Anda di halaman 1dari 6

Teori-teori Strukturalisme

Secara historis, perkembangan strukturalisme terjadi dua tahap, yaitu: formalisme dan
strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandung
ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan
strukturalisme.
Prinsip-prinsip Antarhubungan
Antarhubungan merupakan kualitas energetis unsur. Unsur-unsur memiliki fungsi yang
berbeda-beda, dominasinya tergantung pada jenis, konvensi, dan tradisi sastra. Unsur-unsur
pada gilirannya memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi diri,
membentuk dan membina hubungan antarunsur.

Teori Formalisme

Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh
paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut.

1. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19
yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap
studi biografi.

2. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari
paradigma diakronis ke sinkronis.

3. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap


hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.

Secara etimologis formalisme berasal dari kata forma (Latin), yang berarti bentuk atau wujud.
Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi, oleh karena
itulah, cara kerjanya disebut metode formal.

Metode formal tidak merusak teks, juga tidak merdekusi, melainkan merekonstruksi dengan
cara memaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan yang
terorganisasikan. Prinsip dan saran inilah yang mengarahkannya pada konsep sistem dan
akhirnya ke konsep terstruktur. Melalui perkembangannya yang sangat pesat tersebut, konsep
strukturalisme tampil secara berbeda-beda, meliputi berbagai disiplin, seperti: matematika,
logika, biologi, fisika, psikologi, antropologi, linguistik, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya.

Menurut Jean Piaget, ada tiga dasar strukturalisme, yaitu: a) kesatuan, sebagai koherensi
internal, b) transformasi, sebagai pembentuk bahan-bahan baru secara terus-menerus, dan c)
regulasi diri, yaitu mengadakan perubahan dengan kekuatan dari dalam.

Teori Strukturalisme Dinamik

Secara etimologi struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau
bangunan. Asal-muasal strukturalisme, seperti sudah dikemukakan di atas, dapat dilacak
dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam
pembicaraannya mengenai plot. Konsep plot harus memiliki ciri-ciri yang terjadi atas
kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw 1988:n121-134). Menurut Teeuw
(1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi
formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar
dilanjutkan dalam strukturalis.

Tokoh- tokoh penting strukturalisme, diantaranya: Roman Jakobson, Jan Mukarovsky, Felix
Vodicka, Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scholes, dan sebagainya. Jakobson sekaligus
merupakan tokoh formalis, strukturalisme Ceko, strukturalisme di Amerika Serikat, dan
strukturalisme modern pada umumnya.

Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri,
dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan
unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya.
Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan
kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Secara definitif
strukturalisme memberkan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra,
baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang
berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri inheren tersebut, perbedaaan unsur jugaterjadi
sebagai akibat perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra
dikatakan sebagai memiliki ciri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan.

Teori Semiotika

Berbeda dengan formalisme dan strukturalisme, yang mana hubungannya dapat dilihat secara
jelas, baik aspek kesejarahan, tokoh-tokoh, maupun konsep-konsep yang ditawarkannya,
hubungan antara strukturalisme dengan semiotika bersifat kompleks sekaligus ambigu.

Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002: 4) semiotika berasal dari kata
seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa
semiotika beasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Di antara representamen, object, dan
interpretant, yang paling sering diulas adalah object. Menurut Aart van Zoest (1996: 6), di
antara ikon, indeks, dan simbol, yang terpenting adalah ikon sebab, di satu pihak, segala
sesuatu merupakan ikon sebab segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain.

Menurut Art van Zoeezt (1993: 5-7) dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada
umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut.

1. Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan
pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar,
sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssesns, Prieto, dan
Mounin.

2. Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna
konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda tanpa maksud
langsung, sebagai symtom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang
kemasyarakatan, dipelopori oleh Roland Barthes.

3. Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan sosiologi
(Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.
Bidang-bidang Penerapan

Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda
dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Sebagai pengetahuan
praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam
kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektivitas
dan efisiensi energi yang harus dikeluarkan.

Penerapan semiotika dalam ilmu sastra jelas merupakan masalah tersendiri, dengan
pertimbangan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu sistem tanda yang sangat kompleks,
Eco (1979:9-14) menyebutkan beberapa bidang penerapan yang dianggap relevan, di
antaranya:

1) Semiotika hewan, masyarakat nonhuman,

2) Semiotika penciuman,

3) Semiotika komunikasi dengan perasa,

4) Semiotika pencicipan, dalam masakan,

5) Semiotika paralinguistik, suprasegmental,

6) Semiotika medis, termasuk psikiatri,

7) Semiotika kinesik, gerakan,

8) Semiotika musik,

9) Semiotika bahasa formal: morse, aljabar,

10) Semiotika bahasa tertulis: alfabet kuno,

11) Semiotika bahasa alamiah,

12) Semiotika komunikasi visual,

13) Semiotika benda-benda,

14) Semiotika struktur cerita,

15) Semiotika kode-kode budaya,

16) Semiotika estetika dan pesan,

17) Semiotika komunikasi massa,

18) Semiotika retorika,


19) Semiotika teks.

Semiotika budaya sebagaimana dijelaskan oleh Aart van Zoest (1993: 124-131) jelas teralu
luas sebab apabila dikaitkan dengan salah satu definisi kebudayaan maka semua model
semiotika termasuk ke dalam semiotika kebudayaan.

Semiotika psikologi berkaitan dengan psike individu dalam rangka menunjukkan


identitasnya terhadap orang lain. Aart van Zoest (1993: 145-146) menolak pendapat Lacan
yang menyatakan bahwa semiotika psikologi didominasi oleh Bahasa.

Semiotika media massa terutama menganalisis tanda-tanda yang hadir dalam surat khabar,
radia, dan televisi.

Semiotika Sastra, Tanda-tanda sastra tidak terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara
penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat
kaya. Atas dasar luasnya gejala-gejala sastra yang ditimbulkan inilah maka lahir teori yang
secara khusus berkaitan dengannya, seperti: teori ekspresif, pragmatik, resepsi, interteks,
strukturalisme genetik, dan sebagainya. Sastra dalam bentuk karya atau naskah juga
mengandung makna tanda-tanda, sebagai tanda-tanda nonverbal.

Semiotika Sosial

Sebagai metode mikroskopis, strukturalisme dianggap mengingkari peranan subjek, baik


pengarang sebagai subjek individual maupun masyarakat sebagai subjek transindividual.
Oleh karena itu lah, metode dan teori strukturalisme dianggap antihumani. Semiotika sosial,
menurut salah seorang pelopornya, yaitu Halliday (1992 : 3-8), adalah semiotika itu sendiri,
dengan memberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai
makrostruktur.

Teori Strukturalisme Genetik

Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar


murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Baik strukturalisme dinamik maupun
strukturalisme genetik juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas, bahasa
sastra

Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis,
Goldmann sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi struktur
bermakna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih
luas, demikian seterusnya sehingga setiap unsur menopang totalitasnya.

Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian
terhadap asal-usul karya. ecara metodologis, dalam strukturalisme genetik Goldmann
menyarankan untuk menganalisis karya sastra yang besar, bahkan suprakarya. Pada dasarnya
hampir semua teori memberikan indikasi karya besar seperti itu sebab semata-mata dalam
karya besalah terkandung berbagai aspek kehidupan yang problematis.
Secara definitif strukturalisme genetik harus menjalankan struktur dan asal-usul struktur itu
sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek
transindividual, dan pandangan dunia.

Teori strukturalisme Naratologi

Naratologi sengaja diuraikan secara agak luas, dengan menyinggung sejumlah naratolog,
dengan pertimbangan, pertama berbagai aspek yang berkaitan dengan cerita telah mewarnai
penelitian-penelitian, baik dalam bidang sastra maupun kebudayaan pada umumnya.

Secara historis, menurut Marie-Laureryan dan van Alphen (Makaryk, ed. 1990: 110-114),
naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut.

1. Periode prastrukturalis(- hingga tahun 1960-an),

2. Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an), dan

3. Periode pascastrukturalis (1980-an hingga sekarang).

Vladimir lakovlevich Propp

Propp (1895-1970) dianggap sebagai strukturalis pertama yang membicarakan secara serius
struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzet.
Objek penelitian Propp adalah cerita rakyat, seratus dongeng Rusia, yang dilakukan tahun
1928, tetapi baru dibicarakan secara luas tahun 1958

Motif merupakan unsur penting sebab motiflah yang membentuk tema. Sjuzet dengan
demikian hanyalah produk dari serangkaian motif (fokkema, 1997: 27, 62). Motif dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu: pelaku, perbuatan, dan penderita, yang kemudian dikelompokkan
menjadi dua, unsur yang tetap, yaitu perbuatan, dan unsur yang berubah yaitu pelaku dan
penderita. Dalam hubungan ini yang penting adalah unsur yang tetap, perbuatan, yaitu fungsi
itu sendiri.

laude Levi-Strauss

Seperti disebutkandi atas, pendekatan yang hampir sama dengan Vladimir Propp dilakukan
oleh Claude Levi-Strauss, (1977: 59-70); cf. Junus, 1998: 64-65) keduanya tetap berbeda

Tzvetan Todorov

Tzvetan Todorov (Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977: 69-70), yang dipengaruhi oleh Propp,
Levi-Strauss, dan formalisme Rusia, disamping memperjelas perbedaan antara fabula dan
sjuzet, juga mengembangkan konsep historie dan discours,yang sejajar dengan fabula dan
sjuzet. Dalam menganalisis tokoh-tokoh, Todorov menyarankan untuk melakukannya melalui
tiga dimensi, yaitu: kehendak, komunikasi, dan partisipasi. Dalam analisis mesti
mempertimbangkan tiga aspek, yaitu: a) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara
kronologis dan logi, b) aspek semantik, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema,
tokoh, dan latar, dan c) aspek verbal, meneliti sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya
bahasa, dan sebagainya..
Algirdas Julien Greimas

Naratologi Greimas (selden, 1986: 59-60; Culler, 1977: 77-87) merupakan kombinasi antara
model paradigmatis Levi-Strauss dengan model sintagmatis Propp. Dibandingkan dengan
penelitian Propp, objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu dongeng,
tetapi diperluas pada mitos

Shlomith Rimmon-Kenan

Rimmon-Kenan (1983:1-5) juga menjelaskan bahwa wacana naratif meliputi keseluruhan


kehidupan manusia. meskipun demikian ia hanya mencurahkan perhatiannya pada wacana
naratif fiksi. Ia mendefinisikan fiksi naratif sebagai urutan peristiwa fiksional. Berbeda
dengan narasi lain, seperti film, tarian, dan pantomime, narasi fiksi dengan demikian
mesyaratkan : a) proses komunikasi, proses naratif sebagai pesan yang ditransmisikan oleh
pengirim kepada penerima, dan b) struktur verbal medium yang digunakan untuk
mentransmisikan pesan. Atas dasar pemahaman Genette, Rimmon-Kenan membedakannya
menjadi story, text, dan narration.

Anda mungkin juga menyukai