Anda di halaman 1dari 3

Kebudayaan sebagai Sistem Tanda (Prof. Dr. Okke K.S.

Zaimar)

Apakah yang dimaksudkan dengan mitos (Barthes)? Apa gunanya bagi studi
teks sebagai sistem kebudayaan?

Pengertian mitos menurut Roland Barthes berbeda dengan pengertian mitos


yang dikenal oleh orang pada umumnya, yaitu cerita rakyat atau legenda. Menurut
Barthes, mitos adalah suatu sistem komunikasi atau suatu jenis tuturan karena mitos
mengandung sekumpulan pesan. Jadi, mitos bukan suatu objek atau konsep tetapi
mitos adalah suatu bentuk tuturan yang ditampilkan dalam sebuah wacana yang
menyampaikan pesan. Mitos tidak ditentukan oleh objek atau materi pesannya
melainkan oleh cara mitos disampaikan. Mitos dapat bersifat verbal (kata- kata baik
lisan maupun tulisan) dan nonverbal maupun kombinasi antara verbal dan nonverbal.
Misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan, surat kabar, foto, majalah,
komik, puisi, cerita, novel, drama dan lain- lain.

Menurut Barthes, mitos dapat dipahami dengan menggunakan teori


signifikasi Ferdinand De Saussure. Kemudian, dilakukan perluasan makna sehingga
pemaknaan terjadi dalam dua tahap. Tanda (penanda dan petanda) pada tahap
pertama dan menyatu sehingga dapat membentuk penanda pada tahap kedua, lalu
pada tahap berikutnya penanda dan petanda yang telah menyatu ini dapat membentuk
petanda baru yang merupakan perluasaan makna.

1.PENANDA RI 2.PETANDA

3. Tanda RII
II. PETANDA
I. PENANDA

III. TANDA

Keterangan:

Tabel bagian pertama merupakan denotasi (makna primer)


1
Tabel bagian kedua merupakan konotasi (makna sekunder)

Barthes juga mengemukakan adanya perluasan bentuk yang disebutnya


metabahasa. Perluasan bentuk ini mengalami proses yang sama dengan perluasan
makna. Contoh:

1. PENANDA RI 2. PETANDA
TANDA

I. PENANDA RII II. PETANDA

TANDA

Keterangan:

Tabel bagian pertama merupakan Bentuk (Form)

Tabel bagian kedua merupakan metabahasa

Barthes menyatakan bahwa ada tiga cara berbeda dalam membaca mitos,
yaitu sebagai berikut.

a. Pemaknaan bersifat harfiah. Jadi, pembaca menyesuaikan diri dengan penanda


yang kosong dan membiarkan konsep mengisi bentuk tanpa ambiguitas, dan ia akan
berhadapan dengan sistem yang sederhana. Cara ini dilakukan oleh pembuat mitos.

b. Pada cara kedua, pembaca menjadi ahli mitos. Ia menyesuaikan diri dengan
penanda yang penuh, artinya telah ada bentuk dan arti di situ, dan mulai dari
deformasi (pembelokan makna) yang terjadi pada pemaknaan tahap kedua, ia
mengungkap signifikasi mitos. Jadi, ia meneliti mitos dan menyadari adanya
deformasi (pembelokan makna).

2
c. Pada tahap ketiga, pembaca menyesuaikan diri dengan penanda mitos yang terdiri
atas bentuk yang sudah betul- betul menyatu dengan arti, ia mendapati makna yang
ambigu, ia mengikuti mekanisasi pembentukan mitos, mengikuti sifatnya yang
dinamis.

Jadi, jika seseorang ingin mengaitkan skema mitos dengan pengalaman


umum, maka ia melangkah dari semiologi menuju ideolgi dengan menempatkan
dirinya pada cara pembicaraan yang ketiga.

Teori Roland Barthes ini sangat penting karena dapat menjembatani teori dan
penelitian berbagai macam teks verbal maupun nonverbal. Oleh karena itu, teori ini
dapat digunakan untuk meneliti studi teks verbal maupun nonverbal sebagai
kebudayaan, di mana budaya diberikan pengertian khusus, yaitu merupakan ketrampilan
suatu kelompok masyarakat untuk mengenali, menginterpretasikan dan memproduksi tanda
dengan cara yang sama.

Daftar Pustaka

Husen, Ida Sundari dan Rahayu Hidayat. (ed.). 2001. Meretas Ranah Bahasa,
Semiotika dan Budaya. Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya.

W, Noth. 1995. Handbook of Semiotics. Indianapolis: Indiana University Press.

Zaimar, Okke. K. S. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai