Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS HEURISTIC DAN HERMENEUTIKA

PADA PUISI SYAIR PERJUDIAN (SEBUAH


KAJIAN SEMIOTIKA)
Posted on Oktober 17, 2013 by firmanmalewa
Firman
STAIN Palopo

Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Mendefinisikan sastra sangat
ditentukan oleh orang yang menafsirkannya. Dari aspek manapun ia
memandangnya, juga sangat tidak mengikat bagi orang lain untuk memberikan
pemahaman yang berbeda. Oleh karena itu, peneliti dalam memandang karya
sastra sebagai suatu institusi sosial yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Sastra sebagai produk dari masyarakat merupakan potret kehidupan
komunitas tertentu yang memiliki ciri khas sosial budayanya.
Keberadaan karya sastra di tengah masyarakat sangat penting dalam memberikan
nuansa-nuansa kehidupan untuk selalu berlaku arif terhadap alam sekitarnya.
Sastra dapat juga diartikan sebagai suatu lembaga seperti halnya mesjid, gereja,
universitas, dan atau suatu negara. Suatu jenis sastra hidup, tidak seperti binatang
atau bangunan, perpustakaan atau istana negara, tetapi merupakan sebuah
institusi.
Orang dapat bekerja, mengekspresikan diri melalui institusi, dan orang juga dapat
menciptakan institusi-institusi baru. Orang dapat bertindak sejauh mungkin, dapat
mengikuti kebijaksanaan atau ritual institusi tertentu, orang dapat masuk dalam
suatu lembaga lalu mengubahnya sesuai dengan keperluan dan tuntutan
perkembangan kebutuhan hidup manusia pada zamannya. Dalam hal kaitan
keperluan peneliti sebagai seorang mahasiswa, sudah pasti ada unsur kepentingan
yang tersirat di dalamnya.
Dalam upaya menikmati cipta sastra yang merupakan suatu produk masyarakat
tertentu pada zamannya, peneliti memfokuskan diri dalam bidang puisi
tradisional.
Pengertian Puisi
Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang berbeda bentuknya dengan
prosa dan drama. Berikut ini dipaparkan batasan puisi yang diutarakan beberapa
ahli:

1. 1.
Aminuddin (1995: 134) memberikan batasan puisi berdasarkan
istilah. Ia menyatakan bahwa puisi berasal dari bahasa Yunani poima
membuat atau posisi pembuatan dan dalam bahasa Inggris disebut
poem atau poetry. Puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan satu
dunia tersendiri yang mungkin berisi pesan atau gambaran seseorang telah
menciptakan suasana tertentu baik fisik maupun batiniah.
2. 2.
Matthew dalam Elliot (11:2) menyatakan bahwa puisi adalah bentuk
aktivitas intelektual yang tinggi.
3. 3.
Ralp Waldo Emerson (dalam Situmarong, 1983: 8) mengatakan
bahwa pusis mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sedikit
mungkin. Selain rumusan itu, dia juga mengatakan bahwa puisi
menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan serta sebab
musabab yang menyebabkannya.
4. 4.
Lescelles Abercrombie (dalam Situmarong, 1983: 9)menyatakan
bahwa puisi sebagai ekspresi dari pengalaman imajinatif yang hanya
bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat
kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan
setiap rencana yang matang serta bermanfaat. Berdasarkan beberapa
definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pusis adalah susut
ekspresi jiwa dari seorang penyair untuk menampilkan pengalaman hidup
yang melibatkan imajinasi yang tinggi dengan menggunakan media bahasa
yang padat.

Pengertian Semiotik (Semiotics)


Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap
bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik
sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan
bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan
meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus)
wacana mempunyai makna (Preminger, dkk, 1974:1980).
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman,
yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling
mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (18571913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure
menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya
semiotik (semiotics). Kemudian, nama itu sering dipergunakan berganti-ganti
dengan pengertian yang sama. Di Prancis dipergunkan nama semiologi untuk ilmu
itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik.

