Anda di halaman 1dari 23

Teori Semiotika Roland Barthes

Disadur dan dimodifikasi oleh Shidarta


(dilarang mengutip kecuali menyebutkan sumbernya)

Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Salah satu tokoh penting semiotika adalah
Roland Barthes. Ia banyak menulis buku seputar semiotika, antara
lain Mythologies (1973),Element of Semiology (1977), The Fashion System (1983),
dan Camera Lucida (1994).

Teori semiotika yang secara singkat diungkapkan di bawah ini kerap digunakan
untuk menelaah tanda-tanda dalam bentuk iklan. Dengan teori ini, sebuah iklan tidak
hanya bisa ditelaah secara apa yang tersurat, melainkan juga yang bisa sampai
pada mitos di baliknya. Jika kita melihat iklan rokok di televisi, hampir tidak kita
jumpai wujud fisik rokok diperlihatkan di sana. Bahkan anjuran untuk merokok pun
tidak tersajikan. Sebaliknya, pada akhir iklan justru ada pesan bahwa rokok itu
membahayakan kesehatan. Namun, kita tidak dapat menghindari bahwa iklan ini
membawa pesan tertentu, bahkan sampai pada sebuah mitos yang ingin terus
dipelihara bahwa merokok itu jantan (macho), supel, trendy, cekatan, disukai lawan
jenis, dan berbagai karakter positif lainnya.

Tentu saja, "sign" di sini tidak harus berupa iklan. Ia dapat berarti teks apa saja,
termasuk klausula peraturan perundang-undangan dan rambu-rambu lalu lintas.
Secara ringkas teori dari Barthes ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap
pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2)
petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara denotatif. Tahap denotasi ini baru
menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman bahasa ini, kita dapat masuk ke
tahap kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap ini konteks
budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan tersebut. Dalam contoh di
atas, pada tahap I, tanda berupa BUNGA MAWAR ini baru dimaknai secara
denotatif, yaitu penandanya berwujud dua kuntum mawar pada satu tangkai. Jika
dilihat konteksnya, bunga mawar itu memberi petanda mereka akan mekar
bersamaan di tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan pijakan untuk
masuk ke tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa bunga mawar
yang akan mekar itu merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah dalam budaya
kita, bunga adalah lambang cinta? Atas dasar ini, kita dapat sampai pada tanda
(sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat cimta itu abadi seperti bunga yang
tetap bermekaran di segala masa. Makna denotatif dan konotatif ini jika digabung
akan membawa kita pada sebuah mitos, bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu
mengatasi segalanya.

Teori semiotika, termasuk yang disampaikan oleh Barthes, tentu memiliki


kelemahan. Dari gambaran di atas dapat dirasakan betapa kuat dimensi
subjektivitas tatkala kita membuat penafsiran-penafsiran ini. (*)

TEORI SEMIOTIK

Sistem Tanda (Semiotik)

Semiotik (semiotic) adalah teori tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis besar
semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic
pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic
semantic) (Wikipedia,2007).

Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)

Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh
yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas
perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang
pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan
bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan
perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya
arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil
persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam
menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur
merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.

Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)

Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan


‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini
mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam
arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur
sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur
akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya,
hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.

Semiotik Semantik (semiotic semantic)

Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’
yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang
sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur
merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang
disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali
sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu
rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan
oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat
oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama
dengan persepsi pengamatnya.

TEORI SEMIOTIK

C.S Peirce

Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari
tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah
sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan
merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu
sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari
kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang
muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut
objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari
tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang
ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang
terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah
tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.

Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang
mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya
sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat
Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa
saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.

Ferdinand De Saussure

Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam


teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan
pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal
melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang
terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya
arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda
berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah
sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem
berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk
dapat memaknai tanda tersebut.

Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier
atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.

Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna


tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi
Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan
interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai
“objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam
proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan
nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified).
Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat
dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).

Roland Barthes

Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut
Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat
denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit,
langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak
eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara
kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna,
tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi


antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi
antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”,
mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda
yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan
Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-
signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu
masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi
setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.
Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang
menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat”
karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini
kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon
beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi
tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini,
“pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.

Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak
mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak
mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita
hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu
merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata
dari kenyataannya (Sobur, 2006).

Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir
pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu
mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya
karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut
hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi
asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek.
Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas
atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita
masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau
sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang
memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan
penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat
benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-
ramai membeli obatnya.

J. Derrida

Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut


Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran
ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan
konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada
kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur
pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam
teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti
tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung
artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama
sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan
mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat,
fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak
lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan
ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan
banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang
dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang
dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya
pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang
seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di
altar gereja, dan sebagainya.

Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan
kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap
bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada
sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang
langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual
yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang
‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan.
Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.

Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan


ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru
bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya,
terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi
yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil
konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan
realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk
oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik
dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda
tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.

Umberto Eco

Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang
menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan
kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-
teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam
(Sobur, 2006).

Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin
memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah
konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda
bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan
bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat
yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan
pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai
sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti
apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik.
Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah),
atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan
istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan
pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang
ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik
masa kini.

Ogden & Richard

Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi


yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya
terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda
(signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual
Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda merupakan
Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari Penanda.
Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda
merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek benda,
kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk,
ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen tertentu (irama, warna,
tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi aktual (Christian).

Semiotika Teks

Pengertian teks secara sederhana adalah “kombinasi tanda-tanda” (Piliang, 2003).


Dalam pemahaman yang sama, semua produk desain (termasuk arsitektur dan
interior) dapat dianggap sebagai sebuah teks, karena produk desain tersebut
merupakan kombinasi elemen tanda-tanda dengan kode dan aturan tertentu,
sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna dan berfungsi (Yusita
Kusumarini,2006). Dalam menganalisis dengan metode semiotika, pada prinsipnya
dilakukan dalam dua tingkatan analisis, yaitu :
Analisis tanda secara individual (jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda), dan
makna tanda secara individual.§Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau
kombinasi (kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa disebut analisis
teks.§Untuk menganalisis tanda secara individual dapat digunakan model analisis
tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda (Piliang, 2003). Analisis tipologi
tanda tersebut menggunakan teori semiotik pengelompokan tanda Charles Sanders
Peirce. Sedangkan dalam hal analisis struktur tanda menggunakan teori semiotik
Ferdinand de Saussure. Kemudian dalam menganalisis makna tanda dapat
dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis tipologi tanda dan struktur tanda.
Gabungan analisis keduanya (tipologi tanda dan struktur tanda) akan menghasilkan
makna tanda yang lebih kuat (Yusita Kusumarini,2006).

Untuk menganalisis tanda secara kelompok atau kombinasinya (analisis teks), tidak
hanya sebatas menganalisis tanda (jenis, struktur, dan makna) tetapi juga termasuk
pemilihan tanda yang dikombinasi dalam kelompok atau pola yang lebih besar (teks)
yang mengandung representasi sikap, ideologi, atau mitos tertentu (latar belakang
kombinasi tanda). Ada beberapa model dan prinsip analisis teks, salah satunya yang
diajukan oleh Thwaites (Piliang, 2003). Prinsip dasar analisis teks adalah polisemi
(keanekaragaman makna sebuah penanda). Konotasi tanda berkaitan dengan kode
nilai, makna sosial, dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi. Tiap teks adalah
kombinasi sintagmatik tanda-tanda yang melalui kode sosial tertentu menghasilkan
konotasi tertentu (metafora dan metonimi menjadi bagian dari kombinasi tanda).
Konotasi yang berbeda bergantung pada posisi sosial pembaca dan faktor lain yang
mempengaruhi cara berpikir dan menafsirkan teks. Konotasi yang diterima luas
secara sosial akan menjadi denotasi (makna teks yang dianggap benar). Denotasi
merepresentasikan mitos budaya, kepercayaan, dan sikap yang dianggap

BIDANG TERAPAN SEMIOTIK

Pada prinsipnya jumlah bidang terapan semiotika tidaklah terbatas. Bidang


semiotika ini sendiri bisa berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan
spontan hingga pada sistem budaya yang lebih kompleks.19 bidang yang bisa
dipertimbangkan sebagai bahan kajian ilmiah Semiotika menurut Eco (1979:9-14),
antara lain :

1. Semiotika binatang (zoomsemiotic)

2. Tanda – tanda bauan (olfactory signs)

3. Komunikasi rabaan (tactile communication)

4. Kode – kode cecapan (code of taste)

5. Paralinguistik (paralinguistics)

6. Semiotika medis (medical semiotics)

7. Kinesik dan proksemik (kinesics and proxemics)

8. Kode – kode musik (musical codes)

9. Bahasa – bahasa yang diformalkan (formalized languages)

10. Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia (written languages, unknown
alphabets, secret codes)
11. Bahasa alam (natural languages)

12. Komunikasi visual (visual communication)

13. Sistem objek (system of objects)

14. Struktur alur (plot structure)

15. Teori teks (text theory)1

16. Kode – kode budaya (culture codes)

17. Teks estetik (aesthetic texts)

18. Komunikasi Massa (mass comunication)

19. Retorika (rhetoric)

Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa
contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam
domain komunikasi antara lain :

1. MEDIA

Mempelajari media adalah adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti
apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi media, dan
bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.Dalam konteks mediamassa,
khusunya media cetak kajian semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari
pemberitaan.

Untuk teknik – teknik analisnya sendiri, secara garis besar yang diterapkan adalah :

1. Teknik kuantitatif

Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi kekurangan dalam objektivitas,
namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri – ciri yang dapat di ukur dinyatakan
sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian ini.Menurut Van Zoest, 19993:146-
147), hasil analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler namun sekaligus selalu
mengorbankan ketahanan uji metode – metode yang digunakan.

2. Teknik kualitatif

Pada analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis.
Analisis ini sering menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti
tambahan dari istilah yang digunakan.

Tiga pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-
4)

1. Pendekatan Politik-Ekonomi
Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan –
kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media.

2. Pendekatan Organisasi

Bertolak belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan


bahwa isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan – kekuatan eksternal di luar
diri pengelola media.

3. Pendekatan Kulturalis

Merupakan pendekatan politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi


berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media.
Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan
aturan oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa
tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan – kekuatan politik-ekonomi di luar
media.Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan
benar secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa yang disebut sebagai
kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan.

Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang
dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan
survival menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media menyunting bahkan
menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu kemasan yang
layak disebar luaskan.

Tiga zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :

1. Orders and practices of signification = Tatanan dan praktik – praktik signifikasi.

2. Orders and practises of power = Tatanan dan praktik – praktik kekuasaan.

3. Orders and practises of production = Tatanan dan praktik – praktik produksi.

Praktik – praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk ( John B. Thomson,


1994) antara lain:

· Kekuasaan Ekonomi —— dilembagakan dalam industri dan perdagangan.

· Kekuasaan Politik ——— dilembagakan dalam aparatur negara

· Kekuasaan Koersif ——– dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter.

2. Periklanan

Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yang terdiri
atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan
warna yang disajikan dalam iklan).Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain (Berger) :
· Penanda dan petanda

· Gambar, indeks, simbol

· Fenomena sosiologi

· Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk

· Desain dari iklan

· Publikasi yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi
tersebut.

Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis berdasarkan pesan yang
dikandungnya yaitu :

o Pesan Linguistik ————————– Semua kata dan kalimat dalam iklan

o Pesan yang terkodekan —————— Konotasi yang muncul dalam foto iklan

o Pesan ikonik yang tak terkodekan —– Denotasi dalam foto iklan

3. Tanda NonVerbal

Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa.

Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara :

· Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya.

· Tanda yang ditimbulkan oleh binatang

· Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.

Namun tidak keseluruhan tanda – tanda nonverbal memiliki makna yang universal.
Hal ini dikarenakan tanda – tanda nonverbal memiliki arti yang berbeda bagi setiap
budaya yang lain.Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang
penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang
berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera
manusia.

Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan
untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda atau
sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna tersebut, menurut
Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu diperhatikan peneliti,
antara lain :

· Langkah Pertama ——- Melakukan survai lapangan untuk mencari dan


menemukan objek penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti.
· Langkah Kedua ———- Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep –
konsep pada tanda nonverbal.

· Langkah Ketiga ———- Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi


terhadap objek yang ditelitinya.

· Langkah Keempat —– Merupakan langkah terpenting —– menentukan model


semiotika yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya
model tertentu adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau
objektivitas penelitian tersebut dapat terjaga.

4. Film

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau
semiotika.

Van Zoest—– film dibangun dengan tanda semata – mata. Pada film digunakan
tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar
yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.Film
umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah
gambar and suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni,
mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan
proyektor dan layar.

Sardar & Loon ——– Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis
dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk – bentuk
simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang
disampaikan.Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang
adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales
(EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan
motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan
penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih
beralasan dan tidak pernah semena.

5. Komik Kartun Karikatur

Sebelum memasuki pembahasan, terlebih dahulu kita ketahui apa yang dimaksud
dengan komik, kartun, serta karikatur.Komik adalah cerita bergambar dalam
majalah,surat kabar, atau berbentuk buku yang pada umumnya mudah dicerna dan
lucu. Komik sendiri dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu, comic strips dan comic
book. Komik bertujuan utama menghibur pembaca dengan bacaan ringan, cerita
rekaan yang dilukiskan relatif panjang dan tidak selamanya mengangkat masalah
hangat meskipun menyampaikan moral tertentu. Bahasa komik adalah bahasa
gambar dan bahasa teks.

Kartun adalah sebuah gambar lelucon yang muncul di media massa, yang hanya
berisikan humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apapun. Pada
dasarnya, kartun mengungkapkan masalah sesaat secara ringkas namun tajam dan
humoristis sehingga tidak jarang membuat pembaca senyum sendirian.

Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang


terkenal, dengan mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas lahiriyahnya
untuk tujuan mengejek (Sudarta,1987). Empat teknis yang harus diingat sebagai
karikatur adalah, harus informatif dan komunikatif, harus situasional dengan
pengungkapan yang hangat, cukup memuat kandungan humor, harus mempunyai
gambar yang baik. Semula karikatur hanya merupakan selingan atau ilustrasi
belaka. Namun pada perkembangannya, karikatur dijadikan sarana untuk
menyampaikan kritik yang sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar
– gambar lucu dan menarik bahkan tidak jarang membuat orang yang dikritik justru
tersenyum.

Tommy Christomy ——— Secara formal proses semiosis yang paling dominan
dalam kartun adalah gabungan atau proposisi (visual dan verbal) yang dibentuk oleh
kombinasi tanda argumen indexical legisign.Untuk menganalisis kartun atau komik-
kartun, seyogyanya kita menempatkan diri sebagai kritikus agar secara leluasa
dapat melakukan penilaian dan memberi tafsiran terhadap komik-kartun tersebut.

Setiawan —— Komik-kartun penuh dengan perlambangan – perlambangan yang


kaya akan makna. Selain dikaji sebagai teks, secara kontekstual juga dilakukan
yakni dengan menghubungkan karya seni tersebut dengan situasi yang sedang
menonjol di masyarakat. Dalam pandangan Setiawan hal ini di maksudkan untuk
menjaga signifikasi permasalahan dan sekaligus menghindari pembiasan tafsiran

6. Sastra

Santosa —— Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara


semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya
sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam
sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna
semiotika.

Aminudin —— Wawasan semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi :

· Karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang,


wujud sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca.

· Karya sastra merupakan salah satu bentuk pengunaan sistem tanda (system of
signs) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.

· Karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan


dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.
Sasaran kajian sastra secara ilmiah bukan pada wujud konkret wacananya,
melainkan pada metadiscourse atau bentuk dan ciri kewacanaan yang tidak teramati
secara konkret

Junus —– Pradopo —- Penelitian sastra dengan pendekatan semiotika


sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Strukturalisme
tidak dapat dipisahkan dengan semiotika karena karya sastra merupakan struktur
tanda – tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda dan maknanya,
serta konvensi tanda, struktur karya sastra atau karya sastra tidak dapat dimengerti
secara optimal.Dalam penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan
semiotika, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa
tanda – tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat.

Preminger ——- Studi semiotika sastra adalah usaha untuk menganalisis sistem
tanda – tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menentukan konvensi – konvensi apa
yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.

