Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan Objektif dalam Penelitian Sastra


1. Metodologi Teori Objektif
Dalam memahami karya sastra secara objektif, tentunya diperlukan
adanya cara untuk mengoperasikan teori itu. Dalam teori ini, terdapat pula
pendekatan dan penilaian secara objektif.
Pendekatan objektif (pendekatan struktural) adalah pendekatan yang
mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan, dan memandang
karya sastra adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Pendekatan yang dilihat dari
eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi
tersebut misalnya, aspek-aspek intrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna,
diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan sebagainya.
Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra
tersebut berdasarkan kaharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.
Telaah struktur yang harus dikaitkan dengan fungsi struktur lainnya yang
dapat berupa pararelisme, pertentangan, inverse, dan kesetaraan. Dalam karya
yang lebih luas seperti novel, struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa,
melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot,
karakter, setting, point of view. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka
unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain.
Penilaian objektif berarti menilai suatu karya sastra secara objektif, tidak
dengan pendapat pribadi (subjektif). Kriteria utama dalam memberikan penilaian
secara objektif itu, menurut Graham Hough dan Wellek Warren adalah pada
adanya :
1. Relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terpar melalui jalan seni,
imajinasi maupun rekaan yang keseluruhannya memiliki kasatuan yang utuh,
selaras, serta padu dalam pencapaian tujuan tertentu atau memiliki integritas,
harmony, dan unity.
2. Daya ungkap, keluasan, serta daya pukau yang disajikan lewat texture serta
penataan unsur-unsur kebahasaan maupun struktur verbalnya atau pada
adanya consonantia dan klantas.

Pada dasarnya seseorang dengan mudah dapat menentukan bahwa sebuah


bacaan itu adalah teks sastra. Akan tetapi, satu hal yang harus diingat, bacaan
berupa teks sastra itu tidak selamanya mengandung nilai-nilai sastra.

Ada tiga paham tentang penilaian terhadap karya sastra secara objektif,
yaitu paham relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme
menyatakan bahwa bila sebuah karya sastra dianggap bernilai pada suatu waktu
dan tempat tertentu, pada waktu dan tempat yang lain juga harus dianggap
bernilai. Penilaian absolutisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus
didasarkan pada ukuran dogmatis. Sedangkan penilaian perspektivisme
menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus dilakukan dari berbagai sudut
pandang sejak karya sastra itu tercipta (terbit) sampai sekarang (Pradopo, 1997:
49-51).

2. Sejarah Teori Objektif


Teori objektif yang di dalamnya terdapat pendekatan struktur
(pendekatan objektif= strukturalisme), tidaklah dapat dilepaskan dari peran kaum
Formalis. Pendekatan struktur itu sendiri sebenarnya sejak jaman Yunani sudah
dikenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity, complexity, dan
coherence.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa mencuatnya pendekatan
struktur tidaklah lepas dari peranan kaum Formalis. Maka, kaum Formalis
dipandang sebagai peletak dasar telaah sastra dengan pendekatan ilmu modern.
Ciri khas penelitian sastra kaum Formalisme ialah penelitiannya terhadap apa
yang merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks
bersangkutan. Ciri khas penelitiannya terhadap apa yang merupakan sesuatu yang
khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks bersangkutan. Dalam hal ini,
nilai estetik suatu karya sastra seperti yang dikemukakan oleh tokoh utamanya
Jacobson, adalah didasarkan pada poetic function yang diolah berdasarkan kode
metrum, rima, macam-macam bentuk paralelisme, pertentangan, kiasan, dan
sebagainya. Dengan kata lain, Jacobson merumuskan bahwa karya sastra adalah
ungkapan yang terarah pada ragam yang melahirkannya atau fungsi puitik
memusatkan perhatiannya pada pesan dan demi pesan itu sendiri.
Dalam hal ini, karya sastra harus dipandang sebagai sebuah struktur yang
berfungsi. Sebagai sebuah karya yang bersifat imajinatif, bisa saja hubungan
penanda dan petanda merupakan suatu hubungan yang kompleks. Dalam karya
yang lebih luas, misalnya saja novel, stuktur tidak hanya hadir melalui kata dan
bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti
tema, plot, karakter, seting, point of view, dan lainnya. Untuk mengetahui
keseluruhan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain.
Apakah struktur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, saling mengikat,
saling menopang yang kesemuanya memberikan nilai kesastraan tinggi. Telaah
semacam inilah yang ditekankan oleh kaum strukturalisme.

