PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam berinteraksi manusia memegang suatu nilai dan norma yang mengatur tingkah
lakunya dalam berinteraksi dengan orang lain yang di sebut dengan etika komunikasi. Etika
komunikasi adalah suatu adat/kebiasaan dalam berkomunikasi dengan orang lain sehingga
orang yang di ajak berkomunikasi tida merasa tersinggung. Etika sering disebut sebagai
filsafat moral, filsafat adalah seperangkat keyakinan dan sikap, nilai-nilai dan norma.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Apa pengertian etika ?
b. Apa pengertian filsafat komunikasi ?
c. Apa pengertian stereotip ?
d. Mengapa stereotip muncul ?
e. Apa peran stereotip dalam komunikasi ?
f. Apa contoh stereotip ?
g. Bagaimana cara melawan stereotip ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1
a. Untuk mengetahui pengertian etika
b. Untuk mengetahui pengertian filsafat komunikasi
c. Untuk mengetahui pengertian stereotip
d. Untuk mengetahui sebab stereotip muncul
e. Untuk mengetahui peran stereotip dalam komunikasi
f. Untuk mengetahui contoh stereotip
g. Untuk mengetahui cara melawan stereotip
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertin Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ethos yang memiliki arti adat,
kebiasaan dan akhlak. Dalam pengertian dasar etika merupakan nilai-nilai dan norma yang
menjadi pegangan seseorang atau kelompok tertentu yang mengatur tingkah lakunya dalam
berinteraksi dengan orang lain dan mempelajari tentang baik atau buruknya tingkah laku
seseorang. Satu hal yang harus diketahui bahwa etika adalah telaah tentang apa yang pantas
kita lakukan. Etika harus diterapkan dalam aktivitas dan kebiasaan kita sehari-hari dan etika
ini lahir dari dalam pribadi masing-masing individu walaupun hal ini berkaitan dengan relasi
sosial antara kita dengan peraturan dan kebiasaan orang lain.
Etika komunikasi adalah adat, kebiasaan dan akhlak dalam berkomunikasi kepada
orang lain sehingga orang yang diajak berkomunikasi tidak merasa tersinggung atau merasa
tidak nyaman.
Sebagai cabang filsafat, Etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam
melihat dan menggumuli nilai dan norma moral tersebut serta permasalahan-permasalahan
yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan norma-norma itu. Etika berusaha menggugah
kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan heteronom . Etika bermaksud
membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung jawabkan karena
setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia
untuk mempertanggungjawabkan tindakannya itu karena memang ada alasan-alasan dan
pertimbangan-pertimbangan yang kuat mengapa ia bertindak begitu atau begini.
Secara etimologis atau ilmu bahasa, filsafat bersal dari kata Yunani: philosophia,
sebagai rangkaian kata philos atau philein yang berarti cinta, mencintai, atau pecinta, serta
kata sophia yang berarti kebijaksanaan atau hikmat.1 Sedangkan istilah komunikasi dalam
bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata
communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna.2
1
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Prenamedia Group, 2015), hlm. 3
2
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2013), hlm. 9
3
Menurut Prof. Onong Uchjana Effendy, filsafat komunikasi adalah suatu disiplin yang
menelaah pemahaman (verstehen) secara lebih mendalam, fundamental, metodologis,
sistematis, analitis, kritis dan komprehensif teori dan proses komunikasi yang meliputi segala
dimensi menurut bidang, sifat, tatanan, tujuan, fungsi, teknik, dan metode-metodenya.
Tujuan komunikasi bisa terdiri dari soal mengubah sikap, opini, perilaku, masyarakat,
dan lainnya. Sementara itu, fungsi komunikasi adalah menginformasikan, mendidik,
mempengaruhi. Teknik komunikasi terdiri dari komunikasi informatif, persuasif, pervasif,
koersif, instruktif, dan hubungan manusiawi. Metode komunikasi, meliputi jurnalistik,
hubungan masyarakat, periklanan, propaganda, perang urat saraf, dan perpustakaan.3
C. Pengertian Stereotip
Orang Jawa digambarkan sebagai orang yang halus, menerima apa adanya dan
pemaaf, hingga ketika kaki orang Jawa diinjak pun mereka akan bilang “maaf, kaki Anda
berdiri diatas kaki saya”. Sedangkan orang Batak digambarkan sebagai pekerja keras,
temperamen, dan lugas mengatakan sesuatu sejelas mungkin. Orang Sumbawa seringkali
diidentikkan dengan pola hidup konsumtif, sehingga ketika akan berkunjung ke suatu tempat,
maka tempat yang pertama kali ia rencanakan untuk di kunjungi adalah pusat perbelanjaan,
mall, dan lain sebagainya.
