Anda di halaman 1dari 32

B A B .

I V

Teori-teori Strukturalisme

TEORI sastra, khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat.
Perkembangan ini dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia,
yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi
menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu memberikan
kemudahan dalam proses pelaksanaannya. Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan,
mencerminkan kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami
perkembangan. Dalam hubungan inilah diperlakukan genre yang berbeda, dalam hubungan ini pula
diperlukan teori yang berbeda untuk memahaminya.

Hubungan karya sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya,
minat masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin, memberikan pengaruh terhadap
perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme, yang telah berhasil untuk memasuki hampir
seluruh bidang kehidupan manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil
membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara historis, perkembangan
strukturalisme terjadi dua tahap, yaitu: formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian,
dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara
langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itulah, pada bagian berikut
juga akan dibicarakan prinsip-prinsip antarhubungan, strukturalisme semiotik, strukturalisme
genetic, dan strukturalisme naratologi.

4.1 Prinsip-prinsip Antarhubungan

Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur


sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal semata-mata dengan adanya
fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Oleh karena
itulah, dikatakan bahwa struktur lebih dari sekedar unsur-unsur dan totalitasnya, karya sastra lebih
dari sekedar pemahaman bahasa sebagai medium, karya sastra lebih dari sekedar penjumlahan
bentuk dan isinya. Antarhubungan dengan demikian merupakan kualitas energetis unsur. Unsur-
unsur memiliki fungsi yang berbeda-beda, dominasinya tergantung pada jenis, konvensi, dan tradisi
sastra. Unsur-unsur pada gilirannya memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi
diri, membentuk dan membina hubungan antarunsur. Sesuai dengan proposisi Durkheim (Johnson,
1988: 168) mengenai masyarakat, maka dalam karya, totalitas selalu besar dan lebih berarti dari
jumlah unsurnya. Kualitas karya dinilai dalam totalitasnya, bukan akumulasi unsurnya.

Unsur tidak memiliki arti dalam dirinya sendiri, unsur dapat dipahami semata-mata dalam
proses antarhubungannya. Makna total setiap entitas dapat dipahami hanya dalam integritasnya
terhadap totalitasnya. Dunia kehidupan merupakan totalitas fakta social, bukan totalitas benda.
Antarhubungan mengandaikan pergeseran nilai-nilai substansial kearah struktural, nilai dengan
kualitas bagian ke arah kualitas totalitas. Hubungan yang terbentuk tidak semata-mata bersifat
positif, melainkan juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Menurut Craib (1994: 177), variasi
unsur dalam suatu komunitas hubungan bisa sama, tetapi variasi hubungan akan menghasilkan
sesuatu yang sama sekali berbeda.

Sebagai kualitas totalitas, antarhubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala


yang baru, mekanisme yang baru, yang pada gilirannya menampilkan makna-makna yang baru.
Tanpa antarhubungan sesungguhnya unsur tidak berarti, tanpa antarhubungan unsur-unsur hanya
berfungsi sebagai agregasi. Mekanisme antarhubungan di atas dianggap sebagai pergeseran yang
signifikan dan fundamental, yaitu dari struktur yang otonom ke arah relevansi fungsi karya sebagai
sistem komunikasi. Karya dengan demikian tidak dipahami melalui ergon yang terisolasi. Karya tidak
dapat diisolasi, karya mesti dikondisikan sebagai fakta kemanusiaan sehingga memungkinkan untuk
mengoperasikan secara maksimal berbagai saluran komunikasi yang terkandung didalamnya.

Melalui tradisi formalis, khususnya tradisi strukturalisme, ciri-ciri antarhubungan


memperoleh tempat yang memadai. Teori-teori postrukturalisme,baik sebagai negasi maupun
afirmasi terhadap prinsip-prinsip strukturalisme jelas memanfaatkan secara maksimal kualitas
antarhubungan tersebut. Antarhubungan merupakan sistem jaringan yang mengikat sekaligus
memberikan makna terhadap gejala-gejala yang ditangkap. Dalam mekanisme antarhubunganlah
dievokasi pola-pola yang memungkinkan terjadinya kualitas estetis. Suatu cerita menjadi menarik,
misalnya, salah satu cara yang dilakukan pengarang adalah dengan mempercepat, atau sebaliknya
memperlambat terjadinya suatu peristiwa, meningkatkan atau sebaliknya menurunkan frequensi
pemanfaatan kata-kata tertentu, sehingga merangsang keingintahuan pembaca.

Kehidupan praktis sehari-hari jelas didominasi oleh konsep hubungan. Setipa orang
mengenal dirinya sendiri atas dasar perbedaanya dengan orang lain di sekitarnya. Proses dan sistem
komunikasi didasarkan atas terjadinya berbagai bentuk hubungan, baik dalm ruang maupun waktu.
Perubahan status peranan disadarkan atas perubahan pola-pola hubungan sosial. Dinamika dan
dengan demikian keberlangsungan kehidupan itu sendiri pun diakibatkan melalui terjadinya
perubahan hubungan. Sebagai replika kehidupan, jelas karya sastra memanfaatkan energi
antarhubungan dalam membangun totalitas. Melaui medium bahasa, pengarang hanya menyajikan
unsur-unsur fisik, sebagai fabula. Antarhubunganlah, yang melalui imajinasi pembaca, yang
mengubah cerita sehingga menyerupai kehidupan, dalam bentuk plot. Antarhubungan
mengimplikasikan unsur-unsur kebudayaan, artinya, antarhubungan merupakan indikator
penyebarluasan unsur-unsur kebudayaan sehingga khazanah suatu kebudayaan dapat dipahami oleh
komunitas yang lain. Keberhasilan sebuah karya sastra dengan demikian juga ditentukan oleh
kemampuan penulis dalam menyajikan keberagaman antarhubungan.

Dengan mengambil analogi dalam bidang bahasa, sebagai hubungan sintagmatis dan
paradigmatis, maka karya sastra dapat dianalisis dengan dua cara. Pertama, menganalisis unsur-
unsur yang terkandung dalam karya sastra. Kedua, menganalisis karya melalui perbandingannya
dengan unsur-unsur di luarnya, yaitu kebudayaan pada umumnya. Mekanisme tata hubungan
sintagmatis memberikan pemahaman dalam kaitannya dengan jumlah unsur dalam karya,
sedangkan mekanisme tata hubungan paradigmatis memberikan pemahaman dalam kaitan karya
dengan masyarakat yang menghasilkannya. Analisis pertama dilakukan melalui pendekaatan
intrinsik, sedangkan analisis yang kedua dilakukan melalui pendekatan ekstrinsik. Sastra bandingan,
sosiologi sastra, dan psikologi sastra, dilakukan atas dasar hubungan yang kedua.

Studi mengenai struktur dan fungsi, khususnya dalam teori-teori sosiologi kontemporer
mengantarkan manusia pada pemahaman mendasar terhadap nilai-nilai kehidupan secara
keseluruhan. Struktur mengacu pada seperangkat unit sosial yang relatif stabil dan berpola,
sedangkan fungsi mengacu pada proses dinamis yang terjadi dalam struktur tersebut. Fungsi-fungsi
mengandaikan terjadinya antarhubungan, sebaliknya, antarhubungan mengevokasi perubahan
fungsi. Pada dasarnya struktur sudah mengimplikasikan antarhubungan sekaligus fungsi. Menurut
Poloma (1987: 23-26), asal-usul sosiologisnya adalah sosiolog Perancis Emile Durkheim yang
kemudian dilanjutkan oleh August Comte dengan konsepn masyarakat sebagai struktur dan fungsi,
masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri oleh bagian-bagian yang saling tergantung satu dengan
yang lain. Pada umumnya para sosiolog mengambil analogi organisme hidup, dengan pertimbangan
bahwa baik masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan, setiap
bagian memiliki fungsi yang berbeda, sehingga setiap perubahan pada bagian tertentu akan
berpengaruh terhadap bagian-baian yang lain. Konsep Durkheim kemudian dilanjutkan oleh
Malinowski dan Radcliffe-Brown, termasuk Talcot Parsons.

Relevasi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak


mengarahkan peneliti agar secara terus-menerus memperhatikan setiap unsur sebagai bagian yang
tak terpisahkan dengan unsur-unsur yang lain. Di pihak yang lain, antarhubunganlah yang
menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja agar memiliki arti yang
sesungguhnya. Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti
hanya meneliti salah satu unsur tertentu, yang pada gilirannya berarti memperkosa hakikat suatu
totalitas. Analisis terhadap penokohan, misalnya, tidak mungkin dilakukan secara terpisah dari
unsur-unsur yang lain. Dengan kalimat lain, penokohan tidak dapat dipahami tanpa
menghubungkannya dengan unsur-unsur yang lain, seperti kejadian, latar, plot, dan sebagainya.

4.2 Teori Formalisme

Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh
paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut.

1. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19
yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi
biografi.

2. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dimana terjadinya pergeseran dari
paradigma diakronis ke sinkronis.

3. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap


hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.

Dikaitkan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjuk beberapa disiplin
yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat, melalui Emmanuel Kant
(1724-1808), mulai mempertimbangkan kemampuan manusia untuk memahami keteraturan dunia.
Melalui aliran kritisisme, Kant memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu pihak
Kant mempertahankan kualitas objektivitas dan keniscayaan pengertian, di pihak yang lain juga
menerima pengertian yang bertolak dari gejala-gejala. Sudut pandang yang lain (Scholes, 1977: 7-9)
menganggap konsep unsur terkandung dalam hermeneutika, khususnya melalui paradigma
Schleimacher dan Dilthey, dengan anggapan bahwa sebuah karya seni harus dipahami melalui
hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhannya. Di samping itu, analisis unsur-unsur
dengan hermeneutika, sebagai teori dan metode, diharapkan akan menampilkan mekanisme yang
saling melengkapi sebab keduanya memiliki objek yang sana, yaitu teks. Struktur teks yang berlapis-
lapis dan mengandung ruang-ruang kosong merupakan medan makna bagi hermeneutika. Dalam
bidang antropologi budaya, yang dipelopori oleh Emile Durkheim (1858-1917), dengan ide solidaritas
dan integritas sosial, memandang hubungan individu dengan masyarakat sebagai suatu sistem,
dalam struktur sosial. Paradigma baru adalam ilmu bahasa, sebagaimana dikemukakan oleh
Ferdinand de Saussure yang lahir di Swiss (1857-1913), khususnya melalui karyanya yang berjudul
Cours de linguistique generale (1916), yang selanjutnya dianggap sebagai bapak strukturalisme,
menampilkan pergeseran yang radikal untuk menganalisis bahasa sebagai sistem, maka hanya dapat
dipahami melalui mekanisme relasionalnya. Perkembangannya yang sangat pesat, bahkan juga
sesudah menjadi postrukturalisme terjadi di Perancis sekitar tahun 1960-an, dengan ciri-ciri
tersendiri, yang dipelopori oleh Claude Levi-Strauss, Roland Barthes, Tzvetan Todorov, A.J. Greimas,
Claude Bremond, Gerard Genette, Julia Kristeva, Michel Foucault, Jacques Derrida, dan sebagainya.
Melaui tradisi intelektual linguistik inilah kemudian berkembang ke displin lain, seperti: Antropologi
(Levi-Strauss), Christian Metz (kritik film), Michel Foucault (sejarah pemikiran), Roland Barthes (kritik
sastra), Jacques Lacan (psikologi), Jacques Derrida (filsafat).

Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikian juga menolak
karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara
bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahami
dalam kaitannya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karya sastra semata-mata
sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai sistem komunikasi,
berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar
bahasa, formalisme menyampaikannya melalui tanda-tanda bahsa itu sendiri. Secara etimologis
formalisme berasal dari kata forma (Latin), yang berarti bentuk atau wujud. Formalisme
mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi, oleh karena itulah, cara kerjanya
disebut metode formal.

Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri atas para pakar sastra
dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu: a) Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun
1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur, dan b) Mazhab Opojaz
(Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum,
Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev laukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk,ed., 1993:
53). Tujuan pokok formalism adalah studi ilmiah tentang sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur
kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya. Metode yang digunakan, baik dalam tradisi
formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme, bahkan sesudah strukturalisme, adalah
metode formal. Metode formal tidak merusak teks, juga tidak merdekusi, melainkan merekonstruksi
dengan cara memaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan yang
terorganisasikan. Prinsip dan saran inilah yang mengarahkannya pada konsep sistem dan akhirnya ke
konsep terstruktur. Oleh karena itulah, menurut Luxembrug, dkk. (1984: 35) formalisme dianggap
sebagai peletak ilmu sastra modern.

Sekitar tahun 1930-an, sebagai akibat situasi politik, dengan alasan bahwa model-model
pendekatan formal bertentangan dengan ajaran Marxis, formalisme dilarang di Rusia tetapi
berkembang di Praha (Cekoslovakia). Melalui tokoh-tokoh Roman Jakobson, Mukarovsky, Rene
Wellek, dan Felix Vodicka, formalisme Praha justru mengkritik formalisme Rusia yang dianggap tidak
menopang perkembangan sastra sebab terlalu banyak memberikan perhatian pada bentuk, sehingga
sama sekali mengabaikan isi. Setelah memperoleh kritik melalui formalisme Praha ini, maka
formalisme pada umumnya dianggap sudah menjadi strukturalisme. Oleh karena situasi politik yang
terus berlanjut, yaitu sebagai akibat campur tangan Nazisme, tokoh-tokoh strukturalisme, di
antaranya Rene Wellek dan Roman Jakobson, sekitar tahun 1940-an meninggalkan Cekoslovakia dan
pergi ke Amerika, yang sekaligus melahirkan mazhab Kririk Baru.

Masalah pendekatan, teori, dan metode, demikian juga konsep-konsep berpikir lainnya,
tidak bisa dibatasi secara pasti, kapan kelahirannya, demikian juga kapan kematiannya. Konsep
struktur pada dasarnya sudah ada sejak Aristoteles, tetapi menjadi teori modern sesudah melalui
perkembangan formalisme di atas. Melalui perkembangannya yang sangat pesat tersebut, konsep
strukturalisme tampil secara berbeda-beda, meliputi berbagai disiplin, seperti: matematika, logika,
biologi, fisika, psikologi, antropologi, linguistik, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya. Meskipun
demikian, persamaan pokok yang ditunjukkan adalah peranan unsur-unsur dalam membentuk
totalitas, kaitan secara fungsional diantara unsur-unsur tersebut, sehingga totalitas tidak dengan
sendirinya sama dengan jumlah unsur-unsurnya. Menurut Jean Piaget, ada tiga dasar strukturalisme,
yaitu: a) kesatuan, sebagai koherensi internal, b) transformasi, sebagai pembentuk bahan-bahan
baru secara terus-menerus, dan c) regulasi diri, yaitu mengadakan perubahan dengan kekuatan dari
dalam.

