Anda di halaman 1dari 5

UNIVERSITAS INDONESIA

Mitos sebagai Sistem Semiologi Roland Barthes

UJIAN AKHIR SEMESTER


MATA KULIAH TEORI KEBUDAYAAN KELAS B
DOSEN PENGAMPU: PROF. DR. DJOKO MARIHANDONO
TAHUN AJARAN 2020/2021

Menik Lestari – 2006501646 – Program Pascasarjana Linguistik Deskriptif


Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Sejarah sebagai Kajian Budaya (Prof. Dr. Djoko Marihandono)
Bacalah “Myth as a semiological system” dari Roland Barthes. Jelaskan apa yang dimaksudkan
oleh Barthes dalam chapter tersebut. Berikan contoh yang jelas.

Mitos sebagai Sistem Semiologi Roland Barthes

Semiologi merupakan ilmu yang mengkaji mengenai tanda dan penanda. Istilah ini sebenarnya
pertama kali dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure. Roland Barthes (1972) menyatakan
mitos adalah bagian dari semiologi karena mitos adalah tipe wicara yang membahas mengenai
tanda. Artinya, mitos dianggap sebagai suatu alat komunikasi untuk menyampaikan pesan
dengan caranya tersendiri dan tidak bergantung pada objek. Barthes (1972) menggunakan
istilah myth mitos untuk menjelaskan bagaimana pemaknaan dalam budaya masyarakat. Hal ini
karena menurut Barthes (1964), manusia adalah homo simbolikum atau makhluk yang
menyukai tanda dan kehidupan manusia didominasi oleh konotasi. Konotasi inilah yang
menjadi awal mula mitos. Barthes dalam Hoed (2014) mengungkapkan pengembangan teori
Saussure dari Barthes merupakan upaya menjelaskan bagaimana kita dalam kehidupan
bermasyarakat didominasi oleh konotasi. Konotasi adalah pengembangan segi petanda oleh
pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya dan konotasi akan menjadi mitos apabila
konotasi tersebut sudah menguasai masyarakat.

Mitos sebagai tipe wicara atau alat penyampaian pesan dengan menghadirkan mitos yang
terlihat alamiah sesuai dengan realitas yang ada. Dalam pengantar myth today, Barthes
mendefinisikan mitos sebagai speech atau tipe wicara yang merupakan bagian dari sistem
komunikasi yang menerima makna karena mitos memiliki fungsi ideologis alamiah. Menurut
Barthes (1972), segala sesuatu dapat menjadi objek mitos karena segala sesuatu memiliki
keterbukaan untuk dibicarakan dalam masyarakat. Hal tersebut tidak bergantung dari objek
pesannya, tetapi bergantung dari bagaimana cara mengartikulasikan pesannya.

Apabila Saussure menggunakan istilah signifier ‘penanda’ dan signified ‘petanda’, Barthes
(1972) menggunakan istilah sign sebagai gabungan dari penanda dan petanda. Penanda
biasanya berupa substansi material seperti suara, benda, tulisan, dan sebagainya. Akan tetapi,
penanda dalam semiologi biasanya gabungan dari beberapa jenis penanda sehingga Barthes
(1964) merangkumnya menjadi istilah penanda tipikal. Sementara itu, petanda adalah
representasi atau pemaknaan yang ada di dalam bahasa maupun luar bahasa. Penanda dan
petanda akan menjadi tanda atau sign untuk pemaknaan yang luas dari proses semiologis
selanjutnya. Ketiganya memiliki hubungan yang fungsional dan berperan penting dalam
menganalisis mitos sebagai bentuk semiologi. Mitos ini terbangun dari rangkaian proses
semiologis yang ada sebelumnya yang ada pada tahap signifikasi kedua.

Bagan 1. E-R-C Semiologi Roland Barthes

Barthes (1972) menggunakan model E-R-C Hjelmslev untuk menjelaskan proses signifikasi
dalam semiologi. Expression (E) untuk penanda, Content (C) untuk petanda, dan hubungan
antara E dan C sebagai Relation (R). Barthes (1964) berpendapat bahwa model Hjelmslev ini
bisa menggambarkan dengan tepat signifikasi mitos dalam masyarakat. Bagan tersebut
menunjukkan bahwa ada dua tahap signifikasi dalam peta semiologis Barthes, yakni tahap
primer atau denotasi dan tahap sekunder atau konotasi dan metabahasa. Tahap primer adalah
ranah linguistik dan tahap sekunder adalah ranah mitos.

Bagan 2. Hubungan Denotasi Konotasi Semiologi Roland Barthes


Dalam linguistik, pemaknaan bersifat arbitrer, tetapi terbatas. Akan tetapi, pemaknaan dalam
mitos tidak bersifat arbitrer karena sebagian dari pemaknaan tersebut didorong oleh motivasi
yang mengakibatkan mitos memiliki analogi antara makna dan bentuk yang termotivasi. Mitos
menjadi sistem ideografis murni karena bentuknya masih termotivasi oleh konsep yang
dihadirkan. Untuk lebih jelasnya, contoh proses signifikasi dalam semiologi Barthes dapat
dilihat pada bagan berikut ini.

Bahasa 1. Kata beringin 2. Representasi mental beringin

3. Entitas konkret pohon


beringin
Mitos
I Beringin II menakutkan

III tempat yang didiami oleh makhluk gaib

Bagan 3. Contoh Proses Semiologi Roland Barthes

Dalam bagan di atas, tahap signifikasi pertama adalah penanda bahasa kata beringin sebagai
(E) dan petandanya atau isinya (C) adalah representasi mental dari kata beringin, yakni pohon
besar yang tingginya mencapai 20—35 m, berakar tunggang, dari cabang-cabangnya keluar
akar gantung, daunnya kecil berbentuk bulat telur yang meruncing ke ujung dan rimbun dengan
tajuk berbentuk payung, buahnya kecil, bulat, dengan permukaan halus. Inilah yang disebut
tahap primer atau denotasi. Kemudian, relasi (R) antara ekspresi dan isi tersebut membentuk
tanda dalam tahap signifikasi sekunder atau konotasi, yakni entitas konkret dari pohon beringin.
Kemudian, muncul petanda menakutkan yang hadir atas representasi pohon beringin yang besar
dengan akar yang menggantung dan rimbun. Akhirnya, muncullah mitos yang ada di
masyarakat bahwa pohon beringin itu merupakan tempat yang didiami oleh makhluk gaib
karena proses perluasan makna denotasi menjadi konotasi.
Komentar:

Barthes (1964;1972) menjelaskan mitos sebagai tahap signifikasi kedua setelah bahasa sebagai
sistem semiologis yang terjadi karena relasi ekspresi dan konten pada tahap primer. Hal ini
menunjukkan bahwa mitos juga bergantung pada linguistik sebagai tahap primer dalam
pemaknaannya. Artinya, hubungan antara bahasa dan mitos menjadi dua hal yang saling terkait.
Barthes menunjukkan bagaimana hubungan bahasa dan mitos membentuk makna. Segala
sesuatu berhubungan dan berkaitan dalam membangun makna yang membentuk mitos.

Barthes lebih dalam menunjukkan bahwa simbol bisa memiliki makna konotasi yang lebih luas
daripada makna harfiah atau denotasi yang dikandungnya. Artinya, sebuah simbol memiliki
berbagai makna yang bisa diperluas dan dilihat dari berbagai sudut pandang. Istilah denotasi
dan konotasi dalam peta analisis semiologi Barthes memberikan gambaran yang komprehensif
mengenai bagaimana konstruksi mitos yang ada dalam masyarakat. Tentunya, hal ini
memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi penelitian kebudayaan yang sangat erat dengan
mitos.

Daftar Acuan

Barthes, Roland. 1964. Elements of Semiology. New York: Hill and Wang.
Barthes, Roland. 1972. Mythologies. New York: The Noonday Press.
Hoed, Benny. H. 2014. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.

Anda mungkin juga menyukai