Anda di halaman 1dari 63

BAGIAN I

DONGENG, MENDONGENG
1. Pendahuluan
Mendongeng merupakan tradisi yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia berabad-abad
yang lalu yang perlu dilestarikan karena banyak manfaat yang bisa diambil dari kegiatan
tersebut. Tulisan ini mendeskripsikan tentang pengertian dongeng, mendongeng, dan
manfaatnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Data yang
diperlukan diperoleh dengan studi pustaka dan selanjutnya diinterpreasi. Tahap
selanjutnya dideskripsikan tentang dongeng, mendongeng dan manfaatnya. Dongeng
adalah cerita prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi. Manfaat yang bisa
dipetik dari kegiatan mendongeng adalah: menumbuhkan sikap proaktif, 2) mempererat
hubungan anak dengan orang tua. 3) menambah pengetahuan, 4) melatih daya
konsentrasi, 5) menambah perbendaharaan kata, 6) menumbuhkan minat baca, 7)
memicu daya pikir kritis anak, 8) merangsang imajinasi, fantasi, dan kreativitas anak, 9)
memberi pelajaran tanpa terkesan menggurui.
Mendongeng merupakan salah satu bentuk tradisi lisan sebagai sarana komunikasi dan
merekam peristiwa-peristiwa kehidupan, sudah ada berabad-abad yang lalu. Tradisi lisan
ini terus berkembang, dan pernah menjadi primadona bagi ibu atau nenek dalam
mengantar tidur anak atau cucu mereka. Namun seiring dengan perkembangan teknologi
yang semakin pesat dan faktor kesibukan yang semakin meningkat tradisi mendongeng
banyak ditinggalkan orang. Televisi, film, dan gadget lebih menarik perhatian dibanding
mendongeng. Seorang ibu yang biasanya mendongeng saat anaknya menjelang tidur
seringkali tidak mengetahui bahwa anaknya sudah berangkat tidur karena asyik dengan
acara televisi atau handphondnya.
Mendongeng merupakan kegiatan yang tampaknya sepele, tetapi sangat berarti bagi
perkembangan jiwa anak. Menurut Priyono 100 Copyright ©2018, ISSN: 2598-3040 online
Mendongeng bila dilakukan dengan pendekatan yang sangat akrab akan mendorong
terbukanya cakrawala pemikiran anak, sejalan dengan pertumbuhan jiwa sehingga
mereka akan mendapat sesuatu yang sangat berharga bagi dirinya dan dapat memilih
mana yang baik dan mana yang buruk.(2001:vi)
Cerita dari dongeng dapat dipetik manfaatnya, terutama dongeng-dongeng yang
mengandung pesan moral. Oleh karena itu pendongeng harus pandai memilih dongeng
yang sesuai dengan usia anak serta mengandung nilai pendidikan yang bermanfaat untuk
anak. Di samping mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi anak kegiatan
mendongeng merupakan metode terbaik untuk membuat anak belajar. Anak-anak sering
menggunakan waktu belajar seenaknya. Dengan metode mendongeng, anak akan
mendengarkan dengan penuh perhatian karena dongeng sangat menarik bagi anak-anak.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk membahas tentang dongeng,
mendogeng dan manfaat mendongeng untuk anak. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari
pembahasan ini adalah untuk mendeskripsikan dongeng, menjelaskan pengertian
mendongeng, dan mendeskripsikan manfaat 1mendongeng untuk anak.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau tulisan. Penelitian kualitatif adalah suatu
penelitian yang berupaya menggali dan memaknai apa yang terjadi pada individu atau
kelompok, yang berasal dari persoalan sosial atau kemanusiaan. (Creswell dalam Suntana,
2010:1) Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka. Penerapan metode ini
dilakukan untuk mendapatkan data dari sumber-sumber tertulis yang berhubungan dengan
pokok permasalahan. Data yang terkumpul kemudian diinterpretasi untuk mendeskripsikan
tentang dongeng, mendongeng, serta mengungkap tujuan dan manfaat mendongeng yang
secara umum
sebagai sasaran utama adalah para Siswa (di Lingkungan Sekolah); dan secara khususnya
untuk Anak-anak (di Lingkungan Keluarga) atau siapa saja yang berminat. Tahap selanjutnya
adalah penyajian hasil analisis data dalam bentuk deskrepsi.
a. Dongeng

Kesah (Dongeng) adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi.
Kesah (Dongeng) diceritakan terutama untuk hiburan, meskipun kenyataannya banyak
dongeng yang melukiskan kebenaran, mengandung pelajaran moral, atau sindiran.
Dongeng biasanya mempunyai kalimat pembukaan dan penutup yang bersifat klise,
misalnya dalam dongeng Jawa diawali dengan “Anuju sawijining dino...” dan diakhiri
dengan kalimat penutup “A lan B urip rukun bebarengan kaya mimi lan mintuno”. Pada
dongeng Melayu biasanya diawali dengan kalimat “Sahibul hikayat”, “Kata yang empunya
ceritera ”, Di kalangan suku Dayak diawali dengan kata-

kata “Aton ije kesah” , “Hung sinde andau”, “Sinde andau”, ‘Tarasewut horan”, dan
sebagainya.

