TEORI KOMUNIKASI
By
. ka
ng
jej
o
Semiotika adalah ilmu mempelajari tanda. Tanda adalah sesuatu yang dapat
memberikan petunjuk atas sesuatu. Kata juga merupakan tanda, akan tetapi
jenisnya spesial. Mereka disebut dengan simbol.
Banyak teori dari tradisi semiotika yang mencoba menjelaskan dan mengurangi
kesalahpahaman yang tercipta karena penggunaan simbol yang bermakna
ambigu.
Ambiguitas adalah keadaan yang tidak dapat dihindarkan dalam bahasa, dalam
hal ini komunikator dapat terbawa dalam sebuah pembicaraan dalam suatu hal
akan tetapi masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda akan suatu hal
yang sedang dibicarakan tersebut
Jadi terdapat banyak teori komunikasi yang berangkat dari pembahasan seputar
simbol. Keberadaan simbol menjadi penting dalam menjelaskan fenomena
komunikasi. Simbol merupakan produk budaya suatu masyarakat untuk
mengungkapkan ide-ide, makna, dan nilai-nilai yang ada pada diri mereka.
Tradisi Semiotika itu sendiri terbagi atas tiga Varian yaitu Semantic (bahasa)
merujuk pada bagaimana hubungan antara tanda dengan objeknya atau tentang
keberadaan dari tanda itu sendiri. sintagmatic atau kajian tentang hubungan
antar tanda. Tanda hampir tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang terakhir
paradigmatic yang melihat bagaimana sebuah tanda membedakan antara satu
manusia dengan yang lain atau sebuah tanda bisa saja dimaknai berbeda oleh
masing masing orang sesuai dengan latar belakang budayanya.
Konsep dasar yang menyatukan tradisi ini adalah tanda yang didefinikan sebagai
stimulus yang menandakan, menunjukkan beberapa kondisi lain, seperti ketika
asap menunjukkan api. Konsep kedua adalah simbol yang biasanya menandakan
tanda yang kompleks dengan banyak arti termasuk arti sangat khusus.
Dengan demikian, perhatian semiotika terhadap tanda dan simbol, maka tradisi
semiotika mengumpulkan sejumlah teori yang sangat luas yang berkaitan dengan
bahasa, wacana dan tindakan-tindakan nonverbal. Kebanyakan pemikiran
semiotik melibatkan ide dan dasar triad of meaning yang menegaskan bahwa arti
muncul dari hubungan diantara tiga hal; benda (atau yang dituju), manusia
(penafsir), dan tanda.
Charles Saunders Pierce, ahli semitotik modern pertama, dapat dikatakan sebagai
pelopor ide ini. membagi semiotik kedalam tiga wilayah kajian yaitu semiotik,
sintaksis, dan pragmatik: Pertama, Semiotik, menggambarkan dua dunia, yaitu
dunia benda dan dunia tanda dan mencerahkan hubungan diantara kedua duania
tersebut. Kapanpun kita memberikan sebuah pertanyaan Apa yang
direpresentasikan oleh tanda? Maka kita berada dalam ranah semantik.
Kedua, Sintaksis, kajian hubungan diantara tanda-tanda. Disini tanda tidak dapat
berdiri sendiri, semua tanda menjadi bagian dari tanda yang lain. Sintaksis
mengacu pada aturan-aturan yang dengannya orang mengombinasikan tanda-
tanda ke dalam sistim makna yang kompleks.
Seorang psikolog Carl Rogers mendeskripsikan tiga kebutuhan dan kondisi yang
cukup bagi sesorang dan perubahan hubungan, yaitu: (1) kesesuaian atau
kecocokan, adalah kecocokan atau kesesuaian anatara individu baik secara
perasaan didalam dengan penampilan diluar, (2) memandang positif tanpa syarat,
adalah sebuah sikap dalam menerima yang tidak tergantung pada perbuatan, dan
(3) pengertian untuk berempati, adalah kecakapan sementara untuk
mengesampingkan pandangan dan nilai dan memasuki dunia lain tanpa prasangka.
