Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Mendefinisikan sastra sangat
ditentukan oleh orang yang menafsirkannya. Dari aspek manapun ia
memandangnya, juga sangat tidak mengikat bagi orang lain untuk memberikan
pemahaman yang berbeda. Oleh karena itu, peneliti dalam memandang karya
sastra sebagai suatu institusi sosial yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Sastra sebagai produk dari masyarakat merupakan potret kehidupan
komunitas tertentu yang memiliki ciri khas sosial budayanya.
Keberadaan karya sastra di tengah masyarakat sangat penting dalam memberikan
nuansa-nuansa kehidupan untuk selalu berlaku arif terhadap alam sekitarnya.
Sastra dapat juga diartikan sebagai suatu lembaga seperti halnya mesjid, gereja,
universitas, dan atau suatu negara. Suatu jenis sastra hidup, tidak seperti binatang
atau bangunan, perpustakaan atau istana negara, tetapi merupakan sebuah
institusi.
Orang dapat bekerja, mengekspresikan diri melalui institusi, dan orang juga dapat
menciptakan institusi-institusi baru. Orang dapat bertindak sejauh mungkin, dapat
mengikuti kebijaksanaan atau ritual institusi tertentu, orang dapat masuk dalam
suatu lembaga lalu mengubahnya sesuai dengan keperluan dan tuntutan
perkembangan kebutuhan hidup manusia pada zamannya. Dalam hal kaitan
keperluan peneliti sebagai seorang mahasiswa, sudah pasti ada unsur kepentingan
yang tersirat di dalamnya.
Dalam upaya menikmati cipta sastra yang merupakan suatu produk masyarakat
tertentu pada zamannya, peneliti memfokuskan diri dalam bidang puisi
tradisional.
Pengertian Puisi
Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang berbeda bentuknya dengan
prosa dan drama. Berikut ini dipaparkan batasan puisi yang diutarakan beberapa
ahli:
1. 1.
Aminuddin (1995: 134) memberikan batasan puisi berdasarkan
istilah. Ia menyatakan bahwa puisi berasal dari bahasa Yunani poima
membuat atau posisi pembuatan dan dalam bahasa Inggris disebut
poem atau poetry. Puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan satu
dunia tersendiri yang mungkin berisi pesan atau gambaran seseorang telah
menciptakan suasana tertentu baik fisik maupun batiniah.
2. 2.
Matthew dalam Elliot (11:2) menyatakan bahwa puisi adalah bentuk
aktivitas intelektual yang tinggi.
3. 3.
Ralp Waldo Emerson (dalam Situmarong, 1983: 8) mengatakan
bahwa pusis mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sedikit
mungkin. Selain rumusan itu, dia juga mengatakan bahwa puisi
menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan serta sebab
musabab yang menyebabkannya.
4. 4.
Lescelles Abercrombie (dalam Situmarong, 1983: 9)menyatakan
bahwa puisi sebagai ekspresi dari pengalaman imajinatif yang hanya
bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat
kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan
setiap rencana yang matang serta bermanfaat. Berdasarkan beberapa
definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pusis adalah susut
ekspresi jiwa dari seorang penyair untuk menampilkan pengalaman hidup
yang melibatkan imajinasi yang tinggi dengan menggunakan media bahasa
yang padat.
sama sebagai pembentuk-pembentuk struktur yang lebih luas (hubunganhubungan sintakmatik). Dikatakan selanjutnya oleh Premiger bahwa studi
semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sistem tanda-tanda. Oleh karena
itu, peneliti harus menenukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya
sastra mempunyai makna.
Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi
sendiri. Dalam sastra ada jenis-jenis sastra (genre) dan ragam-ragam; jenis sastra
prosa dan puisi, prosa mempunyai ragam: cerpen, novel, dan roman (ragam
utama). Genre puisi mempunyai ragam : puisi lirik, syair, pantun soneta, balada,
dan sebagainya. Tiap ragam itu merupakan sistem yang mempunyai konvensikonvensi sendiri. Dalam menganalisis karya sastra, peneliti harus menganalisis
sistem tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan
tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam ragam sastra itu mempunyai makna.