Penerapan strukturalisme dalam disiplin linguitisk yang dipelopori oleh Ferdinand de


Saussure, melalui mazhab Jenewa, merupakan langkah yang sangat maju dalam rangka
mengarahkan teori tersebut sebagai teori modern selanjutnya. Konsep dasar yang ditawarkan
adalah perbedaan yang sangat jelas, dikotomi antara a) signifiant (bentuk, bunyi, lambang, penanda)
dan signifie (yang diartikan, yang ditandakan, yang dilambangkan, petanda), b) parole (tuturan,
penggunaan bahasa individual) dan langue (bahasa yang hukum-hukumnya telah disepakati
bersama), dan c) sinkroni (analisis karya-karya sezaman) dan diakroni (analisis karya dalam
perkembangan kesejarahannya). Saussure (Grenz, 2001: 178-179) menolak pemahaman bahasa
secara historis yang terjadi abad ke-19, pemahaman kata-kata dan ekspresi (parole) sepanjang
sejarah. Menurutnya, pemahaman yang benar adalah pemahaman antihistoris, bahasa sebagai
sistem internal (langue). Menurut Saussure, bahasa diumpamakan sebagai karya musik, untuk
memahaminya kita harus memperhatikan keutuhannya, bukan pada permainan individual. Menurut
Saussure (Norris, 1983: 25) linguistik modern dengan demikian dapat berkembang semata-mata
dengan cara: a) memberikan prioritas terhadap penelitian sinkronis sekaligus meninggalkan model-
model penelitian diakronis abad ke-19, dan b) memberikan prioritas terhadap bahasa sebagai sistem
(langue) sebab sistem inilah yang mendasari ranah bahasa tuturan. Makna hanya bisa dihasilkan atas
dasar aturan-aturan yang baku. Studi bahasa sinkronik adalah studi terhadap fakta-fakta sosial sebab
bahasa adalah gejala sosial. Ahli bahasa mengamati kebiasaan-kebiasaan bahasa pada waktu
tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan nilai dalam sistem tersebut. Pada saat ini pada
dasarnya strukturalisme sudah melahirkan semiologi. Di samping dalam bidang linguistik juga
berkembang dalam antropologi (Claude Levi-Strauss), filsafat (Foucault, Althuesser), psikoanalisis
(Lacan), analisis puisi (Roman Jakobson), dan analisis cerita (Genette).

Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme,
diantaranya: kesastraan, bentuk dan isi, fabula gan sjuzet, otomatisasi dan defamiliarisasi. Hakikat
kesastraan (literariness) merupakan ciri-ciri umum kelompok formalis. Menurutnya, meskipun pada
dasarnya tidak ada perbedaan secara intrinsik antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari,
tetapi dengan cara mengadakan penyusunan kembali, dengan mempertimbangkan fungsinya dalam
suatu struktur, maka bahasa satra akan berbeda dengan bahasa biasa. Dalam hubungan inilah
dikatakan bahwa bahasa satra adalah bahasa yang diciptakan, aspek-aspek kesastraanlah yang
membuat karya tertentu sebagai karya sastra. Intensitas terhadap bahasa sastra pada gilirannya
menghilangkan perbedaan bentuk dan isi. Karya sastra dengan demikian adalah bentuk sekaligus isi,
isi hadir hanya melalui medium bentuk. Dengan kalimat lain, isi adalah struktur itu sendiri.

Fabula dan sjuzet merupakan konsep formalis yang paling terkenal. Cerita dan penceritaan,
cerita dan plot, dianggap sebagai konsep kunci dalam membedakan karya sastra, khususnya sastra
naratif, dengan sejarah dan peristiwa sehari-hari. Fabula adalah bahan kasar, kejadian yang tersusun
secara kronologis, oleh karena itu, fabula disebut sebagai konstituen plot. Sjuzet mengorganisasikan
keseluruhan kejadian ke dalam struktur penceritaan. Dlam puisi, energi organisatoris ini dipegang
oleh ritme. Semata-mata dalam struktur penceritaan inilah, sebagai kualitas yang dibangun, sebagai
struktur yang diciptakan, terkandung kualitas estetis sebuah karya sastra. Konsep lain yang juga
sangat terkenal, yang dikemukakan oleh Sklovsky (baca Selden, 6-15), adalah otomatisasi dan
defmiliarisasi. Otomatisasi adalah pemakaian bahasa yang sudah biasa, otomatis. Defamiliarisasi
(pengasingan) membuat yang sudah biasa menjadi luar biasa, menjadi baru, menjadi aneh,
menyimpang, misalnya, dengan cara memperlambat, menunda, dan menyisipi. Dalam sastra naratif,
defamiliarisasi biasanya diperoleh melalui mekanisme pemplotan dengan cara mengubah susunan
kejadian. Otomatisasi mirip dengan reifikasi menurut pemahaman Berger dan Luckmann (1973: 106-
107) dan ada kesejajaran dengan estetika persamaan dan estetika pertentangan menurut
pemahaman Lotman (baca Teeuw, 1988: 360). Pada dasarnya evolusi sastra adalah proses
pengasingan secara terus-menerus.

Usaha maksimalkan kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat karya sastra
dengan cara mengekploitasi sarana bahasa telah mencapai klimaksnya. Meskipun demikian,
penemuan tersebut justru mengarahkannya pada paradigma baru, karya sastra tidak bisa dipahami
secara terisolasi semata-mata melalui akumulasi perangkat-perangkat intrisiknya, tetapi juga harus
melibatkan keseluruhan faktor yang membentuknya. Pergeseran perhatian dari masalah-masalah
teknis, khususnya sebagaimana digemari oleh kelompok formalisme awal, ke arah pemahaman
sastra secara lebih luas, melahirkan strukturalisme Perancis, yang kemudian memicu penelitian
Todorov, Roland Barthes, dan Gerard Genette. Formalisme juga memegang peranan dalam
perkembangan strukturalisme Rusia tahun 1960-an, mempengaruhi kelompok Tartu-Moskow,
termasuk Lotman, Alexander Zholkovsky, dan Boris Uspensij.

Sebagai asal-usuk teori modern dalam bidang sastra relevansi formalisme seperti telah
dijelaskan di atas adalah pergeseran pandangan dari unsur-unsur di luar sastra ke sastra itu sendiri.
Pergeseran yang dimaksudkan membawa implikasi langsung pada pandangan bahwa yang
terpenting dalam analisis adalah karya, dalam hubungan ini medium bahasa dan aspek-aspek
kesastraan dengan berbagai problematikanya. Sesuai dengan perkembangan formalisme, pada
tahap permulaan karya sastra yang memperoleh perhatian adalah puisi yang kemudian dilanjutkan
dengan jenis fiksi. Pada perkembangan yang terakhir inilah dikemukakan konsep-konsep yang
relevan dalam analisis nnovel, seperti perbedaan antara cerita dengan penceritaan. Pada dasarnya
keseluruhan unsur fiksi dimanifestarikan dalam penceritaan, yang pada umumnya disebut plot. Teks
dan wacana, dua istilah yang menduduki posisi yang sangat penting dalam teori sastra kontemporer
pada dasarnya juga dieksploitasi melalui mekanisme penceritaan tersebut. Melalui relasi oposisi
fabula dan sjuzet, formalisme membawa ilmu sastra pada pemahaman baru, sastra sebagai energi
untuk menjadikan segala sesuatu seolah-olah dilihat untuk pertama kali.

4.3 Teori Strukturalisme Dinamik

Secara etimologi struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau
bangunan. Asal-muasal strukturalisme, seperti sudah dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam
Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraannya
mengenai plot. Konsep plot harus memiliki ciri-ciri yang terjadi atas kesatuan, keseluruhan,
kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw 1988:n121-134). Perubahan paradigm yang sangat mendasar
baru terjadi dua puluh lima abad kemudian, yaitu dengan memberikan prioritas terhadap karya
sastra itu sendiri. Perkembangan tersebut diawali oleh formalisme Rusia (1915-1930), strukturalisme
Praha (1930-an), Kritik Baru di Amerika Serikat (tahun 1940-an), dan sekitar tahun 1960-an disusul
oleh struturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis, strukturalisme Inggris, gerakan otonomi di
Jerman, strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Indonesia melalui kelompok
Rawamangun(1960-an).

Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui
tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar
dilanjutkan dalam strukturalis. Di satu pihak, para pelopor formalis sebagian besar terlibat dalam
mendirikan strukturalis. Di pihak yang lain atas dasar pengalaman formalislah mereka mendirikan
strukturalisme, dengan pengertian bahwa berbagai kelemahan yang terkandung dalam formalisme
diperbaiki kembali dalam strukturalisme. Oleh karena itulah, menurut Mukarovsky (Rene Wellek
1970: 275-276), strukturalisme sebagaimana yang mulai diperkenalkan tahun 1934, tidak
menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan
tertentu, di pihak yang lain, metode berarti prosedur ilmiah yang relatif baku. Pada masa tersebut
strukturalisme terbatas sudut pandang epistemologi, sebagai sistem tertentudengan mekanisme
antarhubungannya. Oleh karena itu pula Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan
struturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pegeseran paradigma berpikir, sebagai metode, dan
terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalisme disempurnakan kembali dalam strukturalisme
gemetik, resepsi, interteks, dan akhirnya pascastrukturalisme, khususnya dalam dekonstruksi.

Seperti dijelaskan di tas, secara definitif strukturalisme mulai dengan lahirnya ketidakpuasan dan
berbagai kritik atas formalisme. Sejarah strukturalisme, demikian juga sejarah teori pada umumnya
adalah sejarah proses intelektualitas. Menurut Kuhn (1962), sejarah tersebut dibangun atas dasar
kekuatan evolusi sekaligus revolusi.perkembangan teori tidak cukup dibangun atas dasar akumulasi
konsep, metode, dan berbagai pandangan dunia lainnya, melainkan juga memerlukan perubaha
secara radikal yang pada gilirannya memicu proses percepatan lahirnya teori-teori yang baru. Hal
yang senada dikemukakan olehSaussure dlam menjelaskan bahasa, di mana bahsa bukanlah
tumpukan kata yang berfungsi untuk menjelaskan benda-bnda. Simbol tidak berhubungan dengan
rujukan, tetapi terdiri atas penanda dan petanda dan semata-mata berfungsi dalam sistem,
sebagaimana makna tanda-tanda lampu lalu lintas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya,
meskipun strukturalisme berhubungan erat dengan formalisme Rusia, aliran Praha, dan
strukturalisme Polandia, strukturalisme pada umumnya diasosiasikan dengan pemikiran Perancis
tahun 1960-an, yang sebagian besar dihubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, demikian juga
pemikiran Roland Barthes, Michel Foucault, Gerard Genette, Louis Althusser, Jacques Lacn, J.
Greimas, dan Jean Piaget. Sebagian dari mereka memasuki era baru dalam teori postrukturalis.

Ilmu pengetahuan, khusunya ilmu humaniora, tidak berkembang secara garis lurus dan tidak searah,
melainkan berada dalam kondisi saling mempengaruhi, saling melengkapi sehingga lebih bnyak
bergerak sebgai kualitas dialektis. Apabila dalam ilmu sastra strukturalisme dianggap sebagai
perkembangan kemudian dari formalisme, dalam sosiologi, menurut Marvin Haris (1979: 166-167),
asal-usul strukturalisme adalah ide sebagaimana dikemuakan oleh Durkheim. Sejajar dengan
penjelasannya mengenai hakikat sutu masyarakat, totalitas yang terdiri atas cetakan-ctakan yang
memungkinkan untuk memahami totalitas benda-benda. Dengan cara yang sama maka setiap
kebudayaan terdiri atas pola-pola, dengn isi yang berbeda-beda. Di sinilah tugas analisis struktur
yaitu membongkar unsur-unsur tersembunyi yang berada dibaliknya. Bebeda dengan paradigma
sosiologi sebelumnya yang disebut sebagai teori-teori individualistis, yang menyatakan masyarakat
dibentuk oleh individu, sebaliknya, menurut Durkheim, justru individulah yang dibentuk oleh
masyarakat. Sejajar dengan konsep ini, maka dalam strukturalisme, unsur memilkiki arti hanya
dalam totalitasnya.

Tokoh- tokoh penting strukturalisme, diantaranya: Roman Jakobson, Jan Mukarovsky, Felix Vodicka,
Rene Wellek, Jonathan Culler, Robert Scholes, dan sebagainya. Jakobson sekaligus merupakan tokoh
formalis, strukturalisme Ceko, strukturalisme di Amerika Serikat, dan strukturalisme modern pada
umumnya. Teori Jakobson (Teeuw, 1988:53), yang terdiri atas enam faktor (addresser, addressee,
context, message, contact, dan code) dengan enam fungsi (emotive, conative, referential, poetic,
phatic, dan metalingual), meskipun banyak ditolak, tetapi sangat relevan dalam kaitannya dengan
pemahaman fungsi-fungsi puitika bahasa. Bersama Levi-Strauss, teori tersebut diterapkan dalam
menganalisis puisi Charles Baudelaire yang berjudul ‘Les Chats’. Meskipun demikian, buku yang
paling berwibawa mengenai konsep strukturalisme adalah Theory of Literature yang ditulis oleh
Rene Wellek dan Austin Warren, terbit pertama kali tahun 1942. Buku tersebut merupakan
perpaduan antara strukturalisme Ceko dengan Kritik Baru.

Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri,
dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur
lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut
tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga
negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan dengan sistem. Definisi
dan ciri-ciri struktur sering disamakan dengan definisi dan ciri-ciri sistem. Secara etimologis struktur
berasal dari kata structura (Latin), berarti bentuk, bangunan, sedangkan sistem berasal dari kata
systema (Latin), berarti cara. Struktur dengan demikian menunjuk pada kata benda, sedangkan
sistem menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk
menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan
keterlibatan sistem. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukkan oleh mekanisme antarhubungan
sehingga terbentuk totalitas sistem. Dengan kalimat lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur-
unsur hanyalah agregasi.

Sejak ditemukannya hukum-hukum formal yang berhubungan dengan hakikat karya sastra sekitar
tahun 1940-an, bahkan sejak formalisme awal abad ke-20, model analisis terhadap karya sastra telah
membawa hasil yang gilang-gemilang. Barhasa sebagai sistem model pertama telah dieksploitasi
semaksimal mungkin dalam rangka menemukan aspek-aspek estetikanya. Ciri-ciri kesastraan, cara-
cara pembacaan mikroskopi, analisis intrinsik, dan sebagainya, yang secara keseluruhan memberikan
intensitas terhadap kedudukan karya sastra secara mandiri, karya sastra sebagai ergon, sekama
hampir setengah abad merupakan tujuan utama penelitian. Analisis ‘Les Chats’ karya Baudelaire oleh
Roman Jakobson dan Levi-Strauss. Sarrasine karya Balzac oleh Roland Barthes, dongeng-dongeng
Rusia oleh Propp, dianggap sebagai puncak keberhasilan strukturalisme. Berbagai analisis yang
dilakukan oleh mazhab Rawamangun, khususnya penelitian yang dilakukan olehA.Teeuw, Umar
Junus, Rachmat Djoko Pradopo, dan Made Sukada, termasuk skripsi, tesis, disertasi yang belum
terbit yang masih tersimpan di perpustakaan, merupakan hasil strukturalisme.

