Anda di halaman 1dari 7

Semiotika Charles Sander Peirce

Menurut Peirce semiotika didasarkan pada logika, karena logika mempelajari bagaimana
orang bernalar, sedangkan penalaran menurut Peirce dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-
tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna
pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Kita mempunyai kemungkinan yang luas
dalam keanekaragaman tanda-tanda, dan di antaranya tanda-tanda linguistik merupakan
kategori yang penting, tetapi bukan satu-satunya kategori. Dengan mengembangkan
semiotika, Peirce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya. Ia
memberi tempat yang penting pada linguistik, namun bukan satu-satunya. Hal yang berlaku
bagi tanda pada umumnya berlaku pula bagi tanda linguistik, tapi tidak sebaliknya. Menurut
Peirce tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya
memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional
dengan tanda-tanda tersebut. Dengan demikian sebenarnya Peirce telah menciptakan teori
umum untuk tanda-tanda. Secara lebih tegas ia telah memberikan dasar-dasar yang kuat
pada teori tersebut dalam tulisan yang tersebar dalam berbagai teks dan dikumpulkan dua
puluh lima tahun setelah kematiannya dalam Ouvres Completes (karya lengkap). Teks-teks
tersebut mengandung pengulangan dan pembetulan dan hal ini menjadi tugas penganut
semiotika Peirce untuk menemukan koherensi dan menyaring hal-hal yang penting. Peirce
mengehendaki agar teorinya yang bersifat umum ini dapat diterapkan pada segala macam
tanda, dan untuk mencapai tujuan tersebut, ia memerlukan konsep-konsep baru. Untuk
melengkapi konsep itu ia menciptakan kata-kata baru yang diciptakannya sendiri (Kaelan,
2009: 166).

Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or
capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground.
Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik,
yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan
klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign,
sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata
kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa
yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai
keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah norma yang
dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang
boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.

Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks),
dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya
bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan hubungan
antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan
peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan
petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung
mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api.
Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda
konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan
hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat
arbriter atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.

Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rheme, dicent


sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang
menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya dapat saja
menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata
dimasuki insekta, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent sign atau dicisign adalah tanda
sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka di tepi
jalan dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa di situ sering terjadi
kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu
(Sobur, 2006: 41-42).

Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Peirce membagi tanda menjadi sepuluh jenis
(Sobur, 2006: 42-43).:

1) Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. kata keras menunjukkan
kualitas tanda. misalnya, suaranya keras yang menandakan orang itu marah atau ada
sesuatu yang diinginkan.

2) Inconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Contoh: foto,


diagram, peta, dan tanda baca.

3) Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, yang


secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu. Contoh:
pantai yang sering merenggut nyawa orang yang mandi di situ akan dipasang bendera
bergambar tengkorak yang bermakna, dilarang mandi di sini.

4) Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu. Misalnya,
tanda larangan yang terdapat di pintu masuk sebuah kantor.
5) Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau hukum. Misalnya,
rambu lalu lintas.

6) Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu,
misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana buku itu?” dan dijawab, “Itu!”

7) Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk
subyek informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-putar di atas mobil ambulans
menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka yang tengah dilarikan ke rumah sakit.

8) Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan
objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau. Lantas kita
katakan, harimau. Mengapa kita katakan demikian, karena ada asosiasi antara gambar
dengan benda atau hewan yang kita lihat yang namanya harimau.

9) Dicent Symbol atau Proposition (porposisi) adalah tanda yang langsung


meghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang berkata, “Pergi!”
penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan sertamerta kita pergi. Padahal proposisi
yang kita dengar hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan yang membentuk kalimat,
semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi di dalam otak. Otak
secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu, dan seseorang secara otomatis dan
cepat menafsirkan proposisi itu, dan seseorang segera menetapkan pilihan atau sikap.

10) Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu
berdasarkan alasan tertentu. Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap sebab ia
menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. Dengan demikian argumen merupakan tanda yang
berisi penilaian atau alasan, mengapa seseorang berkata begitu. Tentu saja penilaian
tersebut mengandung kebenaran.

Pengertian Semiotika

Seperti yang telah diulas sedikit, semiotika adalah kajian ilmu mengenai tanda yang ada dalam
kehidupan manusia serta makna dibalik tanda tersebut. Ada beberapa pendapat mengenai asal kata
semiotika yang keduanya dari bahasa Yunani, pertama adalah seme yang berarti “penafsiran tanda”,
sedangkan yang kedua adalah semeion yang berarti “tanda”. Pada perkembangannya, terdapat
beberapa ahli yang mengkaji semiotika dalam studi mereka dan menciptakan teori-teori semiotika,
salah satunya adalah Ferdinand de Saussure.

Saussure yang menggunakan istilah semiologi dalam kajian semiotikanya mengusung pendekatan
bahasa atau linguistik dalam studinya, tak jauh karena ia memiliki latar belakang linguistik. Saussure
lahir pada tahun 1857 dan mulai menyukai bidang bahasa dan kesustraan sejak kecil, bahkan pada
usia 15 tahun ia menulis tulisan yang berjudul essai sur les langue. Saussure kemudian mempelajari
bidang bahasa lebih mendalam di Leipzig dan Berlin, serta mempelajari berbagai bahasa yang salah
satunya adalah bahasa Sansekerta.
Semiologi menurut Saussure adalah kajian mengenai tanda dalam kehidupan sosial manusia,
mencakup apa saja tanda tersebut dan hukum apa yang mengatur terbentuknya tanda. Hal ini
menunjukkan bahwa tanda dan makna dibalik tanda terbentuk dalam kehidupan sosial dan
terpengaruhi oleh sistem (atau hukum) yang berlaku di dalamnya.

Ada beberapa hal dalam sistem yang mempengaruhi pembentukan dan pelestarian tanda dalam
masyarakat, dan Saussure lebih menekankan pada peranan bahasa dibanding aspek lain seperti
sistem tulisan, agama, sopan-santun, adat istiadat, dan lain sebagainya.

Konsep dari Teori Semiotika Ferdinand De Saussure

Konsep semiotika atau semiologi dari Ferdinand de Saussure memiliki empat konsep, yaitu:

A. Signifiant dan Signifie


Konsep pertama adalah signifiant dan signifie yang menurut Saussure merupakan komponen
pembentuk tanda dan tidak bisa dipisahkan peranannya satu sama lain. Signifiant, atau disebut
juga signifier, merupakan hal-hal yang tertangkap oleh pikiran kita seperti citra bunyi, gambaran
visual, dan lain sebagainya. Sedangkan signifie, atau yang disebut juga sebagai signified, merupakan
makna atau kesan yang ada dalam pikiran kita terhadap apa yang tertangkap.

Jika ditinjau dari segi linguistik yang merupakan dasar dari konsep semiologi Saussure,
perumpamaannya bisa dianalogikan dengan kata dan benda “pintu”. Pintu
secara signifiant merupakan komponen dari kumpulan huruf yaitu p-i-n-t-u, sedangkan
secara signifie dapat dipahami sebagai sesuatu yang menghubungkan satu ruang dengan ruang
lain. Kombinasi dari signifiant dan signifie ini yang kemudian membentuk tanda atas “pintu”, bukan
sekedar benda mati yang digunakan oleh manusia.

B. Langue dan Parole


Konsep kedua adalah aspek dalam bahasa yang dibagi oleh Saussure menjadi dua
yaitu langue dan parole. Langue adalah sistem bahasa dan sistem abstrak yang digunakan secara
kolektif seolah disepakati bersama oleh semua pengguna bahasa, serta menjadi panduan dalam
praktik berbahasa dalam suatu masyarakat.

Sedangkan parole adalah praktik berbahasa dan bentuk ujaran individu dalam masyarakat pada satu
waktu atau saat tertentu

Saussure menjelaskan bahwa langue bisa dikatakan sebagai fakta sosial dan menjadi acuan
masyarakat dalam berbahasa, yang juga berperan sebagai sistem yang menetapkan hubungan
antara signifiant dan signifie. Langue yang direalisasikan dan diterapkan oleh individu dalam
masyarakat sebagai wujud ucapan bahasa ini kemudian disebut sebagai parole. Parole satu individu
dengan individu lainnya bisa saja berbeda-beda karena realisasi dan penerapannya bisa beragam
satu sama lain.

C. Synchronic dan Diachronic


Konsep yang ketiga mengenai telaah bahasa yang dibagi oleh Saussure menjadi dua,
yaitu synchronic dan diachronic. Synchronic merupakan telaah bahasa yang mana mempelajari
bahasa dalam satu kurun waktu tertentu, sedangkan diachronic mempelajari bahasa secara terus
menerus atau sepanjang masa selama bahasa tersebut masih digunakan.

