Anda di halaman 1dari 11

Akuntabilitas dan Pembentukan Perilaku Amanah

dalam Masyarakat Islam


Masiyah Kholmi
Universitas Muhammadiyah Malang
e-mail: masiyahkholmi@gmail.com

Abstract
This paper aims to review accountability in the Islamic perspective in the frame of the
trust. Trustful metaphor as a metaphor for seeing, understanding, and develop a ho -
listic of accountability concept. Trustful metaphor is derived from an axiom which
says that humans are basically functioning as Khalifatullah fil ard (God's representa -
tives on earth). As khalifah, the people were given the mandate and responsibilities.

Keywords:
accountability, principal, agent, trust, khalifatullah fil ard

Ab strak
Artikel ini in gin menelaah akuntabilitas dalam perspektif Islam utamanya amanah.
Amanah sebagai metafora untuk melihat, memahami, dan mengembangkan konsep
akuntabilitas yang holistik. Metafora amanah yang diturunkan dari aksioma bahwa
manusia pada dasarnya berfungsi sebagai khalifah Tuhan di muka bumi (khalifatullah
fil ard). Sebagai khalifah, manusia diberi mandat dan tanggung jawab.

Kata Kunci:
akuntabilitas, prinsip, agen, trust, khalifah

Pendahuluan
Islam memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan dengan pertanggungjawaban
(akuntabilitas), karena dalam Islam semua yang dititipkan kepada manusia adalah amanah.
Konsep amanah merupakan bagian universal yang kemudian diturunkan menjadi
akuntabilitas sebuah konsep barat yang diturunkan dari teori agensi. Teori agensi berawal
dari adanya bentuk perusahaan yang memisahkan dengan tegas antara kepemilikan dan
pengendalian perusahaan. Pemisahan ini akan menimbulkan masalah karena adanya
perbedaan kepentingan antara pemegang saham (sebagai prinsipal) dengan pihak
manajemen sebagai agen (Jensen dan Meckling, 1976). Pemisahan pemilik (pemegang
saham) dan manajemen, dalam literatur akuntansi dikenal sebagai agency theory yang
melihat hubungan berdasarkan konsep principal dan agent (Harahap, 2005).
Dua pihak yang ada dalam kerangka pikir akuntabilitas biasanya dideskripsikan
sebagai principal dan agent. Gray, et al. (1987) mendefinisikan Principal sebagai pihak
yang harus diberikan pertanggungjawaban dan agent dimaksudkan sebagai pihak yang
melakukan pertanggungjawaban dan memberikan penjelasan atau justifikasi atas segala
aktivitas yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak yang memberi wewenang ( prin-
cipal). Sementara, Power (1991) menggunakan konsep principal-agent dalam membangun
kerangka p ikir akuntabilitas lingkungan temp at peru sahaan memp ertanggungjaw abkan
kepada masyarakat dalam penghargaannya terhadap lingkungan.
Definisi tersebut merupakan sumbangan pemikiran dalam kerangka pikir
akuntabilitas yang diakarkan pada agency theory yang mendasarkan hubungan kontrak
antara pemilik atau pemegang saham sebagai prinsipal, dan manajemen sebagai agen.
I1I
Dimana agen berkewajiban untuk mempertanggungjawaban aktivitasnya terhadap
prinsipal. Dengan demikian, akuntabilitas muncul sebagai konsekuensi logis atas adanya
hubungan antara agent dan principal. Hubungan tersebut oleh banyak ahli disebut dengan
hubungan keagenan (agency relationship), seperti Jensen and Meckling (1976) menyebutkan
tentang agency relationship dengan definisi berikut:
An agency relationship as a contract under which one or more persons (the
principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on
their behalf which involves delegating some decision making authority to
the agent.
Definisi tersebut mempunyai pengertian bahwa hubungan keagenan merupakan
sebuah kontrak dalam bentuk pendelegasian wewenang dalam pembuatan keputusan
yang diberikan oleh pihak pemilik ( principal) kepada pihak perusahaan atau organisasi
(agent).
Agency theory yang menjadi kerangka pikir akuntabilitas seperti saat ini sarat
dengan nilai egois, materialitas, bersifat kuantitatif dan dibelenggu dengan sistem kapitalis.
Nilai egois dan materialistik dimunculkan dari adanya asumsi dasar dari teori keagenan
(agency theory) yang dikemukakan oleh (Eisenhardt, 1989), yaitu manusia memiliki sifat
untuk mementingkan diri sendiri (self interest), adanya konflik antar organisasi, efisiensi
sebagai kriteria produktivitas, adanya kesenjangan informasi antara prinsipal dan agen,
serta informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan Hal ini
menjadikan agen seringkali kali bertindak apportunis, manajemen (agen) hanya
mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan utilitas.
Sifat egois dan materialistik diekspresikan dengan jelas pada tindakan manajemen
dalam menggunakan akuntansi (laporan keuangan) sebagai alat untuk melakukan
rekayasa dan akuntabilitas menjadi pemberian informasi (laporan keuangan) terhadap
kepentingan (ego) pemilik modal ( shareholders) untuk mendapatkan informasi besarnya
laba yang menjadi haknya1. Sementara pihak di luar pemilik modal seakan-akan tidak
memberikan kontribusi bagi kelangsungan hidup suatu organisasi atau perusahaan,
sehingga tidak perlu pemberian informasi.
Kedua sifat tersebut semakin menguat, karena mendapatkan pembenaran dari
nilai utilitarianisme. Utilitarianisme pada dasarnya memiliki anggapan bahwa nilai baik
atau buruk dari sebuah perbuatan diukur dengan ada tidaknya utilitas (yang tidak lain
adalah materi) yang dihasilkan dari perbuatan tersebut. Sepanjang perbuatan itu
menghasilkan utilitas, maka sepanjang itu pula sebuah perbuatan dikatakan baik tanpa
sama sekali melihat bagaimana prosesnya. Padahal tidak menutup kemungkinan bahwa
proses yang dijalankan tersebut justru bertentangan dengan nilai-nilai etika yang berlaku
dalam masyarakat (Triyuwono, 2006).
Karakter tersebut bukannya tanpa masalah. Karakter ini mengakibatkan terjadinya
dehumanisasi bagi diri manusia itu sendiri. Manusia terperangkap oleh kehidupan yang
segalanya diukur oleh materi dan menyeret manusia pada lembah kehidupan kapitalis,
bagaikan kehidupan dalam hutan rimba, siapa yang kuat (modal) itulah yang menang.
Karakter ini pada akhirnya menjauhkan manusia pada nilai kejujuran dan keadilan, serta
menjauhkan manusia dari TuhanNya. Sehingga tidak sedikit seseorang (pemimpin)
melakukan eksploitasi, manipulasi, penyelewengan, penyalagunaan wewenang dan

I2I
Volume 15 Nomor 1 Juni 2012
Masiyah Kholmi : A kuntabilitas dan Pembøtukan Perilaku A manah dalam Masyarakat Islam

jabatan, serta korupsi di bumi pertiwi ini (Indonesia) hanya untuk mencapai kesenangan
di dunia, walaupun berakhir hidup di penjara. Begitulah fakta kehidupan yang kita
temukan sekarang.
Hal tersebut dapat memberikan makna, sedikit manusia yang sadar bahwa: Tiap tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya (Q.S. Al-Muddasir [74]: 38).
Dan setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap kepemimpinan itu (Al Hadist, H. R.
Tirmidzi, Abu Dawud, Shahih Bukhari dan Muslim).
Konsep Islam hadir untuk melakukan perbaikan terhadap suatu kerangka pikir
akuntabilitas yang dapat menjadi stimulan bagi individu dan organisasi untuk
meningkatkan kesadaran terhadap agama, keyakinan, dan bertanggung jawab terhadap
TuhanNya, sesama manusia, serta alam. Kajian ini mencoba untuk memberikan pemikiran
tentang konsep akuntabilitas dalam bingkai amanah yang dapat melahirkan inspirasi dalam
memperluas konsep akuntabilitas yang saat ini domain pada dimensi materi (dalam bentuk
laporan keuangan).
Filosofi Akuntabilitas
Secara filosofi akuntabilitas adalah amanah. Amanah berarti dapat dipercaya. Sifat
amanah merupakan syarat pokok bagi setiap pemimpin karena jika tidak memiliki sifat
tersebut, niscaya akan membawa kepada kerusakan masyarakat atau bangsa dan negara.
Sebagaimana digambarkan dalam Hadist Bukhari meriwayatkan dengan sanad dari Abi
Hurairah r.a. (Mahmud, 1998: 211), Bukhari menjelaskan bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
"Jika amanat telah disia-siakan maka tunggulah masa kehancuran.
"Ditanyakan,"Wahai Rasulullah SAW. Bagaimana penyia-nyiaan itu?"
Rasulullah saw. bersabda, "Jika suatu tugas diberikan kepada yang bukan
ahlinya maka tunggulah masa kehancurannya".