Inti tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam
suasana yang alamiah. Tradisi fenomenologi dapat menjelaskan tentang khalayak
dalam berinteraksi dengan media. Demikian pula bagaimana proses yang
berlangsung dalam diri khalayak. Beberapa figur penting disini adalah James Lull,
Ien Ang, dan sebagainya.
Kajian tentang proses resepti (reception studies) yang berlangsung dalam diri
khalayak menjadi penting. Maka proses resepsi sangat ditentukan oleh faktor nilai-
nilai yang hidup dalam diri khalayak tersebut. Pendekatan etnografi komunikasi
menjadi penting diterapkan dalam tradisi ini.
Adapun Varian dari tradisi Fenomonologi ini adalah Fenomonelogi Klasik dipelopori
oleh Edmund Husserl penemu Fenomenologi Modern Husserl percaya kebenaran
hanya bisa didapatkan melalui pengarahan pengalaman, tapi kita harus bagaimana
pengalaman kita bekerja.
Dengan kata lain kesadaran akan pengalaman dari setiap individu. kemudian
Fenomenologi Persepsi berlawanan dengan Husser yang membatasi fenomenologi
pada objektivitas dan yang terakhir adalah Fenomenologi Hermeneutik aliran ini
selalu dihubungkan dengan Martin Heidegger dengan landasan filosofis yang juga
biasa disebut dengan Hermeneutic of dasein yang berarti suatu “interpretasi untuk
menjadi”. Sebagai sebuah pendekatan, fenomenologi telah ada sejak Immanuel
Kant yang mencoba memikirkan dan memilah unsur mana yang berasal dari
pengalaman dan unsur mana yang terdapat dalam akal.
Dengan kata lain kesadaran akan pengalaman dari setiap individu. kemudian
Fenomenologi Persepsi berlawanan dengan Husser yang membatasi fenomenologi
pada objektivitas dan yang terakhir adalah Fenomenologi Hermeneutik aliran ini
selalu dihubungkan dengan Martin Heidegger dengan landasan filosofis yang juga
biasa disebut dengan Hermeneutic of dasein yang berarti suatu “interpretasi untuk
menjadi”. Sebagai sebuah pendekatan, fenomenologi telah ada sejak Immanuel
Kant yang mencoba memikirkan dan memilah unsur mana yang berasal dari
pengalaman dan unsur mana yang terdapat dalam akal.
Kemudian lebih luas lagi ketika digunakan oleh Hegel dalam memandang tesis,
antitesis dan sintesis (Hadiwiyono, 1980;63-65). Sementara itu fenomenologi
sebagai aliran filsafat dan sekaligus metode berfikir diperkenalkan oleh Huserl yang
beranjak dari kebenaran fenomena, seperti yang tampak apa adanya.
Sebagai sebuah teori sekaligus pendekatan yang antara lain dikembangkan oleh
Alfred Schutz, (muridnya Edmund Husertl) secara lebih operasional terutama
digunakan dalam ilmu-ilmu sosial termasuk dalam penelitian komunikasi
(Littlejohn, 1996:203; Miller, 2002:49), untuk meneropong’ realitas komunikasi
yang berasal dari kesadaran individu atau kelompok dalam sebuah etnik tertentu,
karena fenomenologi adalah kajian mengenai pengetahuan yang berasal dari
kesadaran, atau cara bagaimana orang-orang memahami obyek-obyek dan
peristiwa-peristiwa atas pengalaman sadar mereka.
Schutz juga menganggap dimensi “interaksi” sebagai variabel utama dan penting
dalam menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Bahkan struktur
itu sendiri tercipta dan berubah sebagai akibat dari interaksi manusia, yakni ketika
individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat obyek
yang sama. (Mulyana, 2003:61). Schutz mengemukakan bahwa pemahaman atas
tindakan, ucapan dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapapun
(Mulyana, 2003:62).
Situasi yang ditentukan secara biografis berarti bahwa situasi tersebut bukan hanya
mengandung batasan-batasan eksternal dalam bentuk batasan sosial, budaya, dan
kebiasaan yang melekat di dalam situasi tersebut, melainkan juga mengandung
batasan-batasan internal.