Sekilas, anekdot diatas memberikan gambaran bahwa manusia dalam menilai orang
lain, terutama yang bukan bagian atau diluar komunitasnya, disadari atau tidak seringkali
terjebak dalam stereotip dan overgeneralisasi budaya.
Dalam lingkup komunikasi global, kita sering menghakimi bahwa orang Barat, bule,
baik dari Eropa maupun Amerika, sebagai manusia yang kurang sopan hanya karena,
misalnya ada perbedaan nilai kesopanan dalam penggunaan tangan kiri dan kanan. Karena
dalam budaya Indonesia, hanya tangan kanan yang boleh digunakan dalam memberikan atau
menunjuk sesuatu. Tangan kiri boleh saja digunakan asal diikuti oleh ungkapan penanda
kesopanan, seperti tabik atau maaf. Dengan kata lain, penilaian yang kita berikan terhadap
suku dan budaya orang lain hanya berlandaskan budaya atau perilaku kita sendiri. Sehingga
menyebabkan kita terjebak dalam stereotip, overgenerelisasi, dan prasangka budaya. Yang
sering kali menghambat proses komunikasi dan bisa saja membawa konsekuensi yang lebih
parah yaitu ketersinggungan.
3
Muhammad Mufid, Etika dan.... hlm. 83-84
4
Dengan demikian, defenisi stereotip adalah sebuah pandangan atau cara pandang
terhadap suatu kelompok sosial dimana cara pandang tersebut lalu digunakan pada setiap
anggota kelompok tersebut. Kita memperoleh informasi biasanya dari pihak kedua atau
media, sehingga kita cenderung untuk menyesuaikan informasi tesebut agar sesuai dengan
pemikiran kita. Ini sudah merupakan pembentukan stereotip. Stereotip bisa berkaitan dengan
hal positif dan negatif,stereotip bisa benar bisa salah, stereotip bisa berkaitan dengan individu
atau subkelompok.
Stereotip juga digunakan oleh manusia sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri
(self-defense mechanism) untul menyembunyikan keterbatasan kita atau untuk membenarkan
perasaan kita yang rapuh tentang superioritas. Stereotip dapat membawa ketidakadilan sosial
bagi mereka yang menjadi korban, dan jika ini terjadi, maka akan memunculkan pertanyaan
mengenai etnisitas. Stereotip kadangkala bahkan melebihi pertanyaan seputar keadilan sosial.
Hal ini terkait dengan tendensi yang mengaitkan antara stereotip dengan persoalan yang
bersifat visibel seperti prejudice tentang kelamin, ras, dan etnis.
Menurut Alvin Day, karena sifat manusia yang selalu mencari kesamaan mendasar
atas segala sesuatu tersebut menyebabkan stereotip, dalam kacamata komunikasi, bukanlah
hal yang mengejutkan jika stereotip beranak pinak dalam content hiburan dan informasi
massal.
Namun Day mengatakan bahwa bagaimanapun kita tidak boleh membiarkan stereotip
yang tak terhindarkan tersebut kemudian menghalangi kita untuk melawan dan menolak
5
tindakan yang merusak sendi sosial, sekaligus kebiasaan yang memiliki konsekuensi yang
tidak adil tersebut.4
F. Contoh Stereotip
Adapun contoh dari stereotip adalah sebagai berikut :
1. Stereotip Wanita
Salah satu jenis stereotip bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali
ketidak adilan terhadap jenis kelamin yang bersumber dari pendangan (streotype)
4
Ibid., hlm. 258-263
5
Ibid., hlm. 267-269
6
yang dilekatkan pada mereka. Ada berbagai cara untuk memandang perkembangan
gender. Beberapa menekankan faktor biologis dalam perilaku laki-laki dan perempuan
yang lain menekankan faktor sosial atau kognitif. Menurut LeDoux dalam Santrock,
pendekatan biologis menjelaskan perbedaan dalam otak perempuan dan laki-laki. Satu
pendekatan berfokus pada perbedaan antara perempuan dan laki-laki di dalam corpus
collosum, sekumpulan sel saraf yang menggabungkan dua belahan otak. Corpus
collosum pada perempuan lebih besar daripada pada laki-laki dan ini menjelaskan
mengapa perempuan lebih sadar dibandingkan dengan laki-laki tentang emosi mereka
sendiri dan emosi orang lain. Ini terjadi karena otak kanan mampu meneruskan lebih
banyak informasi tentang emosi ke otak kiri. Bagian otak yang terlibat dalam
pengungkapan emosional menunjukkan lebih banyak aktivitas metabolis pada
