Analisis wacana atau discourse analysis digambarkan oleh Riggenbach sebagai bigger picture (2000: 3; 1999) dari deskripsi bahasa yang sering tiadakan. Frasa tersebut dapat bermakna bahwa analisis wacana adalah ranah yang lebih luas yang sering tidak terlihat atau tidak dianggap dalam penggunaan bahasa. Analisis wacana juga mengandung keadaan sosial dan budaya dalam penggunaan bahasa untuk membantu memahami bahasa tertentu yang digunakan. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics menjelaskan wacana sebagai istilah umum dari bahasa sebagai hasil dari kegiatan berkomunikasi (2000: 3; Richards dkk. 1992: 111). McCarthy dan Carter dalam Language as Discourse: Perspective for Language Teaching (2000; 1994: 1) menjelaskan discourse atau wacana sebagai: Gambaran dari bahasa yang memperhitungkan fakta bahwa pola linguistik berada melintasi bagian dari teks. Menurut McCarthy dan Carter, wacana mengandung pola linguistik yang mengkaji kata-kata, klausa- klausa, maupun kalimat. Pola tersebut telah menjadi perhatian dari pengajaran bahasa. Konteks sosial dan budaya juga terlibat dalam penggunaan bahasa. Analis wacana dapat terlibat dengan pembahasan struktur paragraf, pengorganisasian teks, serta pola yang khas dalam berinteraksi, seperti bagaimana pembicara membuka dan menutup percakapan. Brown dan Yule (1983) mengartikan discourse analysis sebagai analisis dari penggunaan bahasa. Analisis wacana memandang hubungan antara penggunaan bahasa dan konteks yang dalam deskripsi dan analisis baik lisan maupun tulisan (2000; McCarthy, 1991). Chimombo dan Roseberry analisis wacana menghadirkan pemahaman yang lebih mendalam. Pragmatis membahas antara hubungan bahasa dengan konteks. Studi pragmatis mengkaji bagaimana interpretasi bahasa tergantung pada keadaan di dunia, bagaimana ujaran digunakan dan dipahami oleh pembicara serta struktur kalimat dipengaruhi oleh hubungan pembicara dengan pendengar (Richards dkk. 1992). Wacana dan pragmatis akan berfokus pada hubungan antara bahasa dengan konteks sosial dan budaya, pengetahuan bahasa meliputi , klausa, frasa, dan kalimat, pola linguistik yang berlangsung meliputi lisan dan tulisan, serta bagaimana bahasa menampilkan pandangan yang berbeda dari dunia dan dari pemahaman yang berbeda. Kemudian pragmatis dan analisis wacana terbadi menjadi dua area. Pragmatis menelaah area konteks seperti hubungan antara ujaran, memahami konteks dan situasi tertentu. Sedangkan wacana menelaah pola bahasa yang meliputi teks, paragraf, struktur, penyusunan teks secara keseluruhan, aturan untuk pembuka dan penutup percakapan, pola kosakata, hubungan antar kata, bagaimana bahasa mencerminkan pandangan berbeda dari dunia. Tokoh penting dalam area pragmatis dan wacana adalah filsuf John L. Austin yang bukunya berjudul How to do Things with Words (1962) yang menjadi dasar dari speech act theory (2000: 7) : yang mengkaji bagaimana kita menggunakan bahasa seperti memohon, memerintah, dan memberi peringatan. Tokoh penting lain adalah Paul Grice yang temuannya adalah bagaimana orang-orang bekerja sama dengan orang lain ketika berinteraksi. Grice menggunakan istilah conversational implicature untuk menjelaskan bagaimana kita mendapatkan pengertian dari situasi dimana bahasa digunakan. Antropolog linguistik D.H. Hymes juga menjadi tokoh penting serta Harvey Sacks, Emanuel Schegloff, dan Gail Jefferson yang mengkaji norma percakapan. Ada dua linguis lain seperti, Machael Halliday dan Ruqalya Hasan. Peneliti terbaru yaitu, Gunther Kress, Norman Fairclough, Ruth Wodak, dan Teun Van Dijk telah memandang penggunaan bahasa dari pandangan yang kritis, bagaimana wacana dibentuk dari hubungan kekuatan dan ideologi.