Perkembangan ilmu pengetahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi sebab akan
timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mendukungnya.
Klimaks strukturalisme dianggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak,
bahkan ‘mematikan’ subjek pencipta. Oleh karena itulah, strukturalisme dianggap sebagai
antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya
yang justru merupakan asal-usulnya.

Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme


sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme
dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan
intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya.
Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema,
1977: 31). Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda,
struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kesadaran
pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus dikembalikan pada kompetisi penulis, masyarakat
yang menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima.
Secara definitif strukturalisme memberkan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya.
Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-
unsur yang berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri inheren tersebut, perbedaaan unsur juga
terjadi sebagai akibat perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra
dikatakan sebagai memiliki ciri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Setiap penilaian
akan memberikan hasil yang berbeda. Meskipun demikian perlu dikemukakan unsur-unsur pokok
yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: prosa, puisi, dan drama. Unsur-unsur prosa, di
antaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar atau seting, penokohan atau perwatakan, alur atau
plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur-unsur puisi, di antaranya: tema, stilistika atau gaya
bahasa, imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau pilihan kata,
simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur drama, dalam hubungan ini drama teks, di antaranya:
tema, dialog, peristiwa atau kejadian, latar atau seting, penokohan atau perwatakan, alur atau plot,
dan gaya bahasa.

Atas dasar hakikat otonom karya sastra seperti di atas, maka tidak ada aturan yang baku
terhadap suatu kegiatan analisis. Artinya, unsur-unsur yang dibicarakan tergantung dari dominasi
unsur-unsur karya di satu pihak, tujuan analisis di pihak yang lain. Dalam analisis akan selalu terjadi
tarik-menarik antara struktur global, yaitu totalitas karya itu sendiri dengan unsur-unsur yang
diadopsi ke dalam wilayah penelitian. Menurut Jean Piaget (1973: 97-98) justru di sini tampak
dinamika karya sastra sebagai totalitas sebab proses adopsi mengandaikan terjadinya ciri-ciri
transformasi dan regulasi diri sehingga terjadi keseimbangan antara struktur global dengan unsur-
unsur yang dianalisis. Karya sastra tidak mungkin dan tidak perlu dianalisis secara menyeluruh sebab
struktur global tidak terbatas. Sebuah novel, cerita pendek, bahkan satu bait puisi selalu tampil
sebagai subordinasi genre, periode, struktur sosial dan kebudayaan yang lebih luas, demikian
seterusnya, yang pada gilirannya tidak memungkinkan untuk melepaskan karya tersebut dari
kerangka sosial-kultural yang menghasilkannya. Prosa, puisi, dan drama, demikian juga dengan
sastra klasik lainnya, tidak semata-mata dianalisis sebagai teks, tetapi juga dimungkinkan dalam
kaitannya dengan pementasan langsung, sebagai performing art. Dalam hubungan ini analisis
struktur akan melibatkan paling sedikit tiga komponen utama, yaitu:pencerita, karya sastra, dan
pendengar. Metodologi penelitian pun menjadi bertambah kompleks, tidak terbatas dalam
penelitian pustaka, melainkan harus dilengkapi dengan penelitian lapangan yang dengan sendirinya
juga melibatkan instrumen penelitian lapangan.

Sebagai akumulasi konsep, teori tidak harus dipahami secara kaku. Teori tidak harus dan
tidak mungkin diterapkan secara persis sama sebagaimana dikemukakan oleh para penemunya.
Teori pun dapat ditafsirkan sesuai dengan kemampuan peneliti. Teori adalah alat, kapasitasnya
berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek secara maksimal. Teori
memiliki fungsi statis sekaligus dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang
membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam strukturalisme,
misalnya, konsep-kosep dasarnya adalah unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitasnya. Aspek-
aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sesudah dikaitkan dengan hakikat
objeknya. Konsep inilah yang berubah secara terus-menerus, sehingga penelitian yang satu berbeda
dengan penelitian yang lain.

Selama lebih kurang setengah abad perkembangan strukturalisme telah memberikan hasil
yang memadai yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai suatu cara pemahaman,
baik secara teori maupun metode, ciri-ciri yang cukup menonjol adalah lahirnya berbagai kerangka
dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka strukturalisme, di mana diperlukan
adanya suatu keteraturan, suatu pusat yang pada gilirannya akan melahirkan saluran-saluran
komunikasi, kerangka dan model-model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus sastra, sesuai
dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya, dalam kerangka analisis
sastra kontemporer jelas model analisis yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab
prinsip-prinsip postrukturalisme mempersyaratkan pemahaman yang tidak harus dilakukan melalui
suatu kerangka analisis yang sudah baku. Di Fakultas Sastra, Universitas Udayana, misalnya, Made
Sukada, melalui dua buah bukunya yang berjudul Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah
Sistematika Analisis Struktur Fiksi (1987 dan Beberapa Aspek tentang Sastra 1987). Mengemukakan
sistemmatika analisis fiksi yang terdiri atas:

1. Aspek Ekstrinsik (historis, sosiologis, psikologis, filosofis religius)

2. Aspek Intrinsik

a) Elemen-elemen cipta sastra

3. Karakterisasi

b) Teknik cerita

c) Komposisi cerita

d) Gaya bahasa

4.4 Teori Semiotika

Berbeda dengan formalisme dan strukturalisme, yang mana hubungannya dapat dilihat secara jelas,
baik aspek kesejarahan, tokoh-tokoh, maupun konsep-konsep yang ditawarkannya, hubungan antara
strukturalisme dengan semiotika bersifat kompleks sekaligus ambigu. Konsep-konsep awalnya,
keduanya dapat dilacak melalui pemikiran Aristoteles. Perbedaannya, konsep struktur selama
berabad-abad hilang dalam tradisi sejarah intelektual Barat, sebaliknya konsep mengenai tanda
tetap dibicarakan sebagaimana dijelaskan pada bagian berikut. Kelahiran kembali strukturalisme
awal abad ke-20, yang kemudian di susul oleh semiotika, khususnya sebagai akibat stagnasi
strukturalisme itu sendiri, menyebabkan sebagaian literatur sastra, termasuk Handbook of Semiotics
(Noth, 1990: 307, 346), menyebutkan bahwa semiotika merupakan akibat langsung formalisme dan
strukturalisme. Peranan Jakobson sekaligus dalam kaitannya dengan formalisme, strukturalisme, dan
semiotika, juga dianggap sebagai salah satu faktor keterkaitan langsung ketiga teori tersebut. Atas
dasar perkembangannya masing-masing sejak zaman Yunani hingga zaman modern, maka dapat
dikatakan bahwa pada dasarnya kelahiran strukturalisme dan semiotik masing-masing berakar dalam
kondisi yang berbeda sesuai dengan latar belakang sosial yang menghasilkan. Menurut Noth (ibid.,
11) ada empat tradisi yang melatarbelalangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik, logika, retorika,
dan hermeneutika. Culler (1997:6) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori
yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda.
Selden (1986: 54) menganggap strukturalisme dan semiotik termasuk ke dalam bidang ilmu yang
sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Untuk menemukan makna
suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika. Demikian juga
sebaliknya, analisis semiotika mengandaikan sudah melakukan analisis strukturalisme. Semata-mata
dalam hubungan ini, yaitu sebagai proses dan cara kerja analisis keduanya seolah-olah tidak bisa
dipisahkan.

Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002: 4) semiotika berasal dari kata
seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika
beasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori,
semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara
kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda,
dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan perantaraan
tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman
yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus.

Pemahaman awal terhadap gejala yang berkaitan dengan tanda dapat ditelusuri dalam pikiran Plato
dan Aristoteles dalam pembicaraannya dalam mengenai bahasa. Pemahaman berikut dilakukan oleh
mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena sekitar abad ke-3 SM, khususnya oleh filsuf
Philodemus, dalam kaitannya dengan perbedaan dengan tanda alamiah dan tanda konfensional,
sekaligus penerapannya dalam rangka memahami gejala-gejala suatu penyakit. Di antara kedua
tanda tersebut, jenis tanda yang memperoleh perhatian dan yang kemudian dikembangkan secara
ilmiah pda abad berikutnya, khususnya abad Pertengahan adalah tanda-tanda konfensional, tanda-
tanda yang didasarkan atas perjanjian, seperti yang dilakukan oleh St. Agustinus (354-430), Wiliam of
Ockham (1285—1349) John Locke (1632-1704). Menurut van Zoest (1993: 1), semiotika memperoleh
perhatian yang lebih serius abad ke-18 sekaligus mulai menggunakan istilah semiotika, yaitu oleh J.H.
Lambert. Atas dasar perkembangan ilmu ketandaan seperti di ataslah Halliday (1992: 4-5)
menyebutkan semiotika sebagai kajian umum, di mana bahasa dan sastra hanyalah salah satu bidang
di dalamnya. Meskipun demikian, justru dalam bahasa dan sastralah kajian semiotika dilakukan
secara sangat mendalam, sehingga pada periode dan memestaan tertentu semiotika seolah-olah
menjadi dominasi ilmu sastra.

Meskipun pengkajian mengenai tanda dilakukan sepanjang abad, tetapi pengkajian secara benar-
benar ilmiah baru dilakukan awal abad ke-20, yang dilakukan oleh dua orang ahli yang hidup pada
zaman yang sama, dengan konsep dan paradigma yang hampir sama, tetapi sama sekali tidak saling
mengenal. Kedua sarjana tersebut adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders
Peirce (1839-1914). Saussure adalah ahli bahasa, sedangkan Peirce adalah ahli filsafat dan logika,
tetapi di samping itu ia juga menekuni bidang ilmu kedalaman, psikologi, astronimo, dan agama.
Saussure menggunakan istilah semiologi (sebagai mazhab Eropah Kontimental), sedangkan Peirce
menggunakan istilah semiotika (sebagai mazhab Amerika, mazhab Anglo Sakson). Dalam
perkembangan berikut, istilah semiotikalah yang lebih populer.

Buku Saussure yang terkenal berjudul Cours de linguisique strukturalis, sekaligus menempati teori
bahasa, yaitu linguistik sebagai bagaian integral teori-teori komunikasi dan keseluruhan hubungan
sosial. Dalam hubungan inilah Saussure tidak dianggap sebagai mata-mata ahli dalam ilmu bahasa,
melainkan juga sebagai ahli semiotik kebudayaan antroposemiotik. Konsep-konsep Saussure (1988)
terdiri atas pasangan beroposisi, tanda yang memiliki dua sisi, sebagai dikotomi, seperti: penanda
(signifier, signifiant,semaion) dan petanda (signified, signifie, semainomenon), ucapan individual
(parole) dan bahasa umum (langue), sintagmatis dan paradigmatis, dan diakroni dan sinkroni.
Penanda dan petanda dianggap sebagai konsep Saussure yang terpenting. Penanda, gambaran
akustik adalah aspek material sebagaimana bunyi, sebagai citra akustik yang tertangkap pada saat
orang berbicara. Petanda adalah ospek konsep. Penanda dan petanda memperoleh arti dalam
pertentangannya dengan penanda dan petanda yang lain. Hubungan antara penanda dengan
petanda bersifat arbitrer. Burung, dalam bahasa Inggris disebut bird, dalam bahasa Bali disebut
kedis. Ini dibedakan dengan tanda yang memiliki motivasi, yang disebut simbol-simbol, seperti
timbangan sebagai simbol keadilan.

Konsep lain adalah perbedaan antara ekspresi kebahasaan (paroleh, speech, utterance) dan sistem
pembedaan di antara tanda-tanda, sistem yang digunakan oleh semua orang (langue, language).
Parole bersifta kengkret yang kemudian membentuk sistem bahasa yang bersifat abstrak, yaitu
langue. Langue dengan demikian dianggap sebagai fakta sosial, sebagai ciri-ciri institusi, impersonal,
gudang tanda, sistem kebahasaan yang dipahami bersama, individu tidak dapat mengubahnya,
melainkan harus mempelajarinya dan kemudian mentaatinya. Langue diumpamakan sebagai bahasa
nasional atau sebagai kamus yang dimiliki oleh semua anggota masyarakat, di mana setiap orang
dapat mencari perpendaharaan kata-kata untuk melakukan suatu komunikasi. Menurut Saussure,
komunikasi dapat berjalan dengan lancar dengan syarat ditaatinya aturan yang dipahami bersama,
dalam hubungan ini sebagai struktur dan fungsi, sebagaimana terjadi dalam permainan catur, sepak
bola, dan sebagainya. Konsep lain adalah perbedaan antara perbedaan sintagmatik, hubungan linier
dan kesewaktuan dalam satu kalimat, dan hubungan paradigmatig, hubungan ruang, hubungan
asosiatif, hubungan yang saling menhasilkan titik, konsep lain adalah diakroni (diachrorous,
sepanjang waktu) dan sinkroni (synchorous, waktu yang sama). Konsep pertama mengkaji bahasa
dalam perkembangan sejarah, dari waktu kewaktu, studi tentang evolusi bahasa, studi mengenai
elemen-elemen vidual pada waku yang berbeda, sedangkan konsep yang kedua mengkaji bahasa
pada masa tertentu, hubungan elemen-elemen bahasa yang saling berdampingan. Perbedaan di
antara keduanya sebanding dengan pemotongan kayu, diakroni apabila memotong secara
memanjang, sedangkan sinkroni apabila memotong secara melintang, sehingga akan tampak
hubungan antaraselat kayu. Apabila konsep-konsep Saussure bersisi ganda, sebagai diadik, maka
konsep-konsep Peirce bersisi tiga, sebagi triadik. Diadik Saussurean ditandai oleh ciri-ciri kesatuan
internal, sedangkan triadik Peircean ditandai oleh dinamisme internal. Dilihat dari segi cara kerjanya,
maka terdapat: a) sintaksis semiotika, yaitu studi dengan memberikan intensitas hubungan tanda
dengan tanda-tanda yang lain, b) semantik semiotika, studi dengan memberikan perhatian pada
hubungan tanda dengan acuannya, dan c) pragmatik semiotika, studi dengan memberikan perhatian
pada hubungan antara pengirim dan penerima. Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda,
maka tanda dibedakan sebagai berikut.

1. Prepresentamen, ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum:

a) Qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau,

b) Sinsigns, tokens, terbentuk melalui realitas fisik: rambu lalu lintas,

c) Legisigns, types, berupa hukum: suara wasit dalam pelanggaran,

2. Object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu:

a) Ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa, misalnya foto,

b) Indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat, seperti: asap dan api,

c) Siimbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan, seperti bendera

3. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima:

a) Rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep,

b) Dicisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif,

c) Argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.