perempuan dibandingkan pada laki-laki. Selain itu, bagian lobus parietal (salah satu
cuping otak di bagian ujung kepala) yang berfungsi dalam keterampilan visual dan
ruang pada laki-laki, lebih besar daripada perempuan.6
Stereotip sering kali negatif dan bisa dikemas dalam prasangka dan
diskriminasi. Seksisme (sexism) adalah prasangka dan diskriminasi terhadap satu
individu karena jenis kelamin seseorang. Seseorang yang mengatakan bahwa wanita
tidak bisa menjadi insinyur yang kompeten, sedang mengungkapkan seksisme. Begitu
pula seseorang yang mengatakan bahwa pria tidak bisa menjadi guru anak-anak yang
kompeten. Kontroversi Gender Bagian sebelumnya mengungkapkan beberapa
perbedaan substansial dalam kemampuan fisik, keterampilan membaca dan menulis,
agresi, dan pengaturan diri, hanya ada sedikit perbedaan dalam kemampuan
matematika, dan ilmu pengetahuan. Psikolog evolusioner David Buss berpendapat
bahwa perbedaan gender itu luas dan disebabkan oleh masalahmasalah adaptif yang
dihadapi sepanjang sejarah evolusioner. Dalam tinjauan terkini, Hyde menemukan
hasil dari 44 meta-analisis perbedaan dan persamaan gender. Sebagian besar bidang,
termasuk kemampuan matematika, komunikasi, dan agresi, ditemukan sedikit
perbedaan gender. Perbedaan terbesar muncul pada keterampilan motorik dan agresi
fisik (pria lebih agresif secara fisik daripada wanita).7
6
Fatimah Saguni, Pemberian Stereotype Gender, Jurnal MUSAWA, Vol. 6 No. 2 Desember 2014 :
195-224, hlm. 198
7
Ibid., hlm. 204-205
7
Ada beragam bentuk stereotip terhadap perempuan, seperti perempuan itu
lemah, sensitif, tidak dapat mengambil keputusan, dependen, inferior, subordinat,
bukan pemimpin, suka menangis, mudah bawa perasaan, cengeng, bergantung,
irasional, lambat, dan lain sebagainya. Bahkan di daerah jawa misalnya, perempuan
diidentikkan dengan manak (mengurus anak), macak (berhias) dan masak
(mempersiapkan urusan dapur), atau dengan sumur (pekerjaan mencuci), kasur
(melayani suami), dan dapur (memasak). Hal ini merupakan bentuk stereotip gender
terhadap perempuan yang akhirnya mengarah kepada ketidakadilan gender.
Stereotip akhirnya memunculkan bentuk-bentuk ketidakadilan gender lainnya,
seperti penomorduaan (subordinasi) bahkan kekerasan seksual. Di sisi lain membuat
kesan bahwa perempuan adalah second class atau second sex di bawah laki-laki.
Pelabelan perempuan sebagai second sex bahkan menimbulkan terjadinya perbudakan
wanita, Islam tidak akan maju jika masih ada praktik-praktik perbudakan wanita.11
Hal ini juga yang mengarahkan kepada domestikasi perempuan dalam sistem sosial,
sistem sosial terbagi dua: sektor publik dan sektor domestik, dikarenakan stereotip-
stereotip tersebut perempuan akhirnya diberi kesempatan pada sektor domestik saja.8
Dampak lain dari stereotip ini adalah menyebabkan perempuan tidak memiliki
kesempatan untuk berperan si sektor publik bahkan untuk mendapatkan pendidikan
yang tinggi. Di sisi lain stereotip ini mempengaruhi perempuan secara psikologis,
sehingga mereka malas untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi karena dipengaruhi
oleh stereotip “nanti akhirnya hanya di sumur, dapur dan kasur juga kok”, dan
sebagainya. Oleh karena itu tidak membingungkan jika kebanyakan dari rakyat
Indonesia yang tidak lanjut ke jenjang pendidikan lebih tinggi adalah perempuan.
Betapa luar biasanya dampak dari stereotip, padahal perempuan adalah titik tumpu
kemajuan suatu bangsa, karena merekalah yang akan melahirkan dan mendidik
generasi-generasi bangsa selanjutnya. Bagaimana mereka dapat mempersiapkan
generasi berikutnya, jika mereka hanya berkutat pada sektor domestik dan tidak
mendapatkan pendidikan yang layak.9
2. Stereotip Agama
Menurut Daradjat agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan
terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi daripada manusia.
8
Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), hlm 231- 232.
9
Ibid., hlm. 233
8
Sedangkan Glock dan Stark mendefenisikan agama sebagai sistem simbol, sistem
keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga, yang kesemuanya
terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi
(Ultimate Mean Hipotetiking).10
9
menguat setelah kasus peledakan WTC pada 11 September. Ditambah kasus-kasus
lain, termasuk isu terorisme di Indonesia melalui serangkaian peledakan bom,
stereotip ini seolah tak terhindakan. Padahal, pelaku serangkaian aksi kekerasan
adalah kelompok minoritas yang sama sekali tidak mewakili mainstream umat Islam.
Dengan demikian, stereotip itu tidak bisa digeneralisasi. Stereotip menjadi problem
krusial dalam masyarakat yang majemuk. Kasus-kasus konflik dan ketegangan sosial
sering dilatarbelakangi kuatnya stereotip mengenai kelompok lain.12
Stereotip yang sering terjadi untuk umat muslim yaitu penggambaran orang
Islam sebagai teroris. Hal ini terkait terutama setelah kejadian 11 September 2001.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa sekarang ini sangat mendesak untuk
menghentikan penodaan terhadap dunia muslim melalui penggambaran stereotip yang
tidak adil.13 Di Barat, Islam sering digambarkan sebagai sesuatu yang monolitis dan
sedikit sekali perhatian yang diberikan pada perbedaan yang begitu luas yang terdapat
dalam ajaran dan kebudayaan Islam. Akan tetapi, walaupun upaya berbagai media
untuk memberitakan dan membahas lebih banyak masalah Islam patut dipuji, topik
yang dipresentasikan selalu pilih-pilih dan lebih merupakan tuntutan politis serta
didominasi masalah konflik Arab-Israel yang melakukan ancaman-ancaman ataupun
tindakantindakan teror. Akibatnya, di samping perhatian yang meningkat untuk
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Islam, pesan yang terpotong-potong
ditambah gambar yang ekstremis terus mendominasi pemandangan, tidak terlihat oleh
masyarakat umum Barat tentang perbedaan-perbedaan besar dalam dunia Islam dan
keberagaman interpretasi terhadap ajaran Islam.14
Kesalahpahaman terhadap Islam tidak hanya terdapat dikalangan orang-orang
non-muslim, tetapi juga dikalangan muslim sendiri yang belum memahami Islam
secata menyeluruh. Islam berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia dan
memberikan nilai-nilai esensial bagi seluruh aspek kehidupan itu. Kesalahpahaman
tersebut disebabkan karena pemikiran yang bersifat dichotomis memisahkan antara
agama dan kehidupan. Agama hanya dipandang sebagai salah satu aspek hidup saja,
yaitu kebutuhan manusia terhadap penyembahan pada Yang Maha Kuasa. Sedang
pada aspek-aspek kehidupan lainnya agama tidak bisa diperankan. Pemahaman yang
12
Ibid., hlm. 284
13
Ibid., hlm. 270
14
Ibid., hlm. 285
10
parsial ini melahirkan pandangan yang sempit terhadap Islam dam menumbuhkan
sekularisasi.15
Stereotip Islam Teroris yaitu Islam yang dilabeli sebagai pelaku teroris, atau
Islam dicap teroris. Stigma negatif yang telah menempel pada Islam terjadi karena
maraknya aksi terror dilatarbelakangi oleh pelaku yang berkeyakinan Islam. Hal itu
membuat masyarakat dunia menilai Islam adalah agama keras. Agama yang
mengajarkan nilai-nilai tentang peperangan terhadap masyarakat non-muslim, yaitu
masyarakat Barat, seperti Amerika. Bukan hanya masyarakat dunia, bahkan Indonesia
yang mayoritas penduduknya muslim mengakui hal tersebut secara tersirat. Bahkan
saat adanya aksi pelaku teroris, sudah diduga bahwa pelakunya umat muslim, bukan
agama lain. Hal ini memberikan efek bahwa masyarakat bahkan umat muslim sendiri
tidak percaya dengan Islam yang merupakan penyelamat manusia.16
G. Melawan Stereotip
Stereotip adalah penilaian yang tidak seimbang terhadap suatu kelompok masyarakat.
Penelaian itu terjadi karena kecenderungan untuk menggeneralisasi tanpa diferensiasi. De
Jonge dalam Sindhunata mengatakan bahwa bukan rasio melainkan perasaan dan emosilah
yang menentukan yang menentukan stereotip. Barker mendefiniskan stereotip sebagai
representasi terang- terangan namun sederhana yang mereduksi orang menjadi serangkaian
ciri karakter yang dibesar-besarkan, dan biasanya bersifat negatif. Suatu representasi yang
memaknai orang lain melalui operasi kekuasaan.17 Stereotip merujuk pada representasi
terang-terangan namun sederhana yang mereduksi orang menjadi serangkaian ciri karakter
yang dibesar-besarkan, dan biasanya bersifat negatif. Suatu representasi yang memaknai
orang lain melalui operasi kekuasaan.18
Dalam kenyataan sehari-hari, stereotip ini kemudian berfungsi sebagai pemenuhan
kebutuhan psikologis seseorang untuk menginternalisasi nilai bersama kepada individu, juga
digunakan untuk membangun identitas bersama, dan juga memberi justifikasi tindakan
seseorang terhadap kelompok sosial lain. Dalam kaitan hubungan antar keleompok
stereotype, sangat determinan dalam membangun hubungan antara kelompok sosial. Berbagai
stereotip negatif pada akhirnya menimbulkan prasangka yang berujung pada diskriminasi,
15
Ibid., hlm. 286
16
Ibid., hlm. 288
17
Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek (edisi terj), (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004)
hlm. 415
18
Ibid., hlm. 416
11
bahkan kekerasan terhadap kelompok sosial tertentu. Berbagai prasangka sosial, diskriminasi
dan kekerasan terhadap etnik minoritas di Indonesia menunjukkan itu semua.19
Meskipun stereotipe pada umumnya adalah streotip yang negatif tetapi juga memiliki
suatu fungsi, antara lain : a) Menggambarkan suatu kondisi kelompok. b) Memberikan dan
membentuk citra kepada kelompok. c) Membantu seseorang dari suatu kelompok untuk mulai
bersikap terhadap kelompok lainnya d. Melalui stereotipe ini kita dapat menilai keadaan
suatu kelompok. Dalam konteks Komunikasi Antar Budaya, stereotip juga bervariasi dalam
beberapa dimensi, antara lain :20
21
Ibid., hlm. 46
12
menyadari bahwa setiap individu terlahir dengan keunikan tersendiri sehingga tidak
perlu disamakan dengan individu yang lain apalagi kelompok.Menumbuhkan rasa
saling menghargai terhadap perbedaan pada suatu kelompok. Maka dari itu sudah
saatnya masyarakat lebih objektif dalam menerima sebuah stereotipe yang hadir di
tengah kehidupan bermasyarakat. Di antaranya menanamkan rasa toleransi dalam
merajut sebuah keberagaman yang dimuai sejak dini, hal ini perlu dilakukan
mengingat stereotipe dapat terus-menerus dilestarikan melalui komunikasi yang
beredar di kalangan masyarakat, dan dapat diturunkan ke generasi berikutnya.22
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Etika merupakan nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan seseorang atau
kelompok tertentu yang mengatur tingkah lakunya dalam berinteraksi dengan orang lain dan
22
Ibid., hlm. 47
13
mempelajari tentang baik atau buruknya tingkah laku seseorang. Etika komunikasi adalah
adat, kebiasaan dan akhlak dalam berkomunikasi kepada orang lain sehingga orang yang
diajak berkomunikasi tidak merasa tersinggung atau merasa tidak nyaman.
Filsafat komunikasi adalah ilmu yang mengkaji setiap aspek dari komunikasi dengan
menggunakan pendekatan dan metode filsafat sehingga didapatkan penjelasan yang
mendasar, utuh, dan sistematis seputar komunikasi. Stereotipe adalah penilaian terhadap
seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat
dikategorikan.
Stereotip dalam etika dan filsafat komunikasi berarti penilaian seseorang berdasarkan
persepsi kelompok terhadap orang/kelompok lain yang dilakukan dengan menggunakan etika
komunikasi yang baik dan berakhlak serta mencaritahu lebih dalam segala hal maupun
fenomena tentang orang/kelompok tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris, Cultural Studies: Teori dan Praktek (edisi terj), Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2004
14
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013
Habib, Ahmad, Konflik Antar Etnik di Pedesaan, Pasang Surut Hubungan Cina Jawa,
Yogyakarta: LkiS, 2004
Mufid, Muhammad, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Prenamedia Group, 2015
Nagara, Dhian P., Hanum, Aliyah N, Listyaningrum, Indah,. 2008, Artikel ‖ Prasagka Sosial
dalam Komunikasi antar Etnik di Pontianak” dalam Jurnal Penelitian Universitas
Tanjungpura, Volume XI no 3 Juli 2008
Saguni, Fatimah, Pemberian Stereotype Gender, Jurnal MUSAWA, Vol. 6 No. 2 Desember
2014 : 195-224
15