PEMBAHASAN
Ada tiga paham tentang penilaian terhadap karya sastra secara objektif,
yaitu paham relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme
menyatakan bahwa bila sebuah karya sastra dianggap bernilai pada suatu waktu
dan tempat tertentu, pada waktu dan tempat yang lain juga harus dianggap
bernilai. Penilaian absolutisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus
didasarkan pada ukuran dogmatis. Sedangkan penilaian perspektivisme
menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus dilakukan dari berbagai sudut
pandang sejak karya sastra itu tercipta (terbit) sampai sekarang (Pradopo, 1997:
49-51).
1. Teori objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.
2. Menghubungkan konsep-konsep kebahasaan (linguistik) dalam mengkaji
suatu karya sastra.
3. Pendekatan yang dilihat dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi
sastra yang berlaku.
4. Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya
sastra tersebut berdasarkan kaharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.
5. Struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji
berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, setting,
point of view.
Masih mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26) merumuskan
bahwa alur bisa bermacam-macam, seperti berikut ini:
a. Alur maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran dimana jalan
peristriwanta dimulai dari melukiskan keadaan hingga penyelesaian.
b. Alur mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan
menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak
sampai melukiskan keeadaan.
c. Alur tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana jalan cerita
peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke
belakang (1990: 26)
Melalui pengaluran tersebut diharapkan pembaca dapat mengetahui
urutan-urutan atau kronologis suatu kejadian dalam cerita, sehingga bisa
dimengerti maksud cerita secara tepat.
2. Tokoh
Dalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan
perwatakan. Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat
penting bahkan menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada cerita tanpa
kehadiran tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya
menbentuk alur cerita. Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis
yang terkait oleh waktu.
Pendefinisian istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak
diberikan oleh para ahli, berikut ini beberapa definisi tersebut:
a. Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2000: 165)
b. Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam
ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting,
yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang
kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut
(Suroto, 1989: 92-93).
c. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh
seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi
seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000: 165).
d. Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan merupakan cara
penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti
Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh dan
penciptaan citra tokoh (1992: 23).
e. Menurut Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara
pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita
karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.
Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara,
yaitu:
a. Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tindakannya, terutama
sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b. Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan yokoh.
c. Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan
cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah pendiskripsian penulis tentang
tokoh cerita.
d. Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan
tindakannya.
e. Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh ceritanya.
Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap watak
tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Sumardja,
1997: 65-66).
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, tokoh cerita
dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama (central character, main character)dan
tokoh tambahan (pheripheral character) (Nurgiyantoro, 2000: 176-178).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh
ini tergolong penting. Karena ditampilkan terus menerus sehingga terasa
mendominasi sebagian besar cerita. Karena tokoh utama paling banyak
ditampilkan ada selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat
menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.
Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau
beberapa kali dalam cerita dan itu bersifat gradasi, keutamaannya bertingkat
maka perbedaan antara tokoh utama dan tambahan tidak dapat dilakukan secara
pasti.
Karena tokoh berkepribaduian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-
sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu ;
a. Dimensi fisiologis, adalag ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat
kedewasaan), jenis kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan lain
sebagainya.
b. Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial,
pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
c. Dimensi psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas,
tingkat kecerdasan dan keahliannkhusus dalam bidang tertentu (satoto, 1993:
44-45).
3. Latar (setting)
Kehadiran latar dalam sebuah cerita fiksi sangat penting. Karya fiksi sebagai
sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang dilengkapi dengan tokoh
penghuni dan segala permasalahannya. Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan
ruang dan waktu.
Lartar atau setting adalah sesuiatu yang menggambarkan situasi atau keadaan
dalam penceriteraan. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah segala
keterangan, petunjut, pengacuan yang berkaiatan dengan waktu, ruang dan
suasana (1992: 46). Sumardjo dan Saini K.M. (1997: 76) mendefinisikan latar
bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal
yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya
dan lain sebagianya.
Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat, hubungan waktu
maupun juga menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud tatacara, adat
istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.
Macam-macam Latar:
a. Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat
dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut
dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa
nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat
tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar
tempat bisa meliputi berbagai lokasi.
b. Latar waktu
Latar waktu menyaran pada kapan terjadinyaperistiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah
itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.
c. Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalan karya fiksi.
Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan
hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari
penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh.
d. Tema danAmanat
Secara etimologis kata tema berasal dari istilah meaning, yang
berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif. Sedangkan
amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna, yaitu
sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran.
Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat (Juhl
dalam Teeuw, 1984: 27). Baik pengertian tentang “arti” maupun “makna”
keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai penyampai gagasan atau ide
kepengarangan.
Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema merupakan
gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (1992:52).
Dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan
yang ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika
permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, makan
jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Amanat yang terdapat pada sebuah
karya sastra, bisa secara inplisit ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar
atau ajaran moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita
berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan
seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992: 57-58).
PENDEKATAN OBJEKTIF
DALAM PENELITIAN SASTRA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah
“Teori Sastra”
Disusun Oleh Kelompok 2(1B):
3. Istiningsih (2222110868)
4. Anisa (2222111284)
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mengkaji suatu karya sastra dapat digunakan empat pendekatan yakni,
pendekatan ekspresif, pendekatan objektif, pendekatan mimetik, dan pendekatan
fragmetik.
Pendekatan objektif disini berarti mengkaji suatu karya dengan mengaitkan
karya itu sendiri. Seringkali pendekatan objektif digunakan untuk mengkaji suatu
karya sastra, tetapi banyak orang yang tidak mengetahui tentang pandangan
pendekatan objektif secara teoritis. Dalam makalah inilah kami mencoba
memeparkan secara umum mengenai apa itu pendekatan objektif dan unsur-unsur
apa saja yang dibahas dalam pendekatan objektif.
B. Rumusan Masalah
3. Apa sajakah unsur-unsur yang dikaji dalam karya sastra apabila mengkajinya
dengan pendekatan objektif?
C. Tujuan Penulisan