Anda di halaman 1dari 4

REVIEW TUJUH TRADISI KOMUNIKASI

ROBERT T. CRAIG

Gagasan Robert T. Craig mengenai tujuh tradisi pemikiran komunikasi pada saat ini
banyak digunakan untuk menelaah teori-teori komunikasi. Craig sendiri berpandangan bahwa
tidak ada satu pun teori komunikasi yang benar, akan tetapi banyak teori-teori yang bermanfaat
untuk memikirkan masalah-masalah tertentu. Model yang digagasnya ini menyederhanakan
gambaran besar dengan memperlihatkan bahwa kebanyakan teori komunikasi datang dari
sejumlah kecil tradisi yang merepresentasikan perbedaan mendasar dari pendekatan-pendekatan
praktis. Tradisi tersebut membantu kita melihat teori secara bersamaan, serta memahami
persamaan dan perbedaan mendasar mereka. Adapun ketujuh tradisi tersebut mencakup ; tradisi
semiotika, tradisi fenomenologis, tradisi sibernetika, tradisi sosiopsikologis, tradisi sosiokultural,
tradisi kritik dan tradisi retorika.
a. Tradisi Semiotika
Tradisi semiotika ini terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda
merepresentasikan benda, ide, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu
sendiri. Konsep dasar yang menyatukan tradisi ini adalah tanda yang didefinisikan
sebagai stimulus yang menandakan atau menunjukkan beberapa kondisi lain, seperti
ketika asap menandakan adanya api. Konsep dasar kedua adalah simbol yang
biasanya menandakan tanda yang kompleks dengan banyak arti, termasuk arti yang
khusus.
Adapun dalam tradisi ini ada tiga wilayah kajian, yakni semantik, sintaktik dan
pragmatik. Semantik berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan
yang ditunjuknya atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda. Sintaktik adalah kajian
hubungan di antara tanda-tanda. Sedangkan pragmatik memperlihatkan bagaimana
tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis
serta berbagai akibat dan pengaruh tanda pada kehidupan sosial.
b. Tradisi Fenomenologis
Tradisi ini berangkat dari istilah phenomenon, yakni kemunculan sebuah benda,
kejadian, atau kondisi yang dilihat. Dapat diartikan pula sebagai cara yang digunakan
manusia untuk memahami dunia melalui pengalaman langsung. Fenomenologi
membuat pengalaman nyata sebagai data pokok sebuah realitas. Semua yang dapat
kita ketahui, adalah apa yang kita alami. Hal yang penting dalam pemikiran
fenomenologis ini adalah proses interpretasi, karena fenomenologis ini mengacu pada
pengalaman seseorang. Pengalaman menunjang proses pemaknaan seseorang.
Berbeda dengan tradisi semiotik yang menganggap interpretasi terpisah dari realitas,
fenomenologi ini menjadikan interpretasi membentuk apa yang nyata bagi seseorang.
Sehingga realitas di sini tidak dapat dipisahkan dngan interpretasi.
Ada tiga kajian pemikiran mengenai tradisi fenomenologis ini. Yakni
fenomenologi klasik, fenomenologi persepsi, dan fenomenologi hermeneutic.
xxxx
c. Tradisi Sibernetika
Merupakan tradisi sistem-sistem kompleks yang di dalamnya banyak orang saling
berinteraksi, memengaruhi satu sama lainnya. Teori dalam tradisi sibernetika
menjelaskan bagaimana proses fisik, biologis, social, dan perilaku bekerja. Dalam
tradisi sibernetika, komunikasi dipahami sebagai sistem bagian-bagian atau variabel-
variabel yang saling memengaruhi satu sama lainnya, membentuk serta mengontrol
karakter keseluruhan sistem dan layaknya organism yang menerima keseimbangan
dan perubahan.
Ide sistemlah yang membentuk inti pemikiran sibernetika. Layaknya keluarga,
semua sistem adalah unik, yang seluruhnya diberi ciri oleh sebuah bentuk hubungan.