Dongeng tidak hanya berkisah tentang manusia, namun bisa kisah tentang binatang,
tanaman, dan sebagainya. Pada dasarnya semua yang ada di sekitar kita dapat diangkat
menjadi dongeng. Menarik tidaknya dongeng tergantung dari kreativitas pendongeng.
Beberapa ahli menggolongkan jenis dongeng menjadi beberapa kelompok. Salah satunya
penggolongan jenis dongeng oleh Anti Aarne dan Stith Thompson yang membagi jenis
dongeng ke dalam empat golongan besar, yaitu:
1) dongeng binatang (animal tales),
2) dongeng biasa (ordinary folktales),
3) lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes), dan
4) dongeng berumus (formula tales). (Aarne dan Stith Thompson dalam Danandjaja,
1994:86).

Ad.1). Dongeng binatang adalah kisah tentang kehidupan binatang yang digambarkan
dan dapat berbicara seperti manusia. Di Indonesia dongeng binatang yang paling
populer adalah “Sang Kancil”, dengan tokoh utama Kancil (pelanduk) yang
2
digambarkan sebagai binatang yang cerdik yang selalu dapat mengalahkan
musuhnya yang lebih kuat dari dirinya, seperti macan, ular, buaya, dan monyet.
Namun kancil kalah oleh siput, bintang yang ukuran badannya kecil dan jalannya
lamban.
Ad.2). Dongeng biasa adalah dongeng yang ditokohi oleh manusia dan biasanya bercerita
tentang kisah suka duka seseorang.
Dongeng biasa di Indonesia yang mempunyai penyebaran luas menurut
Danandjaja (1994: 98- 106) ada beberapa tipe, yaitu:
1. dongeng bertipe “Cinderella” (tokoh wanita yang tidak ada harapan dalam
hidupnya), contoh “Bawang Merah dan Bawang Putih”, “Ande-Ande Lumut”, Si
Melati dan Si Kecubung”. Di samping Cinderella yang berjenis kelamin wanita
ada juga yang berjenis kelamin laki-laki, yang disebut Male Cinderella (tokoh
laki-laki yang tidak ada harapan dalam hidupnya), contoh “Joko Kendhil”, “I
Rare Sigaran” (Si Sebelah);
2. dongeng bertipe “Oedipus”. Tiga unsur terpenting dalam dongeng-dongeng
bertipe Oedipus adalah: a. motif-motif ramalan, b. pembunuhan seorang ayah
oleh anak kandungnya, dan
a. perkawinan sumbang antara ibu dan putra kandungnya. Contohnya,
adalah:
1) dongeng “Sang Kuriang” atau disebut juga “Legenda Terjadinya Gunung
Tangkubanperahu”,
2) dongeng “Prabu Watu Gunung”, dan
3) dongeng “Bujang Munang”; Di Kalangan Suku Dayak adakah?

3. dongeng bertipe “Swan Maiden” (Gadis Burung Undan), yaitu dongeng atau
legenda mengisahkan seorang putri yang berasal dari burung undan atau
bidadari yang terpaksa menjadi manusia karena kulit burungnya atau pakaian
bidadarinya disembunyikan seorang laki-laki ketika dia sedang mandi. Ia
kemudian menjadi istri laki-laki itu dan baru dapat kembali ke kahyangan
setelah menemukan kembali kulit pakaian burung atau pakaian bidadarinya.
Contoh:
“Joko Tarub”, “Pasir Kujang”;
Sedangkan di Kalimantan Tengah, juga ada dongeng di kalangan Suku Dayak
Ngaju. Contoh “Tuak Nalau”; “Laok Baluduk”.

