Anda di halaman 1dari 16

SEMIOTIKA ROLAND BARTHES:

Selayang Pandang Teori Semiotika Barthes Melalui Iklan dan Teologi

Disusun sebagai Makalah Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah Semiotika


Dosen Pengampu: Dr. J. Haryatmoko

Oleh:

Oleh:
1. Alb. Irawan Dwiatmaja (176312001)
2. Barnabas Bram Suarga (176312007)
3. Benny Beatus Wetty (166312006)
4. Bernadeta Wahyu Widhi Hapsary (176312009)
5. Fransiskus Kristino Mari Asisi (166312011)
6. Hendricus Satya Wening Pambudi (166312012)
7. Paulus Prabowo (166312016)
8. Rafael Mathando Hinganaday (166312018)

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI

Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


2017
Pengantar
Suatu tindakan, peristiwa, simbol, bahkan iklan kerapkali memiliki makna tertentu di
baliknya. Yang kita perlukan adalah suatu “pisau bedah” supaya makna yang tersembunyi tersebut
dapat kita tangkap dan kritisi. Dalam makalah ini, beberapa konsep semiotika Roland Barthes (1915-
1980) akan dipaparkan dan digunakan untuk membantu kita melihat makna di balik apa yang ada dan
terjadi di sekitar kita.Selain peristiwa aktual dan beberapa iklan, secara khusus praktik-praktik yang
terkait dengan liturgi dan teologi Gereja Katolik juga akan dianalisis dalam makalah ini dengan
menggunakan konsep semiotika Roland Barthes tersebut.

1. Mengenal Konsep Semiotika Roland Barthes


Pada bagian awalkiranya kita perlu melihat terlebih dahulu beberapa konsep mengenai Form,
concept, dan signification.
 Form: signifier (penanda). Menunjuk pada aspek material dari apa yang ditandakan.
 Concept: signified (petanda). Menunjuk pada peristiwa historis tertentu.
 Signification: sign (tanda). Seluruh sistem tanda tentang apa yang ada di balik gambar/objek
tertentu.
Gbr. 1. Presiden Joko Widodo (baju
merah) berfoto bersama para pemimpin
perguruan tinggi Indonesia di Nusa Dua,
Bali.

Form: foto

Concept: para pemimpin perguruan tinggi berkumpul di nusa dua Bali

Signification:
- Tingkat pertama: denotasi, yaitu persatuan untuk memerangi radikalisme yang
menghambat perdamaian.
- Tingkat kedua: konotasi,yaitu bangsa Indonesia bersatu untuk melawan radikalisme
agama.

2
2. Mitos dan Proses Menjadi Mitos

Tanda tataran  meta-bahasa Ekspresi 2 R2 Isi 2


kedua
Tanda tataran  objek bahasa Ekspresi 1 R 1 Isi 1
pertama
Bagan 1. Proses menjadi mitos menurut Roland Barthes.1

Proses menjadi mitos


Salah satu contoh penerapan Bagan 1 di atas ke dalam contoh konkret adalah sebagai berikut:
 Contoh: Pendupaan pada foto orang meninggal
 Tindakan (ekspresi / E1) menunjukkan (denotes = R1) orang yang membawa dupa dan
mendupai foto keluarga yang sudah meninggal (= isi 1 C1)
 Di balik tanda denotatif (E,R1, C1) terdapat isi implisit (C2): “kepercayaan bahwa tindakan
tersebut mengantar arwah orang yang meninggal masuk surga”
 Isi ini (C2) merupakan isi tanda yang baru (konotasi  mitos). Ekspresinya (E2): seluruh
tanda denotatif itu (E1, R1, C1).
 Perluasan sistem tanda tingkat pertama terjadi dengan tambahan ekspresi baru  tanda
metalinguistik di mana sistem pertama: objek bahasa; dan sistem kedua terdiri dari meta-
bahasa (mitos)

Secara singkat contoh di atas dapat dijelaskan demikian. Secara denotatif, pendupaan itu berarti
menyalakan dupa dan menghadap foto orang yang meninggal (dalam konteks di Kamboja). Dalam
praktik keagamaan yang terjadi di Kamboja, setahun sekali pihak keluarga atau saudara juga
melemparkan nasi (segenggam tangan) ke kuil, tempat ibadat umat Buddha. Pada jam 4 subuh, orang
Kamboja berjalan mengelilingi tiap sudut kuil tersebut, dan melemparkan segenggam nasi kepada roh
yang berada di sudut-sudut kuil. Secara konotatif praktik penggunaan tanda itu menunjuk pada
kepercayaan bahwa pendupaan, asap yang membumbung ke atas menyimbolkan secara dalam makna
keterarahan arwah/jiwa orang yang sudah meninggal ke surga (atas). Surga dimaknai berada di atas.
Arwah yang meninggal terangkat ke surga karena dibantu olehasap dupa. Sementara, nasi yang
disajikan di kuil atau wat tempat ibadat umat Buddha menyimbolkan bahwa keluarga yang masih
berada di dunia menyiapkan makanan bagi orang yang sudah meninggal. Dua praktik itu
menyimbolkan bagaimana mitos berproses secara langsung.
Dalam teori semiotika Roland Barthes, mitos dapat terintensifikasi menjadi ideologi. Mitos yang
dimaksud di sini bukanlah mitos yang berhubungan dengan yang berbau supranatural (klenik),
adanya hantu atau takhayul. Mitos di sini adalah suatu cara pemaknaan akan tanda. Mitos ambil
bagian dalam menciptakan ideologi dalam masyarakat. Mitos tidak berusaha

1
Dibuat menurut bagan yang dipresentasikan oleh Dr. J. Haryatmoko dalam kuliah Semiotika Roland Barthes.
3
menunjukkan/menyembunyikan kebenaran ketika menciptakan ideologi.Setidaknya ada tiga hal yang
membuat mitos kemudian berkembang menjadi ideologi.
Pertama,representasi pikiran. Mitos menjadi ideologi jika menjadi suatu representasi pikiran,
keyakinan sekelompok orang yang memiliki ikatan sosial. Hal ini dapat menyangkut agama, mitos,
prinsip atau juga kebiasaan). Kedua, mitos menjadi ideologi ketika menjadi perekat suatu masyarakat
karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan sosial. Ketiga, faktor identitas.
Ideologi memberi rasa kepemilikan pada kelompok sosial tertentu misalnya memberi stabilitasi
sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir dan etos. Dalam semiotika konotatif, penanda-penanda
sistem kedua selalu terkonstitusi oleh tanda-tanda yang pertama; namun ini berbeda dalam meta-
bahasa (metalanguage).2Perluasan sistem tanda tingkat pertama terjadi dengan tambahan ekspresi
baru (tanda). Tanda tataran kedua ini dapat disebut meta-bahasa karena makna dapat datang dari luar
teks. Meta-bahasa tidak terkait dengan trajektori bahasa. Makna dapat datang dari luar atau
melampaui aturan bahasa, kepercayaan. Penerapan teori tentang mitos dan ideologi ini akan
dijelaskan pada bagian berikutnya mengenai analisis iklan.
Dalam kasus pendupaan di hadapan foto orang yang sudah meninggal dan melempar nasi ke kuil
tampak bahwa praktik ini sudah menjadi keyakinan dari orang Kamboja untuk membantu orang-
orang yang pernah dicintai semasa hidupnya agar sampai ke surga. Praktik ini menjadi cara berelasi
dengan arwah-arwah serta mendukung perjuangan mereka setelah kehidupan. Praktik ini juga telah
menjadi identitas dan dilaksanakan oleh hampir semua orang di Kamboja.
Terjadinya tataran kedua juga dipengaruhi oleh interpretan. Interpretan yang berbeda dapat
menimbulkan pemaknaan yang berbeda; agar dapat menjadi mitos, interpretan yang satu harus
memiliki kerangka pikir yang sama. Melempar segenggam nasi di kuil tidak dipandang sebagai cara
membuang-buang makanan tetapi justru mengantar atau menyediakan makanan. Begitu pula dengan
pendupaan. Pendupaan bukan dipandang sebagai menghabiskan dupa atau kegiatan iseng atau malah
mendukung polusi udara melainkan menjadi tindakan yang membantu para arwah sampai ke surga di
atas.

3. Membaca Iklan3
Setelah mengenal beberapa konsep semiotika yang khas dari pemikiran Roland Barthes,
kelompok akan mendalami teori yang ada dengan penerapannya pada iklan di media massa. Kiranya
“membaca iklan” ini akan lebih mudah menjelaskan teori semiotika Roland Barthes.
Menurut Roland Barthes, semua pengiklanan (advertising) adalah pesan.Pesan itu terkait dengan
tiga hal. Pertama,sumber ucapan, yaitu produk yang ingin diiklankan(a source of utterance). Kedua,
titik penerimaan, yaitu masyarakat publik (a point of reception), dan ketiga, sarana yang mendukung
pengiklanan (a channel of transmission).
Setiap pesan adalah perjumpaan dari level ekspresi (a level of expression) dan level isi (a level of
content). Sekarang, kita melihat periklanan sebagai sebuah “kalimat”. Jika kita memeriksa kalimat
periklanan, kita akan melihat bahwa kalimat itu terdiri dari dua pesan. Pesan yang pertama terdiri dari

2
Roland Barthes, Elements of Semiology, (trans.) Annete Lavers & Colin Smith (New York: Hill and Wang, 1964), 92.
3
Roland Barthes, “The Advertising Messege” dalam The Semiotic Challenge (New York: Collins Publishers, 1988), 173-
178.
4
kalimat-kalimat yang dipilih dalam segala
1. Penanda 2. Petanda arti literalnyadan menunjukkan intensi
(Signifier) (Signified) pengiklanan itu sendiri. Pesan pertama ini
mencakup level ekspresi (segala bentuk
ekspresi baik itu yang phonik maupun
grafis dari kata-kata, relasi sintaktis dari
kalimat yang diterima) dan level isi (hal
ini adalah arti literal dari kata-kata yang
sama dan dari relasinya yang sama).
Singkatnya, pesan pertama ini merupakan pesan denotasi.
Pesan yang kedua merupakan sepenuhnya pesan. Pesan kedua ini merupakan pesan pertama
dalam segala keseluruhannya yang bersifat unik (“produkku adalah yang terbaik di bidangnya”) dan
selalu sama dalam semua pesan periklanan (“belilah produkku”). Dengan demikian, jika kita ditawari
sebuah produk, kita akan menyadari bahwa orang yang beriklan sedang mengatakan, “produkkulah
yang terbaik” dan “belilah produkku”. Pesan kedua ini adalah pesan konotasi.
Mengapa orang tidak dengan sederhana mengatakan, “belilah produkku”? Menurut Roland
Barthes, pengiklanan dimaksudkan untuk menghindari banalitas tawaran. Konsumen diarahkan untuk
membeli suatu produk tertentu sebagai sesuatu yang natural, tanpa merasa dipaksa-paksa oleh
penawaran yang membabi buta. Selain itu, sebuah iklan yang baik adalah iklan yang dapat
“menggoda” dan membangkitkan “mimpi” calon pembelinya.

4. Analisis dan “Membaca” Iklan dengan Teori Roland Barthes


Kelompok memilih dua iklan kecantikan untuk mencoba menerangkan bagaimana teori semiotika
Barthes dapat dipakai untuk “membaca”, menggali makna, dan menganalisis sebuah iklan yang ada.
Dengan menguasai bahasa dan tanda maka manusia dapat memperluas ilmu pengetahuan melalui
informasi. Salah satu bentuk informasi yang banyak bermunculan di berbagai media massa adalah
iklan. Pembuatan iklan melalui media elektronik khususnya televisi mempunyai kelebihan dalam
memberikan daya pengaruh kepada masyarakat karena bahasa media audiovisual yang dimilikinya
sangat kompleks, yaitu dengan memadukan kata-kata, suara, serta gambar bergerak secara bersamaan
sehingga lebih menarik perhatian masyarakat.
Sebelum masuk dalam analisis mengenai tanda dan makna yang ada dalam iklan di atas, terlebih
dahulu kita kemukakan kembali beberapa unsur iklan. Konotasi dan denotasi sering kali
dideskripsikan dalam ungkapan tahap representasi (levels of representation)atau tahap makna (levels
of meaning). Barthes mengadopsi pemaknaan ini dari Louis Hjelmslev, yakni orders of signification.
Tahap pertama pemaknaan (the first order of signification) adalah denotasi.4Pada tahap ini tanda
terdiri dari penanda dan petanda. Sementara konotasi adalah tahap kedua pemaknaan. Dalam bingkai
pemikiran seperti ini, konotasi dipahami sebagai tanda yang lahir dari penanda dari tanda denotatif.

4
Lih. Daniel Chandler, Semiotics for Beginner: Denotation, Connotation and Myth dalam http://visual-
memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/sem06.html (diakses pada 5 Oktober 2017).
5
3.Tanda Denotatif Dalam esainya ‘Rhetoric of the Image’,
(Denotative Sign) Barthes menunjukkan kekuatan makna
konotasi dalam konteks periklanan.
4. Penanda konotatif 5. Petanda denotatif
Dalam hal ini denotasi justru lebih
(Connotative Signifier) (Connotative Signified)
diasosiasikan dengan ketertutupan
6. Tanda Konotatif makna. Sebagai reaksi untuk melawan
(Connotative Sign) keharfiahan denotasi yang bersifat opresif
ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan
Bagan 2.Peta Semiologi Roland Barthes menolaknya. Baginya yang ada hanyalah
konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa makna harfiah merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.5

Berikut ini dua iklan kecantikan yang akan dianalisis dengan teori semiotika Barthes.

4.1 Iklan Pond’s White Beauty

Gbr. 2. Foto iklan Pond’s White Beauty


yang dibintangi oleh seorang artis, Gita
Gutawa.

Dalam iklan yang pertama ini tampak beberapa unsur penanda:


- Model iklan yang ditampilkan adalah Gita Gutawa seorang penyanyi dan public figure Indonesia.
- Gita Gutawa berjalan di sebuah pusat perbelanjaan di Korea (tulisan-tulisan petunjuk berbahasa
Korea). Para pengunjung yang lalu-lalang mencerminkan tipikal orang Korea.
- Dalam iklan tersebut Gita Gutawa tampak mempunyai kulit yang putih bersinar dan menarik
perhatian pengujung. Pengunjung di pusat perbelanjaan itu memandang dan mengagumi dia.
Kekaguman itu terungkap secara spontan.Gita Gutawa menggunakan produk kecantikan Pond’s
White Beauty. Kekaguman itu tampak dari komentar para pengunjung sebagaimana ditampilkan
dalam scene di bawah ini. “Sangat jernih” – “Wajahnya” (Gbr. 3 dan 4).

5
Kris Budiman, Kosa Semiotika (Yogyakarta: LKiS, 1999), 22.

6
Gbr. 3 Gbr. 4

Gbr. 5.Foto iklan Pond’s


White Beauty yang
dibintangi oleh Gita
Gutawa.

Dalam iklan tersebut terdapat beberapa petandayang menarik untuk dianalisis, di antaranya:

Denotasi. Dari pemaknaan denotasi kita dapat menangkap bahwa Gita Gutawa sungguh penyanyi
yang dikenal masyarakat Indonesia. Ia adalah penyanyi yang sedang berlibur ke Korea dan
mendatangi suatu pusat perbelanjaan.

7
Ia memiliki kulit putih dan menarik perhatian banyak pengunjung di sebuah pusat
perbelanjaan Korea sebagaimana digambarkan pada scene sebelumnya. Unsur denotasi yang lain
adalah kata Korea. Dalam iklan sangat kuat “unsur” atau suasana Korea sebagai sebuah negara di
mana banyak orang berkulit putih dan tampil cantik. Maka dapat dikatakan dari apa yang secara
langsung tampak dari iklan tersebut, dalam arti literal adalah bahwa Gita Gutawa memiliki kulit
cantik, putih, dan bersinar seperti orang Korea.

Konotasi. Berdasar unsur yang ada, kita dapat melihat bahwa:


1. Kata Korea tidak sekadar menunjuk pada nama negara. Korea menjadi negara simbol (bahkan
trendsetter) budaya kecantikan karena di sana banyak artis cantik yang mempunyai kulit
putih. Kiblat “kecantikan” dan mode yang digandrungi banyak orang Indonesia adalah Korea.
Korea melahirkan budaya (K-Pop) serta industri entertainmentyang dibalut dengan
kecantikan, ketampanan serta figur idola.
2. Segmen pasar dari produk Pond’s adalah remaja yang ingin selalu tampil menarik.
3. Gita Gutawa memiliki kulit putih-cantik karena menggunakan produk Pond’s.

Setelah menganalisis iklan tersebut, kita dapat menyimpulkan mitos yang coba dibangun oleh iklan
tersebut, yakni “Pond’s White Beautyakan membuat Anda memiliki kulit putih dan cantik seperti
artis (Gita Gutawa – yang menarik perhatian/dikagumi bahkan oleh orang Korea sendiri) dan orang
Korea.” Orang yang ingin tampil cantik harus memiliki kulit yang putih. Kalau artis Indonesia saja
menggunakan produk kecantikan tersebut, mengapa kita tidak juga memakainya agar tampil cantik?

3.2 Iklan Clear and Clear “Natural Bright”


Iklan kedua yang kami angkat adalah produk kecantikan remaja yakni Clean and Clear, Natural
Bright. Iklan ini memulai promosinya dengan sebuah video berdurasi 1 menit mengenai eksperimen
sosial. Kita dapat menganalisinya pertama-tama dengan menjabarkan penanda yang ada.
- Dalam eksperimen sosial yang dibuat, Clean and clear mendatangkan 15 remaja yang
mewakili perempuan Indonesia dengan aneka warna kulit.
- Mereka diminta untuk menyusun 6 foto remaja yang sudah disediakan di meja dengan
kategori urutan dari yang paling cantik, aspirasional dan sukses.
- Hasil akhirnya adalah semua menyusun foto tersebut berdasarkan warna kulitnya. Remaja
yang warna kulitnya paling putih selalu menempati urutan teratas, demikian seterusnya.

Petanda. Jika mencermati makna denotasinya, kita langsung menangkap bahwa Clean and Clear
mengklaim sebagai produk perawatan kulit remaja. Secara konotatif dapat dipahami bahwa Clean
and Clear tentu sudah dikenal masyarakat dan terpercaya karena memiliki spesialisasi dalam
perawatan kulit remaja.Bagian ini tentu saja menggiring penonton dan mengajak untuk menggunakan
produk Clean and Clear.“Kami sudah dikenal brand remaja, maka kami terpercaya, maka gunakan
Clean Clear!”

8
Gbr. 6. Foto seorang
remaja gadis sedang
menyusun foto dalam iklan
Clean and Clear.

Eksperimen sosial ini kemudian disusul dengan iklan produk“Natural Bright”.Penanda paling
jelas dalam iklan berdurasi 2 menit itu adalah ungkapan “Bangga dengan Warna Kulitmu”. Video
tersebut merekam beberapa remaja yang bangga dengan warna kulitnya, disertai dengan huruf kapital
pada gambar: “Ga harus putih”. Iklan tersebut diakhiri dengan suatu ajakan untuk berpartisipasi
dalam “gerakan warna kulit” yang meminta tanggapan pada para remaja bahwa setiap remaja punya
kesempatan yang sama tidak peduli apa pun warna kulitnya. Kedua iklan itu memiliki keterkaitan
satu sama lain. Yang pertama mencoba memberi perspektif baru mengenai “apa itu cantik” dan yang
kedua mempromosikan produk.

Gbr. 7. Foto para gadis yang bangga


dengan warna kulitnya dalam iklan Clean and Clear.
9
Secara denotatif, iklan itu memberi informasi dan kesadaran bahwa Indonesia terdiri dari
1000-an suku yang berbeda warna kulitnya. Dalam iklan tersebut, tampak beberapa ekspresi remaja
yang berbeda warna kulitnya. Hal ini diperkuat dengan Peta Indonesia dan tulisan cukup besar:
“Bangga dengan warna kulitmu”.
Secara konotatif, kita dapat menganalisis iklan tersebut demikian: Pertama, Clean and Clear
menyediakan produk yang cocok untuk remaja Indonesia karena dapat membuat semua warna kulit
menjadi cerah dan cantik. Kedua, Gerakan warna kulit di akhir iklan tidak sekadar tempelan
melainkan memberi kesempatan untuk memasarkan produk Clean and Clear bagi remaja, apapun
warna kulitnya.
Dengan demikian, kita mendapatkan suatu mitos, cara pemaknaan mengenai “cantik” secara
baru. Bahwa untuk tampil cantik, remaja Indonesia tidak harus berkulit putih! Cantik berarti bahwa
kulit memancarkan cerah alami dan bersih. Produk Clean and Clear “Natural Bright” cocok untuk
semua jenis warna kulit.

Dari Mitos ke Ideologi dan Tiga Aspek Bahasa


Dalam analisis kedua iklan tersebut, kita dapat pula meneropong lebih jauh tentang
bagaimana kemudian mitos yang beredar dan diterima masyarakat dapat meluas menjadi ideologi.
Jika membandingkan kedua mitos yang ada dalam iklan Pond’s maupun Clean and Clear, dapat kita
simpulkan bahwa iklan yang satu mencoba membangun mitos namun kemudian “dipatahkan” oleh
iklan dari produk yang lain. Pada Iklan Pond’s mitos yang timbul adalah bahwa orang yang cantik
identik dengan orang yang berkulit putih. Orang harus mengusahakan kulitnya agar menjadi putih
(termasuk dengan produk Pond’s) agar dapat tampil cantik. Sementara, iklan Clean and Clear
mencoba mengubah paradigma dan cara pandang masyarakat, terutama kaum remaja bahwa untuk
tampil cantik tidak harus berkulit putih. Semua remaja, apapun jenis warna kulitnya memiliki
kesempatan untuk dapat tampil cantik, yakni membuat kulit alaminya tampil cerah. Dalam dunia
periklanan, “perang mitos” dapat terjadi di antara produk yang memiliki genre sama, misalnya
kecantikan.
Lalu bagimana mitos yang dibangun dari dua produk kecantikan itu dapat berkembang
menjadi ideologi. Beberapa hal kiranya dapat dipertimbangkan. Pertama, secara langsung mitos
dalam iklan ini dapat menjadi ideologi ketika kecantikan itu dihubungkan secara langsung secara
rasial. Hal ini dapat problematis karena menyinggung warna kulit dan aspek kecantikan dapat
menimbulkan sentimen tertentu, misalnya antara orang yang berkulit hitam atau putih. Kedua, yang
tidak langsung tampak adalah bahwa mitos ini membangu ideologi kapitalistik, budaya pengagungan
pada “tampilan luar”, “kecantikan” dan juga narsistik yang menjadi bagian dari arus konsumerisme
yang diagungkan saat ini. Memasukkan budaya asing (misalnya Korea), tanpa pertama-tama
menyaringnya, akan membuat obsesi dan nilai-nilai yang justru mungkin berpotensi mencerabut kita
dari akar budaya sendiri.

Tiga Aspek Bahasa. Setelah melihat dua iklan di atas, ada hubungan tanda antara model
iklan dan juga pesan yang dengan mudah ditangkap oleh penafsir.

10
- Locutionary (Constative utterance): kedua iklan yang ada mendeskripsikan bagaimana kulit yang
cantik itu secara berbeda, berwarna putih atau berwarna cerah alami. Masyarakat yang menonton
mendapat gambaran konkret dari “bahasa” yang dipakai dalam iklan secara visual tapi juga suara.
- Illocutionary (Performative utterance):Apa yang langsung tampak dari iklan Pond’s adalah bahwa
kulit putih cantik a la Korea itu dibuktikan dengan scene di mana orang Korea sendiri mengakui
kecantikan Gita Gutawa yang memakai produk tersebut. Sementara dalam iklan Clean and Clear,
secara performatif “bangga akan warna kulit” itu tampak dari ekspresi para remaja yang
tersenyum dan menunjukkan bahwa warna kulit merea (hitam, putih, sawo matang) tidak
mempengaruhi kecantikan. Cantik tidak harus berkulit putih, melainkan memancarkan kulit alami
yang cerah.
- Perlocutionary:Dalam kedua iklan tersebut penonton digiring untuk setuju dan memeluk konsep
dan idealism kecantikan yang ditawarkan. Setelah penonton memeluk konsep dan idealism itu
maka mereka digiring untuk menyetujui cara mencapai konsep atau idealism itu melalui
penggunaan produk yang ditawarkan.Dengan demikian penonton digiring untuk membeli produk
tersebut. Pada iklan Pond’s, gambaran kecantikan lewat kulit putih dan membuat orang lain
terkesima dapat dicapai ketika orang menggunakan produk Pond’s. Kecantikan yang putih
menjadi sangat relevan karena referensi kecantikan yang sedang actual adalah kecantikan a la
Korea yang putih, mulus, dan bersih. Kesadaran yang berbeda coba dibangun dalam iklan Clean
and Clear bahwa cantik tidak harus selalu berkulit putih memberi dampak pada berkembangnya
paradigma baru di kalangan remaja. Mereka digiring untuk menyetujui opini tersebut dan akhirnya
membeli produk.Kecantikan tidak harus melalui serangkaian proses dan pemaksaan menjadi
“putih” seperti yang diiklankan di iklan Pond’s. Justru kecantikan diperoleh ketika seseorang
mampu memancarkan apa yang sudah dimiliki bahkan diterima sejak lahir. Menjadi cantik tidak
diartikan menjadi putih tetapi menjadi bersinar. Dengan idealisme baru ini maka penonton akan
diajak untuk setuju dan pada akhirnya ikut dalam gerakan untuk membuat dirinya bersinar.
Caranya adalah dengan menggunakan produk Clean and Clear.

5. Teori Semiotika Barthes dalam Konteks Teologi/Liturgi


Setelah memahami teori semiotika Barthes dan menganalisis contoh dalam “membaca iklan”,
kami akan mencoba menerapkannya dalam konteks teologi/liturgi Gereja. Ada tiga hal yang ingin
kami bahas yakni: Air Perwitasari Candi Ganjuran, Tabernakel, dan Devosi Doa Pada Maria.

1. Air Perwitasari Candi Ganjuran6


Alternatif Membawa Kelimpahan Berkat dan Mukjizat Pengobatan
Ketika perang kemerdekaan berkecamuk, hampir di mana saja tentara kolonial Belanda
menerapkan taktik bumi hangus. Begitu pula ketika berlangsung perlawanan di Ganjuran, Bantul,
Yogyakarta. Daerah ini sempat dihujani bom hingga menghancurkan sebuah pabrik gula. Ada sebuah
candi kecil yang luput dari ledakan bom, siraman mortir dan jilatan api,padahal hanya berada belasan
meter dari pabrik itu. Candi itu bernama ‘Candi Hati Kudus Tuhan Yesus’. Kini, candi tersebut

6
Disarikan dari“Air Perwitasari Candi Ganjuran” dalamhttps://mudikaganjuran.wordpress.com/2007/04/03/sejarah-
ganjuran/ (diakses 1 Oktober 2017).
11
banyak didatangioleh penduduk lokal danorang-orang lain dari luar Ganjuran. Tempat ini juga
dijadikan alternatif atau tumpuan untuk mendapatkan berkah kesembuhan.
Candi di Ganjuran tersebut bukanlah peninggalan kuno, tapi sama sakralnyadengan bangunan-
bangunan seperti candi-candi purbakala karena, antara lain,dapat selamat dari kehancuran. Candi
tersebut didirikan P. Van Driesche, SJ dengan corak Hindu Jawa sebagai ungkapan syukur atas
berkat Tuhan yang melimpah pada tahun 1927. Peresmiannya dihadiri banyak umat dan berbagai
pemimpin religius pada 1930. Sementara itu, pemberkatannya dilaksanakan pada 11 Februari, tepat
dengan tanggal penampakan Maria di Lourdes.
Pelataran candi relatif luas dan biasanya digunakan untuk menggelar upacara tradisional Jawa.
Bila candi Hindu pada umumnya menghadap ke timur, Candi Hati Kudus Tuhan Yesus ini
menghadap ke selatan. Lokasinya diteduhi banyak pohon cemara, sawo kecik dan keben. Sejak 1990,
nilai-nilai budaya Jawa dikembangkan dan digali dalam nuansa religius oleh Gereja Katolik. Rahmat
itu bertambah ketika tahun 1998 ditemukan sumber mata air besar di bawah candi.Dalam penelitian
di laboratorium air di bawah candi ini mengandung mineral tinggi. Oleh karena itu, air ini kemudian
dinaikkan agar bermanfaat.
Nama air Perwitasari berasal dari seseorang bernama Perwita yang tengah menderita sakit.
Beliau untuk pertama kalinya memakai air itu dan merasakan daya penyembuh air candi ini. Nama
ini juga mirip dengan air suci Perwitasari di dalam dunia pewayangan, yang diburu oleh Wijasena
sebagai air kehidupan. Kini, banyak orang yang memanfaatkannya, bahkan pencari kesembuhannya
berasal dari berbagai kota di tanah air. Pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Kliwon atau pun Jumat
pertama tiap bulan, candi itu banyak dikunjungi peziarah.Ketika pulang, para peziarah biasanya
membawa air Perwitasari dengan keyakinan air ini memberi banyak manfaat dalam kehidupannya.
Ada cukup banyak orang yang menulis kesaksian mengenai mukjizat air Perwitasari ini. Mereka
mengalami kesembuhan dari berbagai penyakit setelah meminum air dari Candi Hati Kudus Tuhan
Yesus ini.
Kisah mengenai Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dan air Perwitasari di atas dijelaskan
dengan analisis dari teori Roland Barthesdalam kerangka tema teologi sebagai berikut:

a. Tahap pertama
Penanda:
Candi ini terletak di sebelah Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Candi ini didirikan pada
tahun 1927. Dahulu, ketika serangan Belanda membumihanguskan Ganjuran, Bantul, banyak tempat
yang porak poranda, namun ajaibnya candi masih tetap utuh.

Petanda
Denotasi :
Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran adalah satu-satunya tempat yang selamat saat mengadapi
serangan yang destruktif dari Belanda.
Konotasi:
Candi itu sakral karena menjaditempat kehadiran Tuhan sehingga terkesan tidak dapat dihancurkan
oleh kekuatan manusia.
12
b. Tahap kedua
Penanda:
Pada tahun 1998 di bawah Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran telah ditemukan sumber air.
Sumber air (Perwitasari) itu selanjutnya dinaikkan supaya dapat bermanfaat bagi orang-orang yang
berkunjung.
Banyak orang sakit telah mengaku sembuh karena menggunakan air tersebut. Kini air dari Candi Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran terkenal kesuciannya hingga seluruh Indonesia.

Gbr. 8. Air Perwitasari dari Candi HKTY Ganjuran.

Petanda
Denotasi:
Air Perwitasari adalah air yang terdapat di Candi Hati Kudus Tuhan Yesus. Candi Hati Kudus Tuhan
Yesus terkenal dengan kesakralannya.
Konotasi:
Air Perwitasari mampu memberikan ramhmat melimpah karena berasal dari Candi Hati Kudus Tuhan
Yesus.

Mitos Air dari Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran


Orang yang menggunakan air dari Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran akan beroleh rahmat
melimpah bahkan mengalami kesembuhan dari segala macam penyakit yang telah dideritannya.

Dari Mitos Air Suci menuju kepada Ideologi Air Suci

13
Proses terbentuknya sebuah ideologi tentang air suci dari Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
dijelaskan sebagai berikut.Telah diketahui bahwa mitos yang terbangun adalah “orang yang
menggunakan air dari Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran akan mendapatkan rahmat melimpah
dan mendapatkan kesembuhan atas penyakitnya.” Dari mitos tersebut kemudian akan terbangun
sebuah anggapan bahwa segala macam penyakit tanpa terlebih dahulu mendapatkan penanganan
secara medis dapat sembuh sama sekali apabila menggunakan air dari Candi Hati Kudus Tuhan
Yesus Ganjuran.Selanjutnya, ideologi yang terbangun dapat menjadi semakin kuat dalam
masyarakat. Ideologi tentang air yang menyembuhkan bahkan semakin diperkuat apabila ada orang
yang sakit dan tidak tersembuhkan menyesal karena lebih memilih penanganan secara medis dan
tidak menggunakan air dari Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

2. Tabernakel
Denotasi
Dalam susunan penataannya, tabernakel diletakkan pada bagian tengah altar utama. Tabernakel
memiliki keindahan yang khas dari masing-masing gereja, disesuaikan dengan desain gereja
setempat. Tabernakel dapat diornamen warna emas dan diberi lampu sebagai tanda bahwa ada
Sakramen Mahakudus yang disimpan di dalamnya.

Konotasi
Dalam Gereja Katolik, tabernakel berfungsi untuk menyimpan hosti yang sudah dikuduskan.
Hosti ini disimpan untuk pelayanan komuni dalam perayaan Ekaristi.7 Tabernakel dimaknai sebagai
lambang kesakralan dan kesucian ruang Mahakudus sejak masa Perjanjian Lama.Lambang ini
didasarkan pada kisah Keluaran tentang Tabut Perjanjian yang dibawa oleh bangsa Israel dalam
perjalanan menuju Tanah Terjanji. Tabut Perjanjian selalu diletakkan dalam ruang mahasuci sebagai
tanda kehadiran-Nya. Makna lain dari tabernakel adalah sebagai sarana umat memusatkan doa-
doanya.Oleh karena itu, tabernakel selalu diletakkan di pusat atau tengah altar

Gbr. 9. Tabernakel.

Mitos

7
Komisi Liturgi KWI, Simbol: Maknanya di dalam Kehidupan Sehari-hari dan Liturgi (Malang: Dioma, 2000), 64.
14
Tabernakel bagi umat Katolik dihayati sebagai tanda hadirnya Sakramen Mahakudus itu sendiri.
Kehadiran itu ditandai dengan adanya nyala lampu tabernakel tersebut. Penghayatan tersebut muncul
secara sadar dari setiap umat karena adanya suatu pemahaman tentang asal-muasal tabernakel. Umat
menghormati tabernakel dengan cara sembah sujud, menundukkan kepada, mengatupkan tangan, dsb.
Tindakan dan penghayatan ini diajarkan dan dipahami oleh setiap umat. Cara penghormatan kepada
Sakramen Mahakudus dalam tabernakel juga dapat diketahui oleh umat melaluicontoh atau teladan
yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang lebih tua.

Ideologi
Penghormatan akan Sakramen Mahakudus yang ditahtakan dalam tabernakel dimaknai mendalam
oleh orang Katolik sebagai kehadiran Yesus Kristus sendiri. Ideologi terbangun ketika perayaan
Ekaristi yang dirayakan oleh umat Katolik dengan memberi penghormatan kepada Sakramen
Mahakudus. Ideologi juga terbangun ketika seseorang merasa berdosa ketika tidak memberi
penghormatan kepada Sakramen Mahakudus dalam tabernakel.

3. Berdoa Novena di depan Patung Maria


Secara antropologis, devosi menjawab kebutuhan afeksi dan emosi manusia. Dalam devosi,
aspek perasaan, afeksi, dan emosi mendapat tempat yang penting dan utama. Yang penting dalam
devosi bukanlah keindahan rumusan doa yang secara teologis lengkap dan bagus, tetapi unsur
perasaan yang ditumbuhkan dan mendapat tempat yang cukup pada praktik doa devosi itu.8
Tanah Jawa, khususnya daerah Yogyakarta, memiliki banyak tempat peziarahan,antara lain
Sendangsono, Ganjuran, Gua Maria Kerep Ambarawa. Kalau diamati, banyak umat datang ke tempat
peziarahan itu untuk berdevosi. Pada umumnya, mereka yang datang ke tempat peziarahan ingin
menyampaikan satu ujud atau permohonan yang dianggap mendesak. Fenomena tersebut
mengindikasikan adanya sebuah kepercayaan bahwa bila seseorang menyampaikan ujud atau
permohonan secara langsung di depan patung Bunda Maria, permohonannya itu akan terkabul.
Dengan kepercayaan seperti ini, ada umat yang memunculkan gagasan bahwa seseorang yang ingin
agar permohonan atau ujudnya terkabul harus pergi ke Gua Maria atau suatu tempat peziarahan.

Berikut ini adalah contoh proses devosi menjadi mitos bagi umat yang menjalankannya.

8
E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 250-251.
15
Gbr. 10. Berdoa di depan patung Bunda Maria.

 Tindakan (ekspresi / E1) menunjukkan (denotes = R1) di depan patung Bunda Maria atau pergi
ke gua Maria dan berdoa novena di depannya (= isi 1 C1)
 Di balik tanda denotatif (E1,R1, C1) terdapat isi implisit (C2): “kepercayaan bahwa tindakan
berdoa di depan patung Bunda Mariadapat mengabulkan semua permohonan yang diminta”. Isi
ini (C2) merupakan isi tanda yang baru (‘konotasi’menjadi‘mitos’). Ekspresinya (E2): seluruh
tanda denotatif itu (E1, R1, C1).

6. Kesimpulan
Dengan konsep semiotika Roland Barthes, kita telah dibantu untuk melihat makna di balik suatu
tanda, peristiwa, simbol, dan karya manusia lainnya. Konsep-konsep dari Barthes juga secara khusus
menjadi “pisau bedah” dalam menganalisis berbagai praktik atau tindakan yang selama ini telah
menjadi bagian dari hidup kita, termasuk dalam aspek religius. Di satu sisi, seperti yang sudah
dipaparkan, ada mitos-mitos dan ideologi tertentu yang perlu dianalisis secara rasional dan tidak
banyak faedahnya bila kita serap begitu saja, misalnya mitos soal kecantikan terkait warna kulit. Di
sisi lain, menganalisis beberapa hal yang sudah menjadi keyakinan iman dalam Gereja, seperti berdoa
di depan patung Bunda Maria dan tabernakel, dapat membantu kita untuk melihat praktik-praktik
tersebut sebagai suatu tindakan manusiawi kita yang ingin mendekatkan diri pada Yang Ilahi. Di
situlah konsep-konsep semiotika Barthes dapat menjadi alat agar kita semakin memahami apa yang
kita imani, termasuk yang terkait dengan keyakinan-keyakinan yang sudah menjadi mitos dan
ideologi.

DAFTAR RUJUKAN
Sumber Pustaka
Barthes, Roland.Elements of Semiology, trans. Annete Lavers & Colin Smith. New York: Hill and
Wang, 1964.
_________.The Semiotic Challenge. New York: Collins Publishers, 1988.
Budiman,Kris.Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS, 1999.
Komisi Liturgi KWI.Simbol: Maknanya di dalam Kehidupan Sehari-hari dan Liturgi. Malang:
Dioma, 2000.
Martasudjita, E. Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Sumber Non-Pustaka
Chandler,Daniel.Semiotics for Beginner: Denotation, Connotation and Myth.http://visual-
memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/sem06.html (diakses pada 5 Oktober 2017).
“Air Perwitasari Candi Ganjuran” dalamhttps://mudikaganjuran.wordpress.com/2007/04/03/sejarah-
ganjuran/ (diakses 1 Oktober 2017).
Presentasi Dr. J. Haryatmoko dalam kuliah Semiotika Roland Barthes.

16

Anda mungkin juga menyukai