Anda di halaman 1dari 17

RMK DRAMATURGI

Metodologi Penelitian Non Positivis


DRAMATURGI
A. PENDAHULUAN
Dramaturgi dikemukakan oleh Ervin Goffman yang terinspirasi oleh
Kenneth Duva Burke dengan konsep dramatisme sebagai metode untuk
memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik
kata dan kehidupan sosial. Burke (1978) mengemukakan bahwa
dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik
ketimbang

pengetahuan.

Pandangan

Burke

tersebut

kemudian

dikembangkan oleh Erving Goffman (1959) melalui bukunya Presentation


of self in everyday memaparkan konsep dramaturgi tentang diri (Self)
dengan

sangat

memikat.

Goffman

mengembangkan

dramaturgi melalui penelitian kehidupan sosial.

pendekatan

Konsep dramaturgi

dikembangkan oleh Goffman untuk memahami interaksi simbolik dan


fungsi sosial dari bahasa dan drama.
Pendekatan dramaturgi Goffman banyak dipengaruhi oleh pemikiran
Mead, Blumer, dan Cooley. Ketiganya berpandangan mengenai konsep
the Self. The Self yang merupakan interaksi sosial, sebuah proses dimana
para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang
dihadapinya, didalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan
tindakannya itu melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Hal ini
dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain (Self Interaction).
Pemikiran Goffman berawal dari ketegangan yang terjadi antara I dan
Me (gagasan Mead). Ada kesenjangan antara diri kita dan diri kita yang
tersosioalisasi. Konsep I merujuk pada apa adanya dan konsep me
merujuk pada diri orang lain. Ketegangan berasal dari perbedaan antara
harapan orang terhadap apa yang mesti kita harapkan. Menurut Goffman
orang harus memainkan peran mereka ketika melakukan interaksi social.
Sebagai drama perhatian utama pada interaksi social.
Teori dramaturgi juga tidak lepas dari pengaruh Cooley tentang the
looking

glass

self,

yang

terdiri

tiga

komponen;

Pertama:

kita
1

RMK DRAMATURGI

mengembangkan bagaimana kita tampil bagai orang lain. Kedua:

kita

membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita.


Ketiga : kita mengembangkan perasaan diri, seperti malu, bangga,
sebagai akibat mengembangkan penilaian orang lain. Lewat imajinasi kita
mempersepsikannya. Peran adalah suatu ekspektasi yang didefinisikan
secara social yang dimainkan seseorang. Fokusnya adalah
tersituasikan secara social

diri kita

yang berkembang dan mengatur interaksi

spesifik. Diri adalah ahsil kerjasama, yang harus diproduksi baru dalam
setiap interaksi social. Menurut Goffman orang berinteraksi adalah ingin
menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain, yang
disebut sebagai penegeloalan pesan.
Dramaturgi yang dicetuskan Goffman merupakan pendalaman konsep
interaksi sosial, yang lahir sebagai aplikasi atas ide-ide individual yang
baru dari peristiwa evaluasi sosial ke dalam masyarakat kontemporer.
Widodo dalam Sri Suneki mengemukakan bahwa beberapa pendapat
dalam interaksi simbolik yang dapat menjadi pedoman pemahaman
adalah :
1. Manusia bukan binatang, manusia ditopang oleh kemampuan
berpikir.
2. Kemampuan berpikir dibentuk melalui interaksi sosial.
3. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol..
4. Makna dan simbol memungkinkan manusia melakukan tindakan
dan interaksi.
5. Orang mampu mengubah makna dan simbol yang mereka
gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka
terhadap situasi.
Teori Dramaturgi merupakan dampak atas fenomena, atau sebuah
reaksi terhadap meningkatnya konflik social dan konflik rasial, dampak
represif birokrasi dan industrialisasi. Teori sebelumnya menekankan pada
kelompok atau struktur social, sedang teori Goffman menekankan

RMK DRAMATURGI

sosiologi pada individu sebagai analisis, khususnya pada aspek interaski


tatap muka. Sehingga fenomena melahirkan dramaturgi.
Dramaturgi

Goffman

berada

fenomenologi. Interaksi sosial

diantara

interaksi

sosial

dan

menyangkut penafsiran makna baik

individu kelompok. Masyarakat adalah sistem proses penafsiran pesan.


Interaksi simbolis

mengandung inti dasar pemikiran

umum tentang

komunikasi dan masyarakat. Esensi interaksi simbolis adalah

suatu

aktifitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau


pertukaran symbol yang diberi makna. Interaksi manusia menggunakan
symbol, caranya yaitu mempresentasikan apa yang mereka maksudkan
untuk berkomunikasi. Perhatian Goffman adalah

Ketertiban interaksi

(interaction order) yaag meliputi : struktur, proses dan produk interaksi


social. Ketertiban interaksi muncul

untuk memenuhi kebutuhan akan

pemeliharaan keutuhan diri. Goffman adalah Diri (Self) Teori Goffman


adalah Teori Diri ala Goffman. Menurutnya diri kita dihadapkan pada
tuntutan untuk tidak ragu-ragu melakukan apa yang diharapkan diri kita.
Teori Goffman memusatkan perhatiannya pada kehidupan social sebagai
serangkaian pertunjukan.
Pemikiran Ervin Goffman tentang Dramaturgi tidak memusatkan pada
struktur sosial (seperti kaum fungsionalisme struktural), tetapi Goffman
lebih tertarik pada interaksi tatap muka (face to face interaction) atau
kehadiran bersama (co-presence) para aktor. Interaksi tatap muka
didefinisikan interaksi pada individu-individu yang saling memengaruhi
ketika masing-masing berhadapan secara fisik.
Teori dramaturgi Irving Goffman merupakan kritikan tentang konsep
struktur sosial (fungsionalisme struktural). Fungsionalisme struktural
memandang bahwa manusia merupakan aktor yang hidup dalam suatu
struktur kemasyarakat yang kompleks, dimana setiap tindakan ditentukan
oleh relasi struktur yang ada. Fungsionalisme struktural melihat relasi
antar individu adalah sesuatu yang berjalan apa adanya, sementara

RMK DRAMATURGI

dalam dramaturgi, relasi sosial dibangun atas dasar peran yang


dilakonkan oleh masing masing individu.
Perbedaan utamannya adalah pada kesadaran yang membangun
relasi tersebut, fungsionalisme stuktural melihat kesadaran manusia
ditentukan oleh struktur yang mambangun dunia sosial, sementara
dramaturgi melihat kesadaran sebagai sesuatu yang lahir dari penghaytan
terhdap peran apa yang akan dimainkan.
Dalam konteksi akuntansi sebagai bagian dalam kehidupan sosial, kita
melihat bahwa laporan keuangan yang dihasilakn adalah memberikan
informasi kepada pihak pihak yang memiliki kepentingan terkait laporan
tersebut. Dalam konteks inilah penelitian menggunkan metode dramaturgi
dapat digunakan untuk melihat bahwa dalam menyajikan laporan
keuangan bagaimana akuntan menggunakan kesadaranya sebagai aktor
yang menyuguhkan laporan keuangan.
B. DEFINISI DAN RUANG LINGKUP
Secara Etimologi dramaturgy berasal dari kata Drama yang berarti
seni atau teknik drama dalam bentuk teater.
Teori dramaturgi menurut Widodo (2010) dalam Sri Suneki adalah
teori yang menjelaskan bahwa interaksi sosial dimaknai sama dengan
pertunjukan teater atau drama di atas panggung.
Goffman dalam Engkus Kuswarno mengasumsikan bahwa ketika
orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri
yang akan diterima orang lain. Dia menyebut upaya tersebut sebagai
Impression Management atau pengelolaan pesan, yaitu teknik yang
digunakan aktor untuk memupuk kesan tertentu dalam situasi tertentu
untuk mencapai tujuan tertentu.
Secara ringkas, dramaturgi merupakan pandangan tentang kehidupan
sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Lebih
jelasnya Goffman mengungkapkan bahwa kehidupan sosial bagaikan
teater yang memungkinkan sang aktor memainkan berbagai peran diatas