Di antara representamen, object, dan interpretant, yang paling sering diulas adalah object. Menurut
Aart van Zoest (1996: 6), di antara ikon, indeks, dan simbol, yang terpenting adalah ikon sebab, di
satu pihak, segala sesuatu merupakan ikon sebab segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu
yang lain. Di pihak yang lain, sebagai tanda agar dapat mengacu pada sesuatu yang lain di luar dirina,
agar ada hubungan yang representatif, maka syarat yang diperlukan adalah adanya kemiripan. Pada
dasarnya, baik ikon, maupun indeks, dan simbol yang murni tidak pernah ada. Artinya, ikonisitas
selalu melibatkan indeksikalitas dan simbolisasi. Dalam hubungan ini yang diutamakan adalah
dominasinya. Teks sastra, termasuk sosial, politik, iklan, dan lain sebagainya, kaya dengan tand ikon.

Ciri-ciri khas ikonisitas, yaiu persamaan dan kemiripan ternyata memberikan rasa aman, ciri-ciri yang
dengan sendirinya menimbulkan daya tarik. Nama yang disandang oleh setiap orang, baik nama diri
maupun nama keluarga, termsuk gelar, mengimplikasikan aspek ikonisitas. Kemajuan teknologi
informasi memanfaatkan ikon dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas sistem informasi
tersebut. Pengolahan data, sebagai bagian kemajuan ilmu pengetahuan, juga memerlukan aspek-
aspek ikon, misalnya dengan memanfaatkan statistik, diagram, model, dan sebagainya.

Strukturalisme, demikian juga semiotika tidak hanya diterapkan dalam karya seni, tetapi dalam
semua bidang kehidupan praktis sehari-hari, juga dalam mode show atau reklame, seperti tata
busana, tata hidangan, perabot rumah tangga, asesori, seperti mobil, dan sebagainya. Aspek parole
dalam busana, misalnya: ukuran baju, kebersihan, keusangan, dan kebiasaan pribadi lainnya. Aspek
langue, misalnya: oposisi dan penggunaan unsur-unsur yang berbeda, sebagai variasi, sehingga
menimbulkan perbedaan makna. Aspek parole dalam makanan, misalnya resep dapur keluarga,
termasuk selera pribadi lainnya. Aspek parole misalnya larangan makanan tertentu, susunan menu
pada umumnya, dan sebagainya. Parole dalam perabot rumah tangga dan benda asesori merupakan
kebebasan pribadi dalam memilih model atau bentuk, termasuk dalam pemanfaatan selanjutnya.
Aspek langue meliputi dekorasi dan pengaturan ruangan, prototipe mobil, dan sebagainya.

Seperti disinggung di atas, dikaitkan dengan polopornya, maka dalam semiotika terdapat dua aliran
utama, yaitu Saussurean dan Peircean. Menurut Art van Zoeezt (1993: 5-7) dikaitkan dengan bidang-
bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran,
sebagai berikut.

1. Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan
pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai
signal, seperti rambu-rambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssesns, Prieto, dan Mounin.

2. Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna
konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung,
sebagai symtom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan,
dipelopori oleh Roland Barthes.

3. Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis),
termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.

Strukturalisme, semiologi strukturalis jelas memperlakukan manusia semata-mata sebagai wadah,


sebagai tempat persinggahan, oleh karena itu, disebut sebagai analisis antihumanis. Tetapi dalam
perkembangan berikutnya, khususnya dengan lahirnya semiotika postrukturalis, yang diduga diawali
dengan pergolakan mahasiswa di Perancis sekitar tahun 1968 (Paul Cobley an Litza Jansz, 2002:67),
lebih khusus lagi dengan lahirnya karya-karya Derrrida, subjek manusia mulai dipertimbangkan,
bahkan sangat menentukan. Kalompok Saussuren, strukturalis pada umumnya, memandang
hubungan antara penanda dengan petanda terjadi secara serta merta, sebagai proses yang niscaya,
sehingga bukan lagi arbitrer, dengan konsekuensi tidak terjandinya mediasi-mediasi. Sebaliknya,
semiotika sosial, semiotika postrukturalis pada umumnya, memandang bahwa tanda secara
keseluruhan, yaitu penanda dan petanda secara terus-menerus menampilkan ruang-ruang kosong
yang memungkinkan terjadinya mediasi-mediasi, di situlah terjadi hubungan dengan dunia nyata.
Semiotika dalam perngertian pertama terbatas sebagai semiotika struktural, sama dengan
strukturalisme semiotik. Oleh karena ituah, dua tokoh terpenting yanng dibicarakan Saussure dan
Peirce. Dengan adanya tanda sebagai konsep kunci dalam memahami kebudayaan, maka semiotika
struktural berkembang terus, diperbaharui oleh para tokoh berikutnya, seperti Barthes, Eci, Kristeva,
Culler, Foucalt, Derrida, Lyotard, dan sebagainya. Semiotika inilah yang disebut semiotika
postruktural, atau secara singkat postruktural Piliang (2003) menggunakan istilah hipersemiotika.

Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotis. Cara yang
palig umum adalah dengan menganalisis karya melalui dua tahapan sebagaimana ditwarkan oleh
Wellek dan Warren (1962), yaitu: a) analisis intrinsik (analisis mikrostruktur), dan b) analisis
ekstrinsik (analisis makrostruktur). Cara yang lain, sebagaimana dikemukakan oleh Abrams (1976:6-
29), dilakukan dengan menggabungkan empat aspek, yaitu: a) pengarang (ekspernsif), b) semestaan
(mimetik), c) pembaca (pragmatik), dan obketif (karya sastra itu sendiri).

4.4.1 Bidang-bidang Penerapan

Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam
kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Sebagai pengetahuan praktis,
pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-
hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektivitas dan efisiensi energi yang
harus dikeluarkan. Memahami sistem tanda, bagaimana cara kerjanya, berarti menikmati suatu
kehidupan yang lebih baik. Konflik, salah paham, dan berbagai perbedaan pendapat diakibatkan oleh
adanya perbedaaan penafsiran terhadap tanda-tanda kehidupan. Di satu pihak, ilmuwan sosial
mencoba memecahkan perbedaan yang terjadi dengan cara menemukan latar belakangnya,
sekaligus memecahkan secara teoritis, misalnya dengan teori konflik. Di pihak yang lain, ia juga
dapat memecahkannya melalui semiotika, misalnya, semiotika interaksi sosial. Tujuan yang dicapai
sama, yaitu mengatasi konflik suatu masyarakat tertentu.

Semiotikus kontemporer yang cukup berwibawa adalah Umberto Eco, lahir di Italia tahun 1932. Pada
dasarnya Eco menjadi terkenal melalui dua novelnya yang mempermasalahkan masa lampau yang
berjudul The Name of the Rose dan Foucault Pendulum. Menurut Eco (1979:7) semiotika
berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Sebuah tanda adalah segala
sesuatu yang secara signifikan dapat menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tidak harus
eksis atau hadir secara aktual. Jadi, semiotika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang
dapat digunakan untuk berbohong. Batu, sebagai semata-mata batu bukanlah tanda, melainkan
benda, material, tetapi apabila batu tersebut dimanfaatkan untuk mewakili sesuatu yang lain,
misalnya, sebagai jimat, maka batu tersebut sudah berubah menjadi tanda.

Dengan adanya tanda-tanda sebagai ciri khas yang meliputi seluruh kehidupan manusia, dari
komunikasi yang paling alamiah hingga sistem budaya yang paling kompleks, maka bidang
penerapan semiotika pada dasarnya tidak terbatas. Penerapan semiotika dalam ilmu sastra jelas
merupakan masalah tersendiri, dengan pertimbangan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu
sistem tanda yang sangat kompleks, Eco (1979:9-14) menyebutkan beberapa bidang penerapan yang
dianggap relevan, di antaranya:

1) Semiotika hewan, masyarakat nonhuman,

2) Semiotika penciuman,

3) Semiotika komunikasi dengan perasa,

4) Semiotika pencicipan, dalam masakan,


5) Semiotika paralinguistik, suprasegmental,

6) Semiotika medis, termasuk psikiatri,

7) Semiotika kinesik, gerakan,

8) Semiotika musik,

9) Semiotika bahasa formal: morse, aljabar,

10) Semiotika bahasa tertulis: alfabet kuno,

11) Semiotika bahasa alamiah,

12) Semiotika komunikasi visual,

13) Semiotika benda-benda,

14) Semiotika struktur cerita,

15) Semiotika kode-kode budaya,

16) Semiotika estetika dan pesan,

17) Semiotika komunikasi massa,

18) Semiotika retorika,

19) Semiotika teks.

Meskipun demikian, menurut Aart van Zoest (1993: 102-151), secara akademis semiotika dianggap
sesuai diterapkan pada beberapa disiplin, seperti: arsitektur, perfilman, sandiwara, musik,
kebudayaan, interaksi sosial, psikologi, dan media massa. Setiap bangunan memiliki fungsi masing-
masing, sebagai denotasi, jadi, semacam gramatika arsitekstur, misalnya pura-pura untuk
sembahyang. Demikian pula setiap bangunan memiliki konotasi, misalnya, megah, kumuh, dan
sebagainya. Aspek sintaksis, semantik, dan pragmatis bangunan dipahamai dalam kaitannya dengan
bangunan yang lebih kompleks, makna, dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Cara yang sama
dapat dilakukan terhadaptata ruang, peralatan yang terdapat di dalam bangunan. Pesatnya
pembangunan perumahan penduduk, kompleks pertokoan, kompleks hiburan, dan sebagainya, pada
dasarnya juga memerlukan pemahaman secara semiotis. Rumah yang sengaja dibangun dengan
model kuno, atau sebaliknya modern, toko-toko dengan pintu lebar atau tanpa pintu, secara
semiotis memiliki tujuan tertentu sebagaimana diharapkan oleh pemiliknya.

Dalam ranngka mencapai efek yang diharapkan, film dibangun atas dasar berbagai sistem tanda,
seperti: gambar, suara, kata-kata, dan musik, termasuk gedung pertunjukan, lokasi, penonton, cara-
cara membuatnya, dan sebagainya. Film dengan demikian dibangun atas dasar tanda-tanda yang
kompleks. Teks film, khususnya teks fiksional dianggap memiliki ciri-ciri yang sama dengan karya
fiksi, dan dengan sendirinya dapat dianalisis secara semiotis sebagai karya sastra. Unsur-unsur lain,
seperti gambar, musik, dan suara-suara lain, dipahami secara berbeda sesuai dengan hakikatnya
masing-masing. Menurur Aart van Zoest (1993: 109-110), unsur terpenting dalam film adalah
gambar yang bergerak, yang secara keseluruhan merupakan tanda ikonis sebab menunjukkan
persamaan dengan kenyataan yang diacu. Di samping gambar, gerakan itu sendiri pun merupakan
ikon terhadap realitasnya.
Sebagaimana film di atas, dalam bentuk teks, sandiwara dapat dianalisis secara semiotis dengan
cara-cara yang sama dengan karya sastra. Meskipun demikian, sandiwara juga memiliki kekhususan,
bahkan juga dengan film, seperti dalam kaitannya dengan kehadiran secara nyata suatu
pementasan. Meskipun ketiganya memiliki ciri-ciri fiksional, tetapi jelas media representasinya
berbeda, sastra melalui bahasa, film melalui gambar yang bergerak, dan sandiwara melalui interaksi
langsung. Sastra semata-mata dipahami ketajaman pemikiran dan perasaaan, sedangkan film dan
sandiwara juga menampilkan visualisasi, film melalui dua dimensi, sandiwara melaui tiga dimensi.
Perbedaaan ini berpengaruh terhadap mekanisme antarhubungannya, sistem komunikasi pada
umumnya, seperti di antara pengirim dan penerima, penulis dengan pembaca, sutradara dengan
audiens, dan sebagainya.

Dalam bentuk teks, baik berupa narasi maupun notasi, musik, termasuk jenis gamelan tradisional,
dapat dianalisis secara semiotis. Komponis dalam hubungan ini memiliki kedudukan yang sejajar
dengan sutradara dan para subjek kreator dalam karya sastra. Dengan menentukan medium, fungsi-
fungsi, pesan-pesan, dan efeknya terhadap masyarakat, maka aspek sintaksis, semantis, dan
pragmatisnya dapat dianalisis secara semiotis. Hadirnya musik populer, lagu-lagu populer,
sebagaimana novel populer yang selalu dihindarkan dalam karya sastra, dengan alasan bermutu
rendah, melalui sudut pandang semiotika diharapkan dapat memberikan hasil yang berbeda.

Semiotika budaya sebagaimana dijelaskan oleh Aart van Zoest (1993: 124-131) jelas teralu luas
sebab apabila dikaitkan dengan salah satu definisi kebudayaan maka semua model semiotika
termasuk ke dalam semiotika kebudayaan. Semiotika budaya yang dimaksudkan di sini adalah tanda-
tanda yang terkandung dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, yaitu manusia dengan berbagai
tradisi dan adat kebiasaanyya. Model penelitian ini perlu dilakukan mengingat bahwa pada dasarnya,
sebagai ciptaan Tuhan, manusia sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan masyarakatnya. Tanda-
tanda semata-mata berfungsi dalam keterpaduan antara komponen-komponen tersebut. Dengan
kalimat lain, semiotika kebudayaan tidak harus dicari di tempat-tempat khusus, sebaliknya,
semiotika kebudayaan dapat dijumpai di mana saja di sekitar kehidupan manusia. Di sinilah justru
terletak fungsi semiotika dalam rangka meningkatkan harkat kehidupan manusia.

Menurut Aart van Zoest (1993: 131) interaksi sosial terjadi sebagai akibat rangsangan dan
interpretasi terhadap sistem tanda, baik tanda-tanda bahasa maupun nonbahasa. Komunikasi
melalui bahasa, baik media lisan maupun tulisan dapat diidentifikasikan secara jelas dan langsung.
Sebaliknya, komunikasi nonbahasa, baik dalam bentuk pralinguistik, seperti intonasi, intensitas
suara, dan nada tambahan, maupun dalam bentuk kinetika, seperti ekspresi wajah, gerak tubuh,
juga dapat dianalisis secara semiotis. Secara indeksikal ekspresi wajah, intonasi dan warna suara,
yang dalam hubungan ini terjadi bersama-sama dengan kata-kata yang diucapkan, demikian juga
tanda-tanda kinetika, dapat diintrepretasikan secara semiotis. Warna suara dapat membedakan jenis
kelamin, bahkan perbedaaan secara individual, meskipun tidak melihat orangnya. Melalui interaksi
sosial juga dapat diidentifikasi secara semiotis apakah seseorang berfungsi sebagai suami, kepala
suku, ilmuwan, rohaniwan, dan sebagainya. Semiotika interaksi sosial jelas berkaitan dengan
kelompok sosial, mulai dari kelompok terkecil sebagai keluarga, hingga susunan yang paling luas
seperti bangsa. Semiotika sosial dapat menunjukkan bahwa dua orang yang sedang bercakap-cakap
adalah suami istri, anak dengan orang tua, atau sebaliknya dua orang berbeda ras yang baru
berkenalan.

Semiotika psikologi berkaitan dengan psike individu dalam rangka menunjukkan identitasnya
terhadap orang lain. Aart van Zoest (1993: 145-146) menolak pendapat Lacan yang menyatakan
bahwa semiotika psikologi didominasi oleh bahasa. Sebaliknya, menurut van Zoest tanda-tanda
psikologis harus digali melalui dan di dalam ketaksadaran, yang kemudian tampak dalam kesadaran,
pada tingkah laku secara kongkret. Dalam pembicaraan ini semiotika psikologis memiliki kaitan
dengan teori mengenai dorongan psikologis memiliki kaitan dengan teori mengenai dorongan
psikologis individual Freudian dan ketaksadaran kolektif Jungian.

Semiotika media massa terutama menganalisis tanda-tanda yang hadir dalam surat khabar, radia,
dan televisi. Surat khabar telah berperan sejak ditemukannya mesin cetak abad ke-15. Sistem tanda
yang perlu dicari di dalamnya adalah ideologi yang melatarbelakangi proses pemberitaan, seperti
jumlah kolom, tipologi huruf judul berita, dan ilustrasi, termasuk letak berita. Surat khabar, demikian
juga media massa yang lain, bukan saja merupakan sumber informasi bagi masyarakat, tetapi juga
sebagai media bagi penguasa, kelompok dominan, dan institusi lain dalam rangka membentuk opini
baru, baik dengan tujuan positif maupun negatif. Kemajuan teknologi telah melahirkan radio,
khususnya televisi dan internet yang pada saat yang sama dapat memberikan informasi pada jutaan
manusia. Semiotika media massa dapat diterapkan untuk menjelaskan bagaimana tanda-tanda yang
terkandung di dalamnya berperan secara efisien.

Semiotika Sastra

Seperti disebutkan di atas, secara ringkas dan kasar yang dimaksud dengan kebudayaan adalah
keseluruhan aktivitas manudia. Sebagian besar, bahkan keseluruhan aktivitas manusia pada
dasarnya dilakukan melalui bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Sejarah, monumen, tokoh-
tokoh, teknologi, bahkan kehancuran dunia itu sendiri diakibatkan oleh kemampuan bahasa. Atas
dasar kemampuan bahasalah manusia berhasil membangun Piramida, Borobudur, dan berbagai hasil
karya manusia yang lain. Pada dasarnya bahasa merupakan konservasi yang paling kuat terhadap
kebudayaan manusia. Tanpa bahasa sesunguhnya kebudayaan, dan dengan demikian dunia ini tidak
ada. Benar, volume aktivitas kesastraan terbatas, tetapi intensitas kesastraan itu sendiri memiliki
kualitas yang sangat luas sekaligus kompleks, sehingga memungkinkan untuk menyajikan aspek-
aspek kebudayaan yang sangat luas. Bahasa sastra sebagai sistem model kedua, sebagaimana
diintroduksi oleh Lotmann (1997: 15), metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya,
bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi yang telah sarat dengan pesan kebudayaan.
Bahasa sastra adalah kebudayaan itu sendiri.

Seperti disebutkan di atas, kehidupan manusia dibangun atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu
sendiri adalah sitem tanda. Menurut Noth (1990: 42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hadir
hanya dalam pikiran penafsiran. Tidak ada tanda kecuali jika diinterpretasikan sebagai tanda. Lebih
jauh, menurut Arthur Asa Berger (2000), sebagai ilmu, semiotika termasuk ilmu imperialistik,
sehingga dapat diterapkan pada berbagai bidang yang berbeda, termasuk gejala-gejala kebudayaan
kontempore. Secara definitif tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu yang
lain dari pada dirinya sendiri. Lampu merah di persimpangan jalan tidak dimaksudkan untuk berpikir
mengenai warna merah, melainkan untuk berhenti. Teks sastra secara keseluruhan terdiri atas ciri-
ciri tersebut. Kota Jakarta dalam sebuah novel, misalnya, tidak secara keseluruhan menunjukkan
pada ibu kota Negara Republik Indonesia. Sebagai tanda, sesuatu yang lain yang diwakilinya, di
antaranya: simbol kekuasaan, korupsi, hegemoni, prostitusi, dan sebagainya. Bahasa metaforis
konotatif, dengan hakikat kreativitas imajinatif, merupakan faktor utama mengapa karya sastra
didominasi oleh sistem tanda. Sebagai akibat kemampuan sastra dalam menjelaskan tanda-tanda,
maka dapat ditentukan ciri-ciri dominan periode tertentu, misalnya pandangan dunia dan ideologi
kelompok, jenis hegemoni yang sedang terjadi, dan berbagai kecenderungan lain yang ada dalam
masyarakat, yang secara objektif sulit untuk dideteksi.
Tanda-tanda sastra tidak terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara penulis, karya sastra, dan
pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya. Atas dasar luasnya gejala-
gejala sastra yang ditimbulkan inilah maka lahir teori yang secara khusus berkaitan dengannya,
seperti: teori ekspresif, pragmatik, resepsi, interteks, strukturalisme genetik, dan sebagainya. Sastra
dalam bentuk karya atau naskah juga mengandung makna tanda-tanda, sebagai tanda-tanda
nonverbal. Kulit buku, susunan warna, tebal buku, dan tipografi tulisan, dianggap sebagai sistem
tanda. Untuk menafsirkannya secara semiotis maka setiap tanda dihubungkan dengan ground,
denotatum, dan interpretant. Faktor-faktor lain yang seolah-olah bersifat teknis, seperti penerbit,
penyunting, dan patronase, jug amemegang peranan penting dalam memahami sistem tanda sastra.
Tanpa keterlibatan faktor tersebut, karya sastra tidak mungkin untuk diterbitkan, meskipun
naskahnya sudah selesai ditulis. Kondisi seperti ini jelas berbeda dengan pelukin sebab lukisan dapat
dipamerkan secara langsung.

Seperti telah dijelaskan di depan, representamen, ground adalah objek nyata, sejajar dengan
signifier (penanda) bagi Saussure. Dikaitkan dengan aspek gound tersebut, maka teks sastra pun
memiliki ciri-ciri qualisigns, sinsigns, dan legisigns. Ketiga istilah terbentuk atas dasar signs dengan
prefiks ‘quali’ (kualitas), ‘sin’ (singular), dan ‘lex’ (hukum, undang-undang). Ciri-ciri qualisigns teks
adalah tanda berdasarkan sifat, ground yang terbentuk atas dasar kualitas. Qualisigns adalah citra,
ide, dunia kemungkinan, dan akan menjadi nyata apabila dimasukkan ke dalam sinsign. Sinsigns
adalah tampilan dalam kenyataan, tandatak terlembagakan, tanda tanpa kode. Etiap teks adalah
sinsigns, semacam hakikat individual dan otonom, dipahami dengan cara membedakannya dengan
teks-teks lain. Legisigns adalah tanda yang sudah terlembagakan, tanda atas dasar peraturan yang
berlaku umum (dalam lingkungan kebudayaan tertentu, dalam hal kesusastraan tertentu), sebagai
sebuah kode dan konvensi, dipahami dengan cara membedakannya dengan karya bukan sastra,
bukan fiksional. Sinsigns merupakan kearifan pengarang, legisigns merupakan kompetensi peneliti.
Qualisigns dengan demikian adalah karya yang dipenuhi dengan teks, diinvestasikan dalam kode-
kode sastra sehingga menjadi sinsigns, ditanamkan lagi ke dalam kode-kode sastra sehingga menjadi
legisign. Para Priayi (Umar Kayam) adalah karya, diinterpretasikan dan ditanamkan oleh peneliti ke
dalam kode-kode sastra sehingga berbeda dengan Burung-burung Manyar (Mangunwijaya),
diperbandingkan dan ditanamkan lagi ke dalam kode-kode budaya sehingga berbeda dengan
Perkembangan Peradaban Priayi (Sartono Kartodirdjo). Dalam analisis cara yang sama dapat
dilakukan terhadap unsur-unsur karya, seperti: tokoh, insiden, latar, alur, dan sebagainya.

Denotatum karya sastra adalah dunia fiksional, dunia dalam kata-kata, dunia kemungkinan. Dunia
fiksi tidak harus sama dengan dunia yang sesungguhnya, tetapi harus dapat diterima ‘kebenarannya’.
Atas dasar pandangan bahwa segala sesuatu mempunyai kemungkinan untuk menjadi tanda, maka
jumlah denotatum pun tidak terbatas. Acuan dengan demikian dapat bersifat kongkret atau abstrak,
mungkin ada, pernah ada atau akan ada. Tiga sifat denotatum, yaitu: ikon, indeks, dan simbol.

Menurut van Zoest (1993: 86), dalam teks sastra, di antara ketiganya ikon yang paling menarik.
Dalam teks argumentatif yang murni pun terdapat ikon, seperti aljabar, diagram, dan model.
Berbeda dengan komunikasi langsung, di mana ciri-ciri nonverbal dapat difungsikan secara
maksimal, secara indeksikal, dalam sastra, di mana penulisnya tidak hadir, maka tanda ikonlah yang
memegang peranan. Ikon ditandai dengan melihat persamaan ciri struktur, sebagai homologi
struktural dengan salah ciri denotatum yang ditunjuknya. Ikon, yaitu ciri-ciri kemiripan itu sendiri
berfungsi untuk menarik partikel-partikel ketandaan, sehingga proses interpretasi dimungkinkan
secara terus-menerus. Ada tiga macam ikon, ya itu: a) ikon topografis, berdasarkan persamaan tata
ruang, misalnya, puisi-puisi kongkret atau visual, b) ikon diagramatis atau relasional, berdasarkan
persamaan struktur, misalnya, diagram, dan c) ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua
kenyataan yang didenotasikan sekaligus, langsung atau tidak langsung, misalnya, alegori atau
parabel. Perbedaan antara ikon topografis, diagramatis, dan metaforis tidak mutlak. Satu baris puisi
dapat mewakili ketiga jenis ikon tersebut, tergantung dari cara memahaminya. Teks secara
keseluruhan memiliki ciri-ciri indeksikal sebab teks berhubungan dengan dneia yang disajikannya.
Dalam hal ini juga Perice menunjuk indeksikal teks melalui tiga sisi, yaitu: pengarang sebagai ciri
komunikasi, dunia nyata sebagai ciri nilai-nilai pengetahuan, dan pembaca dengan ciri nilai-nilai
eksistensial. Sesuai dengan perkembangan ilmu sastra kontemporer, maka yang terpenting adalah
ciri yang terakhir, yaitu kaitannyadengan dunia di luar teks, b) indeks dalam kaitannya dengan teks
lain, sebagai intertekstual, dan c) indeks dalam kaitannya dengan teks dalam teks, sebagai
intratekstual.

Dalam bahasa Indonesia simbol pada umumnya disamakan dengan lambang. Dalam sastra, sistem
simbol yang terpenting adalah bahasa, sesuai dengan hakikatnya, tanda bahasa dikaitkan dengan
denotatum atas dasar perjanjian. Simbol dimanfaatkan dalam berbagai bidang ilmu humaniora.
Dalam pengertian yang paling luas simbol dianggap sinonim dengan tanda. Sarjana yang lain (baca
Edmund Leach: 1976: 13) menyebutkan bahwa suatu gejala disebut simbol atau tanda tergantung
dari penggunannya. Meskipun demikian, beberapa ahli, seperti Saussure, Peirce, Cassirer, Hjelmslev,
Morris, Jakobson, dan Barthes, membedakannya dengan memberikannya ciri-ciri tertentu. Dalam
triadik Peirce, misalnya, simbol dibedakan dengan indeks dan ikon, dengan pertimbangan bahwa
simbol lebih arbitrer dibandingkan dengan kedua unsur yang lain. Tanda bahasa dalam sastra sangat
banyak. Simbol dapat dianalisis melalui suku kata, kalimat, alinea, bab, dan seterusnya, bahkan juga
melalui tanda baca dan huruf, sebagaimana ditemukan dalam analisis gaya bahasa. Menurut van
Zoest (1993:75) sistem simbol juga dapat dianalisis dengan memanfaatkan fokalisasi.

Sebagai prasyarat komunikasi, Endmund Leach (1976:15-16), membedakan antara simbol


dengan tanda sinyal. Sinyal menunjukkan hubungan dua gejala secara mekanis dan otomatis. Simbol
ditandai oleh dua ciri, yaitu : a) antara penanda dan petanda tak ada hubungan intrinsik sebelumnya,
b) penanda dan petanda merupakan konteks kultural yang berbeda. Ciri-ciri tanda, a)ada hubungan
intrinsik sebelumnya, b) termasuk ke dalam konteks kultural yang sama. Orang itu bernama Amat,
Amat di anggap sebagai simbol, sedangkan binatang itu adalah kuda, kuda dianggap sebagai tanda.
Nama tertentu (Amat) dianggap sebagai simbol, sedangkan klasifikasi (kuda) dianggap sebagai
tanda. Mahkota sebagai ciri bir adalah simbol, sedangkan mahkota sebagai ciri kekuasaan adalah
tanda. Antarhubungan sistem simbol adalah metaforik, arbitrer, sedangkan antarhubungan sistem
tanda adalah metonimik.

Equivalensi antara simbol dengan tanda

Simbol

Metaforik

Paradigmatis

Harmoni (simultan) Tanda

Metonimik

Sintagmatis

Relasi (berurutan)
Berbeda dengan interpretateur, yaitu subjek penerima tanda, interpretant adalah tanda-
tanda baru setelah dihubungkan dengan acuan. Disamping menginterpretasikan, ke dalam
interpretant juga termasuk meringkas teks, penggambaran struktur teks, menceritakan kembali
sebuah teks, jadi, seolah-olah menciptakan kembali sebuah teks. Sebagaimana triadik di atas,
interpretant juga dilakukan melalui satuan minimal teks (rheme), misalnya, kata-kata. Agar memiliki
arti, maka dilanjutkan pada tingkatan yang lebih tinggi (dicisigns), misalnya, dengan melihat kamus.
Pada tingkatan terakhir, tanda dianggap berlaku umum (argument). Kata ‘buku’ adalah rheme, ‘buku
bacaan’ adalah dicisigns. Buku bacaan, setelah dikaitkan dengan keberadaannya di perpustakaan
dan fungsinya bagi masyarakat, dan seterusnya, maka menjadi argument. Menurut Van Zoest
(1993:30), sebuah kalimat yang koheren, sebuah puisi, sebuah roman, dan sebagainya,dengan
sendirinya merupakan argument.

4.4.3 Semiotika Sosial

Sebagai metode mikroskopis, strukturalisme dianggap mengingkari peranan subjek, baik


pengarang sebagai subjek individual maupun masyarakat sebagai subjek transindividual. Oleh karena
itu lah, metode dan teori strukturalisme dianggap antihumanis. Semiotika memberikan jalan ke luar
dengan cara mengembalikan objek sekaligus pada pengarang dan latar belakang sosial yang
menghasilkannya. Argumentasi yang dikemukakan dalam teori semiotika adalah asumsi bahwa karya
seni merupakan proses komunikasi, karya seni dapat dipahami semata-mata dalam kaitannya
dengan pengirim dan penerima. Makna tanda-tanda bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi berasal
dari konteks di mana ia diciptakan, di mana ia diciptakan, di mana ia tertanam. Jadi, sebuah tanda
bisa memiliki arti sangat banyak, atau sama sekali tidak berarti.