7. Musik

Sistem tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus musik, adanya tanda – tanda
perantara, yakni, musik yang dicatat dalam partitur orkestra, merupakan jalan keluar.
Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah
sebabnya mengapa penelitian musik semula terutama terarah pada sintaksis. Meski
demikian, semiotika tidak dapat hidup hanya dengan mengandalkan sintaksis karena
tidak ada semiotika tanpa semantik juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik
musik.

Aart van Zoest —– Tiga kemungkinan dalam mencari denotatum musik ke arah isi
tanggapan dan perasaan :

· Untuk menganggap unsur – unsur struktur musik sebagai ikonis bagi gejala –
gejala neurofisiologis pendengar,

· Untuk menganggap gejala – gejala struktural dalam musik sebagai ikonis bagi
gejala – gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal.

· Untuk mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan yang
dimunculkan musik lewat indeksial.

Untuk menganalisi musik tentu juga diperlukan disiplin lain, misalnya


ethnomusicology dan antropologi. Dalam ethnomusicology, musik dipelajari melalui
aturan tertentu yang dihubungkan dengan bentuk kesenian lainnya termasuk
bahasa, agama, dan falsafah.
Sistem Tanda (Semiotik)
Semiotik (semiotic) adalah teori tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis besar
semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic
pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic
semantic) (Wikipedia,2007).

Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)


Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh
yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas
perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang
pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan
bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan
perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya
arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil
persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam
menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur
merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.

Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)


Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan
‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini
mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam
arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur
sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur
akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya,
hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.

Semiotik Semantik (semiotic semantic)


Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’
yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang
sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur
merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang
disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali
sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu
rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan
oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat
oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama
dengan persepsi pengamatnya.
Metafora standar merupakan metafora yang sudah mapan dandigunakan secara efektif dalam
komunikasi informal untuk mengungkapkansituasi mental atau fisik. Newmark menambahkan
bahwa metafora jenis ini

memiliki kehangatan emosional dan tidak ―mati‖ walaupun sering digunakan.

Beberapa contoh metafora

standar adalah: ―muka

tembok

‖, ―Biarkan ketel itu

tetap

mendidih

‖, ―

secercah sinar

harapan

.Metafora kontemporer merupakan metafora berbentuk neologisme(ungkapan bentukan baru,


atau kata lama yang dipakai dengan makna baru)namun penggunaannya sudah meluas bahkan
di dalam bahasa-bahasa lain.
Beberapa contoh metafora jenis ini adalah: ―walkman‖

, yang dibentuk dari

kata lama ―walk‖ dan ―man‖ namun dalam pengertian baru mengacu pada―alat pemutar
kaset yang bisa dibawa

-bawa (

portable casette player

)‖;―software‖, dibentuk dari kata lama ―soft‖ dan ―ware‖ namun dalam pengertianbaru
mengacu pada perangkat pemrograman dalam komputer; dan ―head

hunting‖, yang mengacu pada ―proses rekrutmen sumber daya manusia‖.

Jika digunakan untuk mengungkapkan obyek atau proses yang masihbaru, metafora
kontemporer identik dengan metonimi (majas yangmempergunakan sebuah kata untuk
menyatakan suatu hal lain karenamempunyai pertalian yang sangat dekat, seperti pertalian antara
penemudengan temuannya, pemilik dengan barang yang dimiliki, akibat dengansebab, isi untuk
menyatakan kulitnya, dan sebagainya). Sebagai contoh,

dalam ungkapan ―

Mingguan

itu banyak memuat gosip‖, kata ―mingguan‖

yangpada awalnya berarti sesuatu yang terjadi seminggu sekali dihubungkandengan

surat kabar sehingga membentuk makna baru: ―surat kabar yangterbit sekali seminggu.‖

Metafora orisinal merupakan metafora yang mengandung inti pesan,kepribadian dan pandangan
seorang penulis. Metafora orisinal biasanyamerupakan metafora puitis yang diciptakan untuk
mengungkapkan sesuatuyang spesifik pada sebuah peristiwa. Sebagai contoh, kesan
yangditangkapnya setelah menyaksikan berbagai bantuan kemanusiaan bagi parakorban
tsunami di Asia awal tahun 2005, Presiden World Vision, Stearnsmenyatakan:

his tidal wave of generosity will help them rebuild…”


Dalam

ungkapan ini, ―tidal wave‖ yang biasanya mengacu pada bencana alam

digunakan untuk mengungkapkan kebaikan. Kutipan dari puisiTaufik Ismail(dalam McGlynn,


1990: 70) berikut adalah contoh lain metafora orisinal:

―Bukit

-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropa, Meksiko, Habsyi dan Cina,

…‖ Sebagai hasil kreativitas, metafora orisinal tidak berhubungan erat

dengan konvensi-konvensi budaya dan linguistik. Oleh karena itu, faktor paling krusial dalam
upaya memahaminya adalah konteks.Metafora saduran, menurut Dickins (2005: 237), adalah
metafora yangdiadaptasi (dengan cara membuat perubahan) dari sebuah metaforakontemporer.
Contoh yang diberikan Newmark (1998: 108) untuk metafora

saduran adalah ungkapan

―the ball is a little in their court‖, yang diadaptasidari idiom metaforis kontemporer ―the ball is in
their court‖.

Klasifikasi Wahab, yang membedakan metafora ke dalam metaforanominatif, metafora predikatif,


dan metafora kalimatif, di atas menegaskanbahwa unsur ungkapan yang membentuk metafora
bisa berbentuk sebuahkata, frasa, klausa maupun kalimat. Sebuah metafora bisa berwujud
subjek,objek, prediket, atau mencakup seluruh komponen sebuah kalimat. KlasifikasiLarson
dilandaskan pada sadar atau tidaknya penutur akan eksistensiungkapan metaforis tersebut
sebagai metafora. Kriteria ini diikuti olehNewmark ketika membedakan metafora mati dan
metafora
kontemporer. Akan tetapi, selain kriteria tersebut, Newmark juga menggunakan kriteri
arentang waktu penggunaan ketika membedakan metafora klise dan metaforakontemporer dan
kriteria keberadaan dan ketiadaan kreativitas penulis ataupembicara ketika membedakan
metafora orisinal dan metafora saduran.Dengan demikian, meskipun klasifikasi Newmark
terkesan lebih terperinci,hal itu didasarkan pada kriteria yang multidimensional sehingga kriteria-
kriteria yang membedakan ke enam jenis metafora tersebut tidak begitutegas. Bahkan, Newmark
sendiri mengakui kriteria metafora klise tumpangtindih dengan metafora standar (1998: 108).