Tokoh Teori Objektif


a). Aristoteles
Telah diperkenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity,
complexity, dan coherence. Suatu penilaian dikatakan objektif bila penilaian itu
bertolak dari suatu nilai atau konvensi yang terlepas dari segi pembaca.
Sehingga, nilai itu adalah nilai yang ada dalam teks sastra, dan bukan nilai yang
ada dalam opini pembaca itu sendiri.
b). Taine
Menurut Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat
imajinatif dan pribadi, melainkan dapat pula merupakan cerminan atau rekaman
budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan.
c). Jacobson
Jacabson merumuskan bahwa karya sastra adalah ungkapan yang
terarah pada ragam yang melahirkannya atau fungsi puitik memusatkan
perhatiannya pada pesan dan demi pesan itu sendiri.
d). Ferdinand de Saussure
Pendekatan struktur secara langsung atau tidak langsung sebenarnya
banyak dipengaruhi oleh konsep struktur linguistik yang dikembangkan oleh
Ferdinand de Saussure, yang intinya berkaitan dengan konsep sign dan meaning
(bentuk dan isi).
e). Luxemburg
Luxemburg memiliki konsep signifiant- signified dan paradigma-
syntagma. Pengertiannya adalah tanda atau bentuk bahasa merupakan unsure
pemberi arti dan yang diartikan. Dari dua unsur itulah akan dapat dinyatakan
sesuatu yang berhubungan dengan realitas. Karena itu, untuk memberi makna
atau memahami makna yang tertuang dalam karya sastra, penelaah harus
mencarinya berdasarkan telaah struktur, yang dalam hal ini terefleksi melalui
unsure bahasa.
f). Terry Eagleton
Mengungkapkan bahwa setiap unit dari struktur yang ada, hanya akan
bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan
tersebut bisa merupakan hubungan pararelisme, pertentangan, inversi, dan
kesetaraan. Yang terpenting adalah bagaimana fungsi hubungan tersebut dalam
menghadirkan makna secara keseluruhan.
Hakikat karya sastra adalah perpaduan antara hasil imajinasi seorang
sastrawan dengan kehidupan secara faktual. Hasil rekaan manusia itu lebih
tinggi nilainya dari kenyataan, karena sastrawan tidak begitu saja meniru atau
meneladani kenyataan. Oleh karena itu, dalam memahami karya sastra
hendaknya pembaca mengenal berbagai macam teori, yang salah satunya berupa
teori objektif yang akan kita bahas di bawah ini.
Teori objektif merupakan teori sastra yang memandang karya sastra
sebagai dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa
pengarangnya, dan lingkungan sosial budayanya. Karya sastra harus dilihat
sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan karya sastra sebagai struktur
verbal yang otonom dengan koherensi intern. Dalam teori ini terjalin secara
jelas antara konsep-konsep kebahasaan (linguistik) dengan pengkajian karya
sastra itu sendiri, baik secara metaforis maupun secara elektis. Istilah lain dari
teori objektif adalah teori struktural.

B. Ciri-ciri Teori Objektif

Ciri-ciri yang terdapat dalam teori objektif adalah:

1. Teori objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.
2. Menghubungkan konsep-konsep kebahasaan (linguistik) dalam mengkaji
suatu karya sastra.

3. Pendekatan yang dilihat dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi
sastra yang berlaku.

4. Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya
sastra tersebut berdasarkan kaharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.
5. Struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji
berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, setting,
point of view.

6. Untuk mengetahui keseluruhan makna dalam karya sastra, maka unsur-unsur


pembentuknya harus dihubungkan satu sama lain.

Dalam penelitian karya sastra, analisis atau pendekatan obyektif terhadap


unsur-unsur intrinsik atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk
meneliti karya sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut (Damono,
1984:2).
Pendekatan objektif merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan
karya sastra pada unsur-unsur yang membangunnya dari dalam. Pendekatan
objektif meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar
belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya
sastra (Satoto, 1993: 32).
Pendekatan objektif mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-
masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135).
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan objektif adalah suatu
pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur
struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau
keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.
Mengenai struktur, Wellek dan Warren (1992: 56) memberi batasan
bahwa struktur pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh
keduanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra
(fiksi) itu terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk adalah cara pengarang menulis,
sedangkan isi adalah gagasan yang diekspresiakan pengarang dalam tulisannya
(Zeltom, 1984: 99). Menurut Jan Van Luxemburg (1986: 38) struktur yang
dimaksudkan, mengandung pengertian relasi timbal balik antara bagian-
bagiannya dan antara keseluruhannya.
Struktur karya sastra (fiksi) terdiri atas unsur unsur alur, penokohan, tema,
latar dan amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling dominan dalam
membangun karya sastra (fiksi) (Sumardjo, 1991:54).

C. Unsur Instrinsik yang dibahas dalam Pendekatan Objektif


1. Alur (plot)
Dalam sebuah karya sastra (fiksi) berbagai peristiwa disajikan dalam
urutan tertentu (Sudjiman, 1992: 19). Peristiwa yang diurutkan dalam menbangun
cerita itu disebut dengan alur (plot). Plot merupakan unsur fiksi yang paling
penting karena kejelasan plot merupakan kejelasan tentang keterkaitan antara
peristiwa yang dikisahkan secara linier dan kronologis akan mempermudah
pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan.
Atar Semi (1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah
struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi
fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dlam keseluruhan
karya fiksi. Lebih lanjut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113)
mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian,
namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang
satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Dalam merumuskan jalan
cerita, pembaca dapat membuat atau menafsirkan alur cerita melalui
rangkaiannya. Luxemburg memberikan kebebasan penuh dalam menafsirkan atau
membangun pemahaman dari jalannya cerita. Alur bisa dilihat sebagai konstruksi
yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa atau kejadian yang
saling berkaitan secara logis dan kronologis, serta aderetan peristiwa itu
diakibatkan dan dialami oleh para tokoh (1986: 112).
Karena alur berusaha menguraikan jalannya cerita mulai awal sampai
akhir cerita, maka secara linier bentuk alur atau struktur cerita seperti
dikemukakan Nurgiyantoro yaitu dari tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Tahap penyuntingan, tahap ini pengarang memperkenalkan tokoh-cerita
melukiskan situasi latar, sebagai tahap pembukaan cerita, pembagian informasi
awal dan teruptama untuk melandasi cerita yang akan dilkisahkan pada tahap
berikutnya.
b. Tahap pemunculan konflik yang berkembang atau merupakan awal munculnya
konflik yang berkembang atau dikembangkan menjadi komflik pada
peningkatan konflik, pada tahap ini konflik berkembang atau dikembangkan
tahap berikutnya.
c. Tahap kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi baik itu internal,
eksternal ataupun kedua-duanya.
d. Tahap klimaks, pada tahap ini pertentangan yang terjadi dialami atau
ditampilkan pada tokoh mencapai titik intensitas puncak klimaks cerita akan
dialami tokoh utama sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik, pada
tahap ini merupakan tahap penentuan nasip tokoh.
e. Tahap penyelesaian, pada tahap ini keteganangan dikendorkan diberi
penyelesaian dan jalan keluar untuk kemudian diakhiri (2000: 150).

Masih mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26) merumuskan
bahwa alur bisa bermacam-macam, seperti berikut ini:
a. Alur maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran dimana jalan
peristriwanta dimulai dari melukiskan keadaan hingga penyelesaian.
b. Alur mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan
menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak
sampai melukiskan keeadaan.
c. Alur tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana jalan cerita
peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke
belakang (1990: 26)
Melalui pengaluran tersebut diharapkan pembaca dapat mengetahui
urutan-urutan atau kronologis suatu kejadian dalam cerita, sehingga bisa
dimengerti maksud cerita secara tepat.

2. Tokoh
Dalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan
perwatakan. Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat
penting bahkan menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada cerita tanpa
kehadiran tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya
menbentuk alur cerita. Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis
yang terkait oleh waktu.
Pendefinisian istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak
diberikan oleh para ahli, berikut ini beberapa definisi tersebut:
a. Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2000: 165)
b. Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam
ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting,
yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang
kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut
(Suroto, 1989: 92-93).
c. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh
seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi
seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000: 165).
d. Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan merupakan cara
penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti
Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh dan
penciptaan citra tokoh (1992: 23).
e. Menurut Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara
pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita
karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.

Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara,
yaitu:
a. Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tindakannya, terutama
sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b. Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan yokoh.
c. Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan
cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah pendiskripsian penulis tentang
tokoh cerita.
d. Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan
tindakannya.
e. Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh ceritanya.
Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap watak
tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Sumardja,
1997: 65-66).
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, tokoh cerita
dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama (central character, main character)dan
tokoh tambahan (pheripheral character) (Nurgiyantoro, 2000: 176-178).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh
ini tergolong penting. Karena ditampilkan terus menerus sehingga terasa
mendominasi sebagian besar cerita. Karena tokoh utama paling banyak
ditampilkan ada selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat
menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.
Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau
beberapa kali dalam cerita dan itu bersifat gradasi, keutamaannya bertingkat
maka perbedaan antara tokoh utama dan tambahan tidak dapat dilakukan secara
pasti.
Karena tokoh berkepribaduian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-
sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu ;
a. Dimensi fisiologis, adalag ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat
kedewasaan), jenis kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan lain
sebagainya.
b. Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial,
pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
c. Dimensi psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas,
tingkat kecerdasan dan keahliannkhusus dalam bidang tertentu (satoto, 1993:
44-45).

3. Latar (setting)
Kehadiran latar dalam sebuah cerita fiksi sangat penting. Karya fiksi sebagai
sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang dilengkapi dengan tokoh
penghuni dan segala permasalahannya. Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan
ruang dan waktu.
Lartar atau setting adalah sesuiatu yang menggambarkan situasi atau keadaan
dalam penceriteraan. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah segala
keterangan, petunjut, pengacuan yang berkaiatan dengan waktu, ruang dan
suasana (1992: 46). Sumardjo dan Saini K.M. (1997: 76) mendefinisikan latar
bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal
yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya
dan lain sebagianya.
Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat, hubungan waktu
maupun juga menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud tatacara, adat
istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.
Macam-macam Latar:
a. Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat
dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut
dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa
nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat
tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar
tempat bisa meliputi berbagai lokasi.
b. Latar waktu
Latar waktu menyaran pada kapan terjadinyaperistiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah
itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.
c. Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalan karya fiksi.
Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan
hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari
penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh.
d. Tema danAmanat
Secara etimologis kata tema berasal dari istilah meaning, yang
berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif. Sedangkan
amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna, yaitu
sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran.
Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat (Juhl
dalam Teeuw, 1984: 27). Baik pengertian tentang “arti” maupun “makna”
keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai penyampai gagasan atau ide
kepengarangan.
Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema merupakan
gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (1992:52).
Dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan
yang ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika
permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, makan
jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Amanat yang terdapat pada sebuah
karya sastra, bisa secara inplisit ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar
atau ajaran moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita
berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan
seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992: 57-58).

PENDEKATAN OBJEKTIF
DALAM PENELITIAN SASTRA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah

“Teori Sastra”
Disusun Oleh Kelompok 2(1B):

1. Rohmatul Fikri (2222110953)

2. Iin Indaswari (2222111429)

3. Istiningsih (2222110868)

4. Anisa (2222111284)

Program Studi Diksatrasia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

2011

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam mengkaji suatu karya sastra dapat digunakan empat pendekatan yakni,
pendekatan ekspresif, pendekatan objektif, pendekatan mimetik, dan pendekatan
fragmetik.
Pendekatan objektif disini berarti mengkaji suatu karya dengan mengaitkan
karya itu sendiri. Seringkali pendekatan objektif digunakan untuk mengkaji suatu
karya sastra, tetapi banyak orang yang tidak mengetahui tentang pandangan
pendekatan objektif secara teoritis. Dalam makalah inilah kami mencoba
memeparkan secara umum mengenai apa itu pendekatan objektif dan unsur-unsur
apa saja yang dibahas dalam pendekatan objektif.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud pendekatan objektif dan jelaskan pandangan tokoh-


tokoh mengenai teori objektif!

2. Apa ciri-ciri teori objektif?

3. Apa sajakah unsur-unsur yang dikaji dalam karya sastra apabila mengkajinya
dengan pendekatan objektif?

C. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan tentang pengertian objektif dan pemaparan-pemaparan


pandangan beberapa tokoh tentang teori objektif.

2. Mengetahui cirri-ciri teori objektif


3. Membahas satu per satu unsu-unsur yang dikaji dalam karya sastra
melalui pendekatan objektif.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai