Anda di halaman 1dari 49

FILSAFAT KOMUNIKASI

TEORI KOMUNIKASI

By
. ka
ng
jej
o

URUSAN ILMU KOMUNIKASI


ISIP UNDANA - 2022
TRADISI-TRADISI TEORI KOMUNIKASI

Littlejohn dan Karen A. Foss lebih memilih istilah


tradisi (2009), demikian pula Robert Craig mencoba
menyebut adanya tujuh tradisi dalam kajian
komunikasi yaitu: semiotik, fenomenologi
cybernetik, psikologi sosial, sosial budaya, kritis,
dan retorika. Menurut Littlejohn dan Fost, teori-
teori komunikasi bisa dikelompokkan dalam
beberapa tradisi, yakni:
TRADISI SEMIOTIK
(Komunikasi sebagai proses berbagi makna melalui tanda)

Semiotika adalah ilmu mempelajari tanda. Tanda adalah sesuatu yang dapat
memberikan petunjuk atas sesuatu. Kata juga merupakan tanda, akan tetapi
jenisnya spesial. Mereka disebut dengan simbol.

Banyak teori dari tradisi semiotika yang mencoba menjelaskan dan mengurangi
kesalahpahaman yang tercipta karena penggunaan simbol yang bermakna
ambigu.

Ambiguitas adalah keadaan yang tidak dapat dihindarkan dalam bahasa, dalam
hal ini komunikator dapat terbawa dalam sebuah pembicaraan dalam suatu hal
akan tetapi masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda akan suatu hal
yang sedang dibicarakan tersebut

Tradisi ini memperhatikan bagaimana tanda memediasi makna dan bagaimana


penggunaan tanda tersebut untuk menghindari kesalahpahaman, daripada
bagaimana cara membuat tanda tersebut.
Dalam Littlejohn disebut secara lebih rinci landasan teoritis dari kalangan ahli
linguistik seperti Ferdinand de Saussure, Charles S. Pearce, Noam Chomsky,
Benjamin Whorlf, Roland Barthes, dan lainnya. Mencoba membahas tentang
hakekat simbol.

Jadi terdapat banyak teori komunikasi yang berangkat dari pembahasan seputar
simbol. Keberadaan simbol menjadi penting dalam menjelaskan fenomena
komunikasi. Simbol merupakan produk budaya suatu masyarakat untuk
mengungkapkan ide-ide, makna, dan nilai-nilai yang ada pada diri mereka.

Mengkaji aspek ini merupakan aspek yang penting dalam memahami


komunikasi.Teori-teori komunikasi yang berangkat dari tradisi semiotik menjadi
bagian yang penting untuk menjadi perhatian. Analisis-analisis tentang iklan,
novel, sinetron, film, lirik lagu, video klip, fotografi, dan semacamnya menjadi
penting.

Tradisi Semiotika itu sendiri terbagi atas tiga Varian yaitu Semantic (bahasa)
merujuk pada bagaimana hubungan antara tanda dengan objeknya atau tentang
keberadaan dari tanda itu sendiri. sintagmatic atau kajian tentang hubungan
antar tanda. Tanda hampir tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang terakhir
paradigmatic yang melihat bagaimana sebuah tanda membedakan antara satu
manusia dengan yang lain atau sebuah tanda bisa saja dimaknai berbeda oleh
masing masing orang sesuai dengan latar belakang budayanya.
Konsep dasar yang menyatukan tradisi ini adalah tanda yang didefinikan sebagai
stimulus yang menandakan, menunjukkan beberapa kondisi lain, seperti ketika
asap menunjukkan api. Konsep kedua adalah simbol yang biasanya menandakan
tanda yang kompleks dengan banyak arti termasuk arti sangat khusus.

Dengan demikian, perhatian semiotika terhadap tanda dan simbol, maka tradisi
semiotika mengumpulkan sejumlah teori yang sangat luas yang berkaitan dengan
bahasa, wacana dan tindakan-tindakan nonverbal. Kebanyakan pemikiran
semiotik melibatkan ide dan dasar triad of meaning yang menegaskan bahwa arti
muncul dari hubungan diantara tiga hal; benda (atau yang dituju), manusia
(penafsir), dan tanda.

Charles Saunders Pierce, ahli semitotik modern pertama, dapat dikatakan sebagai
pelopor ide ini. membagi semiotik kedalam tiga wilayah kajian yaitu semiotik,
sintaksis, dan pragmatik: Pertama, Semiotik, menggambarkan dua dunia, yaitu
dunia benda dan dunia tanda dan mencerahkan hubungan diantara kedua duania
tersebut. Kapanpun kita memberikan sebuah pertanyaan Apa yang
direpresentasikan oleh tanda? Maka kita berada dalam ranah semantik.
Kedua, Sintaksis, kajian hubungan diantara tanda-tanda. Disini tanda tidak dapat
berdiri sendiri, semua tanda menjadi bagian dari tanda yang lain. Sintaksis
mengacu pada aturan-aturan yang dengannya orang mengombinasikan tanda-
tanda ke dalam sistim makna yang kompleks.

Ketiga, Pragmatik; kajian ini memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat


perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai
akibat dan pengaruh tanda pada kehidupan sosial. Tracy dan Haspel (2004),
cabang semitotika pragmatik memiliki pengaruh yang paling penting dalam teori
komunikasi, karena tanda-tanda dan sistim tanda dilihat sebagai alat komunikasi
manusia.

Fakta sejarah tentang semiotik, Hippacrates-lah (460-377 SM) yang pertama


mengusulkan istilah semitotika dan mendefinisikannya sebagai cabang ilmu
kedokteran untuk mempelajari gejala-gejala sebagai semien, ciri dan tanda.
Aristoteles (384-322 SM) mendefinisikan tanda sebagai yang tersusun atas tiga
dimensi, (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri, (2) referen yang dipakai untuk
menarik perhatian, (3) pembangkit makna (yang disyaratkan oleh referens baik
secara psikologis maupun sosial). Tahap kemajuan besar dalam telaah tanda
diambil oleh Santo Agustinus (354-430) yang mengklasifikasikan tanda bersifat
natural, konvensional, dan suci. Natural itu tanda yang terdapat pada alam,
konvensional itu tanda yang dibuat manusia, dan tanda suci itu penampilkan
pesan dari Tuhan. (Marcel Danesi, 2010;34-35).

Dalam abad ke-20, teori semiotika dikembangkan oleh beberapa pakar


semiotika, pakar linguistik, psikologi, dan pakar teori kebudayaan. Para pakar ini
selain Barthes, Sebeok, dan Eco adalah Roman Jacobson (1896-1982) Louis
Hjelmslev (1899-1965), Jacques Lacan (1901-1981), Charles Morris (1901-1979),
Claude Levi-Strauss (1908-2009), A.J, Greimas (1917-1992), Juri Lotman (1922-
1993), Jecques Derrida (1930-2004).