Metafora dari Berbagai Sudut Pandang Metafora sebagai kajian dalam ilmu linguistik telah ditelaah
oleh para ahli linguistik seperti Aristoteles (348-322 SM), Richards (1936), Lakoff dan Johnson (1980),
Black (1979), Searle (1979), Nöth (1995), Moeliono (1989), Knowles dan Moon (2006). Berikut ini
beberapa teori metafora dari para ahli tersebut. Pada jaman Yunani kuno, Aristoteles (348-322 SM)
dalam karyanya yang berjudul Rhetoric (Retorika) menyatakan bahwa metafora adalah simile
(perumpamaan) yang diungkapkan dengan kata-kata like, as, resemble (seperti, bak, bagai) yang
mengalami proses ellipsis atau dilesapkan. Metafora dalam the woman is a red rose, misalnya,
sebenarnya merupakan perpanjangan dari simile, yaitu the woman is like a red rose, namun kata like
dilesapkan. Aristoteles menyebutkan bahwa metafora berkaitan dengan substitusi atau transfer.
Aristoteles (384-322 SM) menyatakan “the application of a strange term either transferred from the
genus and applied to the species to another or else by analogy” (dikutip oleh Levin, 1979:79).
Metafora dapat dipahami dalam konteks gerakan (transferensi), baik dari genus ke spesies (dari
umum ke khusus) ataupun dari spesies ke spesies, atau berdasarkan analogi. Aristoteles menyebut
transferensi tersebut sebagai ephiphora, yaitu pemindahan istilah dari satu makna ke makna lain
yang menyimpang dari pengertian aslinya. Aristoteles juga menyatakan bahwa metafora merupakan
sebuah alat atau sarana yang berasal dari ragam bahasa puitis. Aristoteles menganggap metafora
sebagai bahasa dekoratif dan berbeda dengan bahasa keseharian yang sederhana. 7 Metafora dalam
..., Siti Aisah, FIB UI, 2010 Selanjutnya, Richards (1936) menyatakan bahwa metafora adalah
perbandingan yang menelaah kesamaan atau kemiripan antara suatu objek dengan objek lain yang
dijadikan pembandingnya. Sebagai contoh, Elizabeth is the sun, dalam kalimat tersebut sejumlah
sifat the sun (matahari), antara lain kemampuannya menyinari dan menerangi, ditransfer atau
digunakan untuk menjelaskan sosok Elizabeth yang memiliki sinar kecantikan yang cerah, secerah
sinar matahari. Richards (1936) menyebutkan konsep transfer tersebut dengan istilah target dan
source domain. Dalam contoh kalimat tersebut, Elizabeth merupakan target (sasaran) yang
dianalogikan dengan the sun yang merupakan source (sumber). Di samping itu, Richards (1936) juga
menyebut metafora sebagai kajian yang melibatkan tiga unsur di dalamnya, yaitu vehicle,
topic/tenor dan grounds. Vehicle merupakan hal yang menjadi sumber metafora, topic/tenor
merupakan makna metaforis, sedangkan grounds adalah kaitan di antara keduanya. Berikut ini
contohnya: Context be prepared for a mountain of paperwork Vehicle mountain Topic/tenor a large
amount Ground ideas of size, being immovable and difficult to deal with Berdasarkan contoh
tersebut, kata mountain merupakan vehicle yang menjadi source (sumber) suatu metafora yang
bermakna ‘jumlah yang banyak atau berlimpah’ sebagai topic/tenor. Sebagai ground, keduanya
memiliki kaitan dalam hal ‘ukuran yang besar dan sulit untuk dipindahkan’. (Ortony, 1993: 347)
Lakoff dan Johnson (1980: 3) menyatakan bahwa, “...metaphor is pervasive in everday life, not just in
language but in thought and action. Our ordinary conceptual system, in terms of which we both
think and act, is fundamentally methaporical in nature”. Metafora diperoleh dan dimengerti secara
kognitif oleh manusia berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari yang diungkapkan melalui bahasa
mereka. Cara seseorang berpikir dan bertindak sehari-hari sebenarnya bersifat metaforis.
Selanjutnya, Lakoff dan Johnson (1980: 5) berpendapat bahwa, “The essence of metaphor is
understanding and experiencing one kind of thing in term of another.” Metafora dalam ..., Siti Aisah,
FIB UI, 2010 (1980: 5). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesorang
dapat memahami sesuatu hal melalui proses pemahamannya akan hal lain yang telah dikenal dan
dipahami sebelummya dari pengalamannya sehari-hari. Dengan demikian, metafora mengorganisasi
hubungan antar objek dan menciptakan pemahaman mengenai objek tertentu melalui pemahaman
mengenai objek lain. Dengan kata lain, ranah sumber (source domain) digunakan manusia untuk
memahami konsep abstrak dalam ranah sasaran (target domain). Sebagai contoh, DESIRE IS FIRE
(HASRAT ADALAH API) menurut Lakoff dan Johnson (1980), penggunaan huruf kapital digunakan