Sistem ini juga berlangsung dengan adanya input dari lingkungan, memprosesnya,
dan menciptakan timbal balik berupa hasil kepada lingkungan. Input dan output
tersebut bisa berupa materi nyata, atau berupa energi dan informasi.
d. Tradisi Sosiopsikologis
Tradisi ini menitikberatkan pada kajian individu sebagai makhluk sosial. Karya
karya komunikasi terbaru dalam tradisi ini memperhatikan persuasi dan perubahan
sikap, pemrosesan pesan, bagaimana individu merencanakan strategi pesan,
bagaimana penerima pesan memproses infomrasi pesan, dan efek pesan pada
individu. Adapun tradisi ini dibagi dalam tiga cabang besar; (1) Perilaku, (2)
Kognitif, (3) Biologis.
Dari sudut pandang perilaku, teori berkonsentrasi pada bagaimana manusia
berperilaku dalam situasi komunikasi. Sedangkan pendekatan kognitif, berpusat pada
bentuk pemikiran, yakni berkonsentrasi pada bagaimana individu memperoleh,
menyimpan, dan memproses informasi dengan cara yang mengarahkan output
perilaku. Apa yang dilakukan dalam situasi komunikasi di sini tidak hanya
bergantung pada bentuk stimulus respons, melainkan pada operasi mental yang
digunakan untuk mengelola informasi. Sementara dalam sudut pandang biologis, para
ahli percaya bahwa banyak dari sifat, cara berpikir, dan perilaku individu diikat
secara biologis yang terpengaruh faktor neurobiologis sejak lahir.
e. Tradisi Sosiokultural
Pendekatan sosiokultural terhadap teori komunikasi menunjukkan cara
pemahaman kita terhadap makna norma, peran, dan peraturan yang dijalankan secara
interaktif dalam komunikasi. Tradisi ini memfokuskan diri pada bentuk-bentuk
interaksi antar manusia daripada karakteristik individu atau model mental. Interaksi
merupakan proses dan tempat makna, peran peraturan, serta nilai budaya yang
dijalankan. Tradisi ini kurang tertarik pada komunikasi tingkat individu, dan justru
ingin memahami cara-cara yang di dalamnya manusia bersama-sama menciptakan
realitas kelompok sosial mereka, organisasi, dan budaya.
Pendekatan ini beranggapan bahwa pengetahuan dapat diinterpretasi dan
dibentuk. Bagaimana makna diciptakan dalam interaksi social dalam situasi nyata,
dan bagaimana identitas dibangun melalui interaksi dalam kelompok social dan
budaya. Identitas menjadi dorongan bagi diri kita sebagai individu dalam peranan
sosial, sebagai anggota komunitas, dan sebagai makluk berbudaya.
Ahli sosiokultural memfokuskan diri pada bagaimana identitas dinegosiasikan
dari satu situasi ke situasi lainnya. Budaya juga dilihat sebagai bagian penting atas
apa yang dibuat dalam interaksi sosial. Budaya membentuk konteks bagi tindakan dan
interpretasi. Dan komunikasi merupakan sesuatu yang terjadi di antara manusia,
sehingga komunikasi dianggap sangat penting dalam banyak teori tersbut. Karya
sosiokultural ini juga umumnya holistik, karena pentingnya unsur budaya dan
konteks, meskipun tidak selalu demikian.
Ada beberapa sudut pandang yang berpengaruh dalam tradisi ini; paham interaksi
simbolis, konstruksionisme, sosiolinguistik, filosofi bahasa, etnografi, dan
etnometodologi.
f. Tradisi Kritik
Tradisi ini berlawanan dengan banyak asumsi dasar dari tradisi lainnya. Teori-
teori kritik menyangkut bagaimana kekuatan, tekanan, dan keistimewaan sebagai
hasil dari bentuk-bentuk komunikasi tertentu dalam masyarakat, membuat tradisi
kritik penting dalam kajian komunikasi saat ini. Ada tiga keistimewaan pokok dari
tradisi kritik. Pertama, mencoba memahami sistem atau keyakinan yang mendominasi