Tanda: Penanda dan Petanda


Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda
(signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentukformalnya yang
menandai suatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah suatu yang
ditandai oleh penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata ibu merupakan tanda
berupa satuan bunyi yang menandai arti: orang yang melahirkan kita.
Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan
antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks,
dan simbol.
Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah
antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan,
misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (pertanda) sebagai
artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara
penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin
menunjukkan arah angin, dan sebagainya.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah
antara penanda dengan petandanya, hubungan bersifat arbitrer (semau-maunya).
Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. ibu adalah simbol, artinya ditentukan
oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya
mother, Prancis menyebutnya la mere, dan sebagainya. Adanya bermacam-macam
tanda untuk satu arti itu menunjukkan kesemena-menaan tersebut. Dalam
bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.
Perlu diperhatikan, dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda
yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tandatanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya).
Misalnya, dalam penokohan, seorang tokoh tertentu, misalnya dokter (Tono dalam
Belenggu) dicari tanda-tanda yang memberikan indeks bahwa ia dokter. Misalnya
Tono, ia selalu mempergunakan istilah-istilah kedokteran, alat-alat kedokteran,
mobil bertanda simbol dokter, dan sebagainya.
Metode Semiotik dalam Penelitian Sastra
Dikemukakan Preminger dkk (1974:981) bahwa penerangan semiotik itu
memang objek-objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu
langue (bahasa:sistem linguistik) yang mendasari tata bahasanya harus
dianalisis.
Peneliti harus menyendirikan satuan-satuan minimal yang digunakan oleh sistem
tersebut; peneliti harus menentukan kontras-kontras di antara satuan-satuan yang
menghasilkan arti (hubungan-hubungan paradigmatik) dan aturan-aturan
kombinasi yang memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama-

sama sebagai pembentuk-pembentuk struktur yang lebih luas (hubunganhubungan sintakmatik). Dikatakan selanjutnya oleh Premiger bahwa studi
semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sistem tanda-tanda. Oleh karena
itu, peneliti harus menenukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya
sastra mempunyai makna.
Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi
sendiri. Dalam sastra ada jenis-jenis sastra (genre) dan ragam-ragam; jenis sastra
prosa dan puisi, prosa mempunyai ragam: cerpen, novel, dan roman (ragam
utama). Genre puisi mempunyai ragam : puisi lirik, syair, pantun soneta, balada,
dan sebagainya. Tiap ragam itu merupakan sistem yang mempunyai konvensikonvensi sendiri. Dalam menganalisis karya sastra, peneliti harus menganalisis
sistem tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan
tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam ragam sastra itu mempunyai makna.
Sebagai contohnya, genre puisi merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuansatuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan, di antaranya:
personifikasi, simile, metafora, dan metonimi. Tanda-tanda itu mempunyai makna
berdasarkan konvensi-konvensi(dalam) sastra. Di antara konvensi-konvensi puisi
adalah konvensi kebahasaan: bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada
umumnya. Di samping itu, ada konvensi ambiguitas (makna ganda), kontra
indikasi, dan nounse. Ada pula konvensi visual berhubung karya sastra (puisi)juga
ditulis, konvensi visual tersebut di antaranya: bait, baris sajak, enjambement, sajak
(rima), tipografi, dan homologue. Konvensi kepuitisan visual sajak tersebut dalam
linguistik tidak mempunyai arti, tetapi dalam sastra mempunyai atau menciptakan
makna. Tentu saja, masih ada konvensi-konvensi lain yang menyebabkan karya
sastra mempunyai makna.
Cerpen pun mempunyai konvensi-konvensi sendiri yang lain dari konvensi puisi,
misalnya konvensi yang berhubungan dengan bentuk cerita dan sifat naratifnya,
misalnya plot, penokohan, latar atau setting, dan pusat pengisahan (point of view);
di samping itu, juga mempunyai konvensi kebahasan yang berupa gaya bahasa.
Elemen-elemen cerpen itu merupakan satuan-satuan yang harus dianalisis dan
disendiri-sendirikan (dalam arti diekplisitkan).
Arti atau makna satuan itu tidak lepas dari konvensi-konvensi sastra pada
umumnya ataupun konvensi-konvensi tanda-tanda sastra. Seperti telah
diterangkan, tanda-tanda itu mempunyai arti atau makna disebabkan oleh
konvensi-konvensi. Konvensi itu merupakan perjanjan tersebut adalah perjanjian
tak tertulis, disampaikan secara turun-temurun, bahkan kemudian sudah menjadi
hakikat sastra dan konvensi-konvensi tersebut. Tanpa demikian, karya sastra tidak
akan dapat direbut (direkuperasi) maknanya secara optimal. (Dapat juga diganti
diberi makna, bukan direbut, tergantung sudut pandang atau orientasinya).
Di samping metode yang telah terurai, ada metode yang lebih khusus untuk
meneliti karya sastra secara semiotik: pembacaan heuristik dan pembacaan
hermeneutik atau retroaktif yang akan diuraikan kemudian.

Untuk lebih mudah penelitian (atau pendekatan) semiotik yang berikut


dibicarakan konvensi yang penting dalam karya sastra, yaitu konvensi
ketaklangsungan ekspresi sastra dan konvensi hubungan antarteks.
Pembacaan Semiotik : Heuristik dan Hermeneutik atau Retroaktif
Untuk dapat memberikan makna sejak secara semiotik, pertama kali dapat
dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre,
1978:5-6). Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur
bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik
tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaaan karya sastra
berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan
heuristik dengan memberi konvensi sastranya.
Pembacaan heuristik pada sajak dan cerkan pastilah sedikit berbeda meskipun
pada prinsipnya sama. Hal ini disebabkan cerkan bahasanya tidak begitu
menyimpang dari tata bahasa baku. Pembacaan heuristik cerkan adalah
pembacaan tata bahasa ceritanya, yaitu pembacaan dari awal sampai akhir cerita
secara berurutan. Untuk mempermudah pembacaan ini dapat berupa pembuatan
sinopsis cerita. Cerita yang beralur sorot balik (dapat) dibaca secara alur lurus.
Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara
berurutan. Begitu juga, analisis bentuk formalnya merupakan pembacaan
heuristik.
Untuk contoh pembacaan heuristik dan hermeneutik itu di sini diambil sajak
Subagyo Sastrowardojo berikut ini.
DEWA TELAH MATI
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang mengitari bangkai
pertapa yang terbunuh dekat kuil
Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut
pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri
Bumi ini perempuan jalang

yang menarik laki-laki jantan dan pertapa


ke rawa-rawa mesum ini
dan membunuhnya pagi hari.
(Simphoni, 1975: 9)
Pembacaaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya.
Untuk memperjelas arti bilamana perlu disimpan kata atau sinonim kata-katanya
ditaruh dalam tanda kurung. Begitu juga, struktur kalimatnya disesuaikan dengan
kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif); bilamana perlu susunannya
dibalik untuk memperjelas arti. Pembacaan heuristik Dewa Telah Mati itu
sebagai berikut.

Bait ke-1
Di rawa ini tak ada dewa. (Yang ada) hanya gagak yang mengakak (bergaok-gaok)
pada malam hari, dan di waktu siang hari (gagak itu) terbang mengitari bangkai
pertapa yang terbunuh (di) dekat kuil.
Bait ke-2
Di tepi-tepi ini (di rawa-rawa ini) dewa telah mati. (Yang ada) hanya ular yang
mendesir (menjalar dengan berisik) dekat sumber (sumber ait, kolam, atau danau).
Lalu (ular itu) minum (air sumber itu) dari mulut pelacur (dengan mulut pelacur)
yang tersenyum dengan bayangan sendiri (tersenyum melihat bayangannya sendiri
yang cantik).

Bait ke-3
(Begitulah pada hakikatnya; sesungguhnya) bumi ini adalah perempuan jalang
(pelacur, perempuan nakal) yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawarawa mesum ini; dan membunuhnya di pagi hari.
Tentu saja pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak yang
sebenarnya. Pembacaan ini terbatas pada pemahaman terhadap arti bahasa sebagai
sistem semiotik tingkat pertama, yaitu konvensi bahasanya.
Pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik

Pembacaan heuristik harus di ulang kembali dengan bacaan retroaktif dan


ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan konvensi sastra (puisi), yaitu sistem
semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya
konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak, seperti telah dibicarakan di
muka. Pembacaan hermeneutik itu sebagai berikut.
Dewa Telah Mati mengiaskan bahwa dewa atau secara luasnya Tuhan telah
mati, berarti tuhan tidak dipercaya lagi oleh orang-orang (manusia). Secara
keseluruhan bacaan (tafsiran) sajak tersebut sebagai berikut:

Bait ke-1
Di tempat-tempat yang penuh kemaksiatan (rawa-rawa ini) Tuhan tidak dipercayai
lagi oleh orang-orang (manusia). Di tempat yang penuh kemaksiatan ini hanya
orang-orang jahat (koruptor, perampok, dan sebagainya). Orang-orang jahat
(gagak) tersebut melakukan kejahatan atau bersimarajalela (mengakak) di masa
kacau, masa gelap (malam hari). Mereka (orang-orang jahat itu) beramai-ramai
mengelilingi harta yang haram (bangkai) milik orang-orang suci (pertapa, para
pemeluk agama) yang ingkar (pada hakikatnya sudah mati). Mereka terbunuh
(oleh kejahatan) dekat tempat sucinya, tempat peribadatannya (kuil, gereja,
masjid, dll).

Bait ke-2
Tuhan telah tidak dipercaya lagi atau orang-orang telah ingkar kepada Tuhan di
tempat-tempat pinggir (tempat yang tidak benar), tempat yang penuh kemesuman,
kemaksiatan, atau kejahatan. Oleh karena itu, yang ada (pada hakikatnya) hanya
orang-orang jahat (ular) yang berbuat jahat, melakukan makar di tempat-tempat
kekayaan, keberuntungan (mendesir dekat sumber). Para penjilat itu (ular itu) lalu
memuaskan nafsunya (minum) dari mulut para pelacur atau dengan mulut pelacur
(orang-orang yang melacurkan diri, menjual harga dirinya). Artinya, orang-orang
tersebut mendapat kekayaan, kesenangan, kebahagiaan, pangkat, atau kekuasaan
dari melacurkan diri: menjilat atasannya atau para penguasa demi keuntungan
dirinya, tak peduli halal atau haram. Mereka tidak peduli kehinaan, bahkan masih
dapat tersenyum (berbangga diri) melihat bayangannya di depan cermin (rupanya
yang tampak indah di kaca). Mereka masih mengagumi kehebatannya,
kekayaannya yang sebelumnya hanya palsu (hanya bayangan).
Bait ke-3
Berdasarkan pada baik ke-1 dan ke-2, yaitu di tempat ini, di negeri ini, dipenuhi
oleh orang jahat yang hanya mementingkan kehidupan dunia yang maya yang
didapat dari hasil kejahatan, perbuatan hina, maka pada hakikatnya dunia dan
kehidupan ini tampak seperti yang tergambar dalam bait ke-3 sebagai berikut.

Pada hakikatnya dunia dan kehidupan ini (bumi ini) adalah perempuan jalang
(pelacur yang menjual keindahan dan kenikmatan tubuhnya) yang menawarkan
kenikmatan dunia yang fana kepada orang-orang yang hanya memuaskan hawa
nafsu keduniawian saja, bahkan orang suci (pertapa) pun menjadi munafik.
Kehidupan yang haram itu menjerumuskan mereka itu ke tempat-tempat penuh
kejahatan, kemaksiatan dan kemesuman. Oleh karena itu, membunuh mereka
yang hanya terpikat kepada keduniawian yang fana yang penuh penyakit pada
waktu mulai timbulnya harapan kehidupan yang baik (pagi hari).
Tentu saja, masih ada cara-cara lain untuk mendekati atau meneliti karya sastra
secara semiotik. Akan tetapi, apa yang telah terurai adalah cara-cara atau metode
utama dalam penelitian sastra dengan teori dan metode semiotik.

PEMBAHASAN
1. A.

Karya sastra yang dianalisis

SYAIR PERJUDIAN
bagi Linus Suryadi AGkalaulah hidup adalah perjudian
jangan pikir arti kalah dan menang
kita butuh bertahan hingga malam larut
dan fajar mencapai tepian tanpa luput
kita telan pil-pil pahit
terhimpit
hitam
dendam

kristal keringat jiwa


kita tenggak bir-bir
kimia jiwa yang penuh

lama sudah kita pahami


sambil terus menghisap puting adat dan syariat
sering tidak mengerti
perjudian begitu melelahkan dan kian berat

tapi kita
kenapa

kita menjadi orang usiran Tanah Seberang


menjadi pelancong tanpa paspor dan tanpa tenda hunian
harga diri tetap kita miliki dan kita timang
kita tak takut mati dalam berbagai keasingan
memang sebuah perjudian tapi bukan buat kalah dan menang

tapi
hingga
hidup

Yogyakarta, 1981

Hasil Analisis
1. 1.

Analisis semiotik dengan pembacaan heuristik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau


secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.
Pembacaan heuristik pada sajak dan cerpen pastilah sedikit berbeda meskipun
pada prinsipnya sama. Hal ini disebabkan cerpen biasanya tidak begitu
menyimpang dari tata bahasa baku. Pembacaan heuristik cerpen adalah
pembacaan tata bahasa ceritanya, yaitu pembacaan dari awal sampai akhir cerita
secara berurutan. Untuk mempermudah pembacaan ini dapat berupa pembuatan
sinopsis cerita. Cerita yang beralur sorot balik (dapat) dibahas secara alur lurus.
Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian bagian cerita secara
berurutan. Begitu juga, analisis bentuk formalnya merupakan pembacaan
heuristik.
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya.
Untuk memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata
katanya ditulis dalam tanda kurung. Begitu juga, struktur kalimatnya disesuaikan
dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif); bilamana perlu
susunannya dibalik untuk memperjelas arti. Adapun bentuk puisi Syair
perjudian dengan pembacaan secara heuristik adalah sebagai berikut:
Bait ke-1
(seandainya) kalaulah hidup adalah perjudian (pertaruhan), (maka) jangan
(pernah) (ber) pikir (apa) arti kalah dan menang. (karena)
kita (mem) butuh (kan) bertahan hingga malam
larut
dan fajar mencapai (sampai) tepian (kaki
langit/cakrawala) tanpa luput.
Bait ke-2
(Apabila) kita telan (menelan) pil-pil (yang terasa) pahit, maka kristal keringat
jiwa akan terhimpit. (apabila) kita tenggak (minum) bir-bir (berwarna) hitam
maka kimia (perasaan) jiwa (akan) (di) penuh (i) dendam
Bait ke-3
(sudah) lama kita pahami (memahaminya) (dan) sambil terus menghisap
(melaksanakan) puting adat (budaya) dan syariat (agama) tapi (sebenarnya) kita
sering (kali) tidak mengerti kenapa perjudian (kehidupan) begitu (sangat)
melelahkan dan kian (terasa) berat.
Bait ke-4

(sebenarnya) kita (telah) menjadi orang usiran (telah terusir oleh pendatang dari)
Tanah Seberang (dan kita) menjadi pelancong (pengembara) tanpa paspor
(pengenal) dan tanpa tenda hunian (tempat berteduh). (akan tetapi) harga diri tetap
kita miliki dan kita timang (junjung) hingga kita tak (pernah) takut mati dalam
berbagai keasingan (kesukaran). (karena) hidup memang sebuah perjudian
(pertaruhan) tapi bukan buat kalah dan menang.
Analisis pembacaan secara Hermeneutik
Pembacaan heuristik harus diulang kembali dengan analisis retroaktif dan
ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan konvensi sastra (puisi), yaitu sistem
semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang memberikan makna itu diantaranya
konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) puisi seperti telah dibicarakan
dimuka.
Puisi Syair Perjudian mengiaskan bahwa kehidupan ini ibarat sebuah perjudian.
Kadangkala kehidupan ini diliputi suka cita namun juga terkadang duka cita.
Meski kehidupan ini dipenuhi dengan persaingan yang ketat tapi sekali lagi
jangan pernah menghalalkan segala cara dan tetaplah menjunjung tinggi harga
diri. Pada bait terakhir disebutkan bahwa kehidupan ini jangan diartikan seperti
perjudian yang hanya mengenal kalah dan menang. Pembacaan hermeneutik dari
puisi Syair Perjudian di atas akan dilihat sebagai berikut.
Bait ke-1
Hidup di dunia ini ibarat perjudian (pertaruhan), tapi bukan berati harus
menghalalkan segala cara untuk memenuhi segala keinginan dalam persaingan
hidup. Oleh karena itu jangan hanya memikirkan kalah atau menang. Mari
menjalani dan menikmati hidup sampai akhir usia senja kita (bertahan hingga
larut malam)
Bait ke-2
Dan apabila kita mengalami penderitaan (menelan pil-pil yang terasa pahit) dan
perasaan kita begitu tersiksa (kristal keringat jiwa akan terhimpit). Begitu juga
kalau kita begitu larut menikmati kemewahan dunia (minum bir hitam) maka
dalam hati kita akan dipenuhi penyakit hati (kimia perasaan jiwa akan di penuhi
dendam)
Bait ke-3
(sudah) lama kita pahami (memahaminya) (dan) sambil terus menghisap
(melaksanakan) puting adat (budaya) dan syariat (agama) tapi (sebenarnya) kita
sering (kali) tidak mengerti kenapa perjudian (kehidupan) begitu (sangat)
melelahkan dan kian (terasa) berat.
Bait ke-4

Globalisasi yang begitu mengkhawatirkan akan menjadikan kita terusir dari negeri
kita sendiri (kita menjadi orang usiran oleh pendatang Tanah Seberang) dan
justru kit menjadi seperti tamu dinegeri sendiri yang tidak memiliki apa apa.
(menjadi pelancong (pengembara) tanpa paspor (pengenal) dan tanpa tenda hunian
(tempat berteduh). Meskipun begitu harga diri dan semangat nasionalisme sebagai
bangsa Indonesia tetap kita junjung tinggi. Dengan semangat itulah yang
membuat kta bertahan bahkan tidak takut mati
Pada hakikatnya Syair Perjudian mengiaskan bahwa kehidupan ini ibarat
sebuah perjudian. Kadangkala kehidupan ini diliputi suka cita namun juga
terkadang duka cita. Meski kehidupan ini dipenuhi dengan persaingan yang ketat
tapi sekali lagi jangan pernah menghalalkan segala cara dan tetaplah menjunjung
tinggi harga diri. Pada bait terakhir sang Penyair mengaitkan persaingan
kehidupan itu dengan globalisasi yang membuat masyarakat kita nyaris tak bisa
berbuat apa apa bahkan diungkapkan bahwa kita sudah seperti orang usiran dari
tanah seberang. Meski sang Penyair selalu mengingatkan bahwa hidup ini adalah
bukan persoalan kalah dan menang tapi kita juga mesti mengakui bahwa kita
sudah menghampiri kekalahan itu. Kini sekan kita bingung sendiri hendak berbuat
apa dinegeri sendiri.
Tentu saja, masih ada cara-cara lain untuk mendekati atau meneliti karya sastra
secara semiotik. Akan tetapi, apa yang telah terurai adalah cara-cara atau metode
utama dalam penelitian sastra dengan teori dan metode semiotik.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan kedua bentuk analisis sastra yang telah dijabarkan dalam bab
pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Puisi Syair Perjudian tidak memiliki banyak perbedaan dengan puisi
puisi dalam dunia sastra Indonesia pada umumnya.
2. Setelah dianalisis secara heuristik dengan menambahkan kata kata lain
yang berbentuk sinonim, sisipan, awalan, akhiran, maka larik larik danbait
dapatlah dibaca seperti kalimat kalimat dalam ragam baku. Kemudian,
pembahasannya dilanjutkan secara hermeneutika dengan mengulang
kembali pembacaan tahap pertama. Pembacaan puisi secar hermeneutik
untuk meberikan makna konvensi sastranya.
3. Bila pada pembacaan heuristik kata kata tertulis dalam kurung itu
merupalan unsur tambahan yang berupa sisipan , sinonim, awalan dan
akhiran, maka pada pembacaan hermeneutik kata kata dalam kurung
merupakan kata kata yang tersurat dalam larik larik puisi itu.

1. B.

Saran

Adapun saran dalam penulisan makalah ini adalah:


1. berdasarkan hasil analisis pada puisi tersebut, maka kita setiap pribadi
ataupun generasi muda kita mesti memiliki kesadaran akan pentingnya
memaksimalkan potensi diri karena jika tidak kita akan tersisihkan oleh
bangsa bangsa lain dan kita tidak akan mendapat apa apa kecuali jadi
budak dinegeri sendiri.
2. Untuk memahami sebuah karya sastra khususnya jenis puisi maka
penggunaan analisis semiotik mungkin menjadi pilihan yang ideal untuk
dipakai.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: CV. Sinar
Bandung
Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Blamington & London: Indiana
University Press.
Suminto A. Sayuti, Syair Perjudian .Horison: Kaki Langit. No.123/Maret/2007.
Hal.5
Situmorang, S. 1983. Dalam sajak W. Van Hoeve. Bandung: Graventage.
Teew, A. 1981. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Welleh, Reng, dan Austin Warren. 1968. Theory of Literatur. Harmondsworth,
Middlesex: Penguin Boks.

Anda mungkin juga menyukai