Semiotika sosial, menurut salah seorang pelopornya, yaitu Halliday (1992 : 3-8), adalah
semiotika itu sendiri, dengan memberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang
masyarakat sebagai makrostruktur. Apabila analisis ekstrinsik terbatas dalam memberikan
penjelasan pada aspek tekstual, unsur-unsur kemasyarakatan sebagaimana terkandung dalam karya,
yang kemudian dikaitkan dengan masyarakat dalam kenyataan sehari-hari, semiotika sosial
melangkah lebih jauh, satu pihak mencoba memberikan penilaian pada gejala di balik objek, di lain
pihak memberikan kemungkinan untuk menjelaskan hakikat masyarakat dalam rangka multidisiplin,
sebagai multikultural. Halliday dalam hubungan ini menganggap bahwa istilah sosial sejajajr dengan
kebudayaan.

Semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat teks sebagai
gejala yang dinamis. Sebagai ilmu tanda, semiotika sosial mesti dipahami dalam kaitannya dengan
konteks, dimana tanda-tanda tersebut difungsikan. Tanda tidak berfungsi dalam dirinya sendiri. Oleh
karena itulah, baik dalam struktualisme maupun semiotika konsep antarhubungan memegang
peranan yang sangat mennetukan, fungsi-fungsi yang selalu diabaikan oleh para peneliti sastra..
sebagai gejala kesastraan, teks juga berfungsi hanya dalam pemakaian, dalam interaksi antara
pengirim dan penerima. Puisi, cerpen, novel, peribahasa, dongeng, lagu, lukisan, dan sebagainya,
berfungsi dan dengan demikian memberikan makna semata-mata dalam proses komunikasi,
interaksi antara subjek dengan objek. Sebaliknya dapat dikatakan, sebuah novel besar, bahkan karya
sastra pemenang Hadiah Nobel sekalipun, apabila tidak difungsikan, tidak dibaca atau dibacakan,
tidak akan ada fungsinya. Menurut visi kontemporer, hanya teks yang bermanfaat, wacana menurut
pemahaman lain, bukan karya sebab yang dimaksud dengan karya adalah aspek fisik, ciri-ciri yang
dibatasi oleh ruang dan waktu.
Implikasi lebih jauh terhadap semiotika sosial sebagai ilmu, teks dan konteks sebagai objek
adalah metode yang harus dilakukan dalam proses pemahaman. Dalam kaitannya dengan semiotika
sosial, Halliday (1992 : 16-18) mendeskripsikan tiga model hubungan teks, yaitu : a) medan, sebagai
ciri-ciri semantis teks, b) pelaku, yaitu orang0orang yang terlibat, dan c) sarana, yaitu ciri-ciri yang
diperankan oleh bahasa. Model pemahaman bentuk, fungsi, dan makna, sebagaimana diintroduksi
dalam kajian kebudayaan tertentu, dalam hubungan ini Pascasarjana, Universitas Udayana, ternyata
memiliki kesejajaran dan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan model kajian yang
ditawarkan oleh Halliday di atas, dengan catatan bahwa bentuk sejajar dengan sarana, fungsi sejajar
dengan pelaku, sedangkan makna sejajar dengan medan teks.

Kritik sosial, termasuk dalam ilmu sastra, pada umumnya memperoleh masukan melalui
sudut pandang Marxis, bahwa ide, konsep, dan pendangan dunia individu ditentukan oleh
keberadaan sosialmya. Menurut Burge dan Lucmann (1973 : 13) kenyataan dengan demikian
dibangun secara sosial, kenyataan dengan kualitas mandiri yang tak tergantung dari kehendak
subjek. Secara analogi dapat dikatakan bahwa teks bermakna dalam konteks sosial tertentu, konteks
mendahului teks. Reproduksi makna bersifat sosial. Dalam interaksi sosial secara langsung
pertukaran makna tersebut terlihat secara jelas sebab dilakukan sekaligus melalui tanda-tanda
verbal dan nonverbal.

Sebagai kajian akademis, seperti disinggung di atas, semiotika sosial dimaksudkan sebagai
langkah-langkah dalam memanfaatkan sistem tanda bahasa dan sastra sekaligus kaitannya dengan
kenyataan di luarnya, yaitu masyarakat itu sendiri. Dalam hubungan ini jelas akan terjadi tumpang
tindih dengan sosiologi sastra. Perbedaannya, semiotika sosial tetap berangkat dari sistem tanda,
dengan sendirinya dengan memanfaatkan teori-teori semiotika,sedangkan sosiologi sastra berangkat
dari asumsi-asumsi dasar hubungan sastra dengan masyarakat, saling mempengaruhi di antara
keduanya, dan sebagainya. Teori yang digunakan adalah teori-teori sosiologi sastra. Sebagai teori
imperial, semiotika jelas digunakan dalam sosiologi sastra, demikian juga sebaliknya, analisis
semiotika, khususnya semiotika sosial jelas dibantu oleh teori-teori sosiologi sastra.

Dalam kehidupan praktis sehari-hari, keberagaman tanda dengan sistemnya, dan dengan
sendirinya keberagaman model hubungan dengan aspek-aspek kemasyarakatannya, memungkinkan
timbulnya keberagaman makna. Sistem tanda,apabila dimanfaatkan secara maksimal, dipahami
sesuai dengan kebutuhan subjek, jelas akan menjadikan dunia ini lebih berarti. Pemanfaatan sistem
tanda secara benar dan positif pada gilirannya merupakan salah satu cara untuk memelihara
stabilitas sosial. Pemahaman sistem tanda secara benar mempermudah aktivitas kehidupan, dengan
menggunakan energi secara minimal, tetapi memperoleh hasil secara maksimal. Asa Berger
(2000:99) memberikan contoh relevansi pemanfaatan penanda dan petanda dalam kaitannya
dengan pemahaman kehidupan sosial sebagai berikut.

Bagian Penanda Petanda

Kedokteran

Militer

Teater

Pola

Penemuan

Antropologi
Percintaan

Sosiologi Gejala

Lencana

Ekspresi wajah

Bentuk

Kata kunci

Barang peninggalan

Berlian

Roll Royce Penyakit

Pangkat

Tingkat emosi

Ciri khas

Kriminalitas

Tingkat budaya masyarakat

Cinta abadi

Status

4.5 Teori Strukturalisme Genetik

Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar


murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Baik strukturalisme dinamik maupun strukturalisme
genetik juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas, bahasa sastra.
Perbedaannya, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh yaitu ke struktur sosial. Langkah-
langkah inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik sangat dominan pada periode
tertentu, dianggap sebagai teori yang berhasil memicu kegairahan analisis, baik di Barat maupun di
Indonesia.

Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog
Rumania-Perancis. Teori tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Hiiden God : a
Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine, dalam bahasa Perancis
terbit pertama kali tahun 1956. Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya, Jurnal Ilmiah The
Philosophical Forum (Vol. XXIII, 1991-1992) secara khusus menerbitkan karya-karya ilmiah dlaam
kaitannya dengan kepakarannya, khususnya terhadap teori strukturalisme genetik.

Dalam rangka memberikan keseimbangan antara karya sastra dengan aspek yang berada di
luarnya, yaitu antara hakikat otonomi dengan hakikat ketergantungan sosialnya, Goldmann tidak
secara langsung menghubungkan karya dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan
mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan. Dalam hubungan inilah dikatakan
bahwa Goldmann mendasarkan teorinya pada konsep kunci Marxime. Meskipun demikian,
Goldmann tetap berbeda dengan Marxisme. Pertama, apabila Marxisme menolak struktur,
Goldmann tetap memperthankan relevansi struktur. Kedua, berbeda dengan Marxisme yang
menggunakan metode positivistik, Goldmann menggunakan metode dialektik. Oleh karena itulah,
Goldmann disebut para-Marxis. Oleh karena ia juga memperbaharui konsep dialektika Hegel,
Goldmann juga disebut neo-Hegelian (Selden, 1986: 39-40).

Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldmann
sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi struktur bermakna, di mana
setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya
sehingga setiap unsur menopang totalitasnya. The Hidden God, di mana konsep-konsep dasarnya
ditanamkan kemudian disebut sebagai sosiologi kebudayaan. Menurut Boelhower (baca Goldmann,
1981: 14-16), Goldmann mulai mengkritik strukturalisme (murni) sekitar tahun 1960-an, dengan cara
mengkombinasikan psikologi genetik Piaget, sebagai asimilasi dan akomodasi, dan teori dialektik
Marx, sebagai infrastruktur dan superstruktur.

Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan


perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus
memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian, sebagai teori
yang telah teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih ditopang oleh beberapa konsep canggih
yang tidak dimiliki oleh teori sosial lain, misalnya : simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subjek
transindividual, dan pandangan dunia. Konsep-konsep inilah yang berhasil membawa strukturalisme
genetik pada puncak kejayaannya, sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an.

Homologi dipinjam melalui kekayaan intelektual biologi, dengan asumsi persamaan struktur
sebab diturunkan melalui organisme primitif yang sama. Dalam strukturalisme genetik homologi
disamakan dengan korespondensi, kualitas hubungan yang bersifat struktural. Homologi dengan
demikian bukanlah kesejajaran formal, arbitrer, analogi, atau monolitis. Homologi memiliki implikasi
dengan hubungan bermakna antara struktur literer dengan struktur sosial. Dalam proses penelitian
identifikasi terhadapnya memerlukan penelitian yang seksama, kualitasnya ditentukan oleh karya itu
sendiri, bukan struktur sosial. Homologi bukan reduksi dan imitasi, interdependensinya adalah
struktural, bukan hubungan isi secara langsung. Adanya penanda kota Jakartaatau tokoh Kartini
dalam sebuah novel, misalnya, tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan ibu kota Republik
Indonesia atau tokoh gerakan emansipasi wanita awal abad ke-20. Sebagai petanda, secara homolog
dan struktural, di satu pihak kota Jakarta sejajar dengan kekuasaan, korupsi, prostitusi, dan
sebagainya, di pihak lain, Kartini menampilkan citra keagungan, kharismatik, ciri-ciri yang mesti
diteladani oleh bangsa Indonesia yang sebagian penduduknya adalah wanita. Oleh karena itulah,
Boelhower (ibid:29) mensyaratkan homologi sebagai hubungan antara objek dengan bahasa sebagai
sistem model kedua menurut proposisi Lotman.

Kelas-kelas sosial tidak perlu didefinisikan ke dalam pertentangan dan eksploitasi,


sebagaimana pemahaman kelas dalam Marxisme. Dalam hubungan ini kelas-kelas sosial adalah
kolektivitas yang menciptakan gaya hidup tertentu, dengan struktur yang ketat dan koheren. Kelas
dengan demikian jelas berpengaruh terhadap bentuk, fungsi, makna, dan gaya suatu karya seni.
Kelas merupakan salah satu indikator untuk membatasi kenyataan sosial yang dimaksudkan oleh
pengarang, sehingga peneliti dapat memfokuskan perhatiannya semata-mata terhadap kelompok
yang dimaksudkan. Karya sastra pada gilirannya dapat dipahami hanya dalam kaitannya dengan
kelas yang menghasilkannya. Pada dasarnya, menurut visi strukturalisme genetik, kelas yang
dimaksudkan identik dengan kelas sosial pengarang. Kenyataan ini memiliki implikasi metodologis
dalam kaitannya dengan penelitian sosiologi sastra yang pada umumnya memandang karya sastra
sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pengarang.

Secara sosiologis, menurut Hauser(1985:139) seniman pun pada dasarnya ditentukan oleh
kelas sosialnya. Perlu dijelaskan bahwa keterlibatan pengarang lebih bersifat afinitas, sebagai bentuk
ketertarikan terhadap suatu masalah dibandingkan dengan komitmen. Atas dasar akal sosial yang
sama maka terjadilah simpati terbagi, imajinasi terbagi, kesadaran sosial yang dianggap sebagai
genesis kreativitas. Dalam hubungan inilah sesuai dengan pandangan Marxis, karya disebut sebagai
wakil kelas sebab karya sastra dimanfaatkan untuk menyampaikan aspirasi kelompoknya. Dikaitkan
dengan seniman sebagai pencipta, latar belakang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a)
latar belakang karena afiliasi, dan b) latar belakang karena kelahiran. Sebagai pencipta, dengan ciri-
ciri aktivitas kreatif di suatu pihak, penjelajahan sumber-sumber ilmu pengetahuan terhadap
kelompok yang dimaksudkan. Karya sastra pada gilirannya dapat dipahami hanya dalam kaitannya
dengan kelas yang menghasilkannya. Pada dasarnya, menurut visi strukturalisme genetik, kelas yang
dimaksudkan identik dengan kelas sosial pengarang. Kenyataan ini memiliki implikasi metodologis
dalam kaitannya dengan penelitian sosiologi sastra yang pada umumnya memandang karya sastra
sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pengarang.

Secara sosiologis, menurut Hauser(1985:139) seniman pun pada dasarnya ditentukan oleh
kelas sosialnya. Perlu dijelaskan bahwa keterlibatan pengarang lebih bersifat afinitas, sebagai bentuk
ketertarikan terhadap suatu masalah dibandingkan dengan komitmen. Atas dasar akal sosial yang
sama maka terjadilah simpati terbagi, imajinasi terbagi, kesadaran sosial yang dianggap sebagai
genesis kreativitas. Dalam hubungan inilah sesuai dengan pandangan Marxis, karya disebut sebagai
wakil kelas sebab karya sastra dimanfaatkan untuk menyampaikan aspirasi kelompoknya. Dikaitkan
dengan seniman sebagai pencipta, latar belakang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a)
latar belakang karena afiliasi, dan b) latar belakang karena kelahiran. Sebagai pencipta, dengan ciri-
ciri aktivitas kreatif di suatu pihak, penjelajahan sumber-sumber ilmu pengetahuan di pihak yang
lain, maka yang lebih bermakna adalah latar belakang sebagai akibat afiliasi, sebagai kelahiran yang
kedua. Bentuk afiliasi bermacam-macam, sesuai dengan kompksitas struktur sosial, seperti :
keluarga, profesi, intelektual, religi, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Pengarang dapat melepaskan
diri dari kelompok asal, terlibat dalam kelompok lain, demikian seterusnya.

Sejajar dengan masalah kelas-kelas sosial di atas, Goldmann juga mengintroduksi konsep
transindividual, intersubadopsi istilah transindividual melalui khazanah intelektual Marxian,
khususnya Lukacs, Goldmann tidak menggunakan istilah kesadaran kolektif dengan pertimbangan
bahwa istilah yang terakhir seolah-olah menonjolkan pikiran-pikiran kelompok. Sebaliknya, menurut
Goldmann (1976:89-95) transindividual menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi dengan struktur
mental kelompok. Dunia intersubjektif adalah dunia yang dihuni bersama-sama dengan individu
yang lain. Secara historis subjek transindividual juga dianggap penolakan terhadap kultus individu
yang menguasai abad Romantik. Dalam strukturalisme genetik subjek transindividual merupakan
energi untuk membangun pandangan dunia.

Pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam strukturalisme genetik. Homologi, kelas-
kelas sosial, struktur bermakna, dan subjek transindividual diarahkan pada totalitas pemahaman
yang dianggap sebagai kesimpulan suatu penelitian. Pendangan dunialah yang memicu subjek untuk
mengarang, identifikasi pandangan dunia juga yang dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan
suatu karya. Dengan kalimat lain, mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti
mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial
sehari-hari.
Secara definitif Goldmann (1997:25) menjelaskan dengan dunia sebagai ekspresi psike
melalui hubungan dialektis kolektivitas tertentu dengan lingkungan sosial dan fisik, dan terjadi dalam
periode bersejarah yang panjang. Pandangan dunia bukanlah ideologi sebagaimana terkandung
dalam pemahaman Marxisme atau pemahaman masyarakat pada umumnya. Konsep-konsep yang
mendasari pandangan dunia harus digali melalui dan didalam kesadaran kelompok yang
bersangkutan kelompok yang bersangkutan dengan melibatkan indikator sistem kepercayaan,
sejarah, intelektual, dan sejarah kebudayaan secraa keseluruhan. Penelitian terhadap primordial dan
berbagai kecenderungan masa lampau yang masih sangat dominan di Indonesia, misalnya,
memerlukan pelacakan terhadap fakta-fakta sejarah kebudayaan yang meliputi masa ratusan
bahkan ribuan tahun.

Pandangan dunia dipermasalahkan dalam berbagai disiplin, dan dengan sendirinya dengan
definisi yang berbeda-beda. Pandangan dunia sebagaimana dimaksudkan dalam karya sastra, seperti
telah diuraikan di atas, khususnya menurut visi strukturalisme genetik berfungsi untuk
menunjukakan kecenderungan kolektivitas tertentu. Melalui kualitas pandangan duniainilah karya
sastra menunjukkan nilai-nilainya, sekaligus memperoleh artinya bagi masyarakat. Benar, ilmu
pengetahuan memiliki cara-cara yang berbeda dalam menyajikan keberadaan suatu masyarakat,
dengan pandangan dunianya juga,tetapi perlu dipahami bahwa karya sastra, khususnya karya sastra
yang besar, memiliki cara yang sama sekali berbeda. Sebagai sistem simbol, karya sastra bahkan
dapat melampaui penelitian empiris.

Secara metodologis, dalam strukturalisme genetik Goldmann menyarankan untuk


menganalisis karya sastra yang besar, bahkan suprakarya. Pada dasarnya hampir semua teori
memberikan indikasi karya besar seperti itu sebab semata-mata dalam karya besalah terkandung
berbagai aspek kehidupan yang problematis. Semata-mata dalam karya yang besar peneliti secara
bebas memasuki wilayah kehidupan, ruang-ruang kosong sebagaimana disajikan oleh pengarangnya.
Sebaliknya, dalam karya yang tidak bermutu, peneliti hanya menemukan unsur-unsur yang terbatas
baik kualitas maupun kuantitasnya yang dengan sendirinya tidak memungkinkan untuk menyajikan
masalah-masalah kehidupan secara maksimal. Menurut Goldmann hanya karya besar mampu untuk
mengevokasi pandangan dunia. Dengan kalimat lain, koherensi suatu pandangan dunia tertentu
hanya dapat dipahami dalam karya yang besar.

Secara definitif strukturalisme genetik harus menjalankan struktur dan asal-usul struktur itu
sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan
pandangan dunia. Dalam penelitian, langkah-langkah yang dilakukan, diantaranya : a) meneliti
unsur-unsur karya sastra, b) hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra, c)
meneliti unsur-unsru masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra, d) hubungan unsur-
unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat, e) hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan
masyarakat secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.

4.6 Teori strukturalisme Naratologi

Naratologi sengaja diuraikan secara agak luas, dengan menyinggung sejumlah naratolog,
dengan pertimbangan, pertama berbagai aspek yang berkaitan dengan cerita telah mewarnai
penelitian-penelitian, baik dalam bidang sastra maupun kebudayaan pada umumnya. Kedua, buku
ini memang dimaksudkan untuk melengkapi literatur sastra dalam kaitannya dengan wacana naratif.
Naratologi, dari kata narratio (bahasa latin, berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu).
Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks)
naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pen(cerita)-an. Naratologi
berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan antara
subjek, predikat, dan objek penderita. Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator,
demikian juga wacana dan teks, berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya. Oleh karena
itulah, untuk memahaminya perlu dikaitkan dengan kekhasan para pakar masing-masing.

Narasi, baik sebagai cerita maupun pencitraan didefinisikan sebagai representasi paling
sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam kurun waktu. Narator atau agen naratif (Mieke Bal,
2985:19) didefinisakan sebagai pembicara dalam teks, subjek secara linguitis, bukan person, bukan
pengarang. Kajian wacana naratif dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan
budaya, yang dengan sendirinya sangata relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora).
Menurut Genette, kajian inilah yang dikembangkan di Program Pascasarjana, Universitas Udayana,
sekaligus dengan menawarkan pendekatan yang dianggap relevan, yaitu pendekatan bentuk, fungsi,
dan makna.

Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan di atas, maka hanya penceritaan yang memiliki
identitas yang sama baik dengan wacana maupun teks. Menurut Bal (1985:5), pembaca membaca
wacana dan teks yang berbeda dari cerita yang sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan
oleh perbedaan bahasa, tetapi bagaimana cerita ditampilkan kembali. Setiap orang, misalnya,
akarab dengan cerita jaka tarub, tetapi tiadk semua orang menikmati cerita tersebut melalui teks
yang sama sebab teks tidak diceritakan dalam bahasa, melainkan melalui bahasa diceritakan oleh
narator, bukan pengarang. Sebagai salah satu analisis diskursif, khususnya dalam kaitannya dengan
visi kontemporer, menurut Thompson (2003:27), cerita dan penceritaan dimanfaatkan untuk
melegitimasikan kekuatan dan kekuasaan bagi mereka yang memilikinya. Revolusi, restorasi, dan
afirmasi terhadap kelompok tertentu tidak semata-mata dilakukan melalui kekuatan fisik, politik,
dan ekonomi, tetapi juga melalui kata-kata, semboyan, dan wacana. Dalam hubungan ini analisis
naratif merupakan bagian ideologi, atau sebaliknya. Pada bab berikut pengertian-pengertian ini,
khususnya mengenai hakikat wacana dan teks akan dijelaskan secara lebih luas.

Naratologi pascastrukturalis, sebagaimana akan dijelaskan pada bab berikut, dipastikan


merupakan salah satu kajian yang banyak menarik minat, sebagai kajian interdisipliner, dengan
pertimbangan, disuatu pihak naratologi tidak membatasi diri pada teks sastra, melainkan
keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas manusia. Di pihak yang lain, aktivitas kebudayaan adalah
teks, yang dengan sendirinya dapat dianalisis sesuai dengan ciri-ciri teks. Demikian juga visi sastra
kontemporer memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki posisi penting dalam
memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan bahwa di suatu pihak ceritalah yang
menampilkan keseluruhan unsur karya, cerita sebagai tulang karya. Di pihak yang lain, dalam
kaitannya dengan kebudayaan yang lebih luas, cerita berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh
aktivitas manusia sekaligus mewariskan kepada generasi berikutnya. Tanpa cerita, tanpa adanya
kekuatan wacana dan teks, kebudayaan pun tidak ada. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa
dunia kehidupan itu sendiri dianggap sebagai teks, yang dengan sendirinya dapat dipahami melalui
paradigma sebuah teks. Hampir keseluruhan genre sastra, khususnya genre yang dikategorikan ke
dalam fiksi memanfaatkan unsur penceritaanlah yang lebih utama, cerita yang sudah disusun
kembali, yang disebut plot. Tanpa plot, wacana, dan teks, karya sastra hanya berfungsi sebagai fakta.
Dunia faktual semata-mata merupakan sistem model pertama untuk mengantarkan manusia pada
dunia sistem model kedua, yaitu dunia fiksional.

Dalam khazanah sastra Barat, selama dua abad pembicaraan mengenai bentuk naratif
dikaitkan dengan novel. Artinya, ada kecenderungan di antara penulis apabila membicarakan
masalah naratif perlu mengkaitkannya dengan novel. Alasan untuk memasukkan novel sebagai genre
utama diakibatkan oleh pemanfaatan struktur cerita dan penceritaan yang sangat kompleks, dengan
peralatan yang menyertainya, seperti : kejadian, tokoh-tokoh, latar, tema, sudut pandang, dan gaya
bahasa. Dilihat dari media yang tersedia, novel juga merupakan objek yang yang paling memadai,
paling luas, sehingga segala unsur penceritaan dapat dikemukakan. Novel adalah representasi dunia
itu sendiri, dimana manusia, baik sebagai penulis, pembaca, dan peneliti dapat melukiskan kualitas
emosionalitas dan intelektualitasnya, suatu media yang sangat tepat dalam kaitannya dengan
hakikat manusia sebagai homofaber. Teori sastra kontemporer memberikan wilayah yang sangat
luas terhadap eksistensi naratif. Disamping novel, roman, dan cerpen, juga termasuk puisi naratif,
dongen, biografi, lelucon, mitos, epik, catatan harian, dan sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada
genre sastra. Tetapi juga setiap bentuk cerita dalam media massa.

Secara historis, menurut Marie-Laureryan dan van Alphen (Makaryk, ed. 1990: 110-114),
naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut.

1. Periode prastrukturalis(- hingga tahun 1960-an),

2. Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an), dan

3. Periode pascastrukturalis (1980-an hingga sekarang).

Awal perkembangan teori narasi dapat dilacak dalam Poetica Aristoletes (cerita dan teks), Henry
James( tokoh dan cerita), Percy Lubbock (teknik naratif) dan Vladimir Propp( peranan dan fungsi).
Pada umumnya periodestrukturalis terlibat ke dalam dikotomi fabula dan sjuzhet, cerita dan plot.
Para pelopornya, diantaranya: Claude Levi-Strauss (struktur mitos), Tzvetan Todorov (historie dan
discours), Claude Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text), A.J. Greimas (tata
bahasa naratif dan struktur actans), dan Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration). Naratologi
pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi parole dan langue, interdisipliner,
termasuk feminis dan psikoanalisis. Para pelopornya, di antaranya: Gerard Genette (urutan, durasi,
frequensi, modus, dan suara), Gerald Prince (struktur narratee), Seymour Chatman (struktur naratif),
Jonathan Culler (kompetensi sastra), Roland Barthes ( kernels dan satellits), Mikhail Bakhtin (wacana
polifonik), Hayden White (wacana sejarah), Mary Louise Pratt (tindak kata), Umberto Eco (wacana
dan kebohongan), Jacques Derrida (dekonstruksi), Michel Foucault (wacana dan kekuasaan), Jean-
Francois Lyotard (metanarasi), dan Jean Baudrillard (hiperealitas, pastiche). Di bawah ini dibicarakan
beberapa naratolog yang dianggap penting, yang dianggap mewakili zamannya. Para pelopor
naratologi postrukturalis.tokoh yang sudah dibicarakan secara khusus, seperti Derrida, tidak
dibicarakan pada bagian ini.

4.6.1 Vladimir lakovlevich Propp

Propp (1895-1970) dianggap sebagai strukturalis pertama yang membicarakan secara serius
struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzet. Objek
penelitian Propp adalah cerita rakyat, seratus dongeng Rusia, yang dilakukan tahun 1928, tetapi baru
dibicarakan secara luas tahun 1958. Propp menyimpullkan bahwa semua cerita yang diselidiki
memiliki struktur yang sama. Oleh karena itulah, penelitian Propp disebut sebagai usaha untuk
menemukan pola umum plot dongeng Rusia, bukan dongeng pada umumnya. Menurut Propp (1987:
24-27; cf. Scholes, 1977: 60-73; Junus, 1998: 62-72), dalam struktur naratif yang penting bukanlah
tokh-tokoh, melainkan aksi tokoh-tokoh yang selanjutnya disebut sebagai fungsi. Unsur yang
dianalisis adalah motif (elemen), unit terkecil yang membentuk tema. Berbeda dengan kaum
formalis yang menganggap sjuzet sebagai plot, Propp memandang sebagai tema. Motif merupakan
unsur penting sebab motiflah yang membentuk tema. Sjuzet dengan demikian hanyalah produk dari
serangkaian motif (fokkema, 1997: 27, 62). Motif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: pelaku,
perbuatan, dan penderita, yang kemudian dikelompokkan menjadi dua, unsur yang tetap, yaitu
perbuatan, dan unsur yang berubah yaitu pelaku dan penderita. Dalam hubungan ini yang penting
adalah unsur yang tetap, perbuatan, yaitu fungsi itu sendiri.

Fungsi merupakan unsur yang stabil, tidak tergantung dari siapa yang melakukan, jadi,
persona sebagai variabel. Propp menyimpulkan bahwa jumlah fungsi yang terkandung dalam
dongeng yang ditelitinya maksimal 31 fungsi, yang dikelompokkan ke dalam tujuh ruang tindakan
atau peranan, yaitu: penjahat, donor, putri dan ayahnya, orang yang menyuruh, pahlawan, dan
pahlawan palsu. Menurut Teew (1988: 292-293), tujuan Propp bukan tipologi struktural, tetapi
melalui struktur dasar dapat ditemukan bentuk-bentuk purba. Dengan kalimat lain, dengan
menggabungkan antara struktur dengan genetiknya, struktur mendahului sejarah, maka akan
ditemukan proses penyebarannya kemudian. Oleh karena itulah, penelitian Propp menjadi model
bagi peneliti, seperti Greimas, Bremond, Todorov.

Dalam bidang antroplogi, cara-cara yang hampir sama dilakukan oleh Levi-Strauss,
khususnya dalam menganalisis struktur mitos. Menurut Selden (1986: 58), meskipun teori Propp
didasarkan atas dongeng-dongeng Rusia, tetapi fungsi-fungsi tersebut dianggap hador dalam jenis-
jenis lain, seperti: komedi, mitos, epik, roman, dan cerita pada umumnya. Oleh karena itu itulah, di
Indonesia, model penelitian Propp diharapkan dapat memberikan inspirasi dalam upaya untuk
mengkaji tradisi lisan yang sangat kaya. Vladimir Propp juga dianggap sebagai pelopor penelitian
dalam bidang naratologi, dengan bukunya yang berjudul Morfology of the Folktale (terbit pertama
kali tahun 1927). Model penelitiannya dikembangkan oleh para sarjana yang lain, khususnya dalam
tradisi Perancis, dengan salah seorang peneliti yang dianggap paling berwibawa, sekaligus menjiwai
penelitian naratologi berikutnya, yaitu Gerard Gentee, dalam bukunya yang berjudul Narrative
Discourse (terbit pertama kali tahun 1972).