Synchronic seringkali disebut sebagai studi linguistik deskriptif, karena kajian didalamnya banyak
mengkaji hal yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan bahasa apa yang digunakan
pada suatu masa tertentu. Sedangkan diachronic lebih bersifat pada studi historis dan komparatif,
karena bertujuan untuk mengetahui sejarah, perubahan, dan perkembangan struktural suatu bahasa
pada masa yang tak terbatas.

D. Syntagmatic dan Associative / Paradigmatic


Konsep semiologi Saussure yang terakhir adalah konsep mengenai hubungan antar unsur yang dibagi
menjadi syntagmatic dan associative atau paradigmatic. Syntagmatic menjelaskan hubungan antar
unsur dalam konsep linguistik yang bersifat teratur dan tersusun dengan beraturan.
Sedangkan, associative/paradigmatic menjelaskan hubungan antar unsur dalam suatu tuturan yang
tidak terdapat pada tuturan lain yang bersangkutan, yang mana terlihat nampak dalam bahasa
namun tidak muncul dalam susunan kalimat.

Hubungan syntagmatic dan paradigmatic ini dapat terlihat pada susunan bahasa di kalimat yang kita
gunakan sehari-hari, termasuk kalimat bahasa Indonesia. Jika kalimat tersebut memiliki
hubungan syntagmatic, maka terlihat adanya kesatuan makna dan hubungan pada kalimat yang
sama pada setiap kata di dalamnya. Sedangkan hubungan paradigmatic memperlihatkan kesatuan
makna dan hubungan pada satu kalimat dengan kalimat lainnya, yang mana hubungan tersebut
belum terlihat jika melihat satu kalimat saja.

Kita tentu sudah sering mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia yang membahas unsur-unsur
dalam kalimat berupa subjek, predikat, objek, dan keterangan (SPOK); namun pada kenyataannya
tidak semua kalimat selalu memiliki unsur-unsur tersebut, bukan? Kajian semiologi menyatakan jika
sebuah kalimat memiliki unsur SPOK yang lengkap dan memiliki kesatuan arti dari gabungan unsur
tersebut sehingga tidak bisa digantikan dengan unsur lain karena dapat merubah makna, maka
kalimat tersebut memiliki hubungan syntagmatig.

Dan sebaliknya, jika sebuah kalimat tidak memiliki susunan SPOK lengkap dan salah satu unsurnya
dapat diganti dengan kata lain tanpa merubah makna, maka kalimat tersebut memiliki
hubungan paradigmatic.

Bahasa Sebagai Sistem Tanda


Dengan latar belakang kajian linguistik dan bahasa, Saussure menempatkan bahasa sebagai dasar
dari sistem tanda dalam teori semiologi yang dibuatnya. Bahasa dipandang oleh Saussure sebagai
sistem tanda yang dapat menyampaikan dan mengekspresikan ide serta gagasan dengan lebih baik
dibanding sistem lainnya. Bahasa merupakan suatu sistem atau struktur yang tertata dengan cara
tertentu, dan bisa menjadi tidak bermakna jika terlepas dari stuktur yang terkait.

Saussure menjelaskan bahwa kajian linguistik masih terlalu umum untuk membahas sistem tanda,
karenanya perlu dibuat kajian yang lebih khusus yang ia namakan semiologi. Karena berangkat dari
dasar linguistik itulah, kajian semiotika dari Saussure ini dikenal juga dalam dunia ilmu pengetahuan
sebagai semiotika linguistik. Saussure sendiri menyebutkan tiga kata dalam bahasa Prancis yang
berarti ‘bahasa’, yaitu parole, langage, dan langue.

Parole adalah ekspresi bahasa yang muncul dari pikiran tiap individu dan tidak bisa disebut fakta
sosial karena cenderung subjektif. Langage merupakan gabungan dari parole dan kaidah bahasa,
yang mana digunakan oleh seluruh masyarakat sebagai gabungan dari ekspresi sehingga belum bisa
disebut fakta sosial. Sedangkan langue merupakan kaidah bahasa yang digunakan dan diterapkan
oleh kelompok masyarakat tertentu yang memungkinkan berbagai elemen di dalamnya untuk
memahaminya sehingga bisa dikatakan sebagai realitas yang ada
Sumber:

https://pakarkomunikasi.com/teori-semiotika-ferdinand-de-saussure

Anda mungkin juga menyukai