Meskipun demikian, paradigma dasar Saussureann-Piercean yang dasar-


dasarnya ada pada karya Aristoteles, Santo Agustinus, para filsuf skolastik abad
pertengahan, dan John Locke masih tetap digunakan sampai sekarang. (Marcel
Danesi, 2010; 37).
TRADISI FENOMENOLOGI
(Komunikasi sebagai pengalaman diri dengan orang lain
melalui percakapan)

Tradisi fenomenologi menekankan pada persepsi orang dan interpretasi setiap


orang secara subjektif tentang pengalamannya. Para fenomenologist menganggap
bahwa cerita pribadi setiap orang adalah lebih penting dan lebih berwenang
daripada beberapa hipotesis penelitian atau aksioma komunikasi. Akan tetapi
kemudian timbul masalah dimana tidak ada dua orang yang memiliki kisah hidup
yang sama.

Seorang psikolog Carl Rogers mendeskripsikan tiga kebutuhan dan kondisi yang
cukup bagi sesorang dan perubahan hubungan, yaitu: (1) kesesuaian atau
kecocokan, adalah kecocokan atau kesesuaian anatara individu baik secara
perasaan didalam dengan penampilan diluar, (2) memandang positif tanpa syarat,
adalah sebuah sikap dalam menerima yang tidak tergantung pada perbuatan, dan
(3) pengertian untuk berempati, adalah kecakapan sementara untuk
mengesampingkan pandangan dan nilai dan memasuki dunia lain tanpa prasangka.
Inti tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam
suasana yang alamiah. Tradisi fenomenologi dapat menjelaskan tentang khalayak
dalam berinteraksi dengan media. Demikian pula bagaimana proses yang
berlangsung dalam diri khalayak. Beberapa figur penting disini adalah James Lull,
Ien Ang, dan sebagainya.

Kajian tentang proses resepti (reception studies) yang berlangsung dalam diri
khalayak menjadi penting. Maka proses resepsi sangat ditentukan oleh faktor nilai-
nilai yang hidup dalam diri khalayak tersebut. Pendekatan etnografi komunikasi
menjadi penting diterapkan dalam tradisi ini.

Adapun Varian dari tradisi Fenomonologi ini adalah Fenomonelogi Klasik dipelopori
oleh Edmund Husserl penemu Fenomenologi Modern Husserl percaya kebenaran
hanya bisa didapatkan melalui pengarahan pengalaman, tapi kita harus bagaimana
pengalaman kita bekerja.
Dengan kata lain kesadaran akan pengalaman dari setiap individu. kemudian
Fenomenologi Persepsi berlawanan dengan Husser yang membatasi fenomenologi
pada objektivitas dan yang terakhir adalah Fenomenologi Hermeneutik aliran ini
selalu dihubungkan dengan Martin Heidegger dengan landasan filosofis yang juga
biasa disebut dengan Hermeneutic of dasein yang berarti suatu “interpretasi untuk
menjadi”. Sebagai sebuah pendekatan, fenomenologi telah ada sejak Immanuel
Kant yang mencoba memikirkan dan memilah unsur mana yang berasal dari
pengalaman dan unsur mana yang terdapat dalam akal.

Dengan kata lain kesadaran akan pengalaman dari setiap individu. kemudian
Fenomenologi Persepsi berlawanan dengan Husser yang membatasi fenomenologi
pada objektivitas dan yang terakhir adalah Fenomenologi Hermeneutik aliran ini
selalu dihubungkan dengan Martin Heidegger dengan landasan filosofis yang juga
biasa disebut dengan Hermeneutic of dasein yang berarti suatu “interpretasi untuk
menjadi”. Sebagai sebuah pendekatan, fenomenologi telah ada sejak Immanuel
Kant yang mencoba memikirkan dan memilah unsur mana yang berasal dari
pengalaman dan unsur mana yang terdapat dalam akal.
Kemudian lebih luas lagi ketika digunakan oleh Hegel dalam memandang tesis,
antitesis dan sintesis (Hadiwiyono, 1980;63-65). Sementara itu fenomenologi
sebagai aliran filsafat dan sekaligus metode berfikir diperkenalkan oleh Huserl yang
beranjak dari kebenaran fenomena, seperti yang tampak apa adanya.

Sebagai sebuah teori sekaligus pendekatan yang antara lain dikembangkan oleh
Alfred Schutz, (muridnya Edmund Husertl) secara lebih operasional terutama
digunakan dalam ilmu-ilmu sosial termasuk dalam penelitian komunikasi
(Littlejohn, 1996:203; Miller, 2002:49), untuk meneropong’ realitas komunikasi
yang berasal dari kesadaran individu atau kelompok dalam sebuah etnik tertentu,
karena fenomenologi adalah kajian mengenai pengetahuan yang berasal dari
kesadaran, atau cara bagaimana orang-orang memahami obyek-obyek dan
peristiwa-peristiwa atas pengalaman sadar mereka.

Fenomenologi berasumsi bahwa manusia adalah makhluk kreatif, berkemauan


bebas, dan memiliki beberapa sifat subyektif lainnya. Gagasan pokok fenomenologi
adalah bahwa orang secara aktif akan menginterpretasikan pengalaman mereka
dengan memberi makna terhadap apa yang mereka lihat. Interpretasi merupakan
proses aktif dalam memberi makna terhadap sesuatu yang diamati, seperti
misalnya sebuah teks, sebuah tindakan, atau suatu situasi, yang kesemuanya dapat
disebut pengalaman (experience).
Karena sebuah pesan atau tindakan dapat bermakna banyak hal, makna tidak
dapat secara sederhana “ditemukan”. Interpretasi, berdasarkan defenisinya,
merupakan sebuah proses aktif dari pikiran (mind), sebuah tindak kreatif dalam
mencari berbagai kemungkinan makna. Kesamaan pandangan-pandangan seperti
ini membuat beberapa kalangan mengklaim bahwa teori fenomenologi dari Schutz
banyak terinspirasi dari teori dan pikiran beberapa ilmuwan lainnya. Dua di
antaranya adalah Max Weber dan Edmund Hasserl. Pandangan Weber tentang sifat
aktif manusia telah menjadi ‘spirit’ bagi Schutz untuk membangun asumsi-
asumsinya tentang manusia dalam perspektif teori.

Schutz juga menganggap dimensi “interaksi” sebagai variabel utama dan penting
dalam menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Bahkan struktur
itu sendiri tercipta dan berubah sebagai akibat dari interaksi manusia, yakni ketika
individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat obyek
yang sama. (Mulyana, 2003:61). Schutz mengemukakan bahwa pemahaman atas
tindakan, ucapan dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapapun
(Mulyana, 2003:62).

Dengan demikian Schutz lebih menspesifikasikan pada bagaimana terbentuknya


dunia keseharian manusia lewat kesadaran intersubyektifitas. Oleh karena itu,
fenomenologi Schutz terkadang disebut sebagai fenomenologi intersubjektif.
Analisis fenomenologi ini berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana
keseharian, dunia intersubjektif (dunia kehidupan atau Lebenswelt) terbentuk.
Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana kita dapat menginterpretasi
tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sesuatu yang bermakna dan untuk
merekonstruksi kembali turunan makna tindakan bermakna pada komunikasi
intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial (Outhwaite, dalam Denzin,
2000:192).

Jika ditelaah, Schutz lebih menekankan pada kesadaran-kesadaran intersubyektif


dunia keseharian manusia, sementara gagasan Hursserl lebih mengisyaratkan
seolah-olah individu terisolasi dari individu lainnya. Namun Schutz juga mendukung
pandangan Husserl yang menyatakan bahwa proses pemahaman dan pemberian
makna terhadap pengalaman-pengalaman itu dilakukan melalui refleksi tingkah
laku.

Pemahaman makna tindakan sosial diperoleh dengan memutar dan menyeleksi


kembali rekaman-rekaman pengalaman tindakan sosial yang berakumulasi dalam
diri manusia sebagai persediaan pengetahuan atau stock of knowledge. Kemudian
kita dapat menyeleksi unsur-unsur pengalaman yang memungkinkan kita untuk
melihat makna tindakan kita. (Campbell, 1994:236).
Salah satu konsep Husserl yang dikembangkan Schutz adalah konsep “life-word”.
Yang menurut Husserl adalah mengacu pada semua pengalaman langsung sehari-
hari, tindakan-tindakan dan motivasi-motivasi melalui mana para aktor sosial
berhubungan dengan lingkungannya. Schutz berusaha untuk memperluas konsep
life-world ini terhadap perilaku sosial. Dalam pandangan Schutz, ada faktor-faktor
yang mempengaruhi dan membatasi perilaku setiap individu dalam life-world­-nya,
yaitu “manusia, setiap saat dalam kehidupan sehari-harinya, akan menemukan
dirinya dalam situasi yang ditentukan secara biografis

Situasi yang ditentukan secara biografis berarti bahwa situasi tersebut bukan hanya
mengandung batasan-batasan eksternal dalam bentuk batasan sosial, budaya, dan
kebiasaan yang melekat di dalam situasi tersebut, melainkan juga mengandung
batasan-batasan internal.

Menurut Schutz sebagaimana dikutip Kuswarno, (2004:48), dunia sosial tidak


terlepas dari aspek historis. Dalam konteks ini, maka Schutz mengatakan bahwa
tindakan sosial adalah tindakan yang berorientasi pada perilaku orang atau orang
lain pada masa lalu, sekarang dan akan datang.
Stanley Deetz, “ada tiga prinsip dasar fenomenologi yaitu :
1. Pengetahuan adalah kesadaran, yang diperoleh secara langsung dari
pengalaman
2. Makna dari sesuatu terdiri atas potensi sesuatu itu pada hidup seseorang.
Bagaimana anda memandang sesuatu obyek, tergantung pada makna obyek itu
bagi anda.
3. Bahasa adalah kendaraan makna (vehicle meaning). Kita mendapatkan
pengalaman melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan
menjelaskan dunia kita.

Tradisi fenomenologi menurut Huserl, (Littlejohn dan Foss dalam Morison,


2009;32-33) terbagi dalam tiga bagian, Pertama, Fenomenologi klasik; asumsinya
bahwa dunia dapat dirasakan atau dialami tanpa harus membawa serta berbagai
kategori yang dimiliki orang yang ingin mengetahui pengalaman itu.

Kedua, Fenomenologi persepsi; yang menolak pandangan Huserd, mereka justru


mendukung gagasan bahwa pengalaman itu subyektif dan tidak obyektif. Tokohnya
Mourice Merleau-Ponty. Asumsinya, Manusia adalah mahluk yang memiliki
kesatuan fisik dan mental yang menciptakan makna terhadap dunianya. Sebagai
manusia kita dipengaruhi oleh dunia luar atau lingkungan kita dan sebaliknya, kita
juga dipengaruhi dunia disekitar kita, melalui bagaimana kita mengalami dunia.
Ketiga, Fenomenologi Hermeneutik; yang mirip fenomenologi persepsi. Tokohnya
Martin Heidegger, dalam karyanya Philosophical Hermeneutics. Asumsinya bahwa
pengalaman alami (natural experience) yang terjadi begitu saja ketika orang hidup
di dunia. Realitas terhadap sesuatu tidak dapat diketahui hanya dengan melalui
analisis yang hati-hati, tetapi melalui pengalaman alami yang terbentuk melalui
penggunaan bahasa dalam kehidupan setiap hari.
TRADISI SIBERNETIK
(Komunikasi untuk memproses informasi)

Tradisi ini berkaitan dengan proses pembuatan keputusan. Tradisi sibernetik


berangkat dari teori sistim yang memandang terdapatnya suatu hubungan yang
saling menggantungkan dalam unsur atau komponen yang ada dalam sistim. Hal
lain yang penting adalah sistim dipahami sebagai suatu sistim yang bersifat terbuka
sehingga perkembangan dan dinamika yang terjadi dilingkungan akan diproses
didalam internal sistim.

Proses persepsi terhadap pesan yang berlangsung dalam diri khalayak. Beberapa
figur penting disini adalah Wiener, Shannon-Weaver, Charles Berger, Guddykunts,
Karl Deutch, dan sebagainya.

Adapun varian dari Tradisi sibernetik ini adalah : Basic System Theory, ini adalah
fromat dasar, pendekatan ini melukiskan seperti sebuah struktur yang nyata dan
bisa di analisa dan diamati dari luar.
Yang kedua adalah General System Theory. Sistem ini menggunakan prinsip untuk
melihat bagaimana sesuatu pada banyak bidang yang berbeda menjadi selaras
antara satu dengan yang lain. Dan yang ketiga adalah Second Order Cybernetic
dikembangkan sebagai sebuah alternatif dari dua tradisi sibernetik sebelumnya.
Second order Cybernetic membuat pengamat tak dapat melihat bagaimana sebuah
sistem bekerja di luar dengan sendirinya.

Yang kedua adalah General System Theory. Sistem ini menggunakan prinsip untuk
melihat bagaimana sesuatu pada banyak bidang yang berbeda menjadi selaras
antara satu dengan yang lain. Dan yang ketiga adalah Second Order Cybernetic
dikembangkan sebagai sebuah alternatif dari dua tradisi sibernetik sebelumnya.
Second order Cybernetic membuat pengamat tak dapat melihat bagaimana sebuah
sistem bekerja di luar dengan sendirinya.

Martin Heidegger dalam Morison (2009;34), mengatakan sibernetika merupakan


tradisi yang membahas suatu sistim yang kompleks dimana berbagai elemen di
dalamnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Teori-teori dalam tradisi sibernetika menawarkan persepsi yang luas, yaitu
bagaimana berbagi variasi yang luas dari dari proses fisik, biologis, sosial dan
prilaku bekerja. Komunikasi dipahami sebagai sistim yang terdiri dari bagian-
bagian atau variabel-variabel yang saling mempengaruhi satu sama lain. Sistim
juga membentuk sekaligus mengawasi karakter dari keseluruhan sistim dan
sebagaimana

Teori-teori dalam tradisi sibernetika menawarkan persepsi yang luas, yaitu


bagaimana berbagi variasi yang luas dari dari proses fisik, biologis, sosial dan
prilaku bekerja. Komunikasi dipahami sebagai sistim yang terdiri dari bagian-
bagian atau variabel-variabel yang saling mempengaruhi satu sama lain. Sistim
juga membentuk sekaligus mengawasi karakter dari keseluruhan sistim dan
sebagaimana setiap organisme, sistem tersebut juga mencapai keseimbangan dan
perubahan.

Bagi A.D. Halla (Morison, 2009;34) mengatakan bahwa inti pemikiran sibernetika
adalah gagasan mengenai sistim yang didefinisikan “sets of Interacting
component that together form samething more than the sum of the part.
Tradisi sibernetika memandang komunikasi sebagai mata rantai untuk
menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dalam suatu sistem. Tradisi
sibernetika mencari jawaban atas pertanyaan “How can we get the bugs out of
this system?”. Ide komunikasi untuk memproses informasi dikuatkan oleh
Claude Shannon dengan penelitiannya pada perusahaan Bell Telephone
Company. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa informasi hilang pada
setiap tahapan yang dilalui dalam proses penyampain pesan kepada penerima
pesan. Sehingga pesan yang diterima berbeda dari apa yang dikirim pada
awalnya. Bagi Shannon, informasi adalah sarana untuk mengurangi
ketidakpastian. Tujuan dari teori informasi adalah untuk memaksimalkan
jumlah informasi yang ditampung oleh suatu sitem.

Dalam hal ini, gangguan (noise) mengurangi jumlah kapasitas informasi yang
dapat dimuat dalam suatu sistem. Shannon mendeskripsikan hubungan antara
informasi, gangguan (noise) dan kapasitas sistem dengan persamaan
sederhana, yaitu: kapasitas sistem = informasi + gangguan (noise).
TRADISI SOSIO-PSIKOLOGI
(Komunikasi sebagai pengaruh antar pribadi)

Berangkat dari Ilmu Psikologi terutama aliran behavioral. perhatian pada


perubahan sikap (attitude). Hubungan media dan khalayak tentunya akan
menyebabkan terjadinya perubahan sikap. Media menjadi stimulus dari luar diri
khalayak yang akan menyebabkan terjadinya perubahan sikap. Kasus lain seperti
komunikasi persuasi. Pengaruh komunikator terhadap perubahan sikap khalayak.

Teori-teori yang berangkat dari psikologi sosial ini juga dapat menjelaskan tentang
proses-proses yang berlangsung dalam diri manusia dalam proses komunikasi
yakni ketika proses membuat pesan dan proses memahami pesan.

Manusia dalam proses menghasilkan pesan melibatkan proses yang berlangsung


secara internal dalam diri manusia seperti proses berfikir, pembuatan keputusan,
sampai dengan proses menggunakan simbol.

Demikian pula dalam proses memahami pesan yang diterima, manusia juga
menggunakan proses psikologis seperti berfikir, memahami, menggunakan
ingatan jangka pendek dan panjang hingga membuat suatu pemaknaan.
Pendekatan psikologi sosial memberi perhatian terhadap aspek diri manusia.
Proses komunikasi manusia merupakan proses yang berlangsung dalam diri
manusia. Beberapa konsep penting disini dapat disebutkan seperti judgement,
prejudice, anxienty, dan sebagainya.

Adapun Varian dari Tradisi ini adalah:


1. Behavioral Tipikal dari teori ini adalah kepada hubungan apa yang kita
katakan dan apa yang kita lakukan.
2. Kemudian Koginitif cabang ini cukup banyak digunakan saat ini.

Berpusat pada pola pemikiran, cabang ini berkonsentrasi pada bagaimana


individu memperoleh, menyimpan dan memproses informasi dengan cara dang
arah tingkah laku yang muncul. Kemudian biological cabang ini berupaya
mempelajari manusia dari sisi biologikalnya.

Kajian sosiopsikologis adalah pada individu sebagai mahluk sosial. Bidang ilmu
sosial psikologi atau psikologi sosial ini berkembang menjadi suatu pemikiran
yang mempengaruhi teori komunikasi.

Kajian sosiopsikologis membantu kita memahami suatu sosial dimana kepribadian


menjadi penting di dalamnya, dengan kata lain bagaimana penilaian seseorang
menjadi bias karena adanya faktor kepercayaan (belieif) dan perasaan (feeling)
serta bagaimana seseorang memiliki pengaruh terhadap orang lain.
Teori-teori di bawah tradisi ini member perhatian pada prilaku sosial individu,
variabel psikologis, pengaruh individu, kepribadian dan sifat, persepsi serta
kognisi yaitu proses mengetahui dan memahami. (Morisson, 2009;36).

Ada tiga teori dalam tradisi sosiopsikologis, yakni:


1. Teori prilaku, yang perhatiannya pada bagaimana seseorang berperilaku atau
bertindak dalam situasi komunikasi yang dihadapinya. Tradisi ini juga melihat
adanya hubungan yang kuat antara stimulus dan respon,
2. Teori Kognitif, bagaimana individu memperoleh, menyimpan informasi yang
akan menghasilkan prilaku dan tindakan, dan
3. Teori Biologis, bagaimana peran dari struktur dan fungsi otak serta faktor
genetika yang dimiliki seseorang mempengaruhi prilakunya.

Dengan kata lain sifat, cara berfikir dan berprilaku seseorang tidak hanya faktor
lingkungan akan tetapi faktor genetika. Dalam pendidikan dikenal dengan istilah
teori konvergensi, yang berasumsi bahwa prilaku manusia itu dipengaruhi oleh
lingkungan dan pembawaan (genetika).
Tradisi sosio-psikologi merupakan contoh dari perspektif ilmiah atau objektif.
Dalam tradisi ini, kebenaran komunikasi dapat ditemukan dengan dapat
ditemukan dengan teliti – penelitian yang sistematis. Tradisi ini melihat hubungan
sebab dan akibat dalam memprediksi berhasil tidaknya perilaku komunikasi.

Carl Hovland dari Universitas Yale meletakkan dasar-dasar dari hal data empiris
yang mengenai hubungan antara rangsangan komunikasi, kecenderungan audiens
dan perubahan pemikiran dan untuk menyediakan sebuah kerangka awal untuk
mendasari teori. Tradisi sosio-psikologi adalah jalan untuk menjawab pertanyaan
“What can I do to get them change?”

Dalam kerangka “Who says what to whom and with what effect” dapat dibagi
menjadi tiga sebab atau alasan dari variasi persuasif, yaitu:
1. Who-sumber dari pesan (keahlian, dapat dipercaya).
2. What-isi dari pesan (menarik dengan ketakutan, mengundang perbedaan
pendapat).
3. Whom-karakteristik audiens (kepribadian, dapat dikira untuk dipengaruhi).
Efek utama yang diukur adalah perubahan pemikiran
yang dinyatakan dalam bentuk skala sikap baik
sebelum maupun sesudah menerima pesan. Dalam
hal ini kredibilitas sumber amat sangat menarik
perhatian. Ada dua jenis dari kredibilitas, yaitu:
1. keahlian (expertness) dan
2. karakter (character).
Keahlian dianggap lebih penting daripada karakter
dalam mendorong perubahan pemikiran.
TRADISI SOSIO-KULTURAL
(Komunikasi adalah ciptaan realitas sosial)
 

Tradisi sosio-kultural berdasar pada premis orang berbicara, mereka membuat


dan menghasilkan kebudayaan. Kebanyakan dari kita berasumsi bahwa kata
adalah refleksi atas apa yang benar ada. Cara pandang kita sangat kuatdibentuk
oleh bahasa (language) yang kita gunakan sejak balita.

Kita sudah mengetahui bahwa tradisi semiotika kebanyakan kata tidak memiliki
kepentingan atau keterikatan logis dengan ide yang mereka representasikan. Para
ahli bahasa dalam tradisi sosio-kultural menyatakan bahwa para pengguna
bahasa mendiami dunia yang berbeda. Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf
dari University of Chicago adalah pelopor tradisi sosio-kultural.

Dalam hipotesis penelitian mereka, linguistik adalah bagian dari struktur bentuk
bahasa budaya yang berdasarkan apa yang orang pikirkan dan lakukan. Dunia
nyata terlalu luas dan secara tidak sadar terbentuk pada bahasa kebiasaan
(habits) dari kelompok.
Teori linguistik ini berlawanan dengan asumsi bahwa semua bahasa itu sama dan
kata hanya sarana netral untuk membawa makna. Bahasa sebenarnya adalah
struktur dari persepsi kita akan realitas. Teori dalam tradisi ini mengklaim bahwa
komunikasi adalah hasil produksi, memelihara, memperbaiki dan perubahan dari
realitas. Dalam hal ini, tradisi sosio-kultural menawarkan membantu dalam
menjembatani jurang pemisah budaya antara “kita” dan “mereka”.

Tradisi sosial budaya berangkat dari kajian antropologi. Bahwa komunikasi


berlangsung dalam kontek budaya tertentu karenanya komunikasi dipengaruhi dan
kebudayaan suatu masyarakat. Konsep kebudayaan yang dirumuskan Clifford Geertz
tentu saja menjadi penting. Media massa, atau individu ketika melakukan aktivitas
komunikasi ikut ditentukan faktor-faktor situasional tertentu. Beberapa figur penting
disini adalah James Lull, Geertz, Erving Goffman, George H. Mead, dan sebagainya.

Adapun varian dari Tradisi ini adalah:


1. Interaksi simbolik merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam ilmu sosiologi
oleh George Herbert Mead dan Herbert Blumer yang menekankan pentingnya
pengamatan dalam studi komunikasi sebagai cara untuk menyelidiki hubungan
sosial.
2. Konstruksi Sosial pada cabang ini menginvestigasi bagaimana pengetahuan
manusia dikosntruksi melalui interaksi sosial. Dan yang terakhir Sosial
3. Linguistik Ludwig Wittgenstein seorang filosof Jerman bahwa arti dari bahasa
tergantung pada penggunaannya.
Pendekatan sosiokultural dalam teori komunikasi membahas bagaimana
pengertian, maka, norma, peran dan aturan yang ada, bekerja dan saling
berinteraksi dalam proses komunikasi, teori ini mendalami dunia interaksi dimana
didalamnya manusia hidup. Gagasan teori ini “Realitas dibangun melalui suatu
proses interaksi yang terjadi dalam kelompok, masyarakat dan budaya”. (Morison,
2009;38). Interaksi adalah proses dan tempat berbagai makna, peran, aturan dan
nilai budaya saling bekerja.

David Brinberg dan Josep E. McGrat (dalam Littlejohn dan Foss) mengatakan
teori-teori dalam tradisi sosiokultural dipengaruhi tiga teori penting yaitu:
Foss) mengatakan teori-teori dalam tradisi sosiokultural dipengaruhi tiga teori
penting yaitu:

1. Teori Interaksionisme Simbolik.

Merupakan cara pandang yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri dan
diri sosial. Manusia bisa menentukan makna subyektif pada setiap obyek yang
ditemui, ketimbang mereka menerima apa adanya makna yang dianggap
obyektif, dalam pendekatan positivistik. Struktur sosial sebagai hasil produksi
interaksi bersama, demikian pula dengan kelompok-kelompok sosial yang lain.
Suatu tindakan bersama, pada saatnya akan membentuk struktur sosial atau
kelompok-kelompok masyarakat lain, dibentuk oleh suatu interaksi yang cukup
khas yakni Interaksi simbolis. Dengan demikian interaksinisme simbolik
mengedepankan interaksi yang menggunakan bahasa, isyarat dan simbol lain.
Melalui simbol itu manusia mampu mendefinisikan, meredifinisikan,
menginterpretasikan, menganalisis, dan memperlakukan sesuai apa yang
dikehendaki.

Jadi secara umum akar teori interaksionisme simbolis mengandaikan realitas


sosial sebagai proses dan bukan sesbagai sesuatu yang statis, sehingga manusia
bukan barang jadi, tetapi lebih sebagai barang yang akan jadi. Kehidupan sosial
dalam pandangan kaum interaksi simbolik dimaknai sebagai suatu interaksi
manusia dengan menggunakan simbol, dimana simbol tersebut selalu digunakan
manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya.

Di dalam interaksi tersebut juga terjadi upaya saling mendefinisi dan


menginterpretasi antara tindakan yang satu dengan yang lainnya. Kalau
pandangan Mead dapat dibedakan antara interaksi non-simbolik dan interaksi
simbolik. Interaksi non-simbolik berlangsung pada saat manusia merespon secara
langsung terhadap tindakan dan isyarat dari orang lain, seperti gerak badan,
ekspresi dan nada suara. Sedangkan interaksi simbolik dilakukan oleh manusia
dengan menginterpretasikan masing-masing tindakan dan isyarat (simbol) orang
lain berdasarkan hasil dari interpretasi yang dilakukan oleh dirinya.
Interaksi simbolik merupakan proses formatif yang menjadi hak setiap individu,
yang menjangkau bentuk-bentuk umum hubungan manusia secara luas.
Kesadaran ini bertolak dari eksistensi manusia yang dinamis, progresif dan kreatif
dalam menciptakan hubungan yang baik dengan sesama manusia, ketika ia
tengah melakukan komunikasi dengan lingkungannya.

Manusia tidak hanya terpasung oleh faktor-faktor eksternal dan norma-norma


(stimulus), sehingga pada gilirannya mengabaikan proses penting yang dengan itu
pelaku memiliki kekuatan untuk bertindak atas diri mereka dan atas perilaku
mereka secara bermakna.

Dengan demikian, manusia memiliki kemampuan, bahkan sebagian orang


menyebut ‘keharusan’ untuk mengubah data mentah hasil pengamatan indra
menjadi simbol-simbol, sekaligus mengubah simbol untuk menunjukkan pada
simbol lain (seperti konsesi tujuan, nilai, cita-cita) untuk mewariskan kepada
generasi berikutnya. Inilah sebagai khas manusia.
Tulisan Susanne Langger, dalam Johansen (1996;47) bahwa simbolisme
merupakan kunci kehidupan mental khas manusia dan melebihi tingkatan hewan
belaka. Ia yakin bahwa kebutuhan dasar akan simbolisasi, yang mungkin tidak
dimiliki oleh mahluk lain. Lambang atau simbol menurut Mulyana (2002;84)
adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu lainnya, berdasarkan
kesepakatan sekelompok orang.

Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang
maknanya disepakati bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang
verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antar
manusia dan objek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan
obyek tersebut. Mulyana (2002;84) juga membedakan tentang lambang, tanda,
ikon dan indeks. Menurutnya ‘lambang’ adalah salah satu kategori tanda.

Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan
indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah
suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang
direpresentasikan. Mulyana memberi contoh ‘patung Soeharto’ adalah ikon
Soeharto, dan foto anda pada KTP adalah ikon anda. Sementara itu indeks adalah
suatu tanda yang secara alamiah merepresentasikan obyek lain.
Istilah lain untuk indeks adalah sinyal yang juga disebut gejala. Indeks muncul
berdasarkan hubungan antara sebab dan akibat yang punya kedekatan eksistensi.
Bahkan George Ritzer, dalam Mulyana (2002:73) menjelaskan inti dari interaksi
simbolik sebagai berikut:

1. Pertama, manusia tidak seperti hewan, karena manusia diberkahi dengan


kemampuan berpikir.
2. Kedua, kemampuan berpikir manusia dibentuk oleh interaksi sosial.
3. Ketiga, dalam interaksi sosial orang belajar makna dan simbol yang
memungkinkan mereka menetapkan kemampuan berpikirnya yang
merupakan kemampuan khas manusia.
4. Keempat, makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan dan
interaksinya yang khas.
5. Kelima, manusia mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol
yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interaksi
mereka atas situasi.
6. Keenam, kemampuan melakukan modifikasi dan perubahan itu disebabkan
oleh kemampuan individu berinteraksi dengan dirinya sendiri lewat berbagai
selektivitas hingga proses pemilihan sikap.
7. Ketujuh, pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin-menjalin ini membentuk
kelompok dan masyarakat.
2. Teori Konstruksi Sosial

Adalah Alfred Schutz, tokoh yang berjasa meletakkan kerangka dasar Teori
konstruksi sosial. Bahan-bahan kuliah yang beliau sampaikan terhadap Peter
Berger dan Thomas Luckmann dapat dikembangkan oleh kedua muridnya itu
menjadi model teoritis lain mengenai bagaimana dunia sosial terbentuk, atau
yang lazim dikenal dengan teori konstruksi realitas secara sosial.

Realitas sosial menurut Berger adalah eksis dan struktur dunia sosial bergantung
pada manusia yang menjadi subyeknya. Dalam hal ini terjadi penggabungan dua
perspektif yang berbeda yaitu perspektif fungsionalis dan interaksionis simbolik.
Asumsinya bahwa realitas sosial secara obyektif memang ada (perspektif
fungsionalis), namun maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif individu
dengan dunia obyektif (perspektif interaksionis simbolik), dalam (Polama,
2000:299). Inti konstruksi realitas menurut Berger dan Luckmann (dalam Polama,
2000:308) bahwa ‘individu merupakan produk sekaligus sebagai pencipta pranata
sosial’. Masyarakat diciptakan dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan
dan interaksi manusia.
Dalam berinteraksi manusia senantiasa menggunakan dan menciptakan simbol,
yang oleh Duncan (dalam Johnson, 1986:67) dikatakan bukan hanya sebagai alat
dari kenyataan sosial, namun simbol juga merupakan inti dari kenyataan sosial.
Dengan demikian realitas sosial bukan realitas alami yang muncul dengan
sendirinya, namun merupakan realitas yang telah dikonstruksi oleh sang aktor,
berdasarkan motif dan interpretasinya terhadap makna-makna dan simbol yang
telah diberikan oleh mitra komunikasinya saat melakukan interaksi.

3. Teori Sosiolinguistik

Sosiolinguistik yaitu studi mengenai bahasa dan budaya. Asumsinya bahwa


manusia menggunakan bahasa secara berbeda dalam kelompok sosial dan
budaya yang berbeda dalam hal ini bahasa tidak semena-mena dipandang
sebagai kendaraan untuk menghubungkan para individu, namun bahasa
menentukan siapa kita sebagai mahluk sosial dan budaya. Infante, Rancer dan
Womak (1993;223) mengemukakan teori Linguistic Relativity yang asumsinya
dunia nyata ditentukan oleh bahasa.
Dan bahasa dalam kehidupan sehari-hari juga ditentukan melalui kontruksi sosial,
bahasa juga membentuk budaya dan budaya membentuk bahasa. Dengan
demikian berkata, berbicara, bertingkah laku, dengan menggunakan bahasa
didasarkan pada budaya dalam komunitas atau kelompok orang tersebut berasal.

Contohnya bahasa “Gaul” dikontruksi oleh komunitas “ABG”, sebaliknya bahasa


ilmiah di dunia kampus, akan berbeda dan sulit dipahami oleh masyarakat pada
wilayah periferi yang memiliki latarbelakang budaya dan pendidikan yang jauh
berbeda dengan masyarakat kampus.
TRADISI KRITIS
(Komunikasi sebagai cerminan tantangan atas
percakapan yang tidak adil) 

Tradisi kritis muncul di Frankfurt School Jerman, yang sangat terpengaruh


dengan Karl marx dalam mengkritisi masyarakat. Dalam penelitian yang
dilakukan Frankfurt School, dilakukan analisa pada ketidaksesuaian antara nilai-
nilai kebebasan dalam masyarakat liberal dengan persamaan hak seorang
pemimpin menyatakan dirinya dan memperhatikan ketidakadilan serta
penyalahgunaan wewenang yang membuat nilai-nilai tersebut hanya menjadi
isapan jempol belaka. Kritik ini sangat tidak mentolelir adanya pembicaraan
negatif atau akhir yang pesimistis.

Teori-teori dalam tradisi kritis secara konsisten menentang tiga keistimewaan


dari masyarakat sekarang, yaitu:
1. mengendalikan bahasa untuk mengabadikan ketidakseimbangan wewenang
atau kekuasaan,
2. peran media dalam mengurangi kepekaan terhadap penindasan, dan
3. mengaburkan kepercayaan pada metode ilmiah dan penerimaan atas
penemuan data empiris yang tanpa kritik.
Tradisi ini berangkat dari asumi teori-teori kritis yang memperhatikan
terdapatnya kesenjangan di dalam masyarakat. Proses komunikasi dilihat dari
sudut kritis. Bahwa komunikasi disatu sisi telah ditandai dengan proses
dominasi oleh kelompok yang kuat atas kelompok masyarakat yang lemah. Pada
sisi lain, aktifitas komunikasi mestinya menjadi proses artikulasi bagi
kepentingan kelompok masyarakat yang lemah. Tradisi ini dapat menjelaskan
baik lingkup komunikasi antar personal maupun komunikasi bermedia. Tradisi
ini tampak kental dengan pembelaan terhadap kalangan yang lemah.
Komunikasi diharapkan berperan dalam proses transformasi masyarakat yang
lemah.

Beberapa figur penting dapat disebut seperti Noam Chomsky, Herbert Schiller,
Ben Bagdikian, C. Wright Mills, dan sebagainya yang pemikiran mereka
menyoroti tentang media sementara Stanley Deetz diantaranya pada
komunikasi adapun Varian dari Tradisi ini adalah : marxisme merupakan peletak
dasar dari tradisi kritis ini.
1. Marx mengajarkan bahwa ekonomi merupakan dasar dari segala struktur
sosial. Kemudian Kritik Politik ekonomi pandangan ini merupakan revisi
terhadap Marxisme yang dinilai terlalu menyederhanakan realitas kedalam
dua kubu yaitu kalangan penguasa dan kalangan tertindas berdasarkan
kepentingan ekonomi.
2. Aliran Frankfurt, aliran ini memperkenalkan bahwa aliran kritis.
dalam rangka mempromosikan suatu filosofi sosial teori kritis
mampu menawarkan suatu interkoneksi dan pengujian yang
menyeluruh perubahan bentuk dari masyarakat, kultur ekonomi,
dan kesadaran.
3. Posmodernisme. Ditandai dengan sifat relativitas, tidak ada
standarisasi nilai, menolak pengetahuan yang sudah jadi dan
dianggap sebagai sesuatu yang sakral.
4. Cultural studies memusatkan pada perubahan sosial dari tempat
yang menguntungkan dari kultur itu sendiri.
5. Post strukturalis yakni pandangan yang memandang realitas
merupakan sesuatu yang komplek dan selalu dalam proses sedang
menjadi.
6. Post Colonial mengacu pada semua kultur yang dipengaruhi oleh
proses imperial dari masa penjajahan sampai saat ini.
Menurut Brian Fay, (1975) “ada tiga keistimewaan pokok dari tradisi
kritik yaitu:
1. Mencoba memahami sistim yang sudah dianggap benar, struktur
kekuatan, dan keyakinan atau idiologi yang mendominasi
masyarakat, dengan pandangan tertentu, dimana minat-minat
disajikan oleh struktur-struktur kekuatan tersebut.
2. Para ahli teori kritik tertarik dengan membuka kondisi sosial yang
menindas dan rangkaian kekuatan untuk mempromosikan
emansipasi atau masyarakat yang lebih bebas dan berkecukupan.
3. Menciptakan kesadaran untuk menggabungkan teori dan tindakan.
Pesan yang dikemas untuk memperkuat penekanan pada
masyarakat adalah upaya para ahli kritik, selain mereka tertarik pada
tindakan sosial, termasuk juga pada wacana dan teks-teks yang
mempromosikan idiologi-idiologi tertentu, membentuk dan
mempertahankan kekuatan, meruntuhkan minat kelompok atau
kelas tertentu. (Littlejohn dan Foss;2009).
Della Pollock dan J. Robert Cox (1991) membagi teori kritik menjadi empat
cabang yaitu :
1. Markxisme; tokohnya adalah Karl Marx, seorang sosiolog dari Jerman.
Arah pemikiran Marx adalah ”alat produksi ekonomi di Mayarakat,
menentukan sifat dan bentuk masyarakat bersangkutan, dengan
demikian ekonomi menjadi dasar dari semua struktur sosial”. Grahan
C. Kinlock menambahkan, arah pemikiran Marx; menganalisis
hubungan antara kondisi kehidupan (sub-ekonomi masyarakat) dan
gagasan-gagasan (superstruktur normatif masyarakat) pada dasar-
dasar kontinuitas perubahan melalui perkembangan sejarah
masyarakat.
2. Frankfurt school; kelompok ahli filsafat Jerman yang dimotori oleh
Rheodor Adorno dan Max Horkhoimer, bekerjasama dengan Institute
for Social Recearch di Franfrut pada tahun 1923. Ada enam tema yang
menjadi paradigma kritik dari mazhab Frankfurt ini yaitu, bentuk
integrasi sosial masyarakat, sosialisasi dan perkembangan ego, media
massa dan kebudayaan massa, psikologi sosial protes, teori seni, dan
kritik atas positivism. (lihat Hardiman, 2009; 12-024).
3. Postmodernisme; M. Griffin dalam A First look at Communication
Theory; ada enam pernyataan munculnya pemikiran posmodernisme,
yaitu Pertama; menolak jargon modernisme, (seperti memuja
rasionalisme dan ilmu pengetahuan, imprialisme kebangsaan, dan
pemikiran masyarakat dunia terus maju), Kedua; pemikiran Marshall
McLuhan tentang sejarah teknologi media sebagai salah satu alat yang
diciptakan manusia (media massa) yang mampu membentuk
kehidupan manusia, Ketiga; kalangan posmo berkeyakinan bahwa
gambaran yang ditampilkan media masa bersifat Hyperreality artinya
lebih nyata dari yang seharusnya, Keempat; meragukan setiap klaim
yang dibuat berbagai sistim pemikiran seperti sistim kepercayaan,
idiologi bahkan agama, yang menyatakan dirinya paling benar untuk
semua orang, Kelima; kemungkinan membentuk identitas baru pada
masyarakat urban didorong oleh kehadiran media massa yang
menyajikan aneka model gaya hidup, Keenam; suatu masyarakat
konsumen berdasarkan kapitalisme multinasional.
4. Feminisme; tradisi kritik juga melakukan kritik terhadap gerakan
feminis dengan cenderung memberikan pengertian yang luas terhadap
istilah feminism.
TRADISI RETORIKA
(Komunikasi sebagai seni berbicara didepan umum)
 

Tradisi retorika memberi perhatian pada aspek proses pembuatan pesan atau
simbol. Prinsip utama disini adalah bagaimana menggunakan simbol yang tepat
dalam menyampaikan maksud. yang berkaitan dengan proses pembuatan pesan
(message production).

Tradisi retorika dapat menjelaskan baik dalam kontek komunikasi antar personal
maupun komunikasi massa. Sepanjang memberi perhatian terhadap bagaimana
proses-proses merancang isi pesan yang memadai sehingga proses komunikasi
dapat berlangsung secara efektif.

Faktor-faktor nilai, ideologi, budaya, dan sebagainya yang hidup dalam suatu
organisasi media atau dalam diri individu merupakan faktor yang menentukan
dalam proses pembuatan pesan. Bahwa pesan dihasilkan melalui proses yang
melibatkan nilai-nilai, kepentingan, pandangan hidup tertentu dari manusia
yang menghasilkan pesan.
Tradisi retorika memberi perhatian pada aspek proses pembuatan pesan atau
simbol. Prinsip utama disini adalah bagaimana menggunakan simbol yang tepat
dalam menyampaikan maksud. yang berkaitan dengan proses pembuatan pesan
(message production).

Tradisi retorika dapat menjelaskan baik dalam kontek komunikasi antar personal
maupun komunikasi massa. Sepanjang memberi perhatian terhadap bagaimana
proses-proses merancang isi pesan yang memadai sehingga proses komunikasi
dapat berlangsung secara efektif. Faktor-faktor nilai, ideologi, budaya, dan
sebagainya yang hidup dalam suatu organisasi media atau dalam diri individu
merupakan faktor yang menentukan dalam proses pembuatan pesan.

Tradisi retorika dapat menjelaskan baik dalam kontek komunikasi antar personal
maupun komunikasi massa. Sepanjang memberi perhatian terhadap bagaimana
proses-proses merancang isi pesan yang memadai sehingga proses komunikasi
dapat berlangsung secara efektif. Faktor-faktor nilai, ideologi, budaya, dan
sebagainya yang hidup dalam suatu organisasi media atau dalam diri individu
merupakan faktor yang menentukan dalam proses pembuatan pesan.
Bahwa pesan dihasilkan melalui proses yang melibatkan nilai-nilai, kepentingan,
pandangan hidup tertentu dari manusia yang menghasilkan pesan.
Adapun varian dari tradisi ini dapat dibagi menjadi beberapa era yaitu Era
Klasik, Abad Pertengahan, Renaissance, Pencerahan, Kontemporer dan
Postmodernisme: era klasik di mana terjadi pertarungan antara dua aliran yaitu
sophis dan filosof yang mana aliran sophis beranggapan bagaimana kita dapat
berargumen untuk memenangkan suatu perkara melalui retorika tidak peduli
apakah itu benar atau tidak dan berlawanan dengan aliran filosif yang
menganggap bahwa retorika hanya digunakan untuk berdialog untuk
mendapatkan kebenaran yang absolut.

Era Abad pertengahan Abad Pertengahan studi tentang retorika berfokus pada
pengaturan gaya, namun retorika pada abad pertengahan dicela sebab dianggap
sebagai ilmu kaum penyembah berhala dan tidak perlu dipelajari sebab agama
Kristen dapat memperlihatkan kebenarannya dengan sendiri.

Era Renaissance, renaissance masa ini dianggap sebagai kelahiran kembali


retorika sebagai suatu seni. Masa Pencerahan retorika menjadi sarana untuk
mengetahui suatu atau menyampaikan suatu kebenaran. Hal ini menjadikan
retorika kembali menjadi citra yang baik seperti saat ini.
Era Kontemporer era ini ditandai dengan pemanfaatn media massa untuk
menyampaikan suau pesan baik secara verbal maupun visual pada media
massa.

Postmodernisme Aliran ini merupakan alternatif yang dimulai dari asumsi yang
berbeda, nilai nilai acuan yang berbeda, untuk menghasilkan suatu retorika
yang berbeda pula.

Perkembangan komunikasi sebagai ilmu selalu dikaitkan dengan aktifitas


retorika yang terjadi di zaman Yunani Kuno dengan tokohnya Goergias sebagai
guru retorika pertama dalam sejarah manusia yang mempelajari dan menelaah
proses pernyataan antarmanusia. Reorika dalam pikiran Goergias lebih pada
seni berbicara atau berpidato untuk sebuah kemenangan politik.

Berlawanan dengan pendapat Petagoras dan Socrates bahwa berbicara bukan


demi kemenangan, melainkan demi keindahan bahasa. Bagi Socrates, retorika
adalah demi kebenaran dengan dialog sebagai tekniknya, karena dengan dialog
kebenaran akan timbul dengan sendirinya. (Effendy, 2003;3).
Retorika dalam perkembangannya tidak hilang, bahkan menjadi sebuah bagian
dari ilmu komunikasi di era komtemporer dewasa ini. Donal C. Bryant (1972)
“Kajian retorika secara umum didefinikan sebagai simbol yang digunakan
manusia. Pada awalnya ilmu ini berhubungan dengan persuasi, seni menyusun
argument dan pembuatan naskah pidato.

Perkembangan komunikasi sebagai ilmu selalu dikaitkan dengan aktifitas


retorika yang terjadi di zaman Yunani Kuno dengan tokohnya Goergias sebagai
guru retorika pertama dalam sejarah manusia yang mempelajari dan menelaah
proses pernyataan antarmanusia. Reorika dalam pikiran Goergias lebih pada
seni berbicara atau berpidato untuk sebuah kemenangan politik. Retorika
berkembang sampai meliputi “adjusting ideas to people and people to ideas”,
dalam segala jenis pesan.
Asumsi tradisi retorika menurut Bryant (1972) “Penemuan,
penyusunan, gaya, penyampaian dan daya ingat”.
1. Penemuan mengacu pada konseptualisasi, proses, untuk
menemukan makna melalui interpretasi, respon terhadap fakta
yang ditemukan.
2. Penyusunan; adalah pengaturan simbol-simbol, menyusun
informasi dalam hubungannya diantara orang-orang, simbol-simbol
dan konteks yang terkait.
3. Gaya; semua anggapan yang terkait dalam penyajian semua simbol
mulai dari memilih sampai pada makna yang kita berikan pada
semua simbol.
4. Penyampaian; menjadi perwujudan dari simbol dalam bentuk fisik,
mencakup pilihan non-verbal untuk berbicara, menulis dan
memediasi pesan. Dan, Daya Ingat; tidak lagi mengacu pada
hafalan pidato, tetapi dalam cakupan yang lebih besar dalam
mengingat budaya sebagai persepsi yang berpengaruh pada
bagaimana kita menyimpan dan mengolah informasi.
Ada enam keistimewaan karakteristik yang berpengaruh
pada tradisi komunikasi retorika, yaitu:
1. sebuah keyakinan yang membedakan manusia dengan
hewan dalam kemampuan berbicara,
2. sebuah kepercayaan diri dalam berbicara didepan umum
dalam sebuah forum demokrasi,
3. sebuah keadaan dimana seorang pembicara mencoba
mempengaruhi audiens melalui pidato persuasif yang
jelas,
4. pelatihan kecakapan berpidato adalah landasan dasar
pendidikan kepemimpinan,
5. sebuah tekanan pada kekuasaan dan keindahan bahasa
untuk merubah emosi orang dan menggerakkannya
dalam aksi, dan
6. pidato persuasi adalah bidang wewenang dari laki-laki.
Semoga Bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai