Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Semiotika


Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut
menyampaikan sebuah informasi sehingga bersifat komunikatif. Keberadaannya dapat
menggantikan sesuatu yang lain, dapat dipikirkan, atau dibayangkan. Semiotika sendiri
berasal dari kata Yunani, Semeion, yang artinya tanda. Terdapat kenderungan bahwa
manusia selalu mencari arti atau berusaha memahami segala sesuatu yang ada di
sekelilingnya dan menganggapnya sebagai tanda. Pemaknaan terhadap dunia tanda pada
tingkat terendah adalah pemaknaan secara lugas, yakni mengintepretasikan berdasarkan
asal makna tanda tersebut (Sobur, 2009: 15).
Bidang kajian semiotik atau semiologi mempelajari fungsi tanda pada teks, yaitu
bagaimana memahami sistem tanda yang ada dalam teks yang berperan membimbing
pembacanya agar mampu menangkap pesan yang terdapat di dalamnya. Dengan kata lain,
semiologi berperan untuk melakukan interogasi terhadap tanda-tanda yang dipasang oleh
penulis agar pembaca bisa masuk ke bilik-bilik makna yang tersimpan dalam sebuah teks
(Hidayat, 1996: 163).
2.1.2. Semiotika Roland Barthes
Semiotika, atau dalam istilah Barthes disebut semiologi pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal. Memaknai yang
artinya bahwa objek-objek tidak cuma membawa informasi, dalam hal dimana
objek-objek tersebut hendak berkomunikasi, tapi juga mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda. Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika
Eropa pasca Saussure. Pemikirannya tak hanya melanjutkan pemikiran Saussure
terutama ketika ia menggambarkan makna ideologis dari representasi jenis lain
yang disebut mitos. Barthes menekankan pada cara tanda-tanda di dalam teks
berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya dan
memperhatikan konvensi pada teks yang berinteraksi dengan konvensi yang
dialami (Kriyantono, 2008: 268).
Konsep konotasi dan denotasi menjadi kunci dari analisis Barthes. Konsep
ini dinamai Two orders of signification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan

7
pertandaan) yang terdiri dari first order of signification yaitu denotasi, serta second
orders of signification yaitu konotasi. Tatanan pertama mencakup penanda dan
petanda yang membentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi.
Denotasi merupakan tingkat petandaan yang menjelaskan hubungan antara tanda
dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang ekplisit, langsung,
dan pasti. Denotasi adalah makna paling nyata dari tanda, sedangkan konotasi
adalah pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang
didalamnya beroperasi makna yang bersifat implisit dan tersembunyi (Christomy,
2004: 94). Konotasi memiliki makna yang subjektif. Dengan kata lain, denotasi
adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu objek dan makna konotasi
adalah bagaimana cara menggambarkan (Wibowo, 2011: 17).

1. Penanda 2. Petanda

3. Tanda Denotatif
4. Penanda Konotatif 5. Petanda Konotatif

6. Tanda Konotatif

Gambar 3
Peta Tanda Roland Barthes
(Sumber: Sobur, 2003: 69)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari
penanda (1) dan petanda (2). Tetapi, pada saat yang sama, tanda denotatif juga
penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material:
hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri,
kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz, 1999: 51) dalam
Sobur (2003: 69). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya
mempunyai makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda
denotatif yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2003:69).
Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna
harfiah, makna yang “sesungguhnya.” Akan tetapi dalam semiologi Barthes dan
para pengikutnya, denotasi adalah sistem signifikasi tingkat pertama, sementara
konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru diasosiasikan

8
dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi melawan keharfiahan denotasi yang
bersifat opresif ini, Barthes mencoba menolaknya. Bagi dia hanya ada konotasi.
Lebih lanjut dikatakan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang alamiah
(Budiman, 1999: 22) dalam Sobur (2003: 71). Menurut Lyons, denotasi adalah
hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara
bebas memegang peranan penting di dalam ujaran (Sobur, 2003: 263).

