Anda di halaman 1dari 12

Nama : Febriani

NIM : A311 16 006


SEMIOTIKA

A. Pengertian Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda
adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dalam dunia
ini,ditengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Kata “semiotika” itu sendiri berasal
dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda”atau same yang berarti “penafsir tanda”.
Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika.
“tanda”pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjukan pada adanya hal lain.
Contohnya, asap menandai adanya api.

Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki arti
pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya
dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang
ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam system bahasa yang bersangkutan.
Dalam penelitian sastra,misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda
(strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantik).

Menurut Paul Cobley dan Litza Jansz, munculnya studi kasus tentang sistem
penandaan benar-benar merupakan fenomena modern. Tanda dalam pandangan Peirce adalah
Sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Ia hadir dalam proses interpretasi (semiosis)
yang mengalir.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa studi simiotika disusun dalam tiga poros. Poros
horizontal mengkaji tiga jenis penyelidikan semiotika (murni,deskriptif, dan terapan); poros
vertikal menyajikan tiga tataran hubungan semiotik (sintaktik, semantik, dan pragmatik); dan
poros yang menyajikan tiga katagori sarana informasi (signals, signs, dan symbols).

B. Pokok dan Tokoh Semiotika


 Charles Sanders Peirce

Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan
multidimensional. Bagi Peirce (Pateda, 2001:44), tanda adalah sesuatu yang digunakan agar
tanda bias berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau
represantamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object, dan
interpratent. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang
dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign
adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, dan
merdu. Sinsign adalah eksistensi actual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya
kata kabur atau keruh yang pada dasarnya kata air sungai keruh yang menandakan ada hujan
di hulu sungai. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu
lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.

Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atau icon (ikon), index (indeks), dan
symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat
bersamaan atau alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek
atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang
menunjukan adanya hubungan alamiah antara yanda dan petanda yang bersifat kausal atau
hubungan sebab akibat, atau tabda yang langsung mengacu pada kenyataa

 Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure disebut sebagai pendiri linguistic modern dialah sarjana dan
tokoh besar asal Swiss. Sedikitnya ada lima pandangan dari Saussure yang kemudian hadi
menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yaitu pandangan tentang:

(1) signifier (penanda) dan signified (petanda)


prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu system tanda, dan setiap
tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda).
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide atau petanda. Jadi
penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa
yang ditulis atau di baca. Pendata adalah aspek mental dari bahasa.
(2) form (bentuk) dab content (isi)
Istilah form (bentuk) dan content (isi) diistilahkan dengan expression dan content, satu
berwujud bunyi dan yanglain berwujud idea. Yang penting adalah fungsinya dibatasi.
Jadi, bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang ditentukan oleh materi, tetapi
sistem itu di tentukan oleh perbedaanya.
(3) langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran)
Saussure dianggap cukup penting oleh Recoeur karena ia-lah yang meletakkan dasar
perbedaan lauge dan parole sebagai dua pendekatan linguistik yang pada gilirannya nanti
dapat menunjang pemikiran Recoeur, khususnya dalam teori wacana. Saussure
membedakan tiga istilah dalam bahasa prancis: langage, launge (sistem bahasa) dan
parole (keiatan ujaran) .
Lauguge adalah suatu kemampuan bahasa yang ada pada setiap manusia yang
sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangan dengan lingkungan dan
stimulus yang menunjang. Singkatnya languge adalah bahasa pada umumnya.
Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa tertentu. Akibatnya langue
melebihi semua individu yang berbicara dibawakannya dalam sebuah konser oleh orkes
tertentu (dalam segala kekurangan umpamanya).
Parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya dipandang sebagai individual.
Parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan subjek(penutur) sanggup
menggunakan kode bahasauntuk mengungkapkan pikiran pribadinya.
(4) synchronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis)
Yang dimaksud dengan sinkronis sebuah bahasa adalah deskripsi tentang keadaan
tertentu bahasa tertentu(pada suatu “masa”)”. Sinkronis mempelajari bahasa tanpa
mempersonalkan urutan waktu. Yang dimaksud dengan diakronis adalah “menelusuri
waktu”. Jadi, studi diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang perkembangan
sejarah (“melalui waktu”). Atau dengan kata lain, linguistik diakronis ialah subdisiplin
linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa pada masa ke masa.
(5) syntagmatic (sintagmatik) associative (paradigmatik).
Satu lagi bahasan struktur bahasa yang dibahas dalam konsepsi dasar Saussure tentang
sistem perbedaan antara tanda-tanda adalah mengenai syntagamativ dan associative
(paradigmatik), atau antara sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan-hubungan ini
terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun sebagai konsep.

 Roman Jakobson

Roman Jakobson adalah salah satu dari beberapa ahli linguistic adab ke 20 yang pertama
kali meneliti secara serius baik pembelajaran bahasa maupun bagaimana fungsi bahasa bias
hilang seperti yang berlangsung pada afasia (Lechte, 2001 : 108).

Jakobson mengemukakan bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu :


1. Fungsi Referensial, pengacu pesan.
2. Fungsi Emotif, pengungkap keadaan pembicara.
3. Fungsi Konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera
dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak.
4. Fungsi Metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan.
5. Fungsi Fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara
pembicara dengan penyimak.
6. Fungsi Puitis, penyandian pesan.

Setiap fungsi bersejajar dengan faktor fundamental yang memungkinkan bekerjanya bahasa:
1. Fungsi Referensial, sejajar dengan faktor konteks atau referen.
2. Fungsi Emotif, sejajar dengan faktor pembicara.
3. Fungsi Konatif, sejajar dengan faktor pendengar yang diajak bicara.
4. Fungsi Metalingual, sejajar dengan faktor sandi atau kode.
5. Fungsi Fatis, sejajar dengan faktor kontak (awal komunikasi).
6. Fungsi Puitis, sejajar dengan faktor amanat dan pesan.

Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan
manusia membedakan unit-unit semantik, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan
mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya
dengan ciri-ciri suara yang lain.

 Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Roland Barthes dikenal sebagai
salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi
Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk
kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama
bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara


teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam
teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini
dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai
kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
signifier-signified yang diusung Saussure.

Ia berpendapat bahasa adalah sebuah system tanda yang mencerminkan asumsi –


asumsi dari suatu masyarakat dalam waktu tertentu. Lima kode yang ditinjau Barthes adalah
kode hermeneutic (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode
proaretik (logika tindakan), dan kode gnomic atau kode kultural yang membangkitkan suatu
badan pengetahuan tertentu.
Kodehermeneutic atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan “kebenaran” bagi pernyataan yang muncul dalam teks.

kodesemik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Jika sejumlah
konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut
tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa denotasi sebagai konotasi yang
paling kuat dan paling “akhir”.

kodesimbolikmerupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat structural


atau tepatnya menurut konsep Bathes, pascastruktural. Dalam suatu teks herbal, perlawanan
yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti
antithesis, yang merupakan hal istimewa dalam system symbol Barthes.

kodeproaretikatau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama


teks yang dibaca orang; artinya antara lain, semua teks yang bersifat naratif.

kodegnomic atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke
benda – benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.

1. Signifier 2. Signified
(penanda) (petanda)

3. Denotative sign (tanda denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED


(PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1)
dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative adalah juga penanda
konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material.

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan
namun juga mengandung kedua bagiantanda denotative yang melandasi keberadaanya.
Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiology
Saussure, yang behenti pada penandaan dalam tataran denotative.

Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut
Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi
dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan
petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita
Kusumarini,2006).

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu
masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah
terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna
denotasi tersebut akan menjadi mitos.

Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena
dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang
menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin
yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada
pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap
sebagai sebuah Mitos.

 Jacques Derrida

Derrida terkenal dengan model semiotika dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut


Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun
bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep
demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas
—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier)
melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan
konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda
senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100).
Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi
biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula
pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak
lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan
yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan
banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal
sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam
gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru
bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan
persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.

Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan
kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi,
‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya
temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan
sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut
menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara
khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.

Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan


ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat
menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus
tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda
dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida
lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang
membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar
melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik
tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.

 Umberto Eco

Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang
menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer.
Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika
sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).

Berkaitan dengan semiotika, belakangan ini, semiotika menunjukkan perhatian besar


dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat linguistik dan budaya. Berbeda
dengan konsep yang lebih statis yang diajukan Ferdinand de Saussure tentang tanda dan
pendekatan taksonimis semiotika, serta pendekatan semiotika Charles Sanders Peirce yang
bersifat taksonimis, Eco memastikan diri untuk menyelidiki sifat – sifat dinamis tanda.

Eco menganggap tugas ahli semiotika bak menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan
perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi
konsep fungsi tanda. Eco menyimpulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang
dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen yang berasal
dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu
atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode
yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki
arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-
s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau
“konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini
serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu
kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di
samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.

C. M.A.K HALLIDAY
Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal ini
berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang
dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial
bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana
perkembangannya (Halliday, 1977, 1978; Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai salah
satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, dan sistem sopan santun secara
bersamasama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa
terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.
Dalam berbagai tulisannya, Halliday menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses
sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar yang lain melalui
bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena
bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek social.
Semiotika Sosial dari M.A.K. Halliday dalam analisis isi media, adalah untuk
menemukan hal terkait dengan tiga komponen Semiotika Sosial, yaitu: Medan Wacana (field
of discourse); Pelibat Wacana (tenor of discourse); dan Sarana Wacana (mode of discourse).
 Dari segi Medan Wacana (field of discourse) maka tujuannya untuk mengetahui apa
yang dijadikan wacana media massa mengenai sesuatu yang terjadi di lapangan.
 Terkait Pelibat Wacana (tenor of discourse), maka untuk megetahui orang-orang yang
dicantumkan dalam teks (seperti berita, editorial, dan lain-lain); sifat orang-orang itu,
kedudukan dan peranan mereka.
 Sementara dari segi Sarana Wacana (mode of discourse), untuk mengetahui bagian
yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa) menggunakan
gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang
dikutip). Bagi keperluan praktis, kandungan tersebut memberikan implikasi apa?
(diantaranya yaitu berupa makna, citra, opini dan motif).1

C. Aplikasi Semiotik Komunikasi


Suatu penelitian semiotika umum akan dihadapkan pada berbagai batas kajian (A
Theory of Semiotika, Eco/1979). Beberapa diantaranya harus disepakati sementara,
sedangkan lainnya, menurut Eco, ditentukan oleh objek disiplin ilmu itu sendiri. Eco,
mengemukakan tiga batas hubungan dengan penelitian semiotika, yaitu:
1. Ranah budaya.
2. Ranah alam.
3. Ranah epistimologis.

Bidang semiotika memang dapat dikatakan bidang yang begitu luas. Bidang ini biasa
berupa bidang komunikatif yang tampak lebih ‘alamiah’ dan spontan pada system budaya
yang lebih kompleks. Bidang terapan semiotika pada bidang komunikasi tidak terbatas.
Misalnya, bisa mengambil objek penelitian mulai dari pemberitaan media massa, komunikasi
periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, sastra sampai kepada musik. Pada
komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun contoh aplikasi semiotika
di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain :

1. Media
Mempelajari media adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa,
seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan bagaimana ia
berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.Dalam konteks media massa, khusunya media cetak
kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.
Untuk teknik – teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah :
1. Teknik kuantitatif
Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas,
namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri – ciri yang dapat di ukur dinyatakan sebagai
tanda merupakan titik tolak penelitian ini.Menurut Van Zoest, (1993:146-147), hasil

1 Hamad, Ibnu, (2007). Analisis Wacana (Discourse Análisis) Sebuah Pengenalan Awal, Jakarta, Diktat
Perkuliahamn Methode Penelitian Komunikasi Kulaitatif, PPS MIK UPDM (B) Jakarta, hal. 15.
analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler namun sekaligus selalu mengorbankan
ketahanan uji metode – metode yang digunakan.
2. Teknik kualitatif
Pada analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis.
Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan
dari istilah yang digunakan.
Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4)
a. Pendekatan Politik-Ekonomi
Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan –
kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media.
b. Pendekatan Organisasi
Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan
bahwa isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan – kekuatan eksternal di luar
diri pengelola media.
c. Pendekatan Kulturalis
Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi
berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media.
Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan
aturan oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak
dapat dilepaskan dari kekuatan – kekuatan politik-ekonomi di luar media.Secara teoritis,
media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien.
Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh
jalinan banyak kepentingan.
Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang dianggap
tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak
perlu disebar luaskan. Media menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian
memolesnya menjadi suatu kemasan yang layak disebar luaskan.
Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :
1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik – praktik signifikasi.
2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik – praktik kekuasaan.
3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik – praktik produksi.
Prakti–praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk (John B. Thomson, 1994) yaitu:
 Kekuasaan Ekonomi : dilembagakan dalam industri dan perdagangan
 Kekuasaan Politik : dilembagakan dalam aparatur Negara
 Kekuasaan Koersif : dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter

2. Periklanan
Semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri atas 2 lambang yakni
lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam
iklan). Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu diperhatikan (Berger) :
 Penanda dan petanda.
 Gambar, indeks, symbol.
 Fenomena sosiologi.
 Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk.
 Desain dari iklan.
 Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi
tersebut.
Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang
dikandungnya yaitu:
 Pesan Linguistik : Semua kata dan kalimat dalam iklan
 Pesan yang terkodekan : Konotasi yang muncul dalam foto iklan
 Pesan ikonik yang tak terkodekan : Denotasi dalam foto iklan

3. Tanda NonVerbal
Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.
Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara :
 Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya.
 Tanda yang ditimbulkan oleh binatang.
 Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.
Namun tidak keseluruhan tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang universal.
Hal ini dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap budaya
yang lain.Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk
diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda
konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia.
Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan
untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda atau sesuatu yang
bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal
atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti, antara lain :
 Langkah Pertama : Melakukan survai lapangan untuk mencari dan menemukan objek
penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti.
 Langkah Kedua : Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep –konsep
pada tanda nonverbal.
 Langkah Ketiga : Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap
objek yang ditelitinya.
 Langkah Keempat: Merupakan langkah terpenting menentukan model semiotika yang
dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya model tertentu adalah
pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau objektivitas penelitian tersebut
dapat terjaga.

4. Film
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah
gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni,
mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan
layar.
(Sardar & Loon) Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata
bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan
linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan. Figur utama dalam pemikiran
semiotika sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes
et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis
memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui
hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih
beralasan dan tidak pernah semena.

Referensi: Christya, Rentika. 2018. Makalah Semiotika─Metode Penelitian Kualitatif.


https://www.academia.edu/18314790/MAKALAH_SEMIOTIKA_-
METODE_PENELITIAN_KUALITATIF, diakses pada 8 November 2018.

Anda mungkin juga menyukai