Oleh:
Oleh:
1. Alb. Irawan Dwiatmaja (176312001)
2. Barnabas Bram Suarga (176312007)
3. Benny Beatus Wetty (166312006)
4. Bernadeta Wahyu Widhi Hapsary (176312009)
5. Fransiskus Kristino Mari Asisi (166312011)
6. Hendricus Satya Wening Pambudi (166312012)
7. Paulus Prabowo (166312016)
8. Rafael Mathando Hinganaday (166312018)
Form: foto
Signification:
- Tingkat pertama: denotasi, yaitu persatuan untuk memerangi radikalisme yang
menghambat perdamaian.
- Tingkat kedua: konotasi,yaitu bangsa Indonesia bersatu untuk melawan radikalisme
agama.
2
2. Mitos dan Proses Menjadi Mitos
Secara singkat contoh di atas dapat dijelaskan demikian. Secara denotatif, pendupaan itu berarti
menyalakan dupa dan menghadap foto orang yang meninggal (dalam konteks di Kamboja). Dalam
praktik keagamaan yang terjadi di Kamboja, setahun sekali pihak keluarga atau saudara juga
melemparkan nasi (segenggam tangan) ke kuil, tempat ibadat umat Buddha. Pada jam 4 subuh, orang
Kamboja berjalan mengelilingi tiap sudut kuil tersebut, dan melemparkan segenggam nasi kepada roh
yang berada di sudut-sudut kuil. Secara konotatif praktik penggunaan tanda itu menunjuk pada
kepercayaan bahwa pendupaan, asap yang membumbung ke atas menyimbolkan secara dalam makna
keterarahan arwah/jiwa orang yang sudah meninggal ke surga (atas). Surga dimaknai berada di atas.
Arwah yang meninggal terangkat ke surga karena dibantu olehasap dupa. Sementara, nasi yang
disajikan di kuil atau wat tempat ibadat umat Buddha menyimbolkan bahwa keluarga yang masih
berada di dunia menyiapkan makanan bagi orang yang sudah meninggal. Dua praktik itu
menyimbolkan bagaimana mitos berproses secara langsung.
Dalam teori semiotika Roland Barthes, mitos dapat terintensifikasi menjadi ideologi. Mitos yang
dimaksud di sini bukanlah mitos yang berhubungan dengan yang berbau supranatural (klenik),
adanya hantu atau takhayul. Mitos di sini adalah suatu cara pemaknaan akan tanda. Mitos ambil
bagian dalam menciptakan ideologi dalam masyarakat. Mitos tidak berusaha
1
Dibuat menurut bagan yang dipresentasikan oleh Dr. J. Haryatmoko dalam kuliah Semiotika Roland Barthes.
3
menunjukkan/menyembunyikan kebenaran ketika menciptakan ideologi.Setidaknya ada tiga hal yang
membuat mitos kemudian berkembang menjadi ideologi.
Pertama,representasi pikiran. Mitos menjadi ideologi jika menjadi suatu representasi pikiran,
keyakinan sekelompok orang yang memiliki ikatan sosial. Hal ini dapat menyangkut agama, mitos,
prinsip atau juga kebiasaan). Kedua, mitos menjadi ideologi ketika menjadi perekat suatu masyarakat
karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan sosial. Ketiga, faktor identitas.
Ideologi memberi rasa kepemilikan pada kelompok sosial tertentu misalnya memberi stabilitasi
sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir dan etos. Dalam semiotika konotatif, penanda-penanda
sistem kedua selalu terkonstitusi oleh tanda-tanda yang pertama; namun ini berbeda dalam meta-
bahasa (metalanguage).2Perluasan sistem tanda tingkat pertama terjadi dengan tambahan ekspresi
baru (tanda). Tanda tataran kedua ini dapat disebut meta-bahasa karena makna dapat datang dari luar
teks. Meta-bahasa tidak terkait dengan trajektori bahasa. Makna dapat datang dari luar atau
melampaui aturan bahasa, kepercayaan. Penerapan teori tentang mitos dan ideologi ini akan
dijelaskan pada bagian berikutnya mengenai analisis iklan.
Dalam kasus pendupaan di hadapan foto orang yang sudah meninggal dan melempar nasi ke kuil
tampak bahwa praktik ini sudah menjadi keyakinan dari orang Kamboja untuk membantu orang-
orang yang pernah dicintai semasa hidupnya agar sampai ke surga. Praktik ini menjadi cara berelasi
dengan arwah-arwah serta mendukung perjuangan mereka setelah kehidupan. Praktik ini juga telah
menjadi identitas dan dilaksanakan oleh hampir semua orang di Kamboja.
Terjadinya tataran kedua juga dipengaruhi oleh interpretan. Interpretan yang berbeda dapat
menimbulkan pemaknaan yang berbeda; agar dapat menjadi mitos, interpretan yang satu harus
memiliki kerangka pikir yang sama. Melempar segenggam nasi di kuil tidak dipandang sebagai cara
membuang-buang makanan tetapi justru mengantar atau menyediakan makanan. Begitu pula dengan
pendupaan. Pendupaan bukan dipandang sebagai menghabiskan dupa atau kegiatan iseng atau malah
mendukung polusi udara melainkan menjadi tindakan yang membantu para arwah sampai ke surga di
atas.
3. Membaca Iklan3
Setelah mengenal beberapa konsep semiotika yang khas dari pemikiran Roland Barthes,
kelompok akan mendalami teori yang ada dengan penerapannya pada iklan di media massa. Kiranya
“membaca iklan” ini akan lebih mudah menjelaskan teori semiotika Roland Barthes.
Menurut Roland Barthes, semua pengiklanan (advertising) adalah pesan.Pesan itu terkait dengan
tiga hal. Pertama,sumber ucapan, yaitu produk yang ingin diiklankan(a source of utterance). Kedua,
titik penerimaan, yaitu masyarakat publik (a point of reception), dan ketiga, sarana yang mendukung
pengiklanan (a channel of transmission).
Setiap pesan adalah perjumpaan dari level ekspresi (a level of expression) dan level isi (a level of
content). Sekarang, kita melihat periklanan sebagai sebuah “kalimat”. Jika kita memeriksa kalimat
periklanan, kita akan melihat bahwa kalimat itu terdiri dari dua pesan. Pesan yang pertama terdiri dari
2
Roland Barthes, Elements of Semiology, (trans.) Annete Lavers & Colin Smith (New York: Hill and Wang, 1964), 92.
3
Roland Barthes, “The Advertising Messege” dalam The Semiotic Challenge (New York: Collins Publishers, 1988), 173-
178.
4
kalimat-kalimat yang dipilih dalam segala
1. Penanda 2. Petanda arti literalnyadan menunjukkan intensi
(Signifier) (Signified) pengiklanan itu sendiri. Pesan pertama ini
mencakup level ekspresi (segala bentuk
ekspresi baik itu yang phonik maupun
grafis dari kata-kata, relasi sintaktis dari
kalimat yang diterima) dan level isi (hal
ini adalah arti literal dari kata-kata yang
sama dan dari relasinya yang sama).
Singkatnya, pesan pertama ini merupakan pesan denotasi.
Pesan yang kedua merupakan sepenuhnya pesan. Pesan kedua ini merupakan pesan pertama
dalam segala keseluruhannya yang bersifat unik (“produkku adalah yang terbaik di bidangnya”) dan
selalu sama dalam semua pesan periklanan (“belilah produkku”). Dengan demikian, jika kita ditawari
sebuah produk, kita akan menyadari bahwa orang yang beriklan sedang mengatakan, “produkkulah
yang terbaik” dan “belilah produkku”. Pesan kedua ini adalah pesan konotasi.
Mengapa orang tidak dengan sederhana mengatakan, “belilah produkku”? Menurut Roland
Barthes, pengiklanan dimaksudkan untuk menghindari banalitas tawaran. Konsumen diarahkan untuk
membeli suatu produk tertentu sebagai sesuatu yang natural, tanpa merasa dipaksa-paksa oleh
penawaran yang membabi buta. Selain itu, sebuah iklan yang baik adalah iklan yang dapat
“menggoda” dan membangkitkan “mimpi” calon pembelinya.
4
Lih. Daniel Chandler, Semiotics for Beginner: Denotation, Connotation and Myth dalam http://visual-
memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/sem06.html (diakses pada 5 Oktober 2017).
5
3.Tanda Denotatif Dalam esainya ‘Rhetoric of the Image’,
(Denotative Sign) Barthes menunjukkan kekuatan makna
konotasi dalam konteks periklanan.
4. Penanda konotatif 5. Petanda denotatif
Dalam hal ini denotasi justru lebih
(Connotative Signifier) (Connotative Signified)
diasosiasikan dengan ketertutupan
6. Tanda Konotatif makna. Sebagai reaksi untuk melawan
(Connotative Sign) keharfiahan denotasi yang bersifat opresif
ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan
Bagan 2.Peta Semiologi Roland Barthes menolaknya. Baginya yang ada hanyalah
konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa makna harfiah merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.5
Berikut ini dua iklan kecantikan yang akan dianalisis dengan teori semiotika Barthes.
5
Kris Budiman, Kosa Semiotika (Yogyakarta: LKiS, 1999), 22.
6
Gbr. 3 Gbr. 4
Dalam iklan tersebut terdapat beberapa petandayang menarik untuk dianalisis, di antaranya:
Denotasi. Dari pemaknaan denotasi kita dapat menangkap bahwa Gita Gutawa sungguh penyanyi
yang dikenal masyarakat Indonesia. Ia adalah penyanyi yang sedang berlibur ke Korea dan
mendatangi suatu pusat perbelanjaan.
7
Ia memiliki kulit putih dan menarik perhatian banyak pengunjung di sebuah pusat
perbelanjaan Korea sebagaimana digambarkan pada scene sebelumnya. Unsur denotasi yang lain
adalah kata Korea. Dalam iklan sangat kuat “unsur” atau suasana Korea sebagai sebuah negara di
mana banyak orang berkulit putih dan tampil cantik. Maka dapat dikatakan dari apa yang secara
langsung tampak dari iklan tersebut, dalam arti literal adalah bahwa Gita Gutawa memiliki kulit
cantik, putih, dan bersinar seperti orang Korea.
Setelah menganalisis iklan tersebut, kita dapat menyimpulkan mitos yang coba dibangun oleh iklan
tersebut, yakni “Pond’s White Beautyakan membuat Anda memiliki kulit putih dan cantik seperti
artis (Gita Gutawa – yang menarik perhatian/dikagumi bahkan oleh orang Korea sendiri) dan orang
Korea.” Orang yang ingin tampil cantik harus memiliki kulit yang putih. Kalau artis Indonesia saja
menggunakan produk kecantikan tersebut, mengapa kita tidak juga memakainya agar tampil cantik?
Petanda. Jika mencermati makna denotasinya, kita langsung menangkap bahwa Clean and Clear
mengklaim sebagai produk perawatan kulit remaja. Secara konotatif dapat dipahami bahwa Clean
and Clear tentu sudah dikenal masyarakat dan terpercaya karena memiliki spesialisasi dalam
perawatan kulit remaja.Bagian ini tentu saja menggiring penonton dan mengajak untuk menggunakan
produk Clean and Clear.“Kami sudah dikenal brand remaja, maka kami terpercaya, maka gunakan
Clean Clear!”
8
Gbr. 6. Foto seorang
remaja gadis sedang
menyusun foto dalam iklan
Clean and Clear.
Eksperimen sosial ini kemudian disusul dengan iklan produk“Natural Bright”.Penanda paling
jelas dalam iklan berdurasi 2 menit itu adalah ungkapan “Bangga dengan Warna Kulitmu”. Video
tersebut merekam beberapa remaja yang bangga dengan warna kulitnya, disertai dengan huruf kapital
pada gambar: “Ga harus putih”. Iklan tersebut diakhiri dengan suatu ajakan untuk berpartisipasi
dalam “gerakan warna kulit” yang meminta tanggapan pada para remaja bahwa setiap remaja punya
kesempatan yang sama tidak peduli apa pun warna kulitnya. Kedua iklan itu memiliki keterkaitan
satu sama lain. Yang pertama mencoba memberi perspektif baru mengenai “apa itu cantik” dan yang
kedua mempromosikan produk.
Tiga Aspek Bahasa. Setelah melihat dua iklan di atas, ada hubungan tanda antara model
iklan dan juga pesan yang dengan mudah ditangkap oleh penafsir.
10
- Locutionary (Constative utterance): kedua iklan yang ada mendeskripsikan bagaimana kulit yang
cantik itu secara berbeda, berwarna putih atau berwarna cerah alami. Masyarakat yang menonton
mendapat gambaran konkret dari “bahasa” yang dipakai dalam iklan secara visual tapi juga suara.
- Illocutionary (Performative utterance):Apa yang langsung tampak dari iklan Pond’s adalah bahwa
kulit putih cantik a la Korea itu dibuktikan dengan scene di mana orang Korea sendiri mengakui
kecantikan Gita Gutawa yang memakai produk tersebut. Sementara dalam iklan Clean and Clear,
secara performatif “bangga akan warna kulit” itu tampak dari ekspresi para remaja yang
tersenyum dan menunjukkan bahwa warna kulit merea (hitam, putih, sawo matang) tidak
mempengaruhi kecantikan. Cantik tidak harus berkulit putih, melainkan memancarkan kulit alami
yang cerah.
- Perlocutionary:Dalam kedua iklan tersebut penonton digiring untuk setuju dan memeluk konsep
dan idealism kecantikan yang ditawarkan. Setelah penonton memeluk konsep dan idealism itu
maka mereka digiring untuk menyetujui cara mencapai konsep atau idealism itu melalui
penggunaan produk yang ditawarkan.Dengan demikian penonton digiring untuk membeli produk
tersebut. Pada iklan Pond’s, gambaran kecantikan lewat kulit putih dan membuat orang lain
terkesima dapat dicapai ketika orang menggunakan produk Pond’s. Kecantikan yang putih
menjadi sangat relevan karena referensi kecantikan yang sedang actual adalah kecantikan a la
Korea yang putih, mulus, dan bersih. Kesadaran yang berbeda coba dibangun dalam iklan Clean
and Clear bahwa cantik tidak harus selalu berkulit putih memberi dampak pada berkembangnya
paradigma baru di kalangan remaja. Mereka digiring untuk menyetujui opini tersebut dan akhirnya
membeli produk.Kecantikan tidak harus melalui serangkaian proses dan pemaksaan menjadi
“putih” seperti yang diiklankan di iklan Pond’s. Justru kecantikan diperoleh ketika seseorang
mampu memancarkan apa yang sudah dimiliki bahkan diterima sejak lahir. Menjadi cantik tidak
diartikan menjadi putih tetapi menjadi bersinar. Dengan idealisme baru ini maka penonton akan
diajak untuk setuju dan pada akhirnya ikut dalam gerakan untuk membuat dirinya bersinar.
Caranya adalah dengan menggunakan produk Clean and Clear.
6
Disarikan dari“Air Perwitasari Candi Ganjuran” dalamhttps://mudikaganjuran.wordpress.com/2007/04/03/sejarah-
ganjuran/ (diakses 1 Oktober 2017).
11
banyak didatangioleh penduduk lokal danorang-orang lain dari luar Ganjuran. Tempat ini juga
dijadikan alternatif atau tumpuan untuk mendapatkan berkah kesembuhan.
Candi di Ganjuran tersebut bukanlah peninggalan kuno, tapi sama sakralnyadengan bangunan-
bangunan seperti candi-candi purbakala karena, antara lain,dapat selamat dari kehancuran. Candi
tersebut didirikan P. Van Driesche, SJ dengan corak Hindu Jawa sebagai ungkapan syukur atas
berkat Tuhan yang melimpah pada tahun 1927. Peresmiannya dihadiri banyak umat dan berbagai
pemimpin religius pada 1930. Sementara itu, pemberkatannya dilaksanakan pada 11 Februari, tepat
dengan tanggal penampakan Maria di Lourdes.
Pelataran candi relatif luas dan biasanya digunakan untuk menggelar upacara tradisional Jawa.
Bila candi Hindu pada umumnya menghadap ke timur, Candi Hati Kudus Tuhan Yesus ini
menghadap ke selatan. Lokasinya diteduhi banyak pohon cemara, sawo kecik dan keben. Sejak 1990,
nilai-nilai budaya Jawa dikembangkan dan digali dalam nuansa religius oleh Gereja Katolik. Rahmat
itu bertambah ketika tahun 1998 ditemukan sumber mata air besar di bawah candi.Dalam penelitian
di laboratorium air di bawah candi ini mengandung mineral tinggi. Oleh karena itu, air ini kemudian
dinaikkan agar bermanfaat.
Nama air Perwitasari berasal dari seseorang bernama Perwita yang tengah menderita sakit.
Beliau untuk pertama kalinya memakai air itu dan merasakan daya penyembuh air candi ini. Nama
ini juga mirip dengan air suci Perwitasari di dalam dunia pewayangan, yang diburu oleh Wijasena
sebagai air kehidupan. Kini, banyak orang yang memanfaatkannya, bahkan pencari kesembuhannya
berasal dari berbagai kota di tanah air. Pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Kliwon atau pun Jumat
pertama tiap bulan, candi itu banyak dikunjungi peziarah.Ketika pulang, para peziarah biasanya
membawa air Perwitasari dengan keyakinan air ini memberi banyak manfaat dalam kehidupannya.
