Anda di halaman 1dari 18

KARAKTERISTIK STRUKTURAL-SEMIOTIK

PUISI-PUISI KARYA D. ZAWAWI IMRON


Muakibatul Hasanah
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
email: muakibatulhasanah@yahoo.co.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan karakteristik struktural-semiotik puisi-
puisi karya D. Zawawi Imron. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif
hermeneutis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik struktural puisi-puisi
karya D. Zawawi Imron ditandai (1) diksinya meliputi penggunaan kata-kata konkret
dan konotatif terkait lingkungan alam, sosial, dan spiritual (2) majas terbanyak metafora,
diikuti personifikasi, dan sedikit simile; (3) dengan gaya bahasa deskriptif, parafrastis,
paradoks, simbolik, klimaks dan ironi; dan (4) citraan taktil, visual, dinamik, dan
auditif. Diksi berkontribusi terhadap penciptaan majas dan gaya bahasa dan keduanya
menyumbang terciptanya citraan. Karakteristik semiotiknya berkaitan dengan kenyataan
empirik sebagai berikut: (1) sebagian besar teks puisi merupakan indeks, (2) sebagian
kecil teks puisi merupakan ikon, dan (3) tidak terdapat teks puisi merupakan simbol.
Pada hubungan judul dan isi teks: judul sebagai indeks dan sebagai ikon bagi isi teks,
sedangkan simbol hanya berwujud kata/frase metaforik.
Kata kunci: karakteristik, struktural-semiotik, kajian puisi

STRUCTURAL-SEMIOTIC CHARACTERISTICS OF
D. ZAWAWI IMRON’S POEMS
Abstract
This study aims to describe structural-semiotic characteristics of D. Zawawi Imron’s
poems. This study employed a qualitative descriptive hermeneutic analysis. The findings
show that D. Zawawi Imron’s poems are characterized by (1) the diction comprising the use
of concrete and connotative words related to natural, social, and spiritual environments; (2)
figures of speech dominated by metaphors, followed by personifications and similes; (3)
descriptive, periphrastic, paradoxical, symbolic, climactic, and ironical language styles; and
(4) tactile, visual, dynamic, and auditory imagery. The diction contributes to the creation
of figures of speech and language styles and both contribute to the imagery creation. The
semiotic characteristics are related to empirical facts as follows: (1) most poems are indices,
(2) few poems are icons, and (3) no poem is a symbol. In the relationship between titles
and contents of the poems, the titles serve as indices and icons for the contents, while
symbols are only metaphorical words/phrases.
Keywords: characteristics, structural-semiotic, study of poems

PENDAHULUAN akan bentuk-bentuk analisis puisi yang


Tujuan pengkaji puisi dalam menelaah objektif dan dapat dipertanggungjawab-
atau mengkaji puisi adalah untuk menerje- kan serta diperiksa ulang keabsahannya.
mahkan pengalaman sastranya dalam ba- Penilaian yang mengikuti atau menjadi
hasa ilmiah atau menjabarkannya dalam bagian dari pengkajian sastra hendaknya
uraian yang jelas dan rasional (Wellek dan didasari metode sastra yang murni kare-
Warren, 1990:3). Kajian puisi secara ilmiah na karya sastra (puisi) memiliki kaidah-
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kaidahnya sendiri (Pradopo, 2007).

269
270

Untuk memenuhi tuntutan tersebut, Makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya


kajian atau penelitian puisi selayaknya di- dapat dipahami dalam keterkaitannya de-
landasi paradigma secara jelas. Paradigma ngan unsur-unsur lain. Sebagaimana sifat
diartikan oleh Aminuddin (1990) sebagai utama bahasa pada umumnya, sifat utama
seperangkat wawasan yang digunakan puisi sebagai sistem tanda ialah sifat ra-
sewaktu menangkap, menggarap, dan sionalnya, yang berarti bahwa keseluruh-
menjelaskan suatu gejala. Lebih lanjut di- an relasi atau oposisi antara unsur-unsur
jelaskannya bahwa paradigma memiliki: dan aspek-aspek harus dipahami lebih
(i) matra yang merujuk pada wawasan dahulu sebelum menelusuri perubahan-
yang berkaitan dengan nilai, anggapan nya. Kajian struktural bertujuan untuk
dasar, teori, maupun konsep metodologi; membongkar dan memaparkan dengan
(ii) matra yang merujuk pada model cermat, telliti, detil, dan mendalam keter-
yang berperan dalam menangkap dan kaitan semua unsur yang bersama-sama
menjelaskan suatu gejala sesuai dengan menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,
fokus yang telah ditetapkan. Dengan 1988:135; Pradopo, 1993:120).
paradigma yang jelas, kajian puisi akan Dalam kajian struktural, analisis tidak
menghasilkan suatu kreasi subjektif berhenti pada identifikasi unsur-unsur yang
yang disistematisasikan sebagai upaya terlepas. Lebih dari itu, analisis struktural
mendekati objektivitas. harus menjelaskan pula hubungan setiap
Pendekatan objektif yang didasarkan unsur dalam membentuk keseluruhan
pada pandangan strukturalisme mene- makna. Misalnya, gejala bunyi diseman-
kankan pada hakikat karya sastra sebagai tikkan, diberi makna melalui interaksinya
struktur (dunia) yang otonom. Karya sas- dengan gejala makna-makna kata dan
tra dipandang sebagai keseluruhan yang sebaliknya. Dalam hal ini tidak dibedakan
bagian-bagiannya bertalian. Kajian struk- antara bentuk dan isi. Kajian yang secara
tural dalam puisi adalah kajian yang khusus melihat makna atau isi adalah kaji-
melihat bahwa unusr-unsur puisi saling an semiotik.
berhubungan saling menentukan arti- Semiotik atau semiotika secara umum
nya. Asumsi yang mendasari pendekatan diartikan sebagai ilmu yang memperlajari
struktural adalah bahwa karya sastra tanda-tanda (Trabaut, 1996). Klaus Buhr
(puisi) merupakan sebuah struktur. Karya (dalam Trabaut, 1996) membatasi semiotik
sastra merupakan susunan unsur-unsur sebagai teori umum mengenai tanda-tanda
yang bersistem, yang unsur-unsurnya bahasa. Van Zoest (1992) mendefinisikan
membentuk hubungan timbal balik (Pra- semiotik sebagai studi tentang tanda dan
dopo, 1993, 2009). Tynjanov memandang segala yang berhubungan dengan tanda-
karya sastra sebagai sebuah sistem dan tanda lain, pengirimannya, dan peneri-
menekankan fungsi berbagai unsur dalan maannya oleh mereka yang memperguna-
sistem itu (Luxemburg, 1986:204). kannya. Semiotik ialah ilmu yang secara
Puisi sebagai salah satu bentuk karya sistematik mempelajari tanda-tanda dan
sastra dalam strukturalisme ortodok di- lambang-lambang, sistem lambang, dan
pandang sebagai objek yang otonom, lepas proses perlambangan. Dalam pandangan
dari ikatan konteks, ruang, dan waktu; dan semiotik, karya sastra merupakan sistem
tidak memiliki makna secara instrinsik tanda sekunder (Luxemburg, 1986:44;
(Aminuddin, 1990). Pendekatan struktural Pradopo 1993:122).
diturunkan dari pandangan Ferdinand de Semiotik dibedakan oleh van Zoest
Saussure tentang bahasa (Teeuw, 1988). (1992) atas: semiotik sintaksis, semiotik se-
Berdasarkan pandangan de Saussure puisi mantik, dan semiotik pragmatik. Semiotik
dapat dipandang sebagai sistem sinkronik. sintaksis adalah semiotik yang memusat-

LITERA, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013


271

kan pada hubungan tanda-tanda dengan kan gejala komunikasi yang berkaitan
acuannya dengan dan dengan interpretasi dengan pengarang, karya sastra sebagai
yang dihasilkannya. Semiotik pragma- sistem tanda, dan pembaca. Kedua, karya
tik adalah semiotik yang memusatkan sastra merupakan salah satu bentuk peng-
hubungan antara tanda dengan pengirim gunaan sistem lambang yang memiliki
dan penerimaannya. Zoest menyarankan struktur. Ketiga, karya sastra merupakan
agar dalam penelitian ketiga jenis semio- fakta yang harus direkonstruksi pembaca
tik tersebut digunakan semuanya. sesuai dengan pengalaman dan pengeta-
Puisi merupakan struktur tanda yang huan yang dimilikinya.
bermakna dan bersistem (Pradopo, 1993, Dalam membuat kajian, diperlukan
2007). Dalam pandangan ini sastra merupa- model kategori yaitu klasifikasi masalah
kan sebuah sistem tanda sekunder. Semio- yang bertolak dari model generalisasi sim-
tika sastra mempelajari bahasa yang di- bolik. Penerapan model dalam kajian ini
pakai dalam sastra (Luxemburg, 1986). menurut Aminuddin (1997) merupakan
Salah satu semiotik sastra dikembangkan perpaduan model kajian semiotik dengan
berdasarkan semiotik ala Peirce. Peirce kajian strukturalisme puitik model Culler.
memilah tiga fakta yang menentukan Kategori simboliknya meliputi: persona,
adanya sebuah tanda, yaitu (i) tanda itu deiksis, unsur pembentuk struktur dan
sendiri, (ii) hal yang ditandai, dan (iii) ciri relasi sintaksisnya, aspek semantis,
sebuah tanda baru yang terjadi dalam dan unit tematis, motivasi penutur serta
batin si penerima. Tanda tersebut meru- naturalisasi. Model kategori yang lain
pakan suatu gejala yang dapat diserap dikembangkan Roman Ingarden yang
melalui penafsiran. Antara tanda pertama meliputi: lapis bunyi, lapis makna, gam-
dan apa yang ditandai terdapat suatu baran objek, aspek pembentuk teks, dan
hubungan representasi (mewakili). Unsur unit tematis. Atau model Richard yang
dari kenyataan yang diwakili oleh tanda meliputi: sense, feeling, tone, subject matter,
dinamakan objek atau denotatum. Tanda dan invention.
dan representasi membentuk interpretasi- Pengkajian puisi senantiasa dilakukan
tanda baru yang dibayangkan oleh pene- dari waktu ke waktu mengingat “sepan-
rima tanda. jang zaman puisi mengalami perubahan
Pradopo (1993, 2007) menjelaskan dan perkembangan” (Pradopo, 1993:3).
bahwa puisi sebagai sistem semiotik Perubahan dan perkembangan puisi juga
(sistem tanda) dikaji dalam kerangka tidak terlepas dari proses kreatif yang
semiotik pula. Dalam kerangka semiotik ditempuh penyairnya. Bertolak dari
pengkaji (i) menghubungkan puisi de- pengertian puisi yang berarti “membuat”
ngan penafsiran pembaca dan pengarang, atau “pembuatan”, maka dimungkinkan
(ii) menghubungkan puisi sebagai lam- seorang penyair mampu menciptakan
bang dengan sesuatu yang dilambangkan, dunia tersendiri yang mungkin berisi
(iii) menghubungakn penafsiran pembaca pesan atau gambaran suasana tertentu
dan pengarang dengan sesuatu yang di- (Aminuddin, 1987: 134). Kreativitas pe-
lambangkan. Dalam pandangan semiotik, nyair mendorong dilaksanakannya pem-
puisi merupakan fakta yang mengan- baruan (inovasi) sekalipun dalam hal-hal
dung makna yang tidak secara langsung tertentu tidak meninggalkan konvensi
oleh penyair (bandingkan Aminuddin, yang lazim dalam puisi.
1997:84). Selain itu, perubahan puisi mengikuti
Menurut Aminuddin (1997), wawasan perubahan selera dan konsep estetika ten-
semiotik dalam kajian sastra memiliki 3 tang puisi. Perubahan selera dan konsep
asumsi. Pertama, karya sastra merupa- estetika puisi mewujud dalam perubahan

Karakteristik Struktural - Semiotik Puisi-puisi Karya D. Zawawi Imron


272

struktur puisi yang meliputi bunyi, diksi, Dalam kepenyairannya, Zawawi di-
majaz, citraan dan gaya bahasa (Aminud- kenal sebagai penyair yang setia pada
din, 1987). Perubahan yang demikian juga kepenyairannya. Zawawi merupakan pe-
terjadi pada puisi-puisi D. Zawawi Imron. nyair yang produktif. Dalam kurun waktu
Puisi-puisi yang ditulis Zawawi pada 70-an sampai sekarang tidak kurang dari
dekade 70-an secara struktural berbeda 30 kumpulan puisi telah dihasilkannya.
dengan puisi-puisi yang ditulisnya pada Beberapa puisinya pernah mendapatkan
tahun 90-an. Perubahan struktur puisi penghargaan nasional. Sebagai penyair
Zawawi selain dipengaruhi oleh faktor yang lahir, tinggal dan berkarya di Jawa
selera dan konsep estetika puisi, juga Timur, karya-karyanya dikenal luas oleh
dipengaruhi oleh perubahan orientasi peminat puisi di Indonesia. Puisi-puisi
Zawawi terhadap lingkungan alam mau- Zawawi menggambarkan kedekatan-
pun lingkungan sosial. Dalam bata-batas nya dengan alam, masyarakat, sekaligus
tertentu interaksi Zawawi dengan ling- menggambarkan kedekatannya dengan
kungannya berpengaruh terhadap pen- Sang Pencipta.
ciptaan puisinya. Dari interaksi berkem- Kajian struktural-semiotik yang diper-
bang ke internalisasi dalam kehidupan kenalkan oleh Pradopo (1993) atas isi
Zawawi ke dalam puisi-puisinya. puisi-puisi D. Zawawi Imron bermanfaat
Berdasarkan penelitian sebelumnya dalam memenuhi kebutuhan akan model
yang dilakukan Saryono dkk. (1998) de- dan hasil kajian puisi untuk keperluan
ngan judul Karakteristik Sastra Indonesia pengajaran, terutama untuk mahasiswa
Karya Penulis Jawa Timur yang salah satu- yang menempuh matakuliah kajian/telaah
nya menghasilkan paparan karakteristik puisi. Oleh karena itu, penelitian terhadap
puisi-puisi karya penyair Jawa Timur, puisi-puisi D. Zawawi Imron dengan
diketahui bahwa puisi-puisi D. Zawawi model kajian struktural-semiotik secara
Imron tergolong ke dalam puisi yang kaya khusus perlu dilakukan.
secara struktural. Penataan bunyinya ter- Beradasarkan hasil penelitian terda-
jaga, kata-katanya terpilih, kaya akan ma- hulu oleh Saryono dkk. (1998) dan kebu-
jas, dan padat citraannya. Temuan yang tuhan akan model serta hasil kajian puisi
hanya didasarkan pada beberapa puisi bagi pengajaran puisi, maka penelitian ini
Zawawi tersebut tentu saja belum meng- difokuskan pada karakteristik struktural-
gambarkan perubahan dan karakteristik semiotik puisi-puisi karya D. Zawawi
struktur puisi Zawawi secara lengkap dan Imron. Secara umum masalah penelitian
utuh. Oleh karena itu, puisi-puisi Zawawi ini adalah, “Bagaimanakah karakteristik
perlu dikaji secara struktural. struktural-semiotik puisi-puisi karya D.
Selain menarik untuk dikaji secara Zawawi Imron?”.
struktural, puisi-puisi Zawawi juga me- Sebagai struktur otonom, puisi di-
narik untuk dikaji secara semantis (semio- pandang memiliki unsur-unsur struk-
tis). Pada dasarnya antara struktur dan isi tural yang meliputi tipografi, persajakan,
atau makna tidak dapat dipisahkan. Dari pencitraan, diksi, majaz, dan gaya bahasa
kajian struktural dapat tergambarkan (Waluyo, 1992; Badrun, 1990). Sebagai
perubahan struktur bunyi, majas, citraan, sistem tanda (semiotik) puisi memiliki
dan gaya bahasa, sedangkan dari kajian satuan-satuan ikon, dan simbol yang ter-
semiotik dapat tergambarkan perubahan dapat dalam kategori simbolik: persona
makna, isi, atau pesan di balik struktur deiksis, aspek dan relasi sintaksis, aspek
tersebut. semantis, dan satuan tematis puisi (Tra-
baut, 1996, Aminuddin, 1997).

LITERA, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013


273

METODE Berdasarkan sigi pendahuluan, secara


Berdasarkan tujuannya, rancangan proporsional ditentukan jumlah puisi
penelitian ini menggunakan rancangan sebagai sumber data. Adapun puisi-puisi
penelitian ex post facto dengan analisis yang dijadikan sumber data penelitian ini
deskriptif kualitatif hermeneutis ala terdiri atas 25 puisi dengan rincian:
Ricour (1970). Dikatakan demikian karena A. Bulan Tertusuk 57 5
secara kualitatif interpretatif penelitian ini Ilalang
mencoba mendeskripsikan karakteristik B. Nenek Moyangku 67 6
puisi–puisi D. Zawawi Imron. Selain itu, Air Mata
juga karena data penelitian ini bersifat C. Celurit Emas 30 3
ideografis berupa paparan bahasa yang D. Derap-derap Tasbih 19 2
membangun wacana puisi, bukan berupa E. Berlayar di Pamor Badik 28 5
angka-angka (Spradley, 1987). F. Bantalku Ombak 48 4
Data penelitian ini meliputi data ten- Selimutku Angin
tang (i) karakteristik struktural puisi-puisi Jumlah 25
karya D. Zawawi Imron dilihat dari unsur:
diksi, majas, citraan, dan gaya bahasa, dan Instrumen dalam pengumpulan data
(ii) karakteristik semiotik puisi-puisi D. penelitian berupa Instrumen 01 pengum-
Zawawi Imron dilihat dari ikon, indeks, pul data karakteristik struktural puisi dan
simbol dalam kategori simboliknya. Wu- Instrumen 02 pengumpul data karakter-
jud datanya berupa paparan-paparan ba- istik semiotik puisi. Pengumpulan data
hasa atau paparan verbal yang memben- dilakukan dengan teknik studi doku-
tuk wacana puisi. Keabsahan data diuji mentasi atau kajian kepustakaan dengan
dengan (i) ketekunan pembacaan sumber disertai pemahaman secara mendalam
data secara cermat, teliti dan berulang- dan interpretatif (Geertz, 1991).Teknik
ulang, (ii) pengecekan sejawat/tim peneliti tersebut diwujudkan dengan membaca se-
yang diwujudkan dalam bentuk diskusi cara kritis-evaluatif puisi-puisi D. Zawawi
dengan tim teliti, (iii) penyigian berbagai Imron sampai titik jenuh sehingga dipero-
pustaka dan dokumen untuk memperoleh leh pemahaman dan pemerian arti yang
kecukupan rujukan. mendalam.
Sumber data penelitian ini ialah puisi-
puisi D. Zawawi Imron yang sudah diter- HASIL DAN PEMBAHASAN
bitkan dalam bentuk kumpulan puisi- Hasi analisis atas puisi-puisi Zawawi
mulai dasawarsa 1960-an sampai dengan dipilah dan dipaparkan atas karakteristik
dasawarsa 1990-an—yang representatif struktural dan karakteristik semiotik.
sebagai sumber data. Secara proporsional Karakteristik struktural puisi-puisi karya
jumlahnya ditetapkan setelah dilakukan D. Zawawi Imron dilihat dari unsur: diksi,
sigi pendahuluan terhadap puisi-puisi majaz, citraan, dan gaya bahasa. Karak-
karya D. Zawawi Imron. Penentuan sum- teristik semiotik puisi-puisi D. Zawawi
ber data ini dikerjakan dengan teknik Imron dilihat dari ikon, indeks, simbol
penyampelan kementakan (probability dalam kategori simboliknya. Berikut pa-
sampling) (Kripendoff, 1981), yaitu pe- paran yang dimaksud.
nyampelan yang menyandarkan diri pada
terwakilinya populasi puisi-puisi karya Karakteristik Struktural Puisi-puisi D.
D. Zawawi Imron pada setiap kumpulan Zawawi Imron
puisinya sehingga diperoleh data yang Paparan hasil analisis structural puisi-
proporsional tentang karakteristik struk- puisi Zawawi dimulai dari sajian contoh
turalsemiotik puisi-puisi karya D. Zawawi analisis yang mewakili puisi Zawawi
Imron.

Karakteristik Struktural - Semiotik Puisi-puisi Karya D. Zawawi Imron


274

dari periode 60-an, 70-an, 80-an, dan 90- “Muhammad” adalah puisi yang ter-
an. Berikutnya dipaparkan hasil analisis diri atas 22 larik yang terbagi atas 5 bait:
kualitatif-kuantitatif puisi Zawawi. bait pertama 5 larik, bait kedua 7 larik,
bait ketiga 4 larik, bait keempat 3 larik,
Puisi “Muhammad” (1) dan bait kelima 3 larik. Di dalamnya ba-
MUHAMMAD nyak digunakan kata-kata konkret: “kasih,
jantung, dunia, mesra, berayun, umpat,
Muhammad itu menggeliat, bisu, rindu, kefasihan, dan
dengan lembut sahdu bergema”. Penggunaan kata konkret da-
dan bulu-bulu mata yang menggetar- lam ungkapan majasi tampak pada larik
kan keempat—kelima, “dunia sangat besar,
kasih yang sangat besar turun di jantung bumi’ yang menghasilkan
turun di jantung bumi personifikasi dan metafora; “kasih yang
sangat mesra berayun/pada ujung lidahnya”
Ya, Muhammadlah itu pada larik ketujuh—kesembilan, serta “se-
dunia yang sangat mesra gala umpat segala khianat/hanya menggeliat
berayun dan tersungkur/di hadapannya” pada larik
pada ujung lidahnya kesepuluh—kedua belas menghasilkan
segala umpat segala khianat personifikasi.
hanya menggeliat dan tersungkur Selain itu, kesemua ungkapan majasi
di hadapannya tentang pribadi Muhammad pada bait 2-4
dikontraskan dengan perilaku aku lirik
Dengan ramahnya dibukanya pada bait 5. Dari ungkapan-ungkapan
bagi segenap umat manusia majasi tersebut terbentuk citraan dinamik
sebuah wilayah jiwa (kasih… turun, dunia … berayun, umpat …
yang tak pernah kematian cahaya menggeliat) dan citraan auditif (kefasihanku
… bergema). Paparan selengkapnya karak-
Muhammad ia teristik struktural puisi “Muhammad”
yang menunjukkan aneka keindahan dapat dilihat pada Tabel 1.
sejati
hingga aku bisu di warna rindu Puisi “Di Gubuk Daun Kelapa” (5)

Kefasihanku DI GUBUK DAUN KELAPA


hanya bergema di hati gubuk daun kelapa di kebun kelapa
selalu hujan gerimis memaksaku singgah
1966 ke sana

Tabel 1. Karakteristik Struktural Puisi “Muhammad”

LITERA, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013


275

seorang wanita sekurus anjingnya Kata kemarau juga dipersonifikasikan


ada danau di balik keningnya menjadi “bisik kemarau”.
yakinlah aku, bahwa ia seperti aku Selain itu, digunakan pula bentuk
dating dari negeri jauh simile pada larik ketiga, “seorang wanita
membawa bisik kemarau sekurus anjingnya” yang dirangkai dengan
dan keakraban tak terelakan bentuk metafora pada larik keempat, “ada
begitu kusebutkan angin musim danau di balik keningnya”.
semi Dari penciptaan ungkapan majazi
begitu kukabarkan ranggas daunan tersebut terbentuk citraan taktil (gerimis
memaksaku, gerimis … tetesan yang lain),
lalu selesailah gerimis citraan auditif (bisik kemarau), dan citraan
tapi tak selesai arus biru visual (wanita sekurus anjingnya).
yang mengalir dari pusat rongga Pada awal bait kedua dinyatakan dua
karena di balik hutan babatan hal dengan gaya bertentangan,
menungguku seribu soal lalu selesailah gerimis
tapi tak selesai arus biru
kuucapkan selamat tinggal yang mengalir dari pusat rongga
di luar gubuk ia berbisik.
-gerimis yang jatuh nanti Ada paradoks antara “selesailah geri-
Mungkin tetesan yang lain lagi mis” dengan “tak selesai arus biru”.
1976 Paparan selengkapnya karakteristik
struktural puisi “Di Gubuk Daun Kelapa”
“Di Gubuk Daun Kelapa” adalah, dapat dilihat pada Tabel 2.
puisi yang terdiri atas 19 larik yang terbagi
ke dalam 3 bait. Bait pertama merupakan Puisi “Zikir” (18)
larik panjang yang berisi 10 larik, bait
kedua 5 larik, dan bait ketiga 4 larik. ZIKIR
Pada puisi tersebut digunakan kata-
kata konkret “gerimis, danau, kemarau” alif, alif, alif!
dalam rangkaian ungkapan majazi. Kata alifmu pedang di tanganku
gerimis muncul dalam bentuk perso- susuk di dagingku, kompas di ha-
nifikasi “hujan gerimis memaksaku singgah tiku
ke sana” dan dalam bentuk metafora da- alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi
lam larik berikut, belut
-gerimis yang jatuh nanti hilang jadi angan, tinggal bekas me-
Mungkin tetesan yang lain lagi netaskan

Tabel 2. Karakteristik Struktural Puisi “Di Gubuk Daun Kelapa”

Karakteristik Struktural - Semiotik Puisi-puisi Karya D. Zawawi Imron


276

terang susuk di dagingku, kompas di ha-


hingga aku tiku
berkesiut alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi
pada belut
angin kecil hilang jadi angan, tinggal bekas me-
takdir netaskan
Mu
hompimpah hidupku, hompimpah Dari penggunaan ungkapan-ung-
matiku, kapan majasi tersebut terbentuklah se-
hompimpah nasibku, hompimpah, jumlah citraan visual, taktil dan citraan
hompimpah hompimpah! dinamik.
kugali hatiku dengan linggis alifmu Kata-kata: “hati, linggis, mataair”
hingga lahir mata air, jadi sumur, jadi digunakan dalam larik-larik,
sungai, Kugali hatiku dengan linggis alifmu
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta Hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi
gelombang sungai,
menyerang menyebut alifmu
alif, alif, alif! Rangkaian kata: “mataair, sumur, sun-
gai, laut dan samudra” merupakan bentuk
alifmu yang Satu penggunaan gaya bahasa klimaks. Selain
tegak di mana-mana klimaks, digunakan pula gaya bahasa
1983 repetisi pada alif. Paparan selengkapnya
karakteristik struktural puisi “Zikir” da-
“Zikir” adalah puisi yang terdiri atas pat dilihat pada Tabel 3.
21 larik yang terbagi ke dalam 3 bait. Bait
pertama 12 larik, kedua 7 larik, dan ketiga Puisi “Di Mesjid Katangka” (23)
2 larik. DI MESJID KATANGKA
Di dalamnya banyak digunakan kata
konkret dalam ungkapan-ungkapan Daun-daun kelapa terus melambai
majasi. Kata-kata: “alif, pedang, susuk, di luar
kompas, cagak, belut, angan, bekas, dan seperti bendera dalam perang
terang” digunakan dalam larik-larik yang Sehabis kusentuh dahiku
membentuk bait majazi. di lantai
alif, alif, alif! Kuingat benteng dalam diri
alifmu pedang di tanganku kemana nurani ini mengalirkan api

Tabel 3. Karakteristik Struktural Puisi “Zikir”

LITERA, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013


277

Perang memang sudah lama selesai metafora yang terjadi pada “air mata”,
tapi mengapa “bunga”, dan “kehijauan”,
di langit masih membias airmata? Perang memang sudah lama selesai
Bunga-bunga mengaduh dilepaskan tapi mengapa
tangkai di langit masih membias airmata?
Pada hal untuk yang bernama kehi- Bunga-bunga mengaduh dilepaskan
jauan tangkai
Hasanuddin bangkit Pada hal untuk yang bernama kehi-
sampai disebut Ayam Jantan dari jauan
Timur Hasanuddin bangkit
………………………………………..
Di mesjid ini kubayangkan lagi
Destar yang menjulang mengalahkan Larik-larik yang berisikan majaz metafora
angkasa terlihat pada larik keenam belas—kesem-
“Karaeng, o, Karaeng! bilan belas,
Di mataku, kumismu itu badik “Karaeng, o, Karaeng!
dan jenggotmu tombak berombak Di mataku, kumismu itu badik
Namun hatimu tetap Melati dan jenggotmu tombak berombak
Namun hatimu tetap Melati
“Di Mesjid Katangka” adalah puisi
yang terdiri atas 19 larik terbagi ke dalam Majas personifikasi dibentuk dengan
3 bait. Bait pertama 6 larik, bait kedua 7 kata “daun” dan “bunga” pada larik
larik, dan bait ketiga 6 larik. “Daun-daun kelapa terus melambai di luar”,
Kata konkret muncul dalam kesatuan dan larik “Bunga-bunga mengaduh dilepas-
hubungan “bendera”, “perang”, “ben- kan tangkai”. Dalam kutipan tersebut
teng”, “api”, “airmata”, “bunga”, “ke- juga tampak adanya pertentangan dan
hijauan”, “Hasanuddin”, dan “melati”. gaya tutur langsung sebagai gaya bahasa
Kata “daun” dan “bendera” diserupakan untuk menguatkan pesan. Penggunaan
sehingga membentuk simile.Beberapa ungkapan majasi tersebut membentuk ci-
kata dari kata-kata konkret “benteng” dan traan dinamik, visual, auditif, dan citraan
“api” digunakan sebagai ungkapan majazi taktil. Gaya bahasa yang lain adalah gaya
yang membentuk metafora, sebagaimana Tanya retoris “tapi mengapa di langit masih
tampak pada larik-larik berikut. membias air mata?” Paparan selengkapnya
Kuingat benteng dalam diri karakteristik struktural puisi “Di Mesjid
kemana nurani ini mengalirkan api Katangka” dapat dilihat pada Tabel 4.
………………………………………
Tabel 4. Karakteristik Struktural Puisi “Di Mesjid Katangka”

Karakteristik Struktural - Semiotik Puisi-puisi Karya D. Zawawi Imron


278

Berdasarkan analisis kategorial Haley Paparan di atas menunjukkan ba-


(dalam Wahab, 1992) atas penggunaan gaimana penyair berinteraksi dengan
kata-kata konkret dan konotatif dalam lingkungannya. ”Being” sebagai kategori
puisi-puisi karya D. Zawawi Imron terbesar yang digunakan oleh penyair
diperoleh 9 kategori penggunaan.Peran untuk mewadahi konsep yang abstrak
kategori penggunaan kata dapat dilihat dari pengalamannya. Abstraksi pengala-
dalam hubungannya dengan penciptaan man dapat dilakukan oleh penyair yang
majaz dalam puisi. Pilihan kata oleh rajin merenung, berpikir, dan menghayati
penyair merupakan hasil interaksinya berbagai pengalamannya dalam mem-
dengan lingkungan hidupnya. Pada puisi- persepsi lingkungannya. Zawawi tergo-
puisi D. Zawawi Imron terlihat sebaran long penyair yang demikian, sebagaimana
frekuensi diksi pada semua kategori yang pengakuan yang diberikannya. Oleh
ditawarkan oleh Haley sebagaimana tam- karena itu, hal seperti itu sangat mungkin
pak pada Tabel 5. dilakukan oleh Zawawi.
Kata dalam kategori dengan terba-
Tabel 5. Sebaran Frekuensi Penggunaan nyak kedua adalah “human”.Besarnya
Kata dalam Majas persentase frekuensi kategori tersebut
dimungkinkan oleh kepedulian penyair
terhadap sesamanya. Zawawi berang-
gapan bahwa kehidupan orang-orang di
sekitarnya merupakan bagian dari keber-
samaan dengan dirinya sebagai makhluk
sosial tanpa mengabaikan makhluk di
luar manusia sebagaimana tampak dalam
kategori-kategori yang lain).
Berimbangnya persentase frekuensi
penggunaan kata dalam kategori “object”
dan “living” menunjukkan keseimbang-
an yang dimiliki penyair dalam melihat
fenomena benda abiotik (“object”) dan
benda biotik (“living”) di lingkungannya.
Berdasarkan sebaran frekuensi terlihat Keseimbangan yang sama juga tampak
bahwa penyair menggunakan kata-kata dari penggunaan kata dalam kategori
yang berasal dari ruang persepsi penyair “cosmos” dan “animate” dengan persentase
terhadap lingkungannya untuk mencipta- yang lebih kecil. Keduanya menunjukkan
kan 124 majas dengan urutan sebagai beri- pola keseimbangan yang sama dalam
kut. Pertama penyair paling banyak meng- melihat fenomena alam raya yang jauh
gunakan kata dalam kategori “being” (“cosmos”) dan fenomena alam tetumbuh-
yakni 20,76% untuk lambing kiasan. an yang dekat dengan penyair.
Urutan kedua diduduki oleh “human” Adapun penggunaan kata dalam
yakni 14,51%. Urutan ketiga “object” dan kategori “terrestrial” dengan persentase di
“living”, masing-masing 12,90%. Urutan atas 10% menunjukkan bentuk keakraban
keempat “terrestrial”, dengan persentase penyair dengan kawasan daratan dan
11,29%. Urutan kelima diduduki “cos- lautan yang dekat dengan tempat ting-
mos” dan “animate” yang masing-masing galnya. Rendahnya persentase frekuensi
8,87%. Adapun “substansi” dan “energy” penggunaan kata dalam kategori “sub-
berturut-turut menduduki urutan keenam stansi” dan “energy” dimungkinkan oleh
dan ketujuh dengan persentase 5,64% dan kurangnya pemahaman dan pengenalan
3,22%.

LITERA, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013


279

penyair terhadap kedua fenomena alam tandus, kering, dan penuh dengan tanah
tersebut. perbukitan berbatu. Lautnya terkenal ga-
Dengan demikian dapat dikatakan nas. Pohon yang banyak tumbuh adalah
bahwa Zawawi secara berimbang me- pohon siwalan. Pada musim kemarau air
manfaatkan segala potensi alam yang sangat sulit didapatkan.
melingkunginya dalam semua kategori Secara keseluruhan terlihat bahwa
untuk menciptakan majas. Hal itu dapat penggunaan kata memberi konstribusi
dipahami jika dikaitkan dengan tempat pada terciptanya majas dan penggunaan
tinggalnya. Tepatnya dia tinggal di Desa majas dalam puisi-puisi D. Zawawi Im-
Jambangan Kecamatan Batang-batang, ron selalu berpengaruh terhadap citraan
sebuah desa terpencil, dua puluh kilome- (periksa Tabel 1-5). Hal ini menunjukkan
ter dari Sumenep yang terletak di ujung terjalinnya hubungan antarunsur (unsur
timur Pulau Madura. Daerah ini terkenal diksi, majas, dan citraan) dalam puisi-

Tabel 6. Frekuensi Penggunaan Majas dan Citraan dalam Puisi-puisi D. Zawawi

Karakteristik Struktural - Semiotik Puisi-puisi Karya D. Zawawi Imron


280

Gambar 1. Grafik Penggunaan Majas Metafora dan Personifikasi

Gambar 2. Pola Hubungan Antarunsur dalam Puisi-puisi Karya D. Zawawi

puisi karya D. Zawawi Imron. Hubungan meliputi (1) sesuatu yang dibandingkan
secara khusus diperlihatkan pada pen- (A), (2) sifat/ciri yang dibandingkan (B),
ciptaan majas dan citraan sebagaimana (3) pembanding (C), dan (4) alat penanda
pada Tabel 6. perbandingan (D). Jika keempat kom-
Dalam Tabel 6 terlihat penggunaan ponen (A—D) tersebut digunakan, maka
majas yang dominan adalah metafora, di- terciptalah simile. Jika yang digunakan
susul personifikasi dan simile. Dari peng- komponen A dan C (penyair masih me-
gunaan ketiga jenis majas tersebut citraan nyebutkan ciri), maka yang tercipta per-
yang dominan citraan taktil, visual, dina- sonifikasi, depersonifikasi, atau asimilasi,
mik, dan auditif. Berikut ini grafik peng- jika yang digunakan komponen A dan B
gunaan majas metafora dan personifikasi (penyair tidak perlu menyebutkan ciri,
dalam puisi-puisi D. Zawawi Imron. tetapi langsung pada pembandingnya),
Dalam Gambar 1 terlihat kecenderung- maka terciptalah metafora. Dengan de-
an penggunaan majas metafora daripada mikian, penciptaan metafora lebih rumit
majas personifikasi. Lebih dominan dan prosesnya karena penyair perlu menye-
kecenderungan penggunaan majas meta- derhanakan atau memadatkan paparan
fora menunjukkan tingkat kematangan kebahasaan dari ungkapan perbandingan
penyair dengan menuangkan gagasannya yang panjang.
dengan menggunakan bahasa plastis. Adapun jenis-jenis gaya bahasa yang
Dalam proses awal pembentukan majas diwujudkan dengan penggunaan gaya
yang bercirikan adanya hubungan per- bahasa yang meliputi gaya deskriptif,
bandingan, lazimnya disebutkan secara parafrastis, tutur langsung, dialogis, im-
lengkap komponen-komponennya yang peratif, interogatif, tanya retoris, repetisi,

LITERA, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013


281

hiperbola, inverse, paradoks, klimaks, Jika dilihat dari karakteristik yang ter-
simbolik, dan ironi. Jenis yang dominan deskripsikan, dapat dikatakan bahwa
digunakan adalah gaya deskriptif. Jika “Muhammad” yang dimaksud oleh aku
dikaitkan dengan tingginya frekuensi lirik adalah Muhammad Sang Nabi. Aku
penggunaan citraan taktil dan citraan vi- lirik menggambarkan pribadi Muhammad
sual, maka dapat dipahami bahwa ke- secara imajiner berdasarkan pengenalan-
cenderungan penggunaan gaya perian nya melalui wacana yang dipahaminya
atau rincian mempengaruhi terciptanya karena aku lirik hidup tidak sezaman
kedua jenis citraan tersebut. Dengan de- dengan Muhammad. Dengan demikian
mikian, hubungan keempat unsur puisi teks puisi dapat dipandang sebagai in-
dapat digambarkan pada Gambar 2. deks bagi kenyataan empiris. Seluruh
kata dan frase tersebut merupakan tanda
Karakteristik Semiotik Puisi-puisi D. yang mewakili gagasan aku lirik tentang
Zawawi Imron karakteristik pribadi Muhammad.
Paparan hasil analisis semiotik puisi- Secara denotatif kata “cahaya” meru-
puisi Zawawi dimulai dari sajian contoh juk pada “keadaan yang terang”.”Cahaya”
analisis yang mewakili puisi Zawawi juga merupakan simbol dari “kehidupan
dari periode 60-an, 70-an, 80-an, dan 90- yang benar”, cahaya juga menjadi indeks
an. Berikutnya dipaparkan hasil analisis bagi “pembeda antara yang benar dan
kualitatif-kuantitatif puisi Zawawi. yang salah/sesat”. Bukankah hanya de-
ngan cahaya orang dapat mengenali jalan
Puisi “Muhammad” yang benar sehingga dapat menjalani
Pertanyaan yang muncul setelah mem- hidup tanpa tersesat.
baca judul “Muhammad” adalah, siapa Secara keseluruhan kata-kata konkret
Muhammad? Bagaimana ciri-cirinya? Judul yang digunakan merujuk pada karakteris-
“Muhammad” dalam puisi tersebut meru- tik pribadi Muhammad. Pada bait keem-
pakan indeks bagi isi teks puisi. Ciri-ciri pat aku lirik menggambarkan pribadi yang
Muhammad terdeskripsikan dalam teks serba elok, serba indah, sehingga aku lirik
puisi. Ia memiliki tatapan yang lembut rindu ingin bertemu,
tetapi menggetarkan, yang menunjukkan aneka keindahan
dengan lembut sahdu sejati
dan bulu-bulu mata yang menggetar- hingga aku bisu di warna rindu
kan Mengingat itu semua aku hanya mam-
Tatapan yang demikian akan mendatang- pu berbicara fasih dalam hati,
kan rasa kasih, rahmat, Kefasihanku
kasih yang sangat besar hanya bergema di hati
turun di jantung bumi selalu
Tutur katanya lembut dan mulia,
dunia yang sangat mesra Jika dihubungkan dengan ungkapan
berayun majazi pada bait 1-4 dan efeknya pada
pada ujung lidahnya citraan visual dan auditif yang menarik,
segala umpat segala khianat maka kesan mempesona pada ciri-ciri
hanya menggeliat dan tersungkur pribadi Muhammad yang terdeskripsikan
di hadapannya akan semakin kuat.
Ia pembuka pintu petunjuk,
Dengan ramahnya dibukanya Puisi “Di gubuk Daun Kelapa”
bagi segenap umat manusia Judul “Di Gubuk Daun Kelapa” me-
sebuah wilayah jiwa munculkan pertanyaan, apa yang ter-
yang tak pernah kematian cahaya jadi di gubuk daun kelapa? Di manakah

Karakteristik Struktural - Semiotik Puisi-puisi Karya D. Zawawi Imron


282

gubuk kelapa berada? Frase gubuk daun antara dua bait yang lain karena secara
kelapa secara denotatif berarti, sebuah keseluruhan hal yang dominan dalam
bangunan kecil, sederhana yang dinding puisi tersebut adalah paparan peristiwa
dan atapnya terbuat dari anyaman daun di dalam gubuk. Dari 19 larik yang ada,
kelapa. 15 larik di antaranya berisi paparan pe-
Pada larik pertama frase “gubuk daun ristiwa tesebut.
kelapa” dalam judul diulang sehingga ada Pada bait ketiga, kedua persona lirik
ikon, kemiripan antara judul dan larik berpisah, “kuucapkan selamat tinggal”. Si
pertama. Deskripsi makna frase tersebut wanita membisikkan ungkapan metaforis
hanya sebagai latar dari peristiwa yang (pada dua larik terakhir) yang menyirat-
terjadi di dalamnya. Larik-larik berikut- kan makna bahwa ia bersedih akan perpi-
nya, aku lirik bertindak sebagai “narrator sahan tersebut. Penggunaan tanda pisah
observer” yang mengisahkan pengalaman- (—) di depan dua larik terakhir merupa-
nya berjumpa dengan seseorang. Dengan kan tanda bahwa itu bukan ucapan si aku
demikian, teks puisi tersebut dapat dika- lirik, atau aku lirik sengaja memanfaatkan
takan sebagai indeks terhadap kenyataan gaya tutur langsung untuk memperkuat
empirik. Dengan kata lain semua kata tersampaikannya isi pesan.
dalam puisi itu merupakan tanda yang
mewakili apa yang dilihat, dirasakan, dan Puisi “Zikir”
dialami oleh akui lirik. Secara keseluruhan Judul “Zikir ” memunculkan per-
kata-kata konkret “gerimis”, “kemarau”, tanyaan apa makna “zikir”? Bagaimana
dan “wanita yang kurus” merujuk pada wujud “zikir”? Secara denotatif, kata
kenyataan alam yang dekat dengan ke- “zikir” berarti “mengingat” sebagai is-
keringan. tilah keagamaan dalam Islam, kata zikir
Larik kedua, “hujan gerimis memaksaku terkait dengan “Allah”. Apakah “zikir”
singgah ke sana” mengawali peristiwa per- yang dimaksud adalah “mengingat Al-
jumpaan aku lirik dengan seorang wanita lah”? Jawabannya ada pada larik pertama.
“sekurus anjingnya” dan “ada danau di balik Pada larik pertama terdapat kata alif yang
keningnya”. Penyebutan aku lirik dengan diulang tiga kali. Jika dihubungkan de-
“seorang wanita” menandakan bahwa aku ngan makna zikir, yakni mengingat Allah,
belum pernah mengenalnya. Si wanita maka “alif” dalam bahasa Arab merupa-
sebagaimanaaku, “datang dari negeri jauh/ kan inisial lafal “Allah” yang berpadanan
membawa bisik kemarau”. Pada larik kede- dengan huruf /a/. Dengan demikian, “alif”
lapan kedua persona lirik menjadi akrab merupakan indeks bagi lafal “Allah” dan
karena kesamaan kondisi kemarau yang indeks bagi “zikir”
dialami keduanya. Di sisi lain, kata alif juga merupakan
dan keakraban tak terelakkan ikon dan simbol. Alif merupakan ikon
begitu kusebutkan angin musim semi bagi “pedang”, “susuk”, “kompas”,
begitu kukabarkan ranggas daunan “cagak”, “belut”, dan “linggis”. Ada
kemiripan antara bentuk “alif” dengan
Pada bait kedua, gerimis telah ber- kata-kata tersebut. Semua kata konkret
henti, tetapi persoalan yang dihadapi aku tersebut merujuk pada bentuk visual
lirik masih menunggunya. Penggunaan huruf “alif”. Bentuk-bentuk yang mirip
pertentangan dalam larik-larik tersebut dengan alif tersebut merupakan penaf-
merupakan gaya bahasa untuk menegas- siran “aku” lirik terhadap “alif”. Ia ber-
kan bahwa masih banyak persoalan yang zikir dengan menyebut-nyebut “alif” tiga
akan dihadapinya aku lirik. Ingatan akan kali dengan tanda seru (!), dan dengan
persoalan tersebut seperti disisipkan di menafsiri “alif”. Menyebut “alif” berarti

LITERA, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013


283

menyebut Allah. Tanda yang memperjelas menjadi simbol bagi jiwa yang halus dan
hal tersebut adalah ditulisnya kata “satu” lembut yang dimiliki oleh Sang Karaeng,
dengan “S” kapital yang mengikuti kata Sultan Hasanuddin dari Makasar.
alif, “alifmu yang Satu tegak di mana-mana”. Keseluruhan hubungan tanda dan
Dengan demikian, teks puisi tersebut pertanda di dalam puisi-puisi D. Zawawi
dapat dipandang sebagai simbol bagi ke- Imron terangkum dalam Tabel 7.
nyataan empirik. Seluruh kata dan frase Berdasarkan kategorisasi hubungan
dalam teks puisi merupakan tanda yang tanda dan petanda, hubungan teks (tan-
mewakili perenungan aku lirik tentang da) dan kenyataan (petanda), diperoleh
makna “alif” sebagai simbol. temuan: (1) sebagian besar puisi (72%)
merupakan indeks bagi kenyataan em-
Puisi “Di Mesjid Katangka” pirik, (2) sebagian kecil teks puisi (28%)
Judul “Di Mesjid Katangka” segera merupakan ikon bagi kenyataan empirik,
memunculkan pertanyaan, di mana (3) tidak terdapat teks puisi yang menjadi
Mesjid Katangka? Peristiwa apa yang ter- simbol bagi kenyataan empirik.
jadi di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan Pada hubungan tanda dan petanda,
itu segera terjawab dalam teks karena hubungan judul (tanda) dan isi teks
judul puisi ini menjadi indeks bagi teks (petanda) diperoleh temuan (1) judul
puisi. Masjid sebagai indeks dari tempat sebagai indeks bagi keseluruhan teks,
bersujud aku lirik “sehabis kusentuhkan dan (2) judul sebagai ikon bagi sebagian
dahiku di lantai”. isi teks (kata/frase/larik). Hubungan sim-
Kata Mesjid Katangka jika ditelu- bolik hanya ditemukan pada tanda yang
suri dari indeksnya di dalam teks puisi: berwujud kata/frase yang digunakan
perang, Hasanuddin, Ayam Jantan dari dalam ungkapan metaforik. Tanda yang
Timur, Karaeng, dan destar; maka “Mesjid dimaksud adalah kata “cahaya” (puisi
Katangka” merupakan masjid yang 1), “mayang” (puisi 2), 11), “Puisi” (puisi
dekat dengan daerah Ujung Pandang 15), “sapi”, “pena”, “pertapa”, (puisi 16),
atau Makasar. Setidaknya demikian atau “pipit”, “garuda”, “camar” (puisi 17),
sebuah mesjid di Makasar. “alif”, “pedang”, “susuk”, “kompas”, “be-
Lalu apa yang terjadi pada aku lirik se- lut”, “cagak”, “linggis” (puisi 18), “celurit
sudah itu? Aku lirik teringat pada perang emas”, “taring langit” (puisi 19), “badik”
di masa lalu, “perang memang sudah lama (puisi 20), “bunga”, “api”, “hijauan”,
selesai” dan merenung tentang “benteng “melati” (puisi 23), “kemboja”, “ngengat”
dalam diri”, “kemana nurani mengalirkan (puisi 25).
api” serta tentang sisa-sisa kesedihan atas Berdasarkan analisis terhadap unsur-
gugurnya “bunga-bunga” sekalipun itu unsur dalam kategori simbolik diperoleh
untuk “kehijauan”, untuk perdamaian. tema puisi. Tema dalam puisi-puisi D.
Kata-kata yang menjadi ungkapan Zawawi Imron dapat dilihat dalam Tabel 8.
metaforis memiliki makna simbolik Berdasarkan kategorisasi simbolik
“bunga” sebagai indeks bagi keharuman ditemukan 4 kategori satuan tematis.
menjadi simbol bagi “pahlawan” yang Keempat kategori yang dimaksud ada-
mengharumkan nama bangsa. Kata “api” lah (1) tema hubungan aku lirik dengan
sebagai indeks bagai “bara” menjadi sim- Sang Pencipta atau yang terkait, (2) tema
bol bagi “semangat yang membara”, “kehi- hubungan aku lirik dengan orang lain atau
jauan” sebagai indeks bagi warna teduh, lingkungan sosialnya, (3) tema hubungan
tenang, damai menjadi simbol “perdama- aku lirik dengan lingkungan alamnya,
ian yang menentramkan”, melati sebagai dan (4) tema hubungan aku lirik dengan
indeks bagi “kehalusan dan kelembutan” sejarah serta tradisi yang berkembang di
masyarakat.

Karakteristik Struktural - Semiotik Puisi-puisi Karya D. Zawawi Imron


284

Tabel 7. Hubungan Tanda dan Pertanda dalam Kategori Ikon, Indeks, Simbol

Jika dihubungkan dengan temuan pilihan tema dalam puisi-puisi D. Zawawi


penggunaan kata dalam penciptaan majas Imron paralel dengan sebaran kategori
yang sebaran frekuensinya menunjukkan yang dimaksud. Ketujuh kategori kata
penggunaan 7 kategori dari 9 kategori dalam majas dapat dikelompokkan men-
Halley dengan persentase yang relatif jadi 4 kategori yang lebih sederhana seba-
memadai, maka dapat dikatakan bahwa gaimana kategori dalam tema puisi. Tema

LITERA, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013


285

Tabel 8. Tema dalam Puisi-puisi Karya D. Zawawi Imron

hubungan aku lirik dengan Tuhan sejajar masyarakat, atau untuk menikmati dan
dengan kategori “being”, tema hubungan mensyukuri keindahan atau rahmat yang
aku lirik dengan lingkungan sosialnya tersembunyi di balik ketidaknyamanan
sejajar dengan kategori “human”, tema keadaan alam tempat tinggal yang dira-
hubungan aku lirik dengan lingkungan sakannya. Tema keempat menunjukkan
alam di sekitarnya sejajar dengan kate- tingginya apresiasi penyair terhadap to-
gori “living”, “animate”, “terrestrial”, tema koh sejarah, perjuangannya, serta tradisi
hubungan aku lirik dengan sejarah serta di lingkungan tokoh tersebut berasal.
budaya sejajar dengan kategori “object”
(Wahab, 1992). SIMPULAN
Tema puisi merupakan wujud pilihan Berdasarkan paparan hasil penelitian
persoalan yang akrab dengan atau di- dapat disimpulkan bahwa karakteristik
hadapi oleh penyairnya. Tema pertama struktural puisi-puisi karya D. Zawawi
menunjukkan usaha, keinginan atau Imron ditandai hal-hal berikut. Pertama,
wujud kedekatan penyair dengan Tuhan. diksi yang digunakan meliputi kata-kata
Tema kedua menunjukkan kepedulian konkret dan konotatif yang berhubungan
penyair terhadap kehidupan sosialnya dengan lingkungan alam, sosial, dan spiri-
seperti dengan orang-orang terdekat, tual. Kedua, majas yang terbentuk dari

Karakteristik Struktural - Semiotik Puisi-puisi Karya D. Zawawi Imron


286

diksi yang terbanyak adalah metafora, DAFTAR RUJUKAN


diikuti personifikasi, dan sedikit simile. Aminuddin. 1987. Pengantar Memahami
Ketiga, gaya bahasa yang digunakan ada- Puisi. Bandung: Sinar Baru.
lah gaya deskriptif, parafrastis, paradoks, Aminuddin. 1990. Paradigma dalam Studi
simbolik, klimaks, dan ironi. Keempat, Kritik dan Penelitian Sastra. Makalah
citraan yang terbentuk dari penggunaan disajikan dalam PILNAS III HISKI.
majaz dan gaya bahasa adalah citraan Malang, 26-28 Nov. 1990.
taktil, visual, dinamik, dan auditif. Diksi Aminuddin. 1997. Stilistika. Semarang:
sebagai unsur awal dan utama berkontri- IKIP Semarang Press.
busi terhadap penciptaan majas dan gaya Badrun, Ahmad. 1990. Teori Puisi. Jakarta:
bahasa dan kedua unsur terakhir turut Dirjen Dikti.
menyumbang dalam terciptanya citraan. Geertz, Clifford. 1991. Tafsir Kebudayaan.
Karakteristik semiotik puisi-puisi Yogyakarta: Kanisius.
karya D. Zawawi Imron yang dilihat Krippendoff, Klaus. 1981. Content Analisis.
berdasarkan kategorisasi hubungan teks California: Sage Publication.
puisi dan kenyataan empirik ditemukan: Luxemburg, Jan. dkk. 1986. Pengantar Ilmu
(1) sebagian besar teks merupakan indeks, Sastra. Jakarta: Gramedia
(2) sebagian kecil teks puisi merupakan Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengka-
ikon dan (3) tidak terdapat teks puisi jian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
yang menjadi simbol bagi kenyataan em- Press.
pirik. Pada hubungan judul dan isi teks Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Prinsip-
ditemukan (1) judul sebagai indeks bagi prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gad-
keseluruhan teks, dan (2) judul sebagai jah Mada University Press.
ikon bagi sebagian isi teks (kata/frase/ Saryono, Djoko. dkk. 1998. “Karakteristik
larik). Hubungan simbolik hanya ditemu- Sastra Indonesia Karya Penulis Jawa
kan pada tanda yang berwujud kata/frase Timur”. Laporan Penelitian. Malang:
dalam ungkapan metaforik. Berdasarkan UM.
kategorisasi simbolik ditemukan 4 kate- Spradley, James P. 1987. Metode Etnografi.
gori tema, yakni hubungan aku lirik de- Yogyakarta: Tiara Wacana.
ngan (1) Sang Pencipta atau yang terkait, Teeuw, Andreas. 1988. Sastra dan Ilmu
(2) orang lain atau lingkungan sosialnya, Sastra. Jakarta: Gramedia.
(3) lingkungan alamnya, dan (4) sejarah Trabaut, Jurgen. 1996. Dasar-dasar Semiotik.
serta yang berkembang di masyarakat. Terjemahan Saily Pattinasarany. Ja-
Keempat kategori tema tersebut mencer- karta: Pusat Pembinaan dan Pengem-
minkan kepedulian dan pengenalan pe- bangan Bahasa
nyair terhadap Tuhan, lingkungan sosial, Wahab, Abdul. 1992. Metafora Sebagai
lingkungan alam, dan tradisi serta sejarah Alat Pelacak Sistem Ekologi. Dalam
masyarakat. Isu Linguistik. Surabaya: Erlangga.
Waluyo, Herman, J. 1992. Teori dan Apre-
UCAPAN TERIMA KASIH siasi Puisi. Jakarta : Erlangga.
Ucapan terima kasih disampaikan Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990.
kepada Direktur DP2M Dikti yang telah Teori Kesusatraan. Jakarta: Gramedia
mendanai penelitian ini. Ucapan terima Van Zoest, Aart. 1992. Interpretasi dan
kasih juga disampaikan kepada Ketua Semiotik. Dalam Panuti Sudjiman
Lemlit UM yang telah memfasilitasi pe- dan Aart Zoest. Serba-serbi Semiotika.
nelitian ini. Jakarta: Gramedia.

LITERA, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2013

Anda mungkin juga menyukai