Sebagai contohnya, genre puisi merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuansatuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan, di antaranya:
personifikasi, simile, metafora, dan metonimi. Tanda-tanda itu mempunyai makna
berdasarkan konvensi-konvensi(dalam) sastra. Di antara konvensi-konvensi puisi
adalah konvensi kebahasaan: bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada
umumnya. Di samping itu, ada konvensi ambiguitas (makna ganda), kontra
indikasi, dan nounse. Ada pula konvensi visual berhubung karya sastra (puisi)juga
ditulis, konvensi visual tersebut di antaranya: bait, baris sajak, enjambement, sajak
(rima), tipografi, dan homologue. Konvensi kepuitisan visual sajak tersebut dalam
linguistik tidak mempunyai arti, tetapi dalam sastra mempunyai atau menciptakan
makna. Tentu saja, masih ada konvensi-konvensi lain yang menyebabkan karya
sastra mempunyai makna.
Cerpen pun mempunyai konvensi-konvensi sendiri yang lain dari konvensi puisi,
misalnya konvensi yang berhubungan dengan bentuk cerita dan sifat naratifnya,
misalnya plot, penokohan, latar atau setting, dan pusat pengisahan (point of view);
di samping itu, juga mempunyai konvensi kebahasan yang berupa gaya bahasa.
Elemen-elemen cerpen itu merupakan satuan-satuan yang harus dianalisis dan
disendiri-sendirikan (dalam arti diekplisitkan).
Arti atau makna satuan itu tidak lepas dari konvensi-konvensi sastra pada
umumnya ataupun konvensi-konvensi tanda-tanda sastra. Seperti telah
diterangkan, tanda-tanda itu mempunyai arti atau makna disebabkan oleh
konvensi-konvensi. Konvensi itu merupakan perjanjan tersebut adalah perjanjian
tak tertulis, disampaikan secara turun-temurun, bahkan kemudian sudah menjadi
hakikat sastra dan konvensi-konvensi tersebut. Tanpa demikian, karya sastra tidak
akan dapat direbut (direkuperasi) maknanya secara optimal. (Dapat juga diganti
diberi makna, bukan direbut, tergantung sudut pandang atau orientasinya).
Di samping metode yang telah terurai, ada metode yang lebih khusus untuk
meneliti karya sastra secara semiotik: pembacaan heuristik dan pembacaan
hermeneutik atau retroaktif yang akan diuraikan kemudian.
Bait ke-1
Di rawa ini tak ada dewa. (Yang ada) hanya gagak yang mengakak (bergaok-gaok)
pada malam hari, dan di waktu siang hari (gagak itu) terbang mengitari bangkai
pertapa yang terbunuh (di) dekat kuil.
Bait ke-2
Di tepi-tepi ini (di rawa-rawa ini) dewa telah mati. (Yang ada) hanya ular yang
mendesir (menjalar dengan berisik) dekat sumber (sumber ait, kolam, atau danau).
Lalu (ular itu) minum (air sumber itu) dari mulut pelacur (dengan mulut pelacur)
yang tersenyum dengan bayangan sendiri (tersenyum melihat bayangannya sendiri
yang cantik).
Bait ke-3
(Begitulah pada hakikatnya; sesungguhnya) bumi ini adalah perempuan jalang
(pelacur, perempuan nakal) yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawarawa mesum ini; dan membunuhnya di pagi hari.
Tentu saja pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak yang
sebenarnya. Pembacaan ini terbatas pada pemahaman terhadap arti bahasa sebagai
sistem semiotik tingkat pertama, yaitu konvensi bahasanya.
Pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik
Bait ke-1
Di tempat-tempat yang penuh kemaksiatan (rawa-rawa ini) Tuhan tidak dipercayai
lagi oleh orang-orang (manusia). Di tempat yang penuh kemaksiatan ini hanya
orang-orang jahat (koruptor, perampok, dan sebagainya). Orang-orang jahat
(gagak) tersebut melakukan kejahatan atau bersimarajalela (mengakak) di masa
kacau, masa gelap (malam hari). Mereka (orang-orang jahat itu) beramai-ramai
mengelilingi harta yang haram (bangkai) milik orang-orang suci (pertapa, para
pemeluk agama) yang ingkar (pada hakikatnya sudah mati). Mereka terbunuh
(oleh kejahatan) dekat tempat sucinya, tempat peribadatannya (kuil, gereja,
masjid, dll).
Bait ke-2
Tuhan telah tidak dipercaya lagi atau orang-orang telah ingkar kepada Tuhan di
tempat-tempat pinggir (tempat yang tidak benar), tempat yang penuh kemesuman,
kemaksiatan, atau kejahatan. Oleh karena itu, yang ada (pada hakikatnya) hanya
orang-orang jahat (ular) yang berbuat jahat, melakukan makar di tempat-tempat
kekayaan, keberuntungan (mendesir dekat sumber). Para penjilat itu (ular itu) lalu
memuaskan nafsunya (minum) dari mulut para pelacur atau dengan mulut pelacur
(orang-orang yang melacurkan diri, menjual harga dirinya). Artinya, orang-orang
tersebut mendapat kekayaan, kesenangan, kebahagiaan, pangkat, atau kekuasaan
dari melacurkan diri: menjilat atasannya atau para penguasa demi keuntungan
dirinya, tak peduli halal atau haram. Mereka tidak peduli kehinaan, bahkan masih
dapat tersenyum (berbangga diri) melihat bayangannya di depan cermin (rupanya
yang tampak indah di kaca). Mereka masih mengagumi kehebatannya,
kekayaannya yang sebelumnya hanya palsu (hanya bayangan).
Bait ke-3
Berdasarkan pada baik ke-1 dan ke-2, yaitu di tempat ini, di negeri ini, dipenuhi
oleh orang jahat yang hanya mementingkan kehidupan dunia yang maya yang
didapat dari hasil kejahatan, perbuatan hina, maka pada hakikatnya dunia dan
kehidupan ini tampak seperti yang tergambar dalam bait ke-3 sebagai berikut.
Pada hakikatnya dunia dan kehidupan ini (bumi ini) adalah perempuan jalang
(pelacur yang menjual keindahan dan kenikmatan tubuhnya) yang menawarkan
kenikmatan dunia yang fana kepada orang-orang yang hanya memuaskan hawa
nafsu keduniawian saja, bahkan orang suci (pertapa) pun menjadi munafik.
Kehidupan yang haram itu menjerumuskan mereka itu ke tempat-tempat penuh
kejahatan, kemaksiatan dan kemesuman. Oleh karena itu, membunuh mereka
yang hanya terpikat kepada keduniawian yang fana yang penuh penyakit pada
waktu mulai timbulnya harapan kehidupan yang baik (pagi hari).
Tentu saja, masih ada cara-cara lain untuk mendekati atau meneliti karya sastra
secara semiotik. Akan tetapi, apa yang telah terurai adalah cara-cara atau metode
utama dalam penelitian sastra dengan teori dan metode semiotik.
PEMBAHASAN
1. A.
SYAIR PERJUDIAN
bagi Linus Suryadi AGkalaulah hidup adalah perjudian
jangan pikir arti kalah dan menang
kita butuh bertahan hingga malam larut
dan fajar mencapai tepian tanpa luput
kita telan pil-pil pahit
terhimpit
hitam
dendam
tapi kita
kenapa
tapi
hingga
hidup
Yogyakarta, 1981
Hasil Analisis
1. 1.
(sebenarnya) kita (telah) menjadi orang usiran (telah terusir oleh pendatang dari)
Tanah Seberang (dan kita) menjadi pelancong (pengembara) tanpa paspor
(pengenal) dan tanpa tenda hunian (tempat berteduh). (akan tetapi) harga diri tetap
kita miliki dan kita timang (junjung) hingga kita tak (pernah) takut mati dalam
berbagai keasingan (kesukaran). (karena) hidup memang sebuah perjudian
(pertaruhan) tapi bukan buat kalah dan menang.
Analisis pembacaan secara Hermeneutik
Pembacaan heuristik harus diulang kembali dengan analisis retroaktif dan
ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan konvensi sastra (puisi), yaitu sistem
semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang memberikan makna itu diantaranya
konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) puisi seperti telah dibicarakan
dimuka.
Puisi Syair Perjudian mengiaskan bahwa kehidupan ini ibarat sebuah perjudian.
Kadangkala kehidupan ini diliputi suka cita namun juga terkadang duka cita.