Hal itu, juga dipertegas dalam firman Allah dalam Al-Qur'an, (An Nisa' [4]: 58)
yang artinya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Al lah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".
Menyimak firman Allah SWT, dapat dipahami bahwa ayat ini menjelaskan tentang
dua kewajiban pemimpin (Mahmud, 1998: 226), yaitu: Kewajiban pertama, yaitu memberikan
amanah kepada yang berhak. Perintah akan melaksanakan ini datang dengan redaksi Al-
Qur ' a n dit uj uka n ke pa da m er e ka ya ng me nda pat ka n ke pe rc a ya a n da n or a ng ya ng
memegang urusan mengatur hak-hak manusia. Kewajiban kedua, yaitu memberikan
keputusan hukum diantara manusia dengan adil. Atau menyampaikan kebenaran kepada
pemiliknya, serta menanggulangi orang yang merampas hak itu dan merebut darinya
untuk diberikan kepada yang berhak.
Dalam tradisi Islam, manusia adalah Khalifatullah fil Ardh (wakil Tuhan di bumi)
(Q.S Al-Baqarah [2]: 30; Fathir [35]: 39) dengan misi khusus "menyebarkan rahmat bagi
seluruh alam" (Q.S Shad [38]: 26) sebagai amanah dari Tuhan. Dengan misi khusus ini,
manusia diberi amanah untuk mengelola bumi berdasarkan keinginan Tuhan ( the will of
I3I
Volume 15 Nomor 1 Juni 2012
God). Ini artinya bahwa manusia berkewajiban mengelola bumi berdasarkan pada etika
syariah, yang konsekuensinya harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. In i
merupakan premis utama dari akuntabilitas, yaitu akuntabilitas vertikal (Triyuwono, 2006:
340).
Jadi, diri manusia akan dimintai pertanggungjawabannya, apa yang dilakukan
dan apa yang tidak dilakukan sebagai Khalifatullah fil Ardh. Al-Faruqi (1992) dalam
Triyuwono (2006: 272) menjelaskan bahwa ketika individu telah mengaktualisasikan
kehendak bebasnya untuk menjadi baik atau jahat, menyerupai lumpur atau menyerupai
Tuhan, dia harus bertanggung jawab sendiri atas pilihannya sendiri. Seluruh kalian adalah
pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang ia
pimpin (Hadist Riwayat Bukhori dan Muslim). Hadist tersebut menjelaskan bahwa
manusia di hari akhir nanti semua tindakan manusia dimintai pertanggungjawaban. Kajian
teoritis, seperti yang dilakukan oleh al-Faruqi (1992) dikatakan bahwa tanggung jawab
adalah implikasi keimanan (tauhid, kepercayaan akan keesaan Allah) untuk masyarakat.
Menurutnya, setiap individu memikul bebannya sendiri secara sadar yang konsekuensinya
adalah menerima amanah yang telah dipercayakan Tuhan kepada setiap orang.

Konsep Akuntabilitas
Secara terminologi accountability dari akar kata "account", artinya lap oran. Dalam
Al-Qur'an, account adalah hesab (perhitungan). Kata hesab dapat ditemukan pada beberapa
surat dan ayat Al- Qur'an, antara lain Q.S Al-Qiyaamah [75]: 14 -15, yang artinya: Bahkan
man usia menjadi saksi atas dirinya sendiri dan meskipun dia men gem ukakan alasan - alasannya2.
Dalam arti umum berkaitan dengan kewajiban seseorang untuk "account" kepada Allah
SWT dalam segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia. Segala sumber daya yang
t er se d ia u n t uk man u s ia in i me r u p a ka n b e ntu k seb ua h k ep er ca y a an , m a nu s ia
menggunakan apa yang dipercayakan kepada mereka (manusia) didasarkan pada
ketentuan - ketentuan syari'ah dan keberhasilan individu di akhirat bergantung pada
kinerja manusia di dunia.
Akuntabilitas secara harfiah, dalam bahasa inggris disebut accountability, yang
diartikan sebagai "keadaan untuk dipertanggungjawabkan". Atau dalam kata sifat disebut
accountable yang diartikan sebagai "tanggung jawab". Menurut Dubnick (1998), istilah
akuntabilitas berasal dari bahasa Perancis lama "comptes a render" yang berarti memberikan
laporan.
Sehubungan dengan itu, Triyuwono (2006: 340) melihat konsep akuntabilitas
dalam konteks akuntansi syari'ah, posisi akuntabilitas menjadi "jiwa" atau menjadi dasar
"etika" dari (pada) pemberian informasi. Akuntansi
syari'ah merupakan instrumen akuntabilitas yang digunakan oleh manajemen
kepada Tuhan (akuntabilitas vertikal), stakeholders, dan alam (akuntabilitas horizontal).
Jika akuntansi syari'ah dibangun berdasarkan nilai-nilai etika syari'ah, praktik bisnis dan
akuntansi yang dilakukan manajemen juga berdasarkan nilai-nilai etika syari'ah,
akuntabilitas yang dilakukan oleh manajemen adalah akuntabilitas yang suci (Triyuwono,
2006; 341). Konsep akuntabilitas ini sangat terkait dengan tradisi dan pemahaman Islam
tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta (lihat Triyuwono, 1997).
Definisi akuntabilitas yang dikembangkan oleh sejumlah kalangan akademisi,
seperti Salleh dan Iqbal (1995: 8), berpendapat bahwa akuntabilitas merupakan aspek -
Masiyah Kholmi : A kuntabilitas dan Pembentukan Perilaku A manah dalam Masyarakat Islam

as pe k per il a ku ke hi dupa n ma nusi a ya ng m el i put i pe ri l a ku i nt e r nal da n e kst e r nal


seseorang. Dari sisi perilaku internal seseorang merupakan akuntabilitas kepada Tuhannya
dan akuntabilitas tersebut dinamakan akuntabilitas spiritual, sedangkan perilaku eksternal
seseorang merupakan akuntabilitas kepada lingkungannya, baik lingkungan formal (atasan
atau bawahan) maupun lingkungan masyarakat luas dan akuntabilitas ini dinamakan
akuntabilitas eksternal.
Gray et al. (1996: 38) mendefinisikan akuntabilitas sebagai kewajiban untuk
me nye dia ka n i nf or m as i ( te rm a s uk di da l am nya a da la h i nf or m a si ke ua nga n) a t a u
perhitungan (reckoning) yang diperlukan dari sebuah tindakan yang menjadi tanggung
jawab sebuah organisasi/ perusahaan. Mardiasmo (2002: 20) mendefinisikan bahwa
akuntabilitas sebagai kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan
pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan
kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah yang memiliki
hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.
Bertolak dari beberapa pemikiran dan definisi di atas, dapat dijadikan dasar dalam
mengonstr uk konsep a kunta bilita s de nga n mema sukka n kons ep "am anah" s eba gai
kerangka memutlakan tunggal atas kuasa Ilahi sebagai pemberi amanah.

Akuntabilitas dalam Bingkai Amanah


Metafora amanah sebagai kiasan untuk melihat, memahami, dan mengembangkan
konsep akuntabilitas yang holistik. Metafora amanah ini sebetulnya diturunkan dari sebuah
aksioma yang mengatakan bahwa pada dasarnya manusia berfungsi sebagai Khalifatullah
fil ardh (wakil Tuhan di bumi). Sebagaimana firman Allah dalam al Qur'an surat Al-Baqarah
[2]: 30), yang artinya:
Ingatlah ketika Tuhan berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.

Dengan fungsi ini, manusia mengemban "amanah" yang harus dilakukan sesuai
dengan keinginan Pemberi amanah (Allah). Adapun "amanah" yang dimaksud di sini
adalah "mengelola bumi secara bertanggung jawab dengan menggunakan akal yang telah
dianugerakan Allah" (Rahardjo, 1995: 47). Mengelola bumi dapat diartikan menciptakan
kesejahteraan bagi semua manusia dan alam semesta berdasarkan nilai-nilai yang diridhai
oleh Sang Pemberi amanah.
Secara normatif, misi Khalifatullah fil ardh ini diturunkan dari ayat Al-Qur'an,
artinya:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam (Q.S. Al- Anbiya [21]: 107).
Singkatnya, manusia memiliki tugas mulia, yaitu: menciptakan dan
mendistribusikan kesejahteraan (materi dan non-materi) bagi seluruh manusia dan alam
semesta. Untuk mempermudah tugas ini, manusia dapat mendesain bentuk konsep
"akuntabilitas" dalam rangka m encip takan kead ilan dan mend istribu sikan kesejahteraan
bagi umat manusia dan alam.
Mengaitkan arti amanah ini dengan fungsi kekhalifahan manusia, Fazlur Rahman
dalam Rahardjo (1996: 202), menjelaskan konsep amanah, sebagai berikut:

I5I
Volume 15 Nomor 1 Juni 2012

Fakta moral yang tertanam, dalam inilah yang merupakan tantangan abadi
manusia dan yang membuat hidupnya sebagai perjuangan moral yang tidak
berkesudahan. Di dalam perjuangan ini, Allah berpihak kepada manusia,
a s a l k a n i a m e l a ku ka n us a ha - us a ha y a n g di p e r l u ka n. M a n us i a ha r us
melakukan usaha-usaha ini, karena di antara ciptaan-ciptaan Tuhan, ia
memiliki posisi yang unik; ia diberi kebebasan berkehendak agar ia dapat
menyempurnakan missinya sebagai khalifah Allah di atas bumi. Misi inilah
- perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral di atas
dunia- yang dikatakan Al- Qur'an sebagai " amanah" (Q.S. Al - Ahzab [33]:
72).
"Amanah" yang dimaksud di sini adalah kemampuan moral dan etika yang akan
memungkinkan manusia membangun yang positif dan menghilangkan yang negatif.
Dengan kemampuan itu, manusia diharapkan dapat menunaikan misinya sebagai khalifah,
dan sebaga i pe ngelol a s umbe r- sum ber ke hidupan da n pe nghidupan di bumi. Jadi,
m e n g e m b a n a m a n a h Tu h a n i t u , t i d a k c u k u p h a n y a d e n g a n m e n g a n d a l k a n i l m u
pengetahuan dan teknologi, melainkan harus dilengkapi dengan "Hidayah" atau petunjuk
Allah, yang harus dijadikan dasar penyusunan moral dan etika ilmu pengetahuan,
tekonologi, dan lingkungan hidup.
Sehubungan dengan hal tersebut, kurang adanya amanah pada diri pemimpin,
betapa banyak kasus korupsi dan penyelewengan dilakukan seorang pimpinan di negeri
ini3. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang terkait dengan upaya peningkatan
akuntabilitas hanya sebagai dokumentasi pemerintah. Barangkali inilah kelemahan
akuntabilitas jika hanya diukur dari sisi hasil (output) dan hanya melihat atau diukur
dari satu dimensi, yaitu hubungan manusia dengan manusia (dalam arti bawahan dengan
atasan). Tidak pernah mempersoalkan proses penciptaan akuntabilitas (dalam bentuk
laporan), sementara manusia (sebagai pembuat laporan) memiliki kepribadian dan penuh
dengan kepentingan.
Disinilah pentingnya dimensi lain untuk membentuk sebuah konsep akuntabilitas,
yaitu dimensi hubungan manusia dengan Tuhan dan dimensi hubungan manusia dengan
alam yang diturunkan dari filosofi "trilogi akuntabilitas".