4.6.2 Claude Levi-Strauss

Seperti disebutkandi atas, pendekatan yang hampir sama dengan Vladimir Propp dilakukan
oleh Claude Levi-Strauss, (1977: 59-70); cf. Junus, 1998: 64-65) keduanya tetap berbeda. Pertama,
apabila Propp memberikan perhatian pada cerita, Levi-Strauss lebih banyak memberikan perhatian
pada mitos. Kedua, apabila Propp menilai cerita sebagai kualitas estetis, Levi-Strauss menilainya
sebagai kualitas logis. Ketiga, apabila Propp menggunakan konsep fungsi sebagai istilah kunci, atas
dasar asumsi linguistik phone dan phoneme, Levi-Staruss mengembangkan istilah myt dan
mytheme.Keempat, berbeda dengan Propp yang memberikan perhatian pada naratif individual, Levi-
Strauss memberikan perhatian terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik secara
bulat maupun fragmentaris. Menurutnya, mitos adalah naratif itu sendiri, khususnya yang berkaitan
dengan aspek-aspek kebudayaan tertentu.

Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat.


Dengan kalimat lain, Levi-Strauss menggali gejala dibalik material cerita, sebagaimana tampak
melalui bentuk-bentuk yang termodifikasikan, dan harus direkonstruksi melaluinya. Seorang
antropolog dengan demikian harus menemukan struktur bawah sadar yang menggarisbawahi setiap
institusi. Oleh karena itu, sebagai sistem ide, maka hasilnya logis, sesuai dengan mitologi primitif.
Mytheme yang mungkin sususnannya tidak teratur, sebagaimana dekronologisasi kejadian dalam
plot, maka tugas penelitilah untuk menyusun kembali, sehingga ditemukan makna karya yang
sesungguhnya. Pendekatan antroplogi oposisi biner, tabu, dan incest, misalnya, dilakukan terhadap
mitos Oedipus, figur sentral saga, Thebes (versi Athena ditukis oleh Sophocles). Di satu pihak, oposisi
biner didasarkan atas kenyataan bahwa manusia secara kodrati memiliki kecenderungan untuk
berpikir secara dikotomis, seperti laki perempuan, bumi langit, alam kebudayaan, dan sebagainya.
Mitos, totem dengan demikian bukanlah takhayul primitif, melainkan sebagai contoh dasar cara-cara
berpikir. Pada gilirannya organisasi masyarakat mengikuti oposisi biner tersebut. Pada tahun 1950-
an itu juga kode-kode biner telah diterapkan dalam sibernetika dan komputer digital. Di pihak lain,
tabu dan incest dianggap sebagai prasyarat perkembangan manusia dan keberadaan alamiah ke
kebudayaan yang lebih maju. Pelarangan perkawinan di antara keluarga secara logis memaksa
manusia untuk mencari pasangan di luar keluarga, yang pada gilirannya akan membentuk ikatan-
ikatan baru, sekaligus menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat yang lain. Dalam
bidang psikologi, dalam kaitannya dengan motif incest, dibicarakan oleh Freud.

Sebagai seorang strukturalis, menurut Ino Rossi (1974: 90), konsep Levi-Strauss sering
disalahtafsirkan. Menurut Levi-Strauss, sebagaimana dinyatakan dalam bukunya yang terkenal
Structural Antroplogy, struktur bukanlah representasi atau subtitusi realitas. Struktur dengan
demikian adalah realitas empiris itu sendiri, yang tampil sebagai organisasi logis, yang disebut
sebagai isi. Oleh karena itulah, disebutkan bahwa isi tidak bisa terlepas dari bentuk tersebut,
demikian juga sebaliknya. Hubungannya dengan Saussure, Jakobson, dan Trubetzkoy tahun 1950-an
memperdalam analisis antroplogi dengan model linguistik, dengan konsep dasar pebedaan dan
hubungan, bagaimana unsur-unsur dari suatu sistem dapat berhubungan, di antaranya metode
segitiga kuliner dan sistem kekerabatan. Metode segi tiga kuliner diterapkan dalam analisis
mengenai makanan, yaitu: makanan mentah, makanan yang dimasak, dan makanan fermentasi.
Karya terkenal yang dilakukan dengan Jakobson adalah analisis puisi ‘Les Chats’ karangan Baudelaire
yang didasarkan atas prinsip-prinsip equivalensi. Perkenalannya dengan suku-suku bangsa primitif
menimbulkan gagasan untuk mengkaji pola-pola berpikir secara bersahaja, yang biasanya didominasi
oleh sistem kekerabatan, seperti: hubungan darah, hubungan perkawinan, dan hubungan
keturunan. Menurut Scholes (1977: 60), mitos dan cerita rakyat merupakan prototipe semua jenis
naratif, sebagai nenek moyang dan model perkembangan fiksi kemudian.

4.6.3 Tzvetan Todorov

Tzvetan Todorov (Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977: 69-70), yang dipengaruhi oleh Propp,
Levi-Strauss, dan formalisme Rusia, disamping memperjelas perbedaan antara fabula dan sjuzet,
juga mengembangkan konsep historie dan discours,yang sejajar dengan fabula dan sjuzet. Dalam
menganalisis tokoh-tokoh, Todorov menyarankan untuk melakukannya melalui tiga dimensi, yaitu:
kehendak, komunikasi, dan partisipasi. Menurutnya, semua sistem relasi berasal dari ketiga relasi ini.
Menurutnya, objek forma puitika bukan interpretasi atau makna, melainkan struktur atau aspek
kesastraan (literariness), yang terkandung dalam wacana. Dalam analisis mesti mempertimbangkan
tiga aspek, yaitu: a) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan logi, b) aspek
semantik, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema, tokoh, dan latar, dan c) aspek
verbal, meneliti sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya. Triadik di atas
memiliki kesejajaran dengan retorika kuno yang dibedakan atas disposito (sintaksis), inventio
(semantik), dan elutio (verbal), demikian juga linguitik modern yang dibedakan atas sintaksis,
semantik, dana fonologi.

Konsep Todorov (1985: 11-15) yang lain adalah in praesentia dan in absentia, dalam
linguistik atau sintaksis dan semantis. Konsep pertama menyatakan hubungan unsur yang hadir
bersama, secara berdampingan, sebagai hubungan konfigurasi atau konstruksi, sedangkan konsep
yang kedua menyatakan hubungan yang salah satu faktornya tidak hadir, sebagai hubungan makna
dan perlambangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya antarhubungan adalah kausalitas.
Tokoh menunjukkan tokoh lain sebagai antitesi (in prasentia), sebaliknya tokoh juga dapat menunjuk
sesuatu yang lain di luar struktur naratif (in absentia). Todorov membedakan antara sastra sebagai
ilmu mengenai sastra (puitika) dan sastra dalam kaitannya dengan disiplin yang lain, sastra sebagai
projeksi, seperti: psikologi sastra, sosiologi sastra, studi biografis, kritik fenomenologis, termasuk
komentar, resensi, dan sebagainya.

4.6.4 Algirdas Julien Greimas

Naratologi Greimas (selden, 1986: 59-60; Culler, 1977: 77-87) merupakan kombinasi antara
model paradigmatis Levi-Strauss dengan model sintagmatis Propp. Dibandingkan dengan penelitian
Propp, objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu dongeng, tetapi diperluas
pada mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi yang hampir sama, Greimas memberikan perhatian
pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam, dengan tujuan yang lebih umum, yaitu tata
bahasa naratif universal. Dengan menolak aturan, dikotomi yang kaku sebagaimana dipahami oleh
strukturalisme awal, Greimas pada gilirannya lebih mementingkan aksi dibandingkan dengan pelaku.
Tidak ada subjek di balik wacana, yang ada hanyalah subjek, manusia semu yang dibentuk oleh
tindakan, yang disebut actans dan acteurs. Menurut Rimon-Kenan (1983: 34-35), baik actans
maupun acteurs dapat berarti suatu tindakan, tetapi tidak selalu harus merupakan manusia,
melainkan juga nonmanusia.

Berbeda dengan actans yang terbatas fungsinya dalam struktur naratif, yang dibedakan
menjadi tiga oposisi biner, acteurs merupakan kategori umum. Dlaam kalimat ‘Jhon daan Paul
memberikan apel kepada Mary’, Jhon dan Paul adalah acteurs, tetapi satu actans. Jhon dan Paul juga
merupakan pengirim, Mary adalah penerima, sedangkal apel adalah objeknya. Dalam kalimat ‘Jhon
membelikan dirinya sendiri sebuah baju’, Jhon adalah satu acteurs yang berfungsi sebagai dua
actans, baik sebagai pengirim maupun penerima. Kemampuan Greimas dalam mengungkapkan
struktur actans dan acteurs menyebabkan teori struktur naratologinya tidak semata-mata
bermanfaat dalam menganalisis teks sastra melainkan juga filsafat, religi, dan ilmu sosial lainnya.
Tiga puluh satu fungsi dasar analisis Propp disederhanakan menjadi dua puluh fungsi, yang
kemudian dikelompokkan menjadi tiga struktur, yaitu: struktur berdasarkan perjanjian, dan struktur
yang bersifat pemutusan. Demikian juga tujuh ruang tindakan disederhanakan menjadi enam actans
(peran, pelaku, para, pembuat), yang dikelompokkan menjadi tiga pasangan oposisi biner, yaitu:
subjek dengan objek, kekuasaan dengan orang yang dianugerahi atau pengirim dengan penerima,
dan penolong dengan penentang.

Alur merupakan energi terpenting yang menggerakkan cerita sehingga menjadi penceritaan,
dengan episode terpenting yang terdiri atas permulaan, komplikasi, dan penyelesaian. Analisis
strukturalisme, dengan membedakan antara tokoh bundar dan datar menurut dikotomi Forsterian,
misalnya, dianggap hanya memberikan perhatian pada tokoh dan penokohon secara individual.
Naratologi struturalis lebih banyak memberikan perhatian pada fungsi dan relasinya. Menurut
Luxemburg, dkk. (1984; 153; Culler, 1977: 233-234)), di antara ketiga oposisi biner di atas yang
terpenting adalah pasangan subjek-objek, hubungan antara pejuang dengan tujuannya. Pada
umumnya pejuang (subjek) terdiri atas pelaku sebagai manusia, sedangkan tujuan (objek) terdiri atas
berbagai kehendak yang mesti dicapai, seperti kebebasan, keadilan, kekayaan, dan sebagainya.
Suatu perjuangan pada umumnya dihalangi oleh kekuasaan (pengirim), tetapi apabila berhasil maka
pelaku (penerima) menerimanya sebagai hadiah.

Penolong dan penentang tidak selalu merupakan manusia, misalnya senjata atau benda-
benda lain yang memiliki kekuatan. Kekuasaan dapat bersifat kongkret, seperti raja dan jenis
penguasa yang lain. Kekuasaan juga dapat bersifat abstrak, seperti masyarakat, nasib, dan waktu,
bahkan juga salah satu sifat yang terkandung dalam diri pejuang. Di antara subjek dan objek ada
tujuan, di antara pengirim dan penerima ada komunikasi, sedangkan di antara penolong dan
penentang ada bantuan atau tantagan. Actans dengan demikin jangan dikacaukan dengan actor.
Actans merupakan peran-peran abstrak yang dapat dimainkan oleh seorang atau sejumlah pelaku.
Actans merupakan struktur dalam, sedangkan actor merupakan struktur luar, dengan kalimat lain,
actor merupakan manifestasi kongkret dari actans. Oleh karena itu, artikulasi actor menentukan
dongeng tertentu, sedangkan struktur actans menentukan genre tertentu. Aktor yang sama, pada
saat yang berbeda-beda dapat merepresentasikan actans yang berbeda-beda, sebaliknya, actans
yang sama terbentuk oleh aktor yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Bal (1985: 26-27)
menjelaskannya sebagai subjek-actans dan objek-actans. John ingin menikahi Mary, Mary adalah
person, sedangkan John ingin menjadi kaya, maka yang menjadi objek-actans bukan person.
Rimmon-Kenan (1983: 34-35) melukiskan hubungan keenam factor tersebut sebagai berikut.

pengirim > objek > penerima

penolong > subjek < peentang

4.6.5 Shlomith Rimmon-Kenan

Rimmon-Kenan (1983:1-5) juga menjelaskan bahwa wacana naratif meliputi keseluruhan


kehidupan manusia. meskipun demikian ia hanya mencurahkan perhatiannya pada wacana naratif
fiksi. Oleh karena itulah, ia mendefinisikan fiksi naratif sebagai urutan peristiwa fiksional. Berbeda
dengan narasi lain, seperti film, tarian, dan pantomime, narasi fiksi dengan demikian mesyaratkan :
a) proses komunikasi, proses naratif sebagai pesan yang ditransmisikan oleh pengirim kepada
penerima, dan b) struktur verbal medium yang digunakan untuk mentransmisikan pesan. Atas dasar
pemahaman Genette, Rimmon-Kenan membedakannya menjadi story, text, dan narration.

Story menunjuk pada peristiwa-peristiwa, yang di abstraksikan dari disposisinya dalam tekx
dan direkontrusikan dalam orde kronologisnya, bersama-sama dengan partisipan dalam peristiwa
tersebut. Apabila story merupakan urutan kejadian, teks adalah wacana yang diucapkan atau ditulis,
apa yang dibaca. Dalam hubungan ini jelas peristiwa tidak kronologis, dan keseluruhan narasi berada
dalam perspektif fokalisasi. Narration adalah tindak atau proses produksi, yang mengimplikasikan
seseorang, baik sebagai fakta maupun fiksi yang mengucapkan atau menulis wacana. Dalam fiksi
disebut narrator. Sama dengan Genette, studi yang relevan adalah teks sebab teks didefinisikan oleh
kedua unsure yang lain. Tanpa diucapkan, tanpa ditulis atau dinarasikan, cerita dan narasi dianggap
sebagai metonimi teks.

Cerita dan penceritaan, sebagai dikotomi antara fabula dan sjuzet dibicarakan secara serius
dalam formalism. Perbedaan tersebut juga mewarnai periode strukturalisme. Perbedaan pendapat
mengenai unsure-unsur karya sastra yang lain, seperti : tema, penokohan, latar, sudut pandang, dan
sebagainnya, sebagian besar diakibatkan oleh perbedaan pemahaman mengenai hakikat cerita dan
penceritaan. Kelompok postrukturalisme mulai meragukan adanya makna yang pasti sebagai akibat
antarhubungan yang juga relative pasti. Hubungan hakiki antara fabula dengan sjuzet, yang diduga
merupakan manifestasi kecenderungan purba sebagaimana diindikasikan dalam oposisi biner,
sebagai subjek dan objek harus diberikan makna yang baru. Hubungan diadik diperbaharui menjadi
triadik. Pembicaraan ini memerlukan secara agak khusus, di satu pihak sesuai dengan tujuan buku ini
untuk memberikan perhatian pada wacana naratif, di pihak lain sebagai sebagai akibat
perkembangan visi sastra kontemporer dengan hakikat multidisiplin. Oleh karena itulah, masalah ini
dibicarakan secara khusus pada bab berikut.

Anda mungkin juga menyukai