Gambar 4
Signifikasi dua tahap Roland Barthes
(Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hal 122)

Dari gambar diatas, Barthes seperti dikutip Fiske, menjelaskan signifikasi


tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan petanda didalam sebuah
tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi. Konotasi
ialah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikasi tahap kedua. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Pada signifikasi tahap kedua
yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (Sobur, 2001: 128).
Menurut pandangan Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan
mengenai sesuatu, cara untuk memahami sesuatu. Jika konotasi adalah pemaknaan
tatanan kedua dari petanda. Di tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama
disisipkan ke dalam sistem nilai budaya. Mitos adalah cerita yang dipakai suatu
kebudayaan untuk menjelaskan atau mencari pemahaman terkait beberapa aspek
dari realitas maupun alam (Fiske, 2007: 121).
9
Barthes menegaskan cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan
sejarah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk
kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu maknanya, peredaran
mitos mesti membawa sejarahnya, namun operasinya sebagai mitos membuatnya
mencoba menyangkal hal tersebut, dan menunjukkan maknanya sebagai alamu,
dan bukan bersifat historis atau sosial (Fiske, 2007: 122).
Untuk melakukan analisis pada tayangan Mata Najwa episode ‘Siapa Rindu
Soeharto’, penulis menemukan scene Tommy Soeharto dalam tayangan tersebut
yang menunjukkan gaya komunikasi Tommy Soeharto. Dari setiap scene itu, akan
dilakukan analisis terhadap setiap penanda yang muncul guna mengetahui makna
denotatif di signifikasi tahap pertama. Lalu makna denotatif itu menjadi penanda
pada signifikasi tahap kedua untuk makna konotatif. Setelah itu, analisis guna
mencari mitos yang terdapat pada makna konotatif tersebut.

2.2. Definisi Talkshow


Program talkshow merupakan program yang menampilkan beberapa orang, terdiri
atas, pewancara atau host dan narasumbernya, membahas suatu topik tertentu. Mereka
yang menjadi narasumber merupakan orang-orang yang berkompeten atau mempunyai
kaitan dengan topik atau masalah yang tengah dibahas (Morissan, 2008: 28). Talkshow
juga bisa diartikan program pembicaraan yang melibatkan tiga orang atau lebih yang
membahas mengenai suatu permasalahan. Pada program ini masing-masing orang atau
narasumber yang diundang dapat berbicara satu sama lain, mengemukakan pendapatnya
dan host dapat bertindak sebagai moderator yang juga bisa melontarkan pendapatnya atau
membagi dan mengatur pembicaraan (Fred, 2007: 8).
Format talkshow merupakan cerminan dari kekuatan yang menonjol pada
mediaum televisi, yaitu original dan credible (dapat dipercaya). Narasumber yang “vocal”
dan pahas dengan topik atau bahasan merupakan salah satu poin keberhasilan sebuah
talkshow. Agar talkshow dapat menarik dan berbobot, host atau moderator harus
memahami topik pembahasan yang sedang dibahas (Fred, 2007: 67).