Trilogi Dimensi dalam Akuntabilitas


Filosofi "trilogi akuntabilitas". Yang dimaksud di sini adalah tiga hal pokok yang
s a li ng be r hubunga n da n me ngua t ka n e ksi s te ns i nya m as i ng- ma s i ng dal a m kons e p
akuntabilitas. Tiga hal tersebut, yaitu pemberi amanah (Allah), penerima amanah
(manusia), dan amanah itu sendiri (alam). Dalam trilogi akuntabilitas, Allah terletak di
sudut puncak segi tiga, sedangkan manusia dan alam masing-masing berada di sudut -
sudut dasarnya dan keduanya tunduk dan taat kepadaNya. Filosofi ini dapat menjabarkan
akuntabilitas dari dimensi hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia,
serta manusia dengan alam menjadi operasional dan dapat dipraktikkan dalam dunia
nyata.
Istilah di filsafat, Allah di sebut "kausa prima". Artinya, Allah sebagai penyebab
pertama. Sebagaimana dalam firmanNya, yang artinya:
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang zhahir dan Yang Bathin4, dan dia
Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S. Al- Hadid [57]: 3).
I6I
Masiyah Kholmi : A kuntabilitas dan Pembentukan Perilaku A manah dalam Masyarakat Islam

Hubungan Allah, manusia, dan alam dalam filosofi trilogi akuntabilitasdapat


diilustrasikan pada Gambar di bawah ini :

Allah

Manusia Alam

Secara ontologis, landasan filosofis di atas memberikan dasar pemahaman bahwa


konsep akuntabilitas yang akan dikonstruk merefleksikan realitas dunia ( profan) dan hari
akhir/ akhirat (non profan) yang dicerminkan pada akuntabilitas
spiritual (akuntabilitas kepada Tuhannya). Dan secara epistemologis, landasan
filosofis tersebut memberikan indikasi bahwa pembentukan ilmu pengetahuan dapat
diperoleh atau didapatkan dari dua sumber, yaitu agama (spiritual) dan realitas, sebagai
dasar untuk mengonstruk konsep akuntabilitas.
Merujuk pada filosofi trilogi di atas, kajian in i mencoba mendeskripsikan
akuntabilitas yang diturunkan dari hubungan manusia dengan Allah ( Hablumminaallah)
sebagai khalifah Allah dan hubungan manusia dengan manusia ( hablumminannaas) dalam
menjalankan mu'amalah, serta hubungan manusia dengan alam ( hablum fil ardh) dalam
memanfaatkan dan memelihara alam. Berikut akan dijelaskan ketiga hubungan tersebut
ditinjau dari sudut pandang manusia.

1. Akuntabilitas: Dimensi Hubungan Manusia dengan Allah


Allah menciptakan alam semesta dengan segala isinya (termasuk manusia).
Manusia diberi predikat sebagai khalifah Allah (wakil Tuhan) di muka bumi. Predikat ini
memberikan gambaran kepada kita bahwa seolah-olah Allah mempercayakan
kekuasaanNya kepada manusia untuk mengatur dunia ini. Ini merupakan sebuah tugas
yang mahaberat yang makhluk-makhluk lain enggan memikulnya. Deskripsi wakil Tuhan
tersebut mengandung makna yang dapat diambil, yaitu: pertama, manusia berkewajiban
menegakkan hukum Allah di muka bumi dan kedua, manusia memiliki hak mengelola
alam sebagai fasilitasnya.
Merujuk kepada uraian di atas, terungkap bahwa sebagai khalifah, manusia diberi
amanat dan tanggung jawab. Tanggung jawab itu dilakukan dalam bentuk perbuatan
dan tindakan nyata di dunia dan kelak di kemudian hari (di akhirat) dimintai
pertanggungjawaban. Jika amalannya baik, mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat
(diasumsikan perbuatan itu dilakukan dengan ikhlas), dan jika buruk akan mendapat
kesusahan, penderitaan, ketidaktenangan di dunia dan kelak di kemudian hari (hari akhir)
mendapat siksa. "Itulah keadilan Tuhan".
Secara sederhana, apabila pengertian tersebut diturunkan ke dalam pengertian
yang terkait dengan kajian ini, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban dari sisi
perilaku internal (diri) seseorang kepada TuhanNya. Nilai-nilai tersebut dapat dipahami