untuk menunjukkan ranah sumber dan ranah sasaran. Konsep DESIRE (HASRAT) merupakan ranah
sasaran atau topic dan FIRE (API) sebagai vehicle atau ranah sumber. Jadi, dapat dipahami bahwa
DESIRE (HASRAT) memiliki ciri dan sifat seperti API, yaitu, panas, bergelora, dan membakar. Jika
seseorang memiliki hasrat berarti dalam dirinya terdapat suasana hati yang menggelora. Sementara
itu, Black (1979) menyatakan bahwa metafora memiliki persamaan dengan majas simile, akan tetapi
dalam metafora tidak terdapat kata-kata like, as, as if. Dalam metafora terdapat pemindahan atau
transfer konsep antara suatu hal dan hal yang lainnya. Black (1993) juga menyatakan bahwa untuk
mengerti suatu metafora, hal yang terlebih dahulu disadari adalah bahwa suatu kata bersifat
polisemantis dan metafora merupakan makna sekunder di samping makna dasar. Seperti contoh
berikut, we used to trash all the teams in the Schoolby League. We had a great squad and no-one
could touch us. Kata trash merupakan makna sekunder dari kata hit yang lebih bersifat literal. Oleh
karena itu, maka kata trash memiliki makna metaforis yang digunakan untuk mengganti kata hit
(Ortony, 2000: 167). Dalam Handbook of Semiotics, Nöth (1995: 128) menyatakan bahwa terdapat
dua istilah metafora yaitu metafora dalam arti sempit (narrow sense), dan metafora dalam arti luas
(broad sense). Metafora dalam arti sempit adalah bentuk kiasan tertentu di antara bentuk-bentuk
kiasan yang lain, sedangkan metafora dalam arti luas mencakup semua bentuk kiasan. Metafora
dalam ..., Siti Aisah, FIB UI, 2010 Berkaitan dengan pengertian metafora dalam arti sempit dan arti
luas, Moeliono (1989: 175) menyebut metafora dalam arti sempit (narrow sense) sebagai suatu
bentuk gaya bahasa kias atau majas yang implisit, tanpa menggunakan kata seperti, sebagai, ibarat,
umpama, bak, dan laksana. Contohnya: buah hati, mata jarum, anak emas, dan sebagainya
(Moeliono, 1989: 175). Metafora dalam arti luas (broad sense) mencakupi semua jenis majas, yang
oleh Moeliono (1989) diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu majas perbandingan, majas
pertentangan, dan majas pertautan. Searle (1979) menyatakan bahwa metafora dapat
diformulasikan dengan S is P. S dalam hal ini adalah ranah sumber yang kemudian disandingkan
dengan P sebagai perbandingan. Akan tetapi, Searle (1979) menegaskan bahwa S is P harus
diinterpretasikan maknanya secara pragmatis menjadi S is R. Dalam hal ini, R merupakan interpretasi
mitra tutur terhadap makna dari P yang bergantung pada penutur. Oleh karena itu, konsep Searle
(1979) mengenai metafora memiliki landasan pragmatis. Menurut Searle, makna yang menjadi pusat
perhatian adalah makna tuturan yang dikomunikasikan. Makna yang dikaji secara metaforis adalah
makna yang sesuai dengan kehendak penutur. Contohnya dalam kalimat Jack is a snake (Jack adalah
ular) dapat diartikan sebagai Jack is a very wicked person (Jack adalah orang yang sangat jahat) atau
Jack is very cunning (Jack adalah orang yang sangat licik) tergantung dari cara mitra tutur
menginterpretasikannya (Ortony, 1993: 127). Pada contoh tersebut, menunjukkan kesamaan atau
kemiripan sifat dan ciri seorang Jack dengan seekor ular, yaitu licik/pandai mengelabui dan
jahat/mampu membinasakan orang lain. Menurut Knowles dan Moon (2006: 5) metafora adalah
bahasa non-literal atau figuratif yang mengungkapkan perbandingan antara dua hal secara implisit.
Knowles dan Moon (2006: 5) menyatakan bahwa terdapat dua jenis metafora, yaitu metafora kreatif
dan metafora konvensional. 1) Metafora kreatif adalah metafora yang digunakan penulis atau
penutur untuk mengekspresikan ide dan perasaannya ke dalam sebuah tulisan sehingga tulisan
tersebut menjadi mudah dipahami oleh pembaca. Metafora ini Metafora dalam ..., Siti Aisah, FIB UI,
2010 menampilkan suatu ungkapan yang baru berdasarkan realitas yang ada dan biasanya terdapat
di dalam karya sastra. 2) Metafora konvensional adalah metafora yang sudah tidak lagi bersifat baru
dan jenis metafora ini telah kehilangan cirinya sebagai sebuah metafora, karena metafora ini sering
digunakan dan kemudian dimasukkan ke dalam kosakata sehari-hari. Misalnya untuk menunjukkan
emosi marah (anger) digunakan ungkapan He exploded (kemarahannya meledak). Metafora
konvensional juga sering disebut dengan metafora mati atau dead metaphor (Knowles dan Moon,
2006: 6).

Anda mungkin juga menyukai