2.3. Definisi Gaya Komunikasi


Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya bahasa yang baik.
Gaya yang dimaksud sendiri dapat bertipe verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal
berupa vokalik, bahasa badan, penggunaan waktu, dan penggunaan ruang dan jarak. Setiap
10
gaya komunikasi terdiri atas sekumpulan perilaku komunikasi yang digunakan guna
mendapat respon atau tanggapan tertentu pada situasi tertentu. Gaya komunikasi bukan
tergantung pada tipe seseorang melainkan pada situasi yang sedang dihadapi. Setiap orang
memakai gaya komunikasi yang berbeda ketika mereka sedang tertarik, sedih, gembira,
marah, atau bosan. Begitu juga dengan seseorang ketika berbicara dengan sahabatnya,
orang yang baru dikenal atau dengan anak-anak akan berbicara dengan gaya yang berbeda.
Selain itu, gaya yang dipakai dipengaruhi beberapa faktor, gaya komunikasi adalah
sesuatu yang dinamis dan sulit ditebak. Sebagaimana budaya, gaya komunikasi adalah
sesuatu yang relatif (Widjaja, 2000: 57).
Sedangkan menurut Tubbs & Moss (dalam Ruliana, 2014: 31) gaya komunikasi
sebagai seperangkat perilaku antarpribadi yang terspesialisasi yang digunakan dalam
situasi tertentu. Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku
komunikasi yang dipakai untuk memperoleh respons atau tanggapan tertentu dalam situasi
yang tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan, bergantung
pada maksud dari pengirim dan harapan dari penerima.
Gaya komunikasi dapat ditinjau dari segi paralinguistik, yakni karakteristik
verbal yang bersama dengan pesannya, yaitu kecepatan berbicara, intonasi, nada suara,
kelancaran, dan sebagainya. Paralinguistik sebenarnya merupakan salah satu aspek
komunikasi nonverbal, meskipun terkait juga dengan komunikasi verbal. Akan tetapi
aspek ini penting kita perhatikan agar komunikasi kita efektif. Kesalahan tekanan pada
satu kata dapat menimbulkan kesalahpahaman. Aspek paralinguistik ini membawa
informasi mengenai emosi, sikap, kepribadian, dan latar belakang sosial individu yang
bersangkutan (Mulyana, 2005: 154).
Menurut Norton (1978: 100-101), gaya komunikasi dikelompokkan kedalam
sembilan kategori atau jenis:
a. Gaya dominan (dominant style), gaya seseorang yang cenderung menguasai
pembicaraan atau mengontrol situasi sosial.
b. Gaya dramatis (dramatic style), gaya individu yang ketika ia berbicara
terkesan melebih-lebihkan. Gaya ini cenderung memakai seperti kiasan,
metafora, fantasi, cerita dan suara.
c. Gaya argumentatif / kontroversial (Contentious / controversial style), gaya
komunikasi yang selalu argumentatif atau cepat menantang orang lain yang
tidak setuju dengan mereka. Komunikator bersifat konfrontatif dan berkaitan
dengan gaya dominan.
11
d. Gaya animasi (animated style), gaya orang berkomunikasi yang secara aktif
memakai bahasa nonverbal seperti ekspresi wajah, gestur, dan kontak mata.
e. Gaya berkesan (impression style), gaya berkomuniksi yang membuat orang
lain terkesan dan mengingatnya.
f. Gaya santai (relaxed style), gaya berkomunikasi orang dengan tenang,
senang, penuh senyum dan tawa. Tidak mudah menunjukkan sikap gegabah
atau cemas.
g. Gaya atentif (attentive style), gaya orang berkomunikasi dengan memberi
perhatian penuh pada orang lain, bersikap simpati, mendengarkan orang lain
secara sungguh-sungguh.
h. Gaya terbuka (open style), gaya dimana seseorang berkomunikasi secara
terbuka dengan cara berpenampilan jujur dan mungkin blak-blakan.
i. Gaya bersahabat (friendly style), gaya komunikasi yang ditunjukkan
seseorang secara ramah, memberi respon positif, dekat, dan mendukung.

2.4. Definisi Komunikasi Verbal


Komunikasi verbal yaitu komunikasi yang dalam menyampaikan pesannya
menggunakan lisan dan tulisan (Effendi, 1998:7). Adapun kode komunikasi verbal dalam
pemakaiannya menggunakan bahasa, bahasa dapat didefinisikan seperangkat kata yang
telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi inti kalimat yang mengandung arti
(Cangara, 2003: 99).
Diatas sudah disebut komunikasi verbal dibedakan atas komunikasi lisan dan
komunikasi tulisan. Komunikasi lisan didefinisikan sebagai suatu proses dimana seorang
pembicara berinteraksi secara lisan dengan pendengar untuk mempengaruhi tingkah laku
penerima. Sedangkan komunikasi tulisan yaitu apabila keputusan yang akan disampaikan
oleh pimpinan itu disandikan dengan simbol-simbol kemudian dikirimkan kepada
karyawan yang dimaksudkan. Komunikasi tertulis ini dapat berupa memo, surat, buku
petunjuk, gambar, maupun laporan. Sedangkan komunikasi lisan dapat berupa tatap muka,
melalui telepon, radio, televisi dan lainlain (Arni, 2001: 95).
Untuk fungsi bahasa, menurut Larry L Barker, bahasa memiliki tiga fungsi yaitu:
penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi (Mulyana, 2007:
266).
a. Penamaan atau penjulukan

12
merujuk pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan atau orang dengan
menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.
b. Interaksi
Menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan
pengertian atau kemarahan dan kebingungan.
c. Transmisi informasi
Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Informasi dapat
diterima secara langsung atau tidak (melalui media massa misalnya).
Dalam mempelajari inetraksi bahasa dan verbal, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan (Devito, 1997: 117):
1. Kata-kata kurang bisa menggantikan perasaan atau pikiran komplek yang ingin
kita komunikasikan. Oleh karenanya, kata-kata hanya dapat mendeteksi makna
yang kita sampaikan.
2. Kata-kata hanyalah sebagian dari sistem komunikasi. Dalam komunikasi yang
sesungguhnya kata-kata kita selalu disertai oleh perasaan nonverbal. Oleh
karenanya, pesan-pesan merupakan kombinasi isyarat verbal dan nonverbal, dan
efektifitasnya bergantung pada bagaimana kedua macam isyarat ini dipadukan.
3. Bahasa adalah institusi sosial dari budaya kita dan mencerminkan budaya
tersebut. Pandanglah bahasa dalam suatu konteks sosial, selalu
mempertimbangkan implikasi sosial dari penggunaan bahasa.

2.5. Definisi Komunikasi Non Verbal


Menurut Larry A. Samovar dan Richard E Porter, komunikasi non verbal
mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi,
yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai
nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Mulyana, 2007: 343). Guna memahami
pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat
komunikasi sering kali mengutip paradigma yang ditemukan oleh Harold Lasswell dalam
karyanya, the sructure and function of communication in Society, Laswell mengatakan
bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai
berikut: Who Say What In Which Channel To whoam With What Effect? (Effendy, 1993:
253).
Klasifikasi pesan non verbal meliputi (Mulyana, 2007:351):
1. Bahasa tubuh
13
Bidang yang menelaah bahasa tubuh adalah kinesika, istilah yang diciptakan
oleh perintis studi bahasa non verbal, Ray L. Biedwhistell. Setiap anggota tubuh
seperti wajah (termasuk senyuman dan pandangan mata), tangan, kepala, kaki
dan tubuh secara keseluruhan dapat digunakan sebagai isyarat simbolik.
2. Sentuhan
Studi tentang sentuh-menyentuh disebut heptika. Sentuhan, seperti foto, adalah
perilaku nonverbal yang multi makna, dapat menggantikan seribu kata.
Kenyataannya sentuhan ini bisa merupakan tamparan, pukulan, cubitan,
senggolan, tepukan, belaian, pelukan, pegangan (jabat tangan), rabaan, hingga
sentuhan lembut sekilas. Sentuhan kategori terakhirlah yang sering diasosiasikan
dengan sentuhan. Banyak riset menunjukkan bahwa orang berstatus lebih tinggi
lebih sering menyentuh orang berstatus lebih rendah daripada sebaliknya. Jadi
sentuhan juga berarti “kekuasaan”.
3. Parabahasa
Merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, seperti
misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume)
suara, intonasi, kualitas vocal (kejelasan), warna suara, dialek, suara serak, suara
sengau, suara terputus-putus,suara yang gemetar, suitan, siulan, tawa erangan,
tangis, gerutuan, gumaman, desahan, dan sebagainya. Setiap karakteristik suara
ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita.
Merhabian dan Ferris menyebut bahwa parabahasa adalah terpenting kedua
setelah ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau emosi. Menurut
formula mereka, parabahasa punya andil 38% dari keseluruhan impak pesan.
Oleh karena ekspresi wajah punya andil 55% dari keseluruhan impak pesan,
lebih dari 90% isi emosionalnya ditentukan secara nonverbal.
4. Penampilan Fisik
Setiap orang memiliki persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu
busananya (model, kualitas bahan, warna), dan ornamen lain yang dipakainya,
seperti cincin, kacamata, sepatu, jam tangan, kalung, gelang,dan sebagainya.
Seringkali orang memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang
bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, medel rambut dan sebagainya.
5. Orientasi Ruang dan Jarak Pribadi
Suatu cara bagaimana orang-orang yang terlibat dalam suatu tindakan
komunikasi berusaha untuk menggunakan ruang. Antropolog Edward. T. Hall
14
mendefinisikan empat jarak yang kita gunakan sehari-hari: akrab, personal,
sosial, dan publik.
Terdapat tiga perbedaan pokok antara komunikasi verbal dan komunikasi
nonverbal (Mulyana, 2007: 347):
1) Perilaku verbal adalah saluran tunggal, perilaku nonverbal bersifat
multisaluran. Kata-kata datang dari satu sumber, tetapi isyarat nonverbal
dapat dilihat, didengar, dirasakan, dibaui atau dicicipi.
2) Pesan verbal terpisah-pisah, sedangkan pesan nonverbal sinambung. Artinya,
orang dapat mengawali dan mengakhiri pesan verbal kapanpun ia
menghendaki, sedangkan pesan nonverbal tetap mengalir, sepanjang ada
orang yang hadir di dekatnya.
3) Komunikasi nonverbal mengandung lebih banyak muatan emosiaonal
daripada komunikasi verbal. Sementara kata-kata umumnya digunakan
untuk menyampaikan fakta, pengetahuan, atau keadaan, pesan nonverbal
lebih potensial untuk menyatakan perasaan seseorang.

2.6. Penelitian Sebelumnya


1) Nama Peneliti: Judul Penelitian:
Hansen Hogi Wijaya Representasi Citra Institusi Kepolisian
Republik Indonesia Pada Film “Enigma”
Serial “Kematian Alana”.

Tujuan Penelitian Metode Penelitian


Mengetahui representasi citra Institusi Pendekatan kualitatif
Kepolisian Republik Indonesia pada film
“Enigma” serial “Kematian Alana”.

Hasil Penelitian
Menunjukkan bahwa terdapat makna denotasi, konotasi, serta mitos pada film
“ENIGMA” serial “Kematian Alana”. Dari makna denotasi, konotasi dan mitos tersebut
dapat merepresentasikan citra polisi pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana”.
Dapat disimpulkan bahwa citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia dalam film

15
“ENIGMA” serial “Kematian Alana” merupakan citra keinginan. Citra keinginan yang
membuat polisi berkesan positif dipandangan masyarakat.

2) Nama Peneliti: Judul Penelitian:


Mawaddatur Rahmah Gaya Komunikasi Pemimpin di Media
(Analisis Semiotika Gaya Komunikasi
Basuki Tjahaja Purnama “Ahok” dalam
Tayangan Mata Najwa On Stage “Semua
Karena Ahok” di Metro TV).
Tujuan Penelitian Metode Penelitian
Menemukan makna denotasi, konotasi, dan Pendekatan kualitatif
mitos pada gaya komunikasi Basuki
Tjahaja Purnama dalam Tayangan Mata
Najwa On Stage “Semua Karena Ahok”.
Hasil Penelitian
Pemaknaan gaya komunikasi Basuki Tjahaja Purnama “Ahok” secara denotatif,
konotatif dan mitos. Secara denotatif, gaya komunikasi Ahok dapat dikategorikan
kedalam gaya komunikasi konteks rendah, terlihat dari gaya berbicara Ahok yang terus-
terang dan ceplas-ceplos. Dari segi konotatif, terlihat bahwa Ahok tidak ingin seperti
pemimpin pada umumnya, Ahok ingin menjadi pemimpin yang benar-benar bekerja
untuk warganya. Mitos yang terkandung dalam gaya komunikasi Ahok adalah Ahok
dianggap tidak sesuai untuk memimpin DKI Jakarta yang mayorits suku Betawi, karena
Ahok bukan berasal dari tanah Jawa melainkan berasal dari pulau Sumatera.

3) Nama Peneliti: Judul Penelitian:


Ralp Johnson Batubara Memahami Gaya Komunikasi Politik Ganjar
Selaku Gubernur Terhadap DPRD Jateng
(Studi Kasus Persepsi DPRD Terhadap Gaya
Komunikasi Politik Ganjar Pranowo)

16
Tujuan Penelitian Metode Penelitian
Memahami gaya komunikasi politik Pendekatan kualitatif
Ganjar Pranowo selaku gubernur
melalui persepsi DPRD Jawa Tengah
dalam hubungan kinerja pemerintahan.
Hasil Penelitian
Gaya komunikasi politik yang Ganjar lakukan memiliki kecendurungan bergaya
konteks rendah. Serta yang menghambat komunikasi ganjar dan DPRD yaitu gaya
agresif dan gaya bombastis.

4) Nama Peneliti: Judul Penelitian:


Fransisco Lelapary Jokowi Dalam Televisi (Analisis Semiotik
Konstruksi Pesan Komunikasi Non Verbal
Jokowi Dalam Program Berita Feature
“Gebrakan Jokowi” Di MetroTV)
Tujuan Penelitian Metode Penelitian
Mengetahui konstruksi pesan non verbal Pendekatan kualitatif
yang dilakukan oleh Jokowi dalam
program berita feature “Gebrakan Jokowi”
yang ditayangkan oleh MetroTV.
Hasil Penelitian
Konstruksi pesan nonverbal yang ditunjukan oleh Jokowi. Pesan non verbal
terkonstruksikan untuk menguatkan citra positif Jokowi dimata masyarakan. Citra
positif dibangun melalui tanda tanda nonverbal yaitu dengan pakaian yang dikenakan
yang menunjukan kesederhanaan dan kewibawaan, melalui perilaku nonverbal seperti
gerak tubuh, sikap badan, ekspresi wajah, keintiman, dan paralinguistik.

2.7. Kerangka Pikir


Pada tanggal 11 Juli 2018, program Mata Najwa mengangkat topik ‘Siapa Rindu
Soeharto’. Episode tersebut membahas tentang Partai Berkarya, Orde Baru, dan Soeharto,
serta menghadirkan beberapa narasumber yang diantaranya adalah Tommy Soeharto. Dari
tayangan Mata Najwa inilah, penulis ingin melihat bagaimana gaya komunikasi Tommy

17
Soeharto di program Mata Najwa episode tersebut. Untuk mengetahui gaya komunikasi
tersebut penulis akan menganalisis tayangan tersebut menggunakan model semiotika
menurut Roland Barthes.

Program Talkshow Mata Najwa episode


“Siapa Rindu Soeharto”

Scene Tommy Soeharto

Analisis Semiotika menurut Roland Barthes

Denotasi
Tataran Pertama

Penanda
Petanda
Bentuk Isi Tataran Kedua

Konotasi Mitos

Gaya komunikasi verbal dan non verbal


Tommy Soeharto dalam talkshow ‘Mata
Najwa’ episode ‘Siapa Rindu Soeharto’

18

Anda mungkin juga menyukai