I7I
Volume 15 Nomor 1 Juni 2012

sebagai suatu kesadaran fitrah manusia sebagai khalifatullah fil ardh. Sebagai akibatnya,
manusia akan menempatkan Tuhan sebagai principal tertinggi.

2. Akuntabilitas: Dim ensi Hubungan Manusia dengan Manusia


Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna5, karena
manusia memiliki potensi berupa kemampuan berfikir (diberi akal) dan ilmu pengetahuan
berkomunikasi serta berinteraksi dengan lingkungan sosial. Sebagai makhluk sosial ( homo
socius) setiap manusia membutuhkan interaksi dan komunikasi dengan manusia lainnya
agar fitrahnya sebagai makhluk sosial dapat berkembang dan tersalurkan. Oleh karena
itu, manusia diberi kepercayaan (amanah) oleh Sang Pencipta untuk melaksanakan tugas
dan tanggung jawab antar manusia dalam berbagai aspek kehidupan.
Pelaksanaan pertanggungjawaban kepada sesama manusia diwujudkan dalam
bent uk pe nghorm ata n ter hadap ha k-hak dan pel aksanaa n ke wa jiban, serta be ntuk
kecintaan kepada manusia untuk menilai kinerja seseorang terhadap orang lain, kejujuran
dan keadilan. Demikian, Allah memerintahkan manusia untuk melakukan hal ini:
Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang be rha k me neri manya, da n apabil a me neta pkan hukum di a ntar a
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (Q.S. An-Nisa [4]: 58).

Maka secara konsepsi, akuntabilitas di antara manusia mempunyai dua tujuan,


yaitu (1) menciptakan keharmonisan sosial yang akan membawa kepada keadilan dan (2)
menjaga keharmonisan dan keadilan membawa kemaslahatan masyarakat luas.

3. Akuntabilitas: Dimensi Hubungan Manusia dengan Alam


Dalam kehidupan manusia tidak dapat terlepas yang namanya alam, artinya alam
yang memberikan manusia tempat untuk hidup dan sumber penghidupan. Karena itu,
manusia wajib memelihara kelestarian alam semesta.
Namun, kerusakan di muka bumi, baik di darat dan di laut disebabkan oleh
perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab (lihat Q.S. Ar-Ruum [30]: 41). Demikian
juga tidak berfungsinya sumber daya alam bagi kesejahteraan hidup manusia merupakan
akibat dari perilaku manusia yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Bumi dan seisinya adalah milik Allah yang tunduk kepadaNya (Samdin, 2004:
311). Hal ini mengandung makna bahwa manusia hanyalah sebagai pemegang amanah
Allah yang hanya mempunyai hak memanfaatkan, mengelola, dan memelihara kekayaan
alam semesta itu sesuai dengan hukumNya. Mereka yang tidak memanfaatkan hartanya
tidak mempunyai hak kepemilikan. Manusia diwajibkan mengelola dan memelihara
kekayaan alam ini sebaik-baiknya dan dilarang melakukan kerusakan di muka bumi karena
alam semesta in i milik Allah yang diperuntukan bagi manusia seluruhnya bukan
p erorangan.
Merujuk kepada uraian di atas, terungkap bahwa sebagai khalifah di bumi,
manusia diberi amanat dan tanggung jawab untuk memelihara alam untuk kesejahteraan
b a g i s e l u r u h m a n u s i a d a n a l a m . D e n g a n de m i ki a n, d a l a m k e h i d u p a n k i t a ha r u s
bertanggung jawab atas kelestarian alam atau tidak memberikan kontribusi kerusakan
alam.

I8I
Masiyah Kholmi : A kuntabilitas dan Pembentukan Perilaku A manah dalam Masyarakat Islam

Penutup
Akuntabilitas merupakan salah satu konsep penting dalam segala aspek
kehidupan manusia. Seperti, pada umumnya dalam dunia usaha diperlukan akuntabilitas.
Gray et al.(1996) telah menyatakan bahwa akuntabilitas sebagai usaha legitimasi,
memp ertingg i transp aran si org anisasi, d an demokras i di masy arakat ( society).
Akuntabilitas sesungguhnya berkaitan erat d engan legitim asi atau keabsahan keberad aan
suatu organisasi, akuntabilitas muncul karena keterkaitan ( relasional), di mana individu,
group, company, government, organization, etc harus bertanggung jawab kepada pihak lain
(P a tt o n , 1 99 2 ) . Hal i n i d ip er k u at ol eh S w ift ( 2 0 01 ) yan g me n y at ak an b a h wa
ketidakp ercayaan terhadap organisasi merupakan alasan fundamental atas p ermintaan
terhad ap akuntabilitas peru sahaan.
Namun, konsep akuntabilitas tersebut di atas masih dalam tataran materi (phisik)
atau accountability manajemen berupa pertanggungjawaban laporan (phisik) belum ditaati
dan dipraktikkannya prinsip-prinsip etika syari'ah dan melibatkan dimensi spiritual
manajemen (yaitu, sifat ihsan dan taqwa).
Akuntabilitas dalam perspektif Islam memberikan penjelasan yang holistik.
Dengan akuntabilitas berbasis Islam diharapkan menjadikan perilaku seluruh pemimpin
dan umat manusia berubah menjadi lebih baik. Perilaku kembali ke Allah SWT. Semoga
hal ini dapat menyadarkan kita, bahwa perbuatan dan tindakan kita akan dimintai
p ertanggungjaw aban.

D aftar Pustaka
Dubnick,M .J. 2002. Seeking Salvation for Account ability.http ://n ewark.rutgers. edu/-dubn ick/
pap ers/salvation4.pdf, April 2003.
Eisenhardt, K. M. 1989. Agency theory: An assessment and review. The Academy of Man-
agement Review 14 (1): 57-74.

Gray, R., Dave O., Carol A. 1996. Accounting & Accountability: Change and Challenges in
Corporate Social and Environmental Accounting. Prentice Hall Britain
Harahap, S.S. 2005. Teori Akuntansi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Jensen, M. C. and William, H.M.1976. Theory of the Firm: Managerial Behaviour, Agency
Cost and Ownership Structur. Journal of Financial Economics,October, 3(4): 305-
360.

Mahmud, A.A.H. 1998. Fikh Responsibility, Tan ggung jawab Muslim dalam Islam. Jakarta:
Gema Insani.

Mardismo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi.


Patton, J.M. 1992. Accountability and Governmental Financial Reporting, Financial Ac-
countability and Management, 8 (3), pp. 165-180.
P o w e r, M , 1 9 9 1 . A u d i t i n g a n d , e n v i r o n m e n t a l E x p e r t i s e : B e t w e e n p r o t e s t a n d
p roffesionalism e. Accounting, A uditing, and Accountability 4 (3): 30-42
Swift, T. 2001. Trust, Reputation and Corporate Accountability to Stakeholders. B usiness
Ethics: A European Review, Vol. 10, No. 1

I9I
Volume 15 Nomor 1 Juni 2012

Rahardjo, M. D. 1996. Ensiklopedia A l-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kun ci.
Jakarta: Paramadina bekerja sama Jurnal Ulumul Qur'an.

Salleh, S.H. dan Aslam, I.1995. Accountabillity, The Endless Prophecy. Malaysia: The Asian
and Pacific Development Centre.
Triyuwono, I. 2006. Akuntansi Syari'ah, Perspektif, Metodologi, dan Teori. Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada.

, 1989, " Al-Qur'an dan Terjemahannya, Surabaya: Mahkota.

I 10 I
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai