Anda di halaman 1dari 4

Nama : Andri Setyawan

NIM : B0418006

Kelas : Ilmu Sejarah A

FOLKLORE

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki keberagaman suku, agama, ras, dan
golongan yang berbeda. Dari setiap daerah sudah barang tentu memiliki cerita yang sudah
ada secara turun temurun. Folklore atau biasa disebut cerita rakyat terdiri dari dua kata, Folk
dan Lore. Folk yang mengandung arti bahwa sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri
pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok
sosial lainnya. Sedangkan Lore yakni sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau
melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat
(mnemonic device). Folklore juga terdapat tiga kelompok besar berdasarkan tipenya menurut
Jan Harold Brunvard yakni, folklore lisan, folklore sebagian lisan, dan folklore bukan lisan.
Dari ketiga tipe itulah saya akan mengidentifikasikan bentuk-bentuk folklore yang terdapat di
daerah tempat tinggal saya di Klaten beserta fungsinya. Folklore yang terdapat di daerah
Klaten sebagai berikut:

1. Folklore Lisan:
Folklore Lisan adalah folklore yang bentuknya murni lisan yang diciptakan, disebarluaskan,
dan diwariskan secara lisan. Salah satu folklore lisan adalah ungkapan tradisional. Adapun
ungkapan tradisional adalah kelimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang.
Peribahasa biasanya mengandung kebenaran dan kebijaksanaan, seperti peribahasa dan
pepatah. Dalam hal ini, saya akan memberikan satu contoh dari pepatah yang masih sering
digunakan di Klaten, yakni:
 Pepatah yang berbunyi “Sopo nandhur bakal nggunduh” atau jika di ubah ke bahasa
Indonesia menjadi “Siapa yang menanam dia yang akan menuai”. Pepatah bermakna
bahwa siapapun dan apapun yang telah diperbuat oleh seseorang, maka orang itulah yang
akan menanggung atas perbuatannya.
Fungsi:
Pepatah ini mengandung arti yang sangat luar biasa bagi siapapun yang memahaminya.
Apabila seseorang berbuat baik maka dia juga yang akan mendapat efek yang baik. Tapi
sebaliknya, jika seseorang berbuat buruk maka dia juga yang akan mendapatkan efek
yang buruk pula. Pepatah ini sesungguhnya merucut pada suatu kepercayaan akan
hubungan timbal balik. Maka dari itu, seseorang yang meyakini akan pepatah ini akan
lebih berhati-hati dalam setiap perbuatannya. Setidaknya, seseorang dapat sadar bahwa
segala perbuatannya akan berdampak bagi dirinya sendiri dan bahkan juga dapat
berimbas pada keluarganya dan keturunannya.
2. Folklore Sebagian Lisan
Folklore Sebagian Lisan adalah folklore yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan
dan bukan lisan. Folklore ini dikenal juga sebagai fakta sosial. Salah satu folklore sebagian
lisan adalah kepercayaan rakyat (takhayul). Adapun kepercayaan rakyat (takhayul) adalah
kepercayaan yang sering dianggap tidak berdasarkan pada logika karena tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, menyangkut kepercayaan dan praktek (kebiasaan).
Diwariskan melalui media tutur kata. Saya memberikan dua contoh kepercayaan rakyat
(takhayul) yang masih diyakini di daerah saya yakni:
 Di daerah saya Klaten, berkembang sebuah “Larangan untuk duduk diatas bantal.”
Kepercayaan ini bahkan sampai sekarang masih ada di daerah saya. Apabila larangan ini
dilanggar, maka akan diserang penyakit bisulan di sekitar area anus. Bantal adalah tempat
kepala untuk tidur. Kepala diyakini sebagai “hulu”. Hulu merupakan pedoman, sumber,
tertinggi, utama, agung, dan sumber penghidupan. Jadi orang tua dari sejak dahulu selalu
menanamkan pengetahuan itu agar selalu menghormati itu sebagai pedoman kehidupan.
Jika dilanggar, maka dapat terkena akibatnya.
Fungsi:
Dalam fungsi yang sebenarnya dalam kepercayaan ini adalah untuk mengembalikan
fungsi sebenarnya daripada bantal itu sendiri. Bantal yang sejatinya digunakan untuk
kepala untuk tidur, bukan untuk diduduki. Dalam hal medis, bisulan bisa saja terjadi
akibat duduk diatas bantal karena disebabkan oleh kebersihan bantal yang digunakan
untuk duduk. Jadi, kepercayaan ini sesungguhnya merujuk pada pengetahuan lokal yang
mengandung unsur kebenaran sehingga diimplementasikan secara berkelanjutan antar
generasi. Istilah “bisul” digunakan agar orang-orang dapat memahami atas larangan
tersebut.
 Contoh lainnya yang terdapat dan berkembang di daerah saya Klaten yakni “Larangan
bagi anak-anak untuk keluar rumah sewaktu menjelang malam atau Maghrib.”
Orang-orang jaman dahulu percaya bahwa Maghrib merupakan waktu yang tidak tepat
apabila digunakan untuk beraktivitas diluar. Hal itu dikarenakan, Maghrib merupakan
pergantian antara sore ke malam hari. Pada waktu itulah para makhluk halus atau hantu
berkeliaran. Apabila hal ini dilanggar, anak-anak yang keluar pada menjelang malam atau
Maghrib akan diculik dan disembunyikan oleh demit (makhluk halus) Wewe Gombel dan
dibawa ke pohon yang tinggi. Adapun Wewe Gombel dalam masyarakat Jawa sendiri
adalah hantu wanita yang bermuka rusak dan berambut panjang berantakan seperti
Kuntilanak. Namun, bedanya Wewe Gombel memiliki ciri yang sangat khas yakni
payudaranya menjuntai sampai kebawah.
Fungsi:
Apabila ditelisik sebenarnya, bahwa folklore ini memiliki fungsi yang sangat baik sebagai
sarana pencegahan atau pendisiplinan bagi anak-anak yang sering keluyuran pada waktu
menjelang malam atau Maghrib. Maghrib adalah waktu menjelangnya malam, dan sudah
seharusnya digunakan untuk sembahyang bagi umat Muslim ataupun beraktivitas
dirumah.
3. Folklore Bukan Lisan
Folklore bukan lisan adalah folklore yang bentuknya bukan lisan tetapi cara pembuatannya
diajarkan secara lisan. Biasanya meninggalkan bentuk materiil (artefak). Salah satu folklore
bukan lisan adalah pakaian atau perhiasan tradisional yang khas dari masing-masing
daerah. Dalam hal ini, Saya akan memberikan satu contoh dari pakaian tradisional khas
Klaten, yakni:
 Pakaian tradisional khas Klaten adalah “Batik Sindu Melati”. Batik ini dibuat dengan
corak dan motif yang sangat menonjolkan identitas Kota Bersinar (julukan Klaten). Kata
“Sindu” diambil dari bahasa sansekerta yang berarti air. Hal ini sangat berkaitan dengan
potensi Klaten yang memiliki kekayaan sumber daya airnya yang sangat melimpah.
Sedangkan nama “Melati” berkaitan erat dengan asal muasal terbentuknya Kabupaten
Klaten, diambilkan dari seorang tokoh bernama Kyai Melati. Munculnya motif Batik
Sindu Melati ini dikarenakan selama ini kota Klaten sudah banyak memiliki sentra
pembuatan batik, tapi tidak memiliki motif batik yang khas.
Fungsi:
Munculnya motif Batik Sindu Melati merupakan suatu identitas lain bagi kota Klaten
dalam pakaian tradisional yang membedakan dengan daerah lain serta nantinya akan
dikembangkan menjadi potensi unggulan. Dengan penggabungan dua unsur kata “Sindu”
dan “Melati”, yang mana Klaten terkenal dengan melati. Dalam filosofinya adalah bunga
yang bagus dan harum semerbak. Sedangkan, “sindu” adalah nama lain air yang menjadi
sumber kehidupan. Sehingga kemudian kedua unsur tersebut yang sangat khas dengan
Klaten dimasukkan ke dalam motif batik. Bahkan sekarang ini, batik Sindu Melati
digunakan sebagai baju aparatur sipil negara di Kabupaten Klaten.

Anda mungkin juga menyukai