RMK DRAMATURGI

suatu atau beberapa panggung, dan memproyeksikan citra diri tertentu


kepada orang yang hadir, sebagaimana yang diinginkan sang aktor
dengan harapan bahwa khalayak bersedia menerima diri sang aktor dan
memperlakukannya sesuai dengan citra diri itu.
Lingkup yang dipelajari dalam dramaturgi adalah lingkup skala kecil
yang oleh Goffman disebut Social Establishment,( Widodo, dalam Sri
Suneki). Sebagai system yang tertutup yang memperhatikan pertunjukan
yang harus dimainkan pada saat itu saja tanpa mempertimbangkan arti
penting berbagai lembaga lain. Goffman menjelaskan, apabila seseorang
mengetengahkan

sosok

yang

ideal,

seorang

pelaku

biasanya

mengesampingkan kegiatan, fakta dan motif yang tidak sesuai dengan


citra dirinya dan produk yang ideal. Tampilan peran baru adalah penting
daripada tampilan rutin (tampilan dan gaya) .
Dalam studi dramaturgi, Goffman (1959) dalam Scott Applerouth
memperkenalkan

konsep

Front,

Backstage,

setting,

audience,

performance, performer and Character.


Goffman (1959) dalam Scott Applerouth mengemukakan bahwa :
Front is the part of the individuals performance which regularly
functions in a general and fixed fashion to define the situation for
those who observe the performance. Front, then is the expressive
equipment of a standard kind intentionally or unwittingly employed by
the individual during his performance.
Goffman mengakui bahwa panggung depan adalah anasir structural
artinya

terlembagakan

atau

mewakili kepentingan

kelompok atau

organisasi. Meskipun struktur gaya Goffman terletak pada interaksi. Aspek


lain panggung depan adalah aktor sering berusaha menyapaikan kesan
bahwa mereka

mempunyai hubungan khusus atau jarak sosial lebih

dekat dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya. Dalam


kenyataan orang enggan akan peran tersebut padahal ia senang. Tetapi
apabila hal semacam itu bukan bermaksud membebaskan diri dari peran
social, tetapi ada yang menguntungkan mereka (identitas dan perasaan
sosial). Goffman tidak hanya focus pada individu saja tetapi juga pada

RMK DRAMATURGI

kelompok (team) yang disebut Tim Performa (team performance)(


Widodo, 2010:176). Setiap anggota saling mendukung dan bila memberi
arahan lewat isyarat non verbal. Tim tergantung pada kesetiaan anggota.
Setiap anggota memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang
memungkinkan kewibawaan terjaga. Unsur lain

yang penting adalah

bahwa interaksi mirip dengan upacara keagamaan. Orang yang terlibat


menunjukkan pola-pola tertentu yang fungsional. Disinilah inti dari
menghargai diri.
Kata kunci dalam Dramaturgi adalah Show, Impression, front region,
back stage, setting, penampilan dan gaya. Proporsinya sebagai berikut
(Widodo, dalam Sri Suneki) :
a. Semua Interaksi social terdapat bagian depan (front region) yang ada
persamaannya dengan pertunjukan

teater. Aktor

baik dipentas

maupun dalam kehidupan sehari-hari, sama-sama menarik perhatian


karena penampilan kostum yang dipakai dan peralatan yang dipakai.
b. Dalam pertunjukan maupaun keseharian ada bagian belakangnya
(back region) yakni tempat yang memungkinkan bagi actor mundur
guna m enyiapkan diri untuk pertunjukan berikutnya. Di belakang atau
di depan actor bisa berganti peran dan memerankan diri sendiri.
c. Dalam membahas pertunjukan individu dapat menyajikan suatu
penampilan (show) bagi orang lain, tetapi kesan (impression) si pelaku
bisa berbeda-beda.
d. Ada panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back
stage). Panggung depan adalah penampilan individu, yang secara
teratur berfungsi di dalam mode yang umum, tetap mendefinisikan
situasi

yang menyaksikan penampilan itu.

Di dlammnya termasuk

setting dan personal front yang selanjutnya dibagi menjadi penampilan


(impression) dan gaya (manner).

RMK DRAMATURGI

Panggung depan merupakan bagian performa individu yang secara


teratur berfungsi dalam aturan umum dan tetap untuk dapat didefinisikan
oleh mereka yang menyaksikannya. Hal penting yang harus diperhatikan
dalam Front Stage adalah setting dan personal Front.
Setting ini cenderung bersifat geografis, dalam arti bahwa seorang
aktor tidak bisa memainkan perannya sebagai aktor ketika belum
didukung oleh situasi tempatnya. Setting ini misalnya berupa dekorasi,
furnitur, tata letak fisik, dan latar belakang panggung.
Selain setting terdapat personal front berupa pakaian, jenis kelamin,
usia, suku, ukuran dan bentuk tubuh, ekspresi muka, gerakan tubuh, dan
sebagainya yang diperlukan aktor untuk melengkapi setting yang bersifat
individual. Personal Front dibagi menjadi dua bagian, yaitu penampilan
(appearance) dan gaya (manner). Penampilan merujuk pada stimuli yang
berfungsi memberitahu status sosial aktor. Sedangkan gaya merujuk pada
stimuli yang berfungsi mengingatkan aktor akan peranan interaksi yang
diharapkan dan harus dimainkan pada masa yang akan datang.
Goffman (1959) dalam Scott Applerouth. Mendefinisikan Backstage
adalah
Where the impression fostered by a performance is knowingly
contradicted as a matter of course...[where] illusions and impressions
are openly constructed...,here costumers and other parts of the
personal front may be adjusted and scrutinized for flaws...here the
performer can relax; he can drop his front, forgo speaking his lines,
and step out of character. (Goffman, 1959 dalam Scott Applerouth).
Berbeda dengan Front, Back Stage adalah bagian yang tidak
terobservasi, rahasia dan terbatas untuk anggota penonton. Bagian
belakang adalah tempat para aktor/pemain untuk mempersiapkan diri,
bersantai, atau berlatih untuk memainkan peran mereka di panggung
depan.
Aktivitas aktor pada panggung sosial tersebut ada kalanya tidak
dilakukan sendirian, tetapi dalam sebuah tim. Goffman dalam Engkus

RMK DRAMATURGI

Kuswarno menyebut istilah tim (team) sebagai sejumlah individu yang


bekerja sama mementaskan sesuatu yang rutin. Mereka memiliki peran
penting.

Goffman

menjelaskan

terdapat

dua

elemen

dasar

dari

pertunjukan tim : pertama, semua anggota tim harus bekerja sama untuk
menghindari perilaku yang menyimpang. Setiap peserta tim bergantung
pada tindakan perilaku temannya, sedangkan temannya juga bersikap
demikian; kedua, dihadapan para penonton, para anggota tim itu harus
bekerja untuk mempertahankan suatu definisi situasi tertentu, akan tetapi
dihadapan

sesama

anggota

tim

kesan

yang

demikian

itu

sulit

dipertahankan. Sebagai akibatnya, peserta tim terikat oleh sesuatu yang


disebut familiarity, suatu kondisi yang memungkinkan semua anggota tim
merasa intim satu sama lain, meskipun tanpa kehangatan, sejalan dengan
berjalannya waktu yang mereka gunakan bersama, tetapi kemudian
berubah formal segera setelah individu mengambil perannya dalam tim.
Menurut Widodo dalam Sri Suneki mengemukakan Kritik terhadap teori ini
adalah :
1. Bahwa dramaturgi kurang memperhatikan struktur social. Data yang
dikembangkan Goffman berasal dari situasai yang khusus. Manusia
dianggap