Ad.3). Lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang dapat menggelikan hati
sehingga membuat orang yang mendengarkan dan menceritakan tertawa, namun
bagi kolektif atau tokoh tertentu yang menjadi sasaran dongeng itu akan merasa
sakit hati. Perbedaan lelucon dengan anekdot adalah anekdot menyangkut kisah
fiktif lucu pribadi seorang tokoh atau beberapa tokoh yang benar-benar ada,
sedangkan lelucon merupakan kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif, seperti suku
3
bangsa, golongan, bangsa, dan ras. (Danandjaja, 1994:118).
Lebih lanjut Danandjaja (1994:118) menjelaskan bahwa berdasarkan sasaran yang
dilontarkannya lelucon dibedakan menjadi lelucon dan humor. Sasaran lelucon
adalah orang atau kolektif lain, sedangkan sasaran humor adalah dirinya sendiri
atau kolektif si pembawa cerita sendiri. Misal kesah (dongeng pendek) dalam Misal
kesah (dongeng pendek) dalam bahasa Ngaju “Pa Palui tatame salui Kambe”, “Tatu Kahiu
Manakau Suling Mama Elep”, “Sangomang dan Maharaja tolak Mangakap”.
Ad.4). Dongeng berumus adalah dongeng-dongeng yang menurut Antti Aarne dan Stith
Thompson disebut formula tales dan strukturnya terdiri dari pengulangan.
(Danandjaja, 1994:139).
Yang tergolong ke dalam dongeng berumus adalah: 1) dongeng bertimbun banyak
/dongeng berantai, yaitu dongeng yang dibentuk dengan menambah keterangan lebih
terperinci pada setiap pengulangan inti cerita. 2) dongeng untuk mempermainkan orang,
yaitu cerita fiktif yang diceritakan khusus untuk memperdayai orang karena akan
menyebabkan pendengarnya akan mengeluarkan pendapat yang bodoh. 3) dongeng yang
tidak mempunyai akhir, yaitu dongeng yang jika diteruskan tidak akan sampai pada batas
akhir. (Danandjaja, 1994;139-140).

b. Mendongeng

Bakesah (Mendongeng) adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang


perbuatan atau suatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan
pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain (Bachri, 2005;10).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mendongeng adalah suatu keterampilan


berbahasa lisan yang bersifat produktif.

Bakesah (Mendongeng) merupakan bagian dari keterampilan berbicara yang bukan hanya
sekedar keterampilan berkomunikasi, tetapi juga sebagai seni. Pada masa lalu
mendongeng merupakan kegiatan yang mendapat perhatian, hidup pendongeng bahkan
dijamin oleh raja, di lingkungan istana pendongeng bertugas menghibur raja ketika raja
berduka karena itu mereka disebut dengan pelipur lara. Di luar istana nenek moyang kita
ternyata juga hebat dalam bercerita. Petualangan di rimba raya atau samudra luas
mereka dongengkan dengan penuh rasa bangga. (Priyono, 2001:4) Mendongeng
merupakan warisan nenek moyang yang perlu dilestarikan karena banyak manfaat yang
bisa dipetik dari kegiatan tersebut. Dengan mendongeng seseorang bisa menyajikan
fakta-fakta secara sederhana. Ketika seorang pendongeng bercerita tentang sekuntum
bunga mawar atau seekor ikan emas secara tidak sadar dia sedang mengajarkan ilmu
pengetahuan alam kepada anak-anak secara sederhana dan menarik.

4
BAGIAN II
TUJUAN MENDONGENG
Tujuan Mendongeng Kegiatan mendongeng sebenarnya tidak sekedar bersifat hiburan saja,
tetapi mempunyai tujuan.
Menurut Priyono (2001:15) mendongeng mempunyai tujuan:
1. Merangsang dan menumbuhkan imajinasi dan daya fantasi anak secara wajar.
2. Mengembangkan daya penalaran sikap kritis serta kreatif.
3. Mempunyai sikap kepedulian terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa.
4. Dapat membedakan perbuatan yang baik dan perlu ditiru dengan yang buruk dan tidak perlu
dicontoh.
5. Punya rasa hormat dan mendorong terciptanya kepercayaan diri dan sikap terpuji pada anak.

Agar tujuan mendongeng dapat tercapai, dalam mendongeng hendaknya dipilih dongeng yang
sesuai dengan usia anak. Dongeng yang dibawakan jangan sampai menjadi mimpi buruk bagi
anak. Selain sesuai dengan usia anak dongeng hendaknya mengandung unsur nilai-nilai
pendidikan dan hiburan, bahasa yang digunakan untuk mendongeng harus sederhana sesuai
dengan tingkat pengetahuan anak.
Menurut Priyono ada beberapa hal penting yang harus dilakukan seorang pendongeng, yaitu:
1. Pendongeng harus ekspresif dan enerjik untuk menarik perhatian anak. Jika pendongeng
terlihat tidak bersemangat dalam menyajikan cerita, anak-anak tidak akan tertarik
mendengarkannya. Dalam mendongeng harus ada perubahan intonasi, mimik wajah, dan
gerakan tubuh.
2. Pendongeng harus banyak membaca sehingga cerita yang disampaikannya bervariasi, anak
akan bosan jika mendengar cerita yang sama. Dengan banyak membaca pendongeng juga
dