkan sebagai udara
semakin berat.

Analisis IV

Sesekali, ia melirik ke dalam kamar, dan

membuang suar lampu yang belum dipadamkan.

Seorang laki-laki tengah mendengkur

dan beradu sakti dengan jam waker.

Dalam larik tersebut terdapat tiga diksi yang menggunakan kata yang bermetafor dan
bersimbol yakni,

1. Kata melirik memiliki makna melihat dengan tajam ke samping. Pringadi Abdi Surya
menggunakan kata Ia menunjukkan pelaku tindakan (melirik) adalah jendela, karena
konteks dari puisi Pringadi Abdi Surya adalah jendela. Secara normal, jendela tidak
memiliki mata, hanya saja Pringadi Abdi Surya mengimajinasikan apa yang ia lihat
seperti jendela dengan memiliki mata.
2. Kata membuang memiliki simbol mengantarkan cahaya. Karena sifat cahaya adalah
menekan ke segala arah. Di situ Pringadi Abdi Surya mendeskripsikan bahwa jendela
tersebut dengan membuang cahaya, namun ia dalam posisi terbuka dan cahaya dalam
kamar keluar melalui jendela.
3. beradu sakti dengan jam waker memiliki arti simbolik yakni tidur malam.

DAFTAR PPUSTAKA

Ambarini, Umaya N.M. (2012). Semiotika, Teori dan Aplikasinya dalam Karya Sastra.
Semarang: IKIP PGRI Semarang Press.

Mardhotillah, Ayu Amaliyah (2012, 11 September). Analisis Pendekatan Semiotik. Dikutip 4


April 2020 dari: https://reinvandiritto.blogspot.com/2012/09/analisis-pendekatan-
semiotik-dalam.html

http://bastraindonesia.blogspot.com/2012/11/semiotik-sastra_24.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai