Anda di halaman 1dari 8

Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan

Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu
adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Semiotik didefinisikan
sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari
sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal
serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita
miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau
pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).

Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda:

• signified

• signifier

• signifie dan significant yang bersifat atomistis.

Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia
antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier).Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna”
atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau
didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda
adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).

Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan
Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda
yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.

Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa
informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari
tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the
reader).

Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.
Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang
dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif,
yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran
pertama.

1. signifier (penanda)

2. signified (petanda)

3. denotative sign (tanda denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)


5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)

6. Connotative Sign (tanda konotatif)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi,
pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda
konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara
umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes.

Di dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama,
sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan
makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba
menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa makna
“harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik
dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola
tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran
ke-dua.

Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Berbeda dengan para ahli yang
sudah dikemukakan di atas, Charles Sanders Peirce, seorang filsuf berkebangsaan Amerika, mengembangkan
filsafat pragmatisme melalui kajian semiotik. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for
something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground.
Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan
interpretant (lihat gambar 3). Atas dasar hubungan ini, Peirce membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan
dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda.
Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Sedangkan legisign adalah norma yang
dikandung oleh tanda. Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik semiotik,
dan pragmatik semiotik. Sintaksis semiotik mempelajari hubungan antartanda.

Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan
merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan
wacana iklan. Semantik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya
membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat
hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Pragmatik
semiotik mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Berdasarkan objeknya, Peirce
membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara
penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda
dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat
kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai
tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda
yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer,
hubungan berdasarkan konvensi masyarakat. Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas
rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan
berdasarkan pilihan. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Sedangkan argument adalah
yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.

Semiotika: tanda dan makna

Semua kenyataan cultural adalah tanda. Kita memang hidup di dunia yang penuh dengan
tanda dan diri kitapun bagian dari tanda itu sendiri.

Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan.


Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai
alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang
lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.

Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan


makna (the generation of meaning) . Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya
orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang kebih secara tepat. Supaya komunikasi
dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-
pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang
terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita
berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin
dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita
dengan orang lain tersebut.

Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja
(dikatakan juga semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga
unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu
yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu
sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut tanda. Misalnya;
mangacungkan jempol kepada kawan kita yang berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu
sebagai pujian dari saya dan ini diakui seperti itu baik oleh saya maupun teman saya yang
berprestasi. Makna disampaikan dari saya kepada teman yang berprestasi maka komunikasi pun
berlangsung.

Semiotika dan Semiologi

Semiotika dan semiologi pada dasarnya adalah dua istilah untuk satu bidang keilmuan
yang sama. Memang, beberapa tokoh mencoba untuk memberikan perbedaan pada dua istilah ini
seperti membatasi objek kajian semiologi pada bagian teoretis dan semiotika untuk bagian
praktisnya. Namun, upaya ini tidak mendapatkan landasan yang kuat berdasarkan kepada
pemakaian yang sudah umum berlaku.
Sebenarnya, dua istilah ini muncul dari dua kelompok berbeda yang melakukan kajian
dan penelitian terhadap satu bidang keilmuan yang sama. Semiologi lebih umum digunakan
dalam kajian-kajian berbahasa Prancis, sementarasemiotika lebih populer digunakan dalam
kajian-kajian berbahasa Inggris.Istilah kedua ini, bahkan sekarang merupakan istilah yang paling
umum digunakan.

Bisa jadi orang-orang Prancis lebih senang menggunakan istilah semiologi karena
penggunaan Saussuer terhadapnya, sementara orang-orang Inggris lebih suka menggunakan
istilah semiotika karena penggunaan John Lock (16321704) terhadap istilah ini pertama kali,
yang secara langsung mengambilnya dari bahasa Yunani, semeiotike.Kalangan yang
mempelajari literatur Inggris tentu sudah akrab dengan pernyataan Lock dalam kajiannya yang
sangat terkenal tentang watak pemahaman bahwa istilah itu berarti mazhab tanda-tanda
atau doctrine of signs.

Definisi yang ia berikan terhadap istilah ini adalah Aktivitas yang secara khusus meneliti
tentang watak tanda-tanda yang digunakan oleh pikiran dalam mencapai pemahaman terhadap
sesuatu atau dalam menyampaikan ketahuan-ketahuannya kepada orang lain. [Essay
Concerning Human Understanding. 1689. P.32]

Pada hakikatnya, Lock bukanlah orang pertama yang menyentuh bidang keilmuan ini.
Objek kajian ini sudah ada sejak masa Plato dan Aristoteles dan terus berkembang dalam kajian
para filsuf tanpa memberikannya nama atau istilah ini. Hanya tabiat keilmuan modern dan
spesifikasi bidang membuat istilah ini menjadi lebih spesial sebagai salah satu kajian kritik
susastra, sejak awal abad ke-20. Dalam perkembangannya, semiotika menjadi pisau analitik
terhadap apa pun yang berperan sebagai tanda dan struktur tanda yang mewakili pikiran manusia.

Objek kajian bidang ini merupakan kristalisasi dari perpaduan tiga bidang utama kajian dan
menjadi mazhab tersendiri dalam filsafat, yaitu (1) Pragmatisme yang menjadi karakter kajian
filsuf Amerika, Charles Sanders Peirce (18391914); (2) Phenomelogi yang selalu terkait dengan
nama E. Husserl (18591938); dan (3) Strukturalisme yang berlandaskan pada kajian-kajian
Saussure dalam linguistik.

Bagaimana istilah ini dalam padangan Peirce? Semiotika adalah proses simbolisasi atau
representasi (semiosis). Proses, yaitu dinamika yang terpadu di dalamnya tiga unsur dinamis,
yakni tidak tetap, tidak final, dan tidak pasti. Dalam teorinya tentang tanda, Peirce
mendefinisikannya sebagai representasi terhadap sesuatu bahwa ia mampu menyampaikan
sebagian sisi atau dayanya kepada orang lain.

Kris Budiman, dengan bahasa yang singkat padat, menguraikan bahwa semiotika dalam
pandangan Peirce merujuk kepada doktrin formal tentang tanda-tanda. Jadi, yang menjadi dasar
dari semiotika adalah konsep tentang tanda. Tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang
tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri punsejauh terkait dengan pikiran
manusiaseluruhnya terdiri dari tanda-tanda. Karena, bilatidak demikian, manusia tidak akan
dapat menjalin hubungannya dengan realitas.

Bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia,
sedangkan tanda-tanda non-verbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka
praktik sosial konvensional lainnya dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari
tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan atas dasar relasi-relasi. [Kris
Budiman, Kosa Semiotika. Jogjakarta: LKiS, 1999, hlm. 108.]

Konsep dasar yang diperkenalkan oleh Peirce dalam semiotika bahwa ada tiga komponen yang
saling terikat atau berkorelasi satu sama lain, yaitu: tanda, objek yang ditunjukkan oleh tanda itu,
dan faktor penafsirnya (interpretant).

Dalam kajian semiotika, objek yang ditunjukkan oleh tanda biasa disebut dengan petanda
meskipun penyebutan ini masih harus dijelaskan lebih jauh secara ilmiah.Dalam teori Saussure,
petanda (signifie) adalah sandingan penanda (siginifiant). Sebuah tanda, khususnya tanda
kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi-dua atau dwimuka,terdiri dari unsur
penanda (citra-bunyi) dan petanda (konsep). Kedua elemen tanda benar-benar menyatu dan
saling tergantung. Kombinasi dari kedua unsur inilah yang kemudian menghasilkan tanda.Jadi,
tanda dalam kajian ini berbeda dengan penanda yang hanya menjadi unsurnya.

Mungkin dari sudut ini kemudian Peirce melihat bahwa tanda tidak menunjukkan kepada
sesuatu secara utuh, yakni kepada seluruh sisi dan dayanya, tetapi hanya kepada sebagiannya.
Artinya, hubungan antara tanda dan objek yang ditunjukkan adalah hubungan yang taksempurna.
Oleh karena itu, dibutuhkan komponen ketiga yang ia sebut faktor penafsir atau interpretant.
Jadi, hubungan ini berpotensi beda dan selalu bisa mengalami perubahan sesuai dengan faktor
penafsirnya itu. Karenanya, tanda bersifat dinamis.

Menurut teori Peirce, dalam kaitannya dengan tiga komponen itu, ada tiga metode utama
yang bisa kita tetapkan secara spesifik untuk melakukan proses representasi, penunjukan, atau
simbolisasi. Oleh karenanya, kita bisa membedakan tanda-tanda ke dalam tiga tipe. Pertama,
tanda yang menyerupai objek yang direpresentasikan atau acuan simbolnya, seperti maket dan
peta. Peirce menyebut tanda ini dengan istilah icon, yaitu bentuk pengecilan dari objeknya atau
miniatur. Kedua, tanda yang berkaitan secara nyata dengan objek yang ditunjukkannya seperti
jarum jam dan penunjuk arah angin (weathercock). Tipe ini disebut oleh Peirce dengan
istilah index. Ketiga, tanda yang keterikatannya dengan objek petandanya berlaku dalam
pandangan umum atau tradisi (arbiter dan linear), seperti kata dan tanda lalu lintas. Tipe ketiga
ini disebut oleh Peirce dengan istilah simbol.

Perbedaan representasi atau simbolisasi akan sangat besar pada objek tanda yang sangat
abstrak. Bisa dinilai dengan melakukan klasifikasi berdasarkan tiga tipe tanda ini. Sebagai
contoh, dan ini paling krusial dalam pandangan manusia, eksistensi Tuhan dalam kehidupan
manusia dan bagaimana kelompok-kelompok sebut saja agama-agamamerepresentasikan Tuhan
dari keyakinannya.

Dalam Islam, Tuhan hanya boleh direpresentasikan dalam simbol, yaitu kata yang mewakili
eksistensi-Nya. Itu pun masih dengan pembatasan-pembatasan, yang kemudian melahirkan
banyak aliran berkaitan dengan Nama dan Sifat. Perintah menghadap kiblat dalam shalat sekilas
merupakan tanda yang berbentuk index. Namun, hanya bisa dimaknai sebagai pelaksanaan
perintah dan makna lain di luar penunjukkan terhadap eksistensi Tuhan (posisi).
Eksistensi Tuhan dalam agama lain direpresentasikan dalam bentuk yang berbeda, tergantung
sejauh mana ajaran agamanya membolehkan. Kristen, misalnya, simbolisasi eksistensi Tuhan
diwujudkan dalam bentuk salib. Agama lain, dalam bentuk arca-arca atau lainnya yang mewakili
eksistensi Tuhan, sesuai ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.

Alasan semiotik kenapa Islam melakukan pembatasan terhadap penunjukkan eksistensi Tuhan ini
bisa ditelusuri, dari konsep Peirce tentang tanda, bahwa relasi tanda dan objek yang
ditunjukkannya adalah taksempurna. Tanda tidak selalu menunjukkan kepada objeknya secara
utuh, yakni kepada seluruh sisi dan dayanya. Sementara itu, Tuhan adalah
Mahasempurna.Dengan demikian, bisa dipahami bahwa Islam sangat menjaga bentuk
representasi itu agar jangan sampai simbol yang digunakan untuk mengungkapkan eksistensi-
Nya mencederai kandungan maksudnya yang utuh dan sempurna.

Dalam pembicaraan sederhana dan diskusi lepas dengan teman saya, TaufikDamas, muncul
kesimpulan bahwa semakin abstrak sesuatu, semakin luhur dan suci. Juga, semakin sulit untuk
diwakilkan dengan suatu tanda yang mengacu pada maknanya yang utuh dan sempurna. Tuhan
adalah wujud yang paling abstrak, paling tak terjangkau.

Bisasaya tambahkan bahwa semakin abstrak sesuatu, semakin besar peran faktor penafsir yang
bertautan dengan tanda pada satu sisi dan dengan objek yang ditunjukkan oleh tanda pada sisi
lain. Semakin besar pula potensi perbedaan dalam relasi itu.

Dari konsep ini, kita bisa melihat hal-hal lain dan bagaimana manusia mencoba
merepresentasikan dalam tanda-tanda yang digunakannya. Cinta dan kasih sayang, misalnya.

Kembali kepada pembahasan konsep tanda dalam pandangan Peirce. Sedikit banyak, dalam
membangun konsepnya tentang tanda dengan prinsip berikutini, Peirce telah menorehkan garis-
garis awal bagi sebagian prinsip Dekonstruktivisme. Dia coba memecah relasi unsur dan
melihatnya satu per satu untuk dijadikan bahan analisis. Dari situ ia melihat bahwa relasi antara
tanda dan faktor penafsir bergantung erat dengan relasi antara tanda dan objek.

Dengan demikian, faktor penafsir bertautan dengan objek sebanding pertautannya dengan tanda
itu sendiri. Dari sini, faktor penafsir dapat dipandang sebagai tanda lain (kedua) yang
dimunculkan oleh tanda yang asli (pertama) di dalam pikiran seseorang yang melihat atau
mendengar dan mencoba memahaminya.

Secara singkat, itu berarti bahwa proses penafsiran pada kenyataannya tidak lain adalah proses
menempatkan tanda pada tanda lain, apa pun bentuknya. Seseorang yang mendengar kata
Padang, misalnya, bisa jadi memerlukan iconsebuah maket konstruksi kota, atau index penunjuk
ke sebuah kota, atau simbol kata sinonim atau yang menjelaskan. Demikianlah, menafsirkan
Padangartinya menggantikan tanda asli (pertama) dengan tanda lain (kedua), apa pun jenisnya,
sehingga benak sang pendengar tidak beralih kepada makna lain yang berupa tanah lapang yang
luas.

Jika disebutkan sebelumnya bahwa tanda dalam konsep Peirce mencakup seluruh konstruksi
struktur dalam kehidupan yang dapat ditangkap oleh pikiran manusia, maka bahasa sebagai
konstruksi pemikiran dan pengetahuan, menurut Peirce, merupakan struktur tanda-tanda yang
saling berjalin, bertaut, berpadu, dan mampu melahirkan tanda-tanda yang lain dari dalam
konstruksinya tanpa batas dan ikatan.

Artinya, prinsip dinamisme tanda merupakan karakter dominan dalam teori Peirce, yaitu apa
yang kita sebut sebagai perintisan terhadap teori Dekonstruktivisme yang cenderung
membebaskan tanda-tanda dari ikatan-ikatan tradisionalnya atau ikatan-ikatan lazimnya.

Peirce pada dasarnya membahas ilmu tentang tanda-tanda secara umum, tidak terfokus pada
bahasa atau alam sadar seperti dilakukan oleh Husserl (18591938) setelahnya. Husserl
merupakan salah seorang pendiri mazhab Phenomenology modern.

Relasi Makna C.S Pierce

“Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau
kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu
tanda yang setara, atau barang kali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang
diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda yang pertama. Tanda itu menunjukan
sesuatu, yakni objeknya”

Tanda :Tripologi tanda (ikon, indexs simbol)

tanda mengacu pada sesuatu diluar dirnya sendiri—objek—dan ini dipahami oleh
seseorang serta memiliki efek di benak penggunanya—interpretant—kita mesti menyadari
bahwa interpretant bukanlah pengguna tanda, namun Pierce menyebutnya dimana-mana efek
pertandaan yang tepat, yaitu konsep mental yang dihasilkan baik oleh tanda maupun pengalaman
pengguna terhadap objek.

Lalu bagaimana menjabarkan konsep relasi makna (tanda,interpetant,objeka) C.S Pierce?


untuk memudahkan megoperasionalkan konsep makna ini, pierce memberikan pembagian tanda
dalam tiga bagian yaitu:ikon,indeks,simbol yang disebut tipologi tanda.

Penjelasannya seperti ini….

Ikon, adalah tanda yang dicirikan oleh persamaannya (resembles) dengan objek yang
digambarkan. Tanda visual seperti fotografi adalah ikon, karena tanda yang ditampilkan
mengacu pada persamaannya dengan objek. Sebuah foto pesawat Hercules C-130
adalah ikon dari objek yang bernama pesawat Hercules C-130, karena foto pesawat tersebut
berusaha menyamakan dengan objek yang diacunya. Karena bentuknya yang sama/mirip dengan
objek, ikondapat diamati dengan cara melihatnya.
Indeks, adalah hubungan langsung antara sebuah tanda dan objek yang kedua-duanya
dihubungkan. Indeks,merupakan tanda yang hubungan eksisitensialnya langsung dengan
objeknya. Runtuhnya rumah-rumah adalah indeksdari gempa. Terendamnya bangunan adalah
indeks dari banjir. Sebuah ideks dapat dikenali bukan hanya dengan melihat seperti halnya
dalam ikon, tetapi juga perlu dipikirkan hubungan antara dua objek tersebut.

Simbol, adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi,
kesepakatan, atau aturan. Makna dari suatu simbol ditentukan oleh suatu persetujuan bersama,
atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran. Lampu lalu lintas adalah simbol, warna
merah berhenti, hujau berarti jalan, palang merah adalah simbolyang maknanya diterima sebagai
suatu kebenaraan melalui konvensi atau aturan dalam kebudayaan yang telah disepakati.
Katagori-katagori tersebut tidaklah terpisah dan berbeda. Satu tanda bisa saja kumpulan dari
berbagai tipe tanda.

Jadi titik tekan semiotika Pierce pada semiotika visual. Berbeda dengan Sausure yang menitik
beratkan pada semiotika linguistik.

sumber bacaan: Jhon Fiske, Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif(Yogyakarta: Jalasutra, 2004

http://humbud.uin-malang.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=353:semiotika&catid=122:semiotika&Itemid
=105&showall=1

Anda mungkin juga menyukai