di masyarakat dengan pandangan tertentu, dimana minat-minat disajikan oleh
struktur-struktur kekuatan tersebut. Kedua, para ahli teori ini tertarik membuka
kondisi-kondisi sosial yang menindas dan rangkaian kekuatan untuk mempromosikan
emansipasi atau masyarakat yang lebih bebas dan berkecukupan. Ketiga, menciptakan
kesadaran untuk menggabungkan teori dan tindakan. Jika seseorang melakukan
penelitian dengan tradisi ini, maka posisinya berada di sudut pandang kaum yang
tertindas atau proletar.
Ada beberapa ragam tradisi kritik. Xxxx
g. Tradisi Retorika
Di awal abad 5 sebelum masehi, secara umum kajian retorika didefinisikan
sebagai simbol yang digunakan manusia. Awalnya ilmu ini berhubungan dengan
persuasi, termasuk retorika dalam seni penyusunan argumen dan pembuatan naskah
pidato. Kemudian ilmu ini berkembang sampai meliputi adjusting ideas to people
and people to ideas dalam segala jenis pesan. Fokusnya telah diperluas bahkan
lebih, mencakup segala cara manusia menggunakan simbol untuk memengaruhi
lingkungan di sekitarnya. Pusat dari tradisi retorika ini adalah lima poin penemuan,
penyusunan, gaya, penyampaian, dan daya ingat.
Dalam periode yang berbeda, retorika mempunyai makna yang berbeda sehingga
menyebabkan kekacauan dalam pemaknaan kata. Adapun beberapa periode yang
memperlihatkan kemungkinan tradisi retorika ; klasik, pertengahan, renaissance,
pencerahan, kontemporer, dan post modern.
Retorika jaman klasik, yakni dari abad ke-5 sampai ke-1 sebelum masehi,
didominasi oleh usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menyusun peraturan dari seni
retorika. Sedangkan zaman pertengahan (400-1400 masehi), memandang kajian
retoirika berfokus pada permasalahan penyusunan dan gaya. Dalam buku On
Christian Doctrine kayra Augustine, seorang pengajar retorika pada zaman itu,
berpendapat bahwa penceramah harus dapat mengajar, menyenangkan, dan bertindak.
Pada zaman ini pula perihal penulisan surat mulai dianggap penting karena banyak
keputusan yang dibuat secara pribadi dalam dekrit dan surat.
Renaissance (1300-1600 masehi), memandang kelahiran kembali dari retorika
sebagai filosofi seni. Para penganut humanism di zaman ini dapat menemukan
kembali hal-hal yang berkaitan dengan teks retorika klasik sebagai usaha untuk
mengenal dunia manusia. Di zaman pencerahan (1600-1800 masehi), para pemikir
seperti Rene Descartes mencoba untuk menentukan apa yang dapat diketahui secara
absolut dan objektif. Francis Bacon berpendapat bahwa kewajiban retorika adalah
lebih baik mengaplikasikan alasan dengan imajinasi supaya sesuai dengan
keinginan.
Abad ke 20 dan retorika kontemporer yang mengiringinya, menunjukan sebuah
kenaikan pertumbuhan dalam retorika ketika jumlah, jenis, dan pengaruh simbol-
simbol meningkat. Retorika bergeser fokusnya dari pidato ke semua jenis penggunaan
simbol. Sejak masa perang dunia hingga kini, banyak hal yang diteliti melalui sudut
pandang retorika. Sehingga dapat disimpulkan tidak ada bentuk penggunaan simbol
yang tidak dapat diteliti oleh para akademisi retorika.

Konteks konteks komunikasi dari pelaku komunikasi hingga masyarakat saling


mempengaruhi satu sama lain. Tradisi tidaklah terpisah satu sama lain, melainkan saling
memengaruhi satu sama lain secara signifikan. Setiap tradisi memliki karakter khusus dan dalam
beberapa kasus, tradisi tersebut bisa saling menolak satu sama lain. Sedangkan Griffin setuju
dengan konsep ini tetapi mengklasifikasikan tradisi ini secara objektif dan interpretif. xxxx

Anda mungkin juga menyukai