sebagai

meyakinkan

bagi

calon
orang

bintang
lain

dan

yang

menyajikan

merupakan

tindakan

langkah

yang

meninggalkan determinisme, structural fungsional. Gagal membahas


interaksi.
2. Dramturgi dianggap perspektif objektif karena melihat manusia sebagai
makhluk pasif (berserah). Walaupun awal memasukkan peran tertentu
manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subjektif. Namun dalam
peran harus objektif.
3. Hanya terbatas dan hanya

berlaku pada situasi total, intitusi yang

memiliki karakter dihambakan oleh sebagian atau keseluruahan


kehidupan individual yang terkait dengan intuisi tersebut. Adanya
hegemoni dan memiliki hierarkhi yang jelas. Contoh ; Asrama, barak
militer, intistui pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi. Teori ini dapat

RMK DRAMATURGI

berperan baik pada institusi yang mengatur pengabdian tinggi dan


tidak menghendaki adanya pemberontakan.
4. Teori ini dikritik karena menihilkan eksistensi masyarakat. Tidak
mendukung pemahaman dalam tujuan sosiologi satu hal yang harus
diperhitungkan yaitu kekuatan kemasyarakatan.
5. Dianggap condong kepada Positifisme.
Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut
paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu
alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia
sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis
merupakan hal yang tidak patut.
C. METODE PENELITIAN
a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
dramaturgi adalah wawancara, observasi dan dokumentasi.
b. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian dramaturgi adalah
sumber data primer dan sekunder.
c. Teknik Analisis Data
Deskriptif Kualitatif.
D. CONTOH PENELITIAN DAN ANALISA
1. Penelitian Non Akuntansi
a. Judul: Mistifikasi Bissu Dalam Upacara Ritual Adat Etnik Bugis
Makassar (Kajian Studi Dramaturgi)
b. Jenis Penelitian: Deskriptif kualitatif
c. Waktu dan Lokasi Penelitian: 2011 di daerah sulawesi selatan
d. Sumber data: primer (Bissu dan masyarakat), sekunder (bukubuku buku yang berhubungan dengan bahasan penelitian dan
internet)
e. Teknik Pengumpulan Data: Observasi dan wawancara

RMK DRAMATURGI

f. Teknik analisis data: Reduksi data, Penyajian data Penarikan


kesimpulan.
Hasil Penelitian
Front Stage
Dengan melihat konsep pementasan pada berbagai upacara
keagamaan seorang Bissu dianggap sebagai pendeta agama Bugis
kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender
manusia, lelaki dan perempuan (hermaphroditic beings who embody
female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam
makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para Bissu adalah seorang yang
bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang,
Bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat
perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan.
Setting :
a. Ruang tempat upacara keagamaan maggiri dan mappalili
b. Badik yang mereka keramatkan (Semacam senjata tajam).
c. Kemenyan

atau

dupa-dupa

digunakan

untuk

Jampi-jampi

(semacam mantera)
Personal Front
a. Gaya

(Manner)

:Gerak

tari-tarian

yang

menggambarkan

pemanggilan roh dan puja-pujaan.


b. Penampilan (Appereance): Pakaian khusus dalam bentuk Jubah,
ornamen-ornamen khas Bugis.
Back stage
panggung belakang (back stage) yakni peristiwa yang dilakukan
oleh Bissu dengan sesamanya di wilayah tempat mereka tinggal atau
pada saat mereka melakukan aktivitas atau pekerjaan yang tekuni
sehari-hari. Di mana dalam kesehariannya, Bissu yang berpenampilan
layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun
juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik.
Bagian

pekerjaan

berdasarkan

pengamatan

dan

data

riset

10

RMK DRAMATURGI

menunjukkan bahwa sebagian besar Bissu berprofesi sebagai


indobotting (penata rias pengantin adat Bugis).
Bidang atau panggung belakang Bissu ketika mereka telah selesai
melakukan tugas upacara keagamaan :
a. Pakaian selayaknya jenis kelamin yang mereka pegang.
b. Melakukan aktivitas kegiatan sehari-hari,seperti indobotting.
c. Tetap membawa badik sebagai symbol kesaktian Bissu.
Fokus

selanjutnya

management)