Ada cukup banyak orang yang menulis kesaksian mengenai mukjizat air Perwitasari ini. Mereka
mengalami kesembuhan dari berbagai penyakit setelah meminum air dari Candi Hati Kudus Tuhan
Yesus ini.
Kisah mengenai Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dan air Perwitasari di atas dijelaskan
dengan analisis dari teori Roland Barthesdalam kerangka tema teologi sebagai berikut:
a. Tahap pertama
Penanda:
Candi ini terletak di sebelah Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Candi ini didirikan pada
tahun 1927. Dahulu, ketika serangan Belanda membumihanguskan Ganjuran, Bantul, banyak tempat
yang porak poranda, namun ajaibnya candi masih tetap utuh.
Petanda
Denotasi :
Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran adalah satu-satunya tempat yang selamat saat mengadapi
serangan yang destruktif dari Belanda.
Konotasi:
Candi itu sakral karena menjaditempat kehadiran Tuhan sehingga terkesan tidak dapat dihancurkan
oleh kekuatan manusia.
12
b. Tahap kedua
Penanda:
Pada tahun 1998 di bawah Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran telah ditemukan sumber air.
Sumber air (Perwitasari) itu selanjutnya dinaikkan supaya dapat bermanfaat bagi orang-orang yang
berkunjung.
Banyak orang sakit telah mengaku sembuh karena menggunakan air tersebut. Kini air dari Candi Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran terkenal kesuciannya hingga seluruh Indonesia.
Petanda
Denotasi:
Air Perwitasari adalah air yang terdapat di Candi Hati Kudus Tuhan Yesus. Candi Hati Kudus Tuhan
Yesus terkenal dengan kesakralannya.
Konotasi:
Air Perwitasari mampu memberikan ramhmat melimpah karena berasal dari Candi Hati Kudus Tuhan
Yesus.
13
Proses terbentuknya sebuah ideologi tentang air suci dari Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
dijelaskan sebagai berikut.Telah diketahui bahwa mitos yang terbangun adalah “orang yang
menggunakan air dari Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran akan mendapatkan rahmat melimpah
dan mendapatkan kesembuhan atas penyakitnya.” Dari mitos tersebut kemudian akan terbangun
sebuah anggapan bahwa segala macam penyakit tanpa terlebih dahulu mendapatkan penanganan
secara medis dapat sembuh sama sekali apabila menggunakan air dari Candi Hati Kudus Tuhan
Yesus Ganjuran.Selanjutnya, ideologi yang terbangun dapat menjadi semakin kuat dalam
masyarakat. Ideologi tentang air yang menyembuhkan bahkan semakin diperkuat apabila ada orang
yang sakit dan tidak tersembuhkan menyesal karena lebih memilih penanganan secara medis dan
tidak menggunakan air dari Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.
2. Tabernakel
Denotasi
Dalam susunan penataannya, tabernakel diletakkan pada bagian tengah altar utama. Tabernakel
memiliki keindahan yang khas dari masing-masing gereja, disesuaikan dengan desain gereja
setempat. Tabernakel dapat diornamen warna emas dan diberi lampu sebagai tanda bahwa ada
Sakramen Mahakudus yang disimpan di dalamnya.
Konotasi
Dalam Gereja Katolik, tabernakel berfungsi untuk menyimpan hosti yang sudah dikuduskan.
Hosti ini disimpan untuk pelayanan komuni dalam perayaan Ekaristi.7 Tabernakel dimaknai sebagai
lambang kesakralan dan kesucian ruang Mahakudus sejak masa Perjanjian Lama.Lambang ini
didasarkan pada kisah Keluaran tentang Tabut Perjanjian yang dibawa oleh bangsa Israel dalam
perjalanan menuju Tanah Terjanji. Tabut Perjanjian selalu diletakkan dalam ruang mahasuci sebagai
tanda kehadiran-Nya. Makna lain dari tabernakel adalah sebagai sarana umat memusatkan doa-
doanya.Oleh karena itu, tabernakel selalu diletakkan di pusat atau tengah altar
Gbr. 9. Tabernakel.
Mitos
7
Komisi Liturgi KWI, Simbol: Maknanya di dalam Kehidupan Sehari-hari dan Liturgi (Malang: Dioma, 2000), 64.
14
Tabernakel bagi umat Katolik dihayati sebagai tanda hadirnya Sakramen Mahakudus itu sendiri.
Kehadiran itu ditandai dengan adanya nyala lampu tabernakel tersebut. Penghayatan tersebut muncul
secara sadar dari setiap umat karena adanya suatu pemahaman tentang asal-muasal tabernakel. Umat
menghormati tabernakel dengan cara sembah sujud, menundukkan kepada, mengatupkan tangan, dsb.
Tindakan dan penghayatan ini diajarkan dan dipahami oleh setiap umat. Cara penghormatan kepada
Sakramen Mahakudus dalam tabernakel juga dapat diketahui oleh umat melaluicontoh atau teladan
yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang lebih tua.
Ideologi
Penghormatan akan Sakramen Mahakudus yang ditahtakan dalam tabernakel dimaknai mendalam
oleh orang Katolik sebagai kehadiran Yesus Kristus sendiri. Ideologi terbangun ketika perayaan
Ekaristi yang dirayakan oleh umat Katolik dengan memberi penghormatan kepada Sakramen
Mahakudus. Ideologi juga terbangun ketika seseorang merasa berdosa ketika tidak memberi
penghormatan kepada Sakramen Mahakudus dalam tabernakel.
Berikut ini adalah contoh proses devosi menjadi mitos bagi umat yang menjalankannya.
8
E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 250-251.
15
Gbr. 10. Berdoa di depan patung Bunda Maria.
Tindakan (ekspresi / E1) menunjukkan (denotes = R1) di depan patung Bunda Maria atau pergi
ke gua Maria dan berdoa novena di depannya (= isi 1 C1)
Di balik tanda denotatif (E1,R1, C1) terdapat isi implisit (C2): “kepercayaan bahwa tindakan
berdoa di depan patung Bunda Mariadapat mengabulkan semua permohonan yang diminta”. Isi
ini (C2) merupakan isi tanda yang baru (‘konotasi’menjadi‘mitos’). Ekspresinya (E2): seluruh
tanda denotatif itu (E1, R1, C1).
6. Kesimpulan
Dengan konsep semiotika Roland Barthes, kita telah dibantu untuk melihat makna di balik suatu
tanda, peristiwa, simbol, dan karya manusia lainnya. Konsep-konsep dari Barthes juga secara khusus
menjadi “pisau bedah” dalam menganalisis berbagai praktik atau tindakan yang selama ini telah
menjadi bagian dari hidup kita, termasuk dalam aspek religius. Di satu sisi, seperti yang sudah
dipaparkan, ada mitos-mitos dan ideologi tertentu yang perlu dianalisis secara rasional dan tidak
banyak faedahnya bila kita serap begitu saja, misalnya mitos soal kecantikan terkait warna kulit. Di
sisi lain, menganalisis beberapa hal yang sudah menjadi keyakinan iman dalam Gereja, seperti berdoa
di depan patung Bunda Maria dan tabernakel, dapat membantu kita untuk melihat praktik-praktik
tersebut sebagai suatu tindakan manusiawi kita yang ingin mendekatkan diri pada Yang Ilahi. Di
situlah konsep-konsep semiotika Barthes dapat menjadi alat agar kita semakin memahami apa yang
kita imani, termasuk yang terkait dengan keyakinan-keyakinan yang sudah menjadi mitos dan
ideologi.
DAFTAR RUJUKAN
Sumber Pustaka
Barthes, Roland.Elements of Semiology, trans. Annete Lavers & Colin Smith. New York: Hill and
Wang, 1964.
_________.The Semiotic Challenge. New York: Collins Publishers, 1988.
Budiman,Kris.Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS, 1999.
Komisi Liturgi KWI.Simbol: Maknanya di dalam Kehidupan Sehari-hari dan Liturgi. Malang:
Dioma, 2000.
Martasudjita, E. Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Sumber Non-Pustaka
Chandler,Daniel.Semiotics for Beginner: Denotation, Connotation and Myth.http://visual-
memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/sem06.html (diakses pada 5 Oktober 2017).
“Air Perwitasari Candi Ganjuran” dalamhttps://mudikaganjuran.wordpress.com/2007/04/03/sejarah-
ganjuran/ (diakses 1 Oktober 2017).
Presentasi Dr. J. Haryatmoko dalam kuliah Semiotika Roland Barthes.
16