Meski kehidupan ini dipenuhi dengan persaingan yang ketat tapi sekali lagi
jangan pernah menghalalkan segala cara dan tetaplah menjunjung tinggi harga
diri. Pada bait terakhir disebutkan bahwa kehidupan ini jangan diartikan seperti
perjudian yang hanya mengenal kalah dan menang. Pembacaan hermeneutik dari
puisi Syair Perjudian di atas akan dilihat sebagai berikut.
Bait ke-1
Hidup di dunia ini ibarat perjudian (pertaruhan), tapi bukan berati harus
menghalalkan segala cara untuk memenuhi segala keinginan dalam persaingan
hidup. Oleh karena itu jangan hanya memikirkan kalah atau menang. Mari
menjalani dan menikmati hidup sampai akhir usia senja kita (bertahan hingga
larut malam)
Bait ke-2
Dan apabila kita mengalami penderitaan (menelan pil-pil yang terasa pahit) dan
perasaan kita begitu tersiksa (kristal keringat jiwa akan terhimpit). Begitu juga
kalau kita begitu larut menikmati kemewahan dunia (minum bir hitam) maka
dalam hati kita akan dipenuhi penyakit hati (kimia perasaan jiwa akan di penuhi
dendam)
Bait ke-3
(sudah) lama kita pahami (memahaminya) (dan) sambil terus menghisap
(melaksanakan) puting adat (budaya) dan syariat (agama) tapi (sebenarnya) kita
sering (kali) tidak mengerti kenapa perjudian (kehidupan) begitu (sangat)
melelahkan dan kian (terasa) berat.
Bait ke-4
Globalisasi yang begitu mengkhawatirkan akan menjadikan kita terusir dari negeri
kita sendiri (kita menjadi orang usiran oleh pendatang Tanah Seberang) dan
justru kit menjadi seperti tamu dinegeri sendiri yang tidak memiliki apa apa.
(menjadi pelancong (pengembara) tanpa paspor (pengenal) dan tanpa tenda hunian
(tempat berteduh). Meskipun begitu harga diri dan semangat nasionalisme sebagai
bangsa Indonesia tetap kita junjung tinggi. Dengan semangat itulah yang
membuat kta bertahan bahkan tidak takut mati
Pada hakikatnya Syair Perjudian mengiaskan bahwa kehidupan ini ibarat
sebuah perjudian. Kadangkala kehidupan ini diliputi suka cita namun juga
terkadang duka cita. Meski kehidupan ini dipenuhi dengan persaingan yang ketat
tapi sekali lagi jangan pernah menghalalkan segala cara dan tetaplah menjunjung
tinggi harga diri. Pada bait terakhir sang Penyair mengaitkan persaingan
kehidupan itu dengan globalisasi yang membuat masyarakat kita nyaris tak bisa
berbuat apa apa bahkan diungkapkan bahwa kita sudah seperti orang usiran dari
tanah seberang. Meski sang Penyair selalu mengingatkan bahwa hidup ini adalah
bukan persoalan kalah dan menang tapi kita juga mesti mengakui bahwa kita
sudah menghampiri kekalahan itu. Kini sekan kita bingung sendiri hendak berbuat
apa dinegeri sendiri.
Tentu saja, masih ada cara-cara lain untuk mendekati atau meneliti karya sastra
secara semiotik. Akan tetapi, apa yang telah terurai adalah cara-cara atau metode
utama dalam penelitian sastra dengan teori dan metode semiotik.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan kedua bentuk analisis sastra yang telah dijabarkan dalam bab
pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Puisi Syair Perjudian tidak memiliki banyak perbedaan dengan puisi
puisi dalam dunia sastra Indonesia pada umumnya.
2. Setelah dianalisis secara heuristik dengan menambahkan kata kata lain
yang berbentuk sinonim, sisipan, awalan, akhiran, maka larik larik danbait
dapatlah dibaca seperti kalimat kalimat dalam ragam baku. Kemudian,
pembahasannya dilanjutkan secara hermeneutika dengan mengulang
kembali pembacaan tahap pertama. Pembacaan puisi secar hermeneutik
untuk meberikan makna konvensi sastranya.
3. Bila pada pembacaan heuristik kata kata tertulis dalam kurung itu
merupalan unsur tambahan yang berupa sisipan , sinonim, awalan dan
akhiran, maka pada pembacaan hermeneutik kata kata dalam kurung
merupakan kata kata yang tersurat dalam larik larik puisi itu.
1. B.
Saran