Bissu

adalah
pada

pengelolaan

saat

mereka

kesan
menjadi

(impression
aktor

yang

mementaskan pertunjukan ritual adat Bugis yakni maggiri (ritual


pengujian kesaktian Bissu dengan cara menusuk badik ke tubuh
mereka atau dalam istilah budaya Bugis kabbala (tahan terhadap
senjata tajam) dan mappalili (ritual awal sebelum petani menanam
padi di sawah dengan tujuan meminta berkah dari sang pencipta.
Menurut Goffman bahwa pengelolaan kesan yakni teknik yang
digunakan aktor untuk memupuk kesan tertentu dalam situasi tertentu.
Dalam menciptakan pengelolaan kesan Bissu melakukannya secara
verbal (khusus bahasa lisan) dan non verbal (komunikasi tubuh,
komunikasi wajah, komunikasi mata, dan komunikasi sentuhan) pada
saat berlangsung acara ritual adat Bugis. Dalam hal ini bagaimana
Bissu mengekspresikan pengelolaan kesan mereka kepada audien
agar kredibilitas dan kesungguhan mereka benar-benar tercipta,
seperti pada gambar 3 berikut :
Pengelolaan Kesan (Impression Management)
Pengelolaan Kesan Verbal:

Pengelolaan Kesan Nonverbal

a.
Bahasa Lisan : Pembacaan Sure
dengan cara mengucapkan pujapujaan untuk meminta ampunan
b.
kepada dewa-dewa.

Komunikasi Tubuh (gaya


penampilan tubuh dilakukan
dengan gerakan tari-tarian.
Komunikasi wajah (ekspresi
wajah serius dan mimik wajah)
c. Komunikasi Mata (tatapan mata
tertuju pada upacara ritual adat.
d. Komunikasi Sentuhan

11

RMK DRAMATURGI

Dalam studi dramaturgi terdapat aspek lain di front stage di mana


aktor yang memainkan teatrikal menyampaikan kesan dengan
menjaga jarak keakraban dengan audien dibandingkan dengan
keadaan yang sebenarnya. Dalam hal ini aktor harus memiliki
keyakinan bahwa audien mereka dipisahkan sedemikian rupa
sehingga kepalsuan pertunjukkan dapat dicitrakan dengan baik.
Sementara, di sisi lain aktor dapat melakukan mistifikasi. Pada saat
ini aktor cenderung memistifikasi pertunjukkan mereka dengan
membatasi antara hubungan antara diri mereka sendiri dengan audien.
Teknik yang digunakan adalah membangun jarak sosial antara diri
mereka dengan audiens.

2. Bidang Akuntansi
a. Judul: Penerapan prinsip-prinsip etika dalam pelaksanaan audit
internal mutu: studi dramaturgi pada unit kegiatan pelaksana
akademik.
b. Jenis Penelitian: Deskriptif kualitatif
c. Waktu dan lokasi penelitian: September-november 2013 di Unit
Kegiatan Pelaksana Akademik UNIBRA
d. Sumber data: Primer (anggota ICASTA dan Auditor), Sekunder
(penelitian terdahulu, buku-buku yang berhubungan dengan
bahasan penelitian)
e. Teknik pengumpulan data: Observasi aktif dan wawancara
f. Teknik analisis data: Reduksi data, Penyajian data Penarikan
kesimpulan.
Hasil Penelitian
Back Stage
Back stage atau panggung belakang dalam penelitian ini
merujuk pada peristiwa-peristiwa yang terjadi selama persiapan
menghadapi Audit Internal Mutu. Dalam back stage ini para
anggota ICATAS disadari atau tidak telah melakukan impression

12

RMK DRAMATURGI

management baik terhadap pihak ketiga maupun sesama anggota


ICATAS sendiri.
Panggung bagian pertama memaparkan dua peristiwa yaitu
pertama mengenai publikasi prosedur pelayanan yang belum
dilakukan, kemudian yang kedua adanya salah satu prosedur
pelayanan yang luput untuk dilakukan para anggota ICATAS.
Peristiwa

pertama

memperlihatkan

bagaimana

para

actor

mengutamakan kepentingan publik daripada keuntungan pribadi,


dengan memilih mengutamakan kejelasan prosedur pelayanan
yang ditampilkan dibandingkan dengan minimalisasi biaya yang
harus dikeluarkan. Peristiwa kedua terkait dengan kesadaran para
anggota mengenai belum terpenuhinya salah satu prosedur
pelayanan yang telah mereka lakukan sebelumnya.
Terdapat salah satu teknik impression management dalam
peristiwa kedua ini, yaitu conformity atau kesesuaian. Impression
management yang dilakukan oleh salah satu auditee ini pada
akhirnya dapat menerapkan salah satu prinsip etika yaitu tanggung
jawab profesi.
Selanjutnya dalam panggung kedua, menjelaskan mengenai
proses pembuatan website ICATAS yang harus terintegrasi dengan
website

jurusan,

sehingga

dalam

hal

ini

pemeran

utama

berinteraksi dengan pihak jurusan. Terdapat teknik impression


management yang dilakukan dalam panggung ini yaitu excuses
atau berdalih. Ini dapat dilihat pada dialog yang terjadi ketika
peneliti menjawab pertanyaan dari pihak jurusan mengenai sebab
belum adanya website ICATAS. Dari impression management yang
dilakukan ini kemudian terdapat prinsip-prinsip etika profesi yang
diterapkan

yaitu

Kompetensi

dan

Kehati-hatian

Profesional,

Kerahasiaan, dan Standar Teknis.


Panggung terakhir bertempat di jurusan akuntansi berkaitan
dengan pemberian informasi kepada anggota ICATAS mengenai
hal-hal yang menjadi objek pemeriksaan saat pelaksaaan AIM

13

RMK DRAMATURGI

nantinya. Disini terlihat kurangnya penerapan salah satu prinsip


etika profesi yaitu Integritas bagi ICATAS dan Obyektivitas bagi
pihak auditor.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setiap panggung ini
memperlihatkan bahwa dengan sadar atau tidaknya setiap aktor
atau

anggota

organisasi,

dalam

melakukan

persiapan

"pertunjukkan" di front stage nantinya maka mereka telah


melakukan salah satu dari 7 (tujuh) teknik impression management
yang dikemukakan oleh Robins. Dari impression management yang
dilakukan ini kemudian setelah dianalisis lebih lanjut terbukti
menghasilkan penerapan beberapa prinsip-prinsip etika profesi
yang berlaku.

Berikut

ini disajikan

ringkasan

temuan

dan

keterkaitannya dalam penerapan etika profesi dalam bagian back


stage.
Ringkasan Back Stage
Stage
Bagian 1
ICATAS

Temuan
- - Belum adanya penjelasan
mengenai prosedur
pelayanan secara tertulis
yang dipublikasikan
- Belum terpenuhinya salah
satu prosedur pelayanan

Bagian 2 - -Belum adanya


Ruang rapat organisasi
Jurusan
Akuntansi
Bagian 3 -Minimnya
Jurusan
objektifitas
akuntansi

Keterkaitan dengan
etika
- Kepentingan Publik
-Tanggungjawab
Profesi

website Kompetensi dan


Kehati-hatian,
Profesional,
Kerahasiaan, dan
Standar Teknis

integritas

dan Integritas dan


objektifitas

Front Stage (Show Time)


Front stage atau panggung depan sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Goffman adalah peristiwa yang menunjukkan
bahwa individu memainkan peran formalnya di atas "panggung
sandiwara" di hadapan khalayak penonton. Dalam penelitian ini

14

RMK DRAMATURGI

panggung depan yang dimaksud adalah hari dimana para anggota


ICATAS sedang menjalani pelaksanaan Audit Internal Mutu.
Peristiwa dalam panggung depan ini dijelaskan dalam dua bagian
yang terjadi dalam waktu yang bersamaan dimana masing-masing
bagian ini memiliki peranan penting dan saling berhubungan satu
sama lain.
Konsep Front stage ini secara sederhananya adalah bahwa
setiap aktor atau dalam penelitian ini anggota ICATAS berusaha
menampilkan organisasinya sebagaimana yang diharapkan oleh
auditor. Oleh sebab itu menurut Goffman, para aktor tersebut akan
berusaha menutupi berbagai perilaku yang tidak diharapkan
penonton dalam penampilannya, dengan melakukan hal-hal
sebagai berikut : (1) Menutupi perilaku yang kurang sesuai, (2)
Menghindari kesalahan, dan (3) Menutupi proses yang kurang baik.
Para

pemain

kemudian

berusaha

agar

penonton

tidak

mengetahui aspek-aspek yang telah mereka lakukan di back stage.


Untuk mencapai tujuan ini munculah impression management,
dimana ada beberapa teknik yang dapat digunakan oleh masingmasing individu untuk dapat membuat para penonton mendapat
persepsi atau sudut pandang seperti yang mereka inginkan.
Dalam pelaksanaan AIM ini beberapa tindakan yang dilakukan
para actor tersebut mengacu pada salah satu teknik dalam
impression management yaitu self promotion (promosi diri). Salah
satu tindakan yang mereka lakukan adalah sesegera mungkin
melakukan perbaikan ketika mendapatkan informasi baru mengenai
hal-hal yang akan diperiksa seperti perbaikan konten website,
pembuatan hardcopy program kerja satu tahun kepengurusan, dan
lain sebagainya. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Goffman
bahwa

salah

satu

alasan

untuk

melakukan

impression

management dalam suatu tim kerja adalah karena adanya


kesalahan yang ditutupi. Beberapa standar teknis yang telah

15

RMK DRAMATURGI

ditetapkan oleh auditor disini memang belum dipenuhi oleh para


anggota ICATAS.
Panggung kedua masih terkait dengan pelaksanaan AIM
dengan waktu kejadian yang bersamaan pula namun lebih
menjelaskan mengenai anggota lain yang bekerja di balik layar
untuk menjaga kualitas ICATAS yang sedang menjalani audit.
Disini impression management yang terlihat adalah bagaimana
para peserta melakukan excuses ketika menjawab pertanyaan dari
salah satu dosen yang masuk ruangan. Jika dilihat dari perspektif
agama Islam peristiwa ini tentunya tidak dapat dikatakan benar
namun jika dilihat dari segi prinsip etika, maka tindakan yang
mereka lakukan demi menjaga nama baik organisasi ini termasuk
dalam salah satu prinsip etika profesi yang berlaku yaitu tindakan
profesional. Tindakan profesional seperti yang dikemukakan oleh
IAI adalah keharusan setiap anggota untuk berperilaku yang
konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan
yang dapat mendiskreditkan profesi.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setiap panggung ini
memperlihatkan bahwa dengan sadar atau tidaknya setiap aktor
atau anggota organisasi, ketika melakukan "pertunjukan" di front
stage dalam rangka menjaga nama baik organisasi yang menaungi
mereka. Dari impression management yang dilakukan ini kemudian
setelah dianalisis lebih lanjut terbukti menghasilkan penerapan
beberapa prinsip-prinsip etika profesi yang berlaku.
Ringkasan Front Stage
Stage

Temuan

Bagian 1 Ruang
Sidang Utama

Belum sesuainya beberapa


standar yang telah ditetapkan
auditor

Bagian 2 ICATAS

Adanya perbaikan-perbaikan
tidak terduga yang dilakukan
saat hari pelaksanaan Audit
Internal Mutu

Keterkaitan dengan
etika
Tanggung jawab profesi,
kompetensi dan kehatihatian professional,
standar teknis
Tindakan profesional

16

RMK DRAMATURGI

17

Anda mungkin juga menyukai