Pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada
karya sastra. Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra. Karya
sastra menjadi sesuatu yang inti (Junus dalam Siswanto, 2008: 183). Pendekatan objektif
dicetuskan oleh kelompok peneliti Rusia pada tahun 1915-1930 yang biasa disebut kaum
Formalis, dengan tokoh utama Roman Jakobson, shklovsky, Eichhenbaum, dan Tynjanov.
Pada awalnya, para Formalis ingin membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu
lain, misalnya psikologi, sejarah, atau kebudayaan. Hal tersebut dikarenakan ketidakpuasan
terhadap kritik spiritualitas poetika Romantik, kaum Formalis Rusia mengusahakan
pendekatan ilmiah bagi teori dengan tujuan untuk menggali apa yang secara khusus bersifat
kesusastraan dalam berbagai teks.
Berdasarkan pendekatan objektif, karya sastra dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi
referensial atau mimetiknya. Karya sastra menjadi tanda yang otonom, yang hubungannya
dengan kenyataan bersifat tidak langsung. Dengan kata lain, karya sastra dianggap sebagai
struktur yang otonom dan bebas dari hubungan dengan realitas, pengarang, dan pembaca.
Tugas utama peneliti yaitu meneliti struktur karya sastra yang kompleks dan
multidimensional yang setiap aspek dan unsur berkaitan dengan aspek dan unsur lain untuk
mencapa totalitas makna secara penuh.
Menurut Teeuw, analisis struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-
masing unsur karya sastra tersebut sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama
menghasilkan makna yang menyeluruh. Jadi, unsur karya sastra tersebut haruslah dipahami
sebagai bagian dari keseluruhan karya sastra. Menurut Pradopo dalam Jabrohim (2001:54),
salah satu ciri khas pendekatan struktural adalah asanya anggapan bahwa di dalam dirinya
sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai
kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan. Dengan
demikian, analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat,
seteliti, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur-unsur dan aspek
karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Banyak kritik yang ditujukan terhadap strukturalisme. Menurut Teeuw kelemahan kajian
struktural berpangkal pada empat hal, yaitu (1) kajian struktural belum merupakan teori
sastra; (2) karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing tetapi harus dipahami dalam rangka
sistem sastra dengan latar belakang sejarah; (3) adanya struktur yang objektif pada karya
sastra makin disangsikan, sedangkan peran pembaca selaku pemberi makna dalam
interpretasi karya sastra semakin ditonjolkan dengan segala konsekuensi untuk analisis
struktural; (4) analisis yang menekankan otonomi karya sasta juga menghilangkan konteks
dan fungsinya sehingga karya itu dimenaragadingkan dan kehilangan hubungan sosialnya
(Siswanto, 2008: 185).
Penerapan strukturalisme klasik dalam karya sastra dilakukan dengan cara memadukan fakta
sastra dengan tema sehingga makna sastra dapat dipahami dengan jelas. Akan tetapi perlu
dicatat bahwa pemahaman dan pengkajian antarstruktur fakta sastra tersebut harus ditopang
oleh pengetahuan yang mendalam tetang pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan unsur tersebut. Misalnya, ketika peneliti membahas unsur tokoh dalam
novel, maka ia harus tahu apa itu tokoh dalam novel dan fungsinya tersebut denga baik dalam
struktur bangunan sebuah novel. Meski tampak mampu menggambarkan karya sastra secara
objektif, namun dibalik itu ada dua hal yang menjadi kelemahan strukturalisme klise ini,
yaitu: (1) peneliti melepaskan sastra dari latar belakangnya; dan (2) ia mengasingan sastra
dari relevansinya dengan budaya. Hal tersebut dikarenakan sastra tidak lahir begitu saja, ia
dilatarbelakangi oleh hal-hal yang berada di luar dirinya.
Adapun penerapan terhadap pendekatan strukturalisme genetik ini, dapat dilakukan dengan
dimulai dari kajian unsur-unsur intrinsik sastra, baik secara parsial maupun kajian secara
keseluruhan. Selanjutnya, mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang
karena ia merupakan bagian dari komunitas masyarakat tertentu. Di samping itu, tidak luput
juga untuk mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra
saat ia diciptakan oleh pengarang. Tahap akhir dari kegiatan ini, yaitu mengungkap
pandangan dunia pengarang tersebut.