Proses persepsi terhadap pesan yang berlangsung dalam diri khalayak. Beberapa
figur penting disini adalah Wiener, Shannon-Weaver, Charles Berger, Guddykunts,
Karl Deutch, dan sebagainya.
Adapun varian dari Tradisi sibernetik ini adalah : Basic System Theory, ini adalah
fromat dasar, pendekatan ini melukiskan seperti sebuah struktur yang nyata dan
bisa di analisa dan diamati dari luar.
Yang kedua adalah General System Theory. Sistem ini menggunakan prinsip untuk
melihat bagaimana sesuatu pada banyak bidang yang berbeda menjadi selaras
antara satu dengan yang lain. Dan yang ketiga adalah Second Order Cybernetic
dikembangkan sebagai sebuah alternatif dari dua tradisi sibernetik sebelumnya.
Second order Cybernetic membuat pengamat tak dapat melihat bagaimana sebuah
sistem bekerja di luar dengan sendirinya.
Yang kedua adalah General System Theory. Sistem ini menggunakan prinsip untuk
melihat bagaimana sesuatu pada banyak bidang yang berbeda menjadi selaras
antara satu dengan yang lain. Dan yang ketiga adalah Second Order Cybernetic
dikembangkan sebagai sebuah alternatif dari dua tradisi sibernetik sebelumnya.
Second order Cybernetic membuat pengamat tak dapat melihat bagaimana sebuah
sistem bekerja di luar dengan sendirinya.
Bagi A.D. Halla (Morison, 2009;34) mengatakan bahwa inti pemikiran sibernetika
adalah gagasan mengenai sistim yang didefinisikan “sets of Interacting
component that together form samething more than the sum of the part.
Tradisi sibernetika memandang komunikasi sebagai mata rantai untuk
menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dalam suatu sistem. Tradisi
sibernetika mencari jawaban atas pertanyaan “How can we get the bugs out of
this system?”. Ide komunikasi untuk memproses informasi dikuatkan oleh
Claude Shannon dengan penelitiannya pada perusahaan Bell Telephone
Company. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa informasi hilang pada
setiap tahapan yang dilalui dalam proses penyampain pesan kepada penerima
pesan. Sehingga pesan yang diterima berbeda dari apa yang dikirim pada
awalnya. Bagi Shannon, informasi adalah sarana untuk mengurangi
ketidakpastian. Tujuan dari teori informasi adalah untuk memaksimalkan
jumlah informasi yang ditampung oleh suatu sitem.
Dalam hal ini, gangguan (noise) mengurangi jumlah kapasitas informasi yang
dapat dimuat dalam suatu sistem. Shannon mendeskripsikan hubungan antara
informasi, gangguan (noise) dan kapasitas sistem dengan persamaan
sederhana, yaitu: kapasitas sistem = informasi + gangguan (noise).
TRADISI SOSIO-PSIKOLOGI
(Komunikasi sebagai pengaruh antar pribadi)
Teori-teori yang berangkat dari psikologi sosial ini juga dapat menjelaskan tentang
proses-proses yang berlangsung dalam diri manusia dalam proses komunikasi
yakni ketika proses membuat pesan dan proses memahami pesan.
Demikian pula dalam proses memahami pesan yang diterima, manusia juga
menggunakan proses psikologis seperti berfikir, memahami, menggunakan
ingatan jangka pendek dan panjang hingga membuat suatu pemaknaan.
Pendekatan psikologi sosial memberi perhatian terhadap aspek diri manusia.
Proses komunikasi manusia merupakan proses yang berlangsung dalam diri
manusia. Beberapa konsep penting disini dapat disebutkan seperti judgement,
prejudice, anxienty, dan sebagainya.
Kajian sosiopsikologis adalah pada individu sebagai mahluk sosial. Bidang ilmu
sosial psikologi atau psikologi sosial ini berkembang menjadi suatu pemikiran
yang mempengaruhi teori komunikasi.
Dengan kata lain sifat, cara berfikir dan berprilaku seseorang tidak hanya faktor
lingkungan akan tetapi faktor genetika. Dalam pendidikan dikenal dengan istilah
teori konvergensi, yang berasumsi bahwa prilaku manusia itu dipengaruhi oleh
lingkungan dan pembawaan (genetika).
Tradisi sosio-psikologi merupakan contoh dari perspektif ilmiah atau objektif.
Dalam tradisi ini, kebenaran komunikasi dapat ditemukan dengan dapat
ditemukan dengan teliti – penelitian yang sistematis. Tradisi ini melihat hubungan
sebab dan akibat dalam memprediksi berhasil tidaknya perilaku komunikasi.
Carl Hovland dari Universitas Yale meletakkan dasar-dasar dari hal data empiris
yang mengenai hubungan antara rangsangan komunikasi, kecenderungan audiens
dan perubahan pemikiran dan untuk menyediakan sebuah kerangka awal untuk
mendasari teori. Tradisi sosio-psikologi adalah jalan untuk menjawab pertanyaan
“What can I do to get them change?”
Dalam kerangka “Who says what to whom and with what effect” dapat dibagi
menjadi tiga sebab atau alasan dari variasi persuasif, yaitu:
1. Who-sumber dari pesan (keahlian, dapat dipercaya).
2. What-isi dari pesan (menarik dengan ketakutan, mengundang perbedaan
pendapat).
3. Whom-karakteristik audiens (kepribadian, dapat dikira untuk dipengaruhi).
Efek utama yang diukur adalah perubahan pemikiran
yang dinyatakan dalam bentuk skala sikap baik
sebelum maupun sesudah menerima pesan. Dalam
hal ini kredibilitas sumber amat sangat menarik
perhatian. Ada dua jenis dari kredibilitas, yaitu:
1. keahlian (expertness) dan
2. karakter (character).
Keahlian dianggap lebih penting daripada karakter
dalam mendorong perubahan pemikiran.
TRADISI SOSIO-KULTURAL
(Komunikasi adalah ciptaan realitas sosial)
Kita sudah mengetahui bahwa tradisi semiotika kebanyakan kata tidak memiliki
kepentingan atau keterikatan logis dengan ide yang mereka representasikan. Para
ahli bahasa dalam tradisi sosio-kultural menyatakan bahwa para pengguna
bahasa mendiami dunia yang berbeda. Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf
dari University of Chicago adalah pelopor tradisi sosio-kultural.
Dalam hipotesis penelitian mereka, linguistik adalah bagian dari struktur bentuk
bahasa budaya yang berdasarkan apa yang orang pikirkan dan lakukan. Dunia
nyata terlalu luas dan secara tidak sadar terbentuk pada bahasa kebiasaan
(habits) dari kelompok.
Teori linguistik ini berlawanan dengan asumsi bahwa semua bahasa itu sama dan
kata hanya sarana netral untuk membawa makna. Bahasa sebenarnya adalah
struktur dari persepsi kita akan realitas. Teori dalam tradisi ini mengklaim bahwa
komunikasi adalah hasil produksi, memelihara, memperbaiki dan perubahan dari
realitas. Dalam hal ini, tradisi sosio-kultural menawarkan membantu dalam
menjembatani jurang pemisah budaya antara “kita” dan “mereka”.
David Brinberg dan Josep E. McGrat (dalam Littlejohn dan Foss) mengatakan
teori-teori dalam tradisi sosiokultural dipengaruhi tiga teori penting yaitu:
Foss) mengatakan teori-teori dalam tradisi sosiokultural dipengaruhi tiga teori
penting yaitu:
Merupakan cara pandang yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri dan
diri sosial. Manusia bisa menentukan makna subyektif pada setiap obyek yang
ditemui, ketimbang mereka menerima apa adanya makna yang dianggap
obyektif, dalam pendekatan positivistik. Struktur sosial sebagai hasil produksi
interaksi bersama, demikian pula dengan kelompok-kelompok sosial yang lain.
Suatu tindakan bersama, pada saatnya akan membentuk struktur sosial atau
kelompok-kelompok masyarakat lain, dibentuk oleh suatu interaksi yang cukup
khas yakni Interaksi simbolis. Dengan demikian interaksinisme simbolik
mengedepankan interaksi yang menggunakan bahasa, isyarat dan simbol lain.
Melalui simbol itu manusia mampu mendefinisikan, meredifinisikan,
menginterpretasikan, menganalisis, dan memperlakukan sesuai apa yang
dikehendaki.
Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang
maknanya disepakati bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang
verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antar
manusia dan objek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan
obyek tersebut. Mulyana (2002;84) juga membedakan tentang lambang, tanda,
ikon dan indeks. Menurutnya ‘lambang’ adalah salah satu kategori tanda.
Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan
indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah
suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang
direpresentasikan. Mulyana memberi contoh ‘patung Soeharto’ adalah ikon
Soeharto, dan foto anda pada KTP adalah ikon anda. Sementara itu indeks adalah
suatu tanda yang secara alamiah merepresentasikan obyek lain.
Istilah lain untuk indeks adalah sinyal yang juga disebut gejala. Indeks muncul
berdasarkan hubungan antara sebab dan akibat yang punya kedekatan eksistensi.
Bahkan George Ritzer, dalam Mulyana (2002:73) menjelaskan inti dari interaksi
simbolik sebagai berikut:
Adalah Alfred Schutz, tokoh yang berjasa meletakkan kerangka dasar Teori
konstruksi sosial. Bahan-bahan kuliah yang beliau sampaikan terhadap Peter
Berger dan Thomas Luckmann dapat dikembangkan oleh kedua muridnya itu
menjadi model teoritis lain mengenai bagaimana dunia sosial terbentuk, atau
yang lazim dikenal dengan teori konstruksi realitas secara sosial.
Realitas sosial menurut Berger adalah eksis dan struktur dunia sosial bergantung
pada manusia yang menjadi subyeknya. Dalam hal ini terjadi penggabungan dua
perspektif yang berbeda yaitu perspektif fungsionalis dan interaksionis simbolik.
Asumsinya bahwa realitas sosial secara obyektif memang ada (perspektif
fungsionalis), namun maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif individu
dengan dunia obyektif (perspektif interaksionis simbolik), dalam (Polama,
2000:299). Inti konstruksi realitas menurut Berger dan Luckmann (dalam Polama,
2000:308) bahwa ‘individu merupakan produk sekaligus sebagai pencipta pranata
sosial’. Masyarakat diciptakan dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan
dan interaksi manusia.
Dalam berinteraksi manusia senantiasa menggunakan dan menciptakan simbol,
yang oleh Duncan (dalam Johnson, 1986:67) dikatakan bukan hanya sebagai alat
dari kenyataan sosial, namun simbol juga merupakan inti dari kenyataan sosial.
Dengan demikian realitas sosial bukan realitas alami yang muncul dengan
sendirinya, namun merupakan realitas yang telah dikonstruksi oleh sang aktor,
berdasarkan motif dan interpretasinya terhadap makna-makna dan simbol yang
telah diberikan oleh mitra komunikasinya saat melakukan interaksi.
3. Teori Sosiolinguistik
Beberapa figur penting dapat disebut seperti Noam Chomsky, Herbert Schiller,
Ben Bagdikian, C. Wright Mills, dan sebagainya yang pemikiran mereka
menyoroti tentang media sementara Stanley Deetz diantaranya pada
komunikasi adapun Varian dari Tradisi ini adalah : marxisme merupakan peletak
dasar dari tradisi kritis ini.
1. Marx mengajarkan bahwa ekonomi merupakan dasar dari segala struktur
sosial. Kemudian Kritik Politik ekonomi pandangan ini merupakan revisi
terhadap Marxisme yang dinilai terlalu menyederhanakan realitas kedalam
dua kubu yaitu kalangan penguasa dan kalangan tertindas berdasarkan
kepentingan ekonomi.
2. Aliran Frankfurt, aliran ini memperkenalkan bahwa aliran kritis.
dalam rangka mempromosikan suatu filosofi sosial teori kritis
mampu menawarkan suatu interkoneksi dan pengujian yang
menyeluruh perubahan bentuk dari masyarakat, kultur ekonomi,
dan kesadaran.
3. Posmodernisme. Ditandai dengan sifat relativitas, tidak ada
standarisasi nilai, menolak pengetahuan yang sudah jadi dan
dianggap sebagai sesuatu yang sakral.
4. Cultural studies memusatkan pada perubahan sosial dari tempat
yang menguntungkan dari kultur itu sendiri.
5. Post strukturalis yakni pandangan yang memandang realitas
merupakan sesuatu yang komplek dan selalu dalam proses sedang
menjadi.
6. Post Colonial mengacu pada semua kultur yang dipengaruhi oleh
proses imperial dari masa penjajahan sampai saat ini.
Menurut Brian Fay, (1975) “ada tiga keistimewaan pokok dari tradisi
kritik yaitu:
1. Mencoba memahami sistim yang sudah dianggap benar, struktur
kekuatan, dan keyakinan atau idiologi yang mendominasi
masyarakat, dengan pandangan tertentu, dimana minat-minat
disajikan oleh struktur-struktur kekuatan tersebut.
2. Para ahli teori kritik tertarik dengan membuka kondisi sosial yang
menindas dan rangkaian kekuatan untuk mempromosikan
emansipasi atau masyarakat yang lebih bebas dan berkecukupan.
3. Menciptakan kesadaran untuk menggabungkan teori dan tindakan.
Pesan yang dikemas untuk memperkuat penekanan pada
masyarakat adalah upaya para ahli kritik, selain mereka tertarik pada
tindakan sosial, termasuk juga pada wacana dan teks-teks yang
mempromosikan idiologi-idiologi tertentu, membentuk dan
mempertahankan kekuatan, meruntuhkan minat kelompok atau
kelas tertentu. (Littlejohn dan Foss;2009).
Della Pollock dan J. Robert Cox (1991) membagi teori kritik menjadi empat
cabang yaitu :
1. Markxisme; tokohnya adalah Karl Marx, seorang sosiolog dari Jerman.
Arah pemikiran Marx adalah ”alat produksi ekonomi di Mayarakat,
menentukan sifat dan bentuk masyarakat bersangkutan, dengan
demikian ekonomi menjadi dasar dari semua struktur sosial”. Grahan
C. Kinlock menambahkan, arah pemikiran Marx; menganalisis
hubungan antara kondisi kehidupan (sub-ekonomi masyarakat) dan
gagasan-gagasan (superstruktur normatif masyarakat) pada dasar-
dasar kontinuitas perubahan melalui perkembangan sejarah
masyarakat.
2. Frankfurt school; kelompok ahli filsafat Jerman yang dimotori oleh
Rheodor Adorno dan Max Horkhoimer, bekerjasama dengan Institute
for Social Recearch di Franfrut pada tahun 1923. Ada enam tema yang
menjadi paradigma kritik dari mazhab Frankfurt ini yaitu, bentuk
integrasi sosial masyarakat, sosialisasi dan perkembangan ego, media
massa dan kebudayaan massa, psikologi sosial protes, teori seni, dan
kritik atas positivism. (lihat Hardiman, 2009; 12-024).
3. Postmodernisme; M. Griffin dalam A First look at Communication
Theory; ada enam pernyataan munculnya pemikiran posmodernisme,
yaitu Pertama; menolak jargon modernisme, (seperti memuja
rasionalisme dan ilmu pengetahuan, imprialisme kebangsaan, dan
pemikiran masyarakat dunia terus maju), Kedua; pemikiran Marshall
McLuhan tentang sejarah teknologi media sebagai salah satu alat yang
diciptakan manusia (media massa) yang mampu membentuk
kehidupan manusia, Ketiga; kalangan posmo berkeyakinan bahwa
gambaran yang ditampilkan media masa bersifat Hyperreality artinya
lebih nyata dari yang seharusnya, Keempat; meragukan setiap klaim
yang dibuat berbagai sistim pemikiran seperti sistim kepercayaan,
idiologi bahkan agama, yang menyatakan dirinya paling benar untuk
semua orang, Kelima; kemungkinan membentuk identitas baru pada
masyarakat urban didorong oleh kehadiran media massa yang
menyajikan aneka model gaya hidup, Keenam; suatu masyarakat
konsumen berdasarkan kapitalisme multinasional.
4. Feminisme; tradisi kritik juga melakukan kritik terhadap gerakan
feminis dengan cenderung memberikan pengertian yang luas terhadap
istilah feminism.
TRADISI RETORIKA
(Komunikasi sebagai seni berbicara didepan umum)
Tradisi retorika memberi perhatian pada aspek proses pembuatan pesan atau
simbol. Prinsip utama disini adalah bagaimana menggunakan simbol yang tepat
dalam menyampaikan maksud. yang berkaitan dengan proses pembuatan pesan
(message production).
Tradisi retorika dapat menjelaskan baik dalam kontek komunikasi antar personal
maupun komunikasi massa. Sepanjang memberi perhatian terhadap bagaimana
proses-proses merancang isi pesan yang memadai sehingga proses komunikasi
dapat berlangsung secara efektif.
Faktor-faktor nilai, ideologi, budaya, dan sebagainya yang hidup dalam suatu
organisasi media atau dalam diri individu merupakan faktor yang menentukan
dalam proses pembuatan pesan. Bahwa pesan dihasilkan melalui proses yang
melibatkan nilai-nilai, kepentingan, pandangan hidup tertentu dari manusia
yang menghasilkan pesan.
Tradisi retorika memberi perhatian pada aspek proses pembuatan pesan atau
simbol. Prinsip utama disini adalah bagaimana menggunakan simbol yang tepat
dalam menyampaikan maksud. yang berkaitan dengan proses pembuatan pesan
(message production).
Tradisi retorika dapat menjelaskan baik dalam kontek komunikasi antar personal
maupun komunikasi massa. Sepanjang memberi perhatian terhadap bagaimana
proses-proses merancang isi pesan yang memadai sehingga proses komunikasi
dapat berlangsung secara efektif. Faktor-faktor nilai, ideologi, budaya, dan
sebagainya yang hidup dalam suatu organisasi media atau dalam diri individu
merupakan faktor yang menentukan dalam proses pembuatan pesan.
Tradisi retorika dapat menjelaskan baik dalam kontek komunikasi antar personal
maupun komunikasi massa. Sepanjang memberi perhatian terhadap bagaimana
proses-proses merancang isi pesan yang memadai sehingga proses komunikasi
dapat berlangsung secara efektif. Faktor-faktor nilai, ideologi, budaya, dan
sebagainya yang hidup dalam suatu organisasi media atau dalam diri individu
merupakan faktor yang menentukan dalam proses pembuatan pesan.
Bahwa pesan dihasilkan melalui proses yang melibatkan nilai-nilai, kepentingan,
pandangan hidup tertentu dari manusia yang menghasilkan pesan.
Adapun varian dari tradisi ini dapat dibagi menjadi beberapa era yaitu Era
Klasik, Abad Pertengahan, Renaissance, Pencerahan, Kontemporer dan
Postmodernisme: era klasik di mana terjadi pertarungan antara dua aliran yaitu
sophis dan filosof yang mana aliran sophis beranggapan bagaimana kita dapat
berargumen untuk memenangkan suatu perkara melalui retorika tidak peduli
apakah itu benar atau tidak dan berlawanan dengan aliran filosif yang
menganggap bahwa retorika hanya digunakan untuk berdialog untuk
mendapatkan kebenaran yang absolut.
Era Abad pertengahan Abad Pertengahan studi tentang retorika berfokus pada
pengaturan gaya, namun retorika pada abad pertengahan dicela sebab dianggap
sebagai ilmu kaum penyembah berhala dan tidak perlu dipelajari sebab agama
Kristen dapat memperlihatkan kebenarannya dengan sendiri.
Postmodernisme Aliran ini merupakan alternatif yang dimulai dari asumsi yang
berbeda, nilai nilai acuan yang berbeda, untuk menghasilkan suatu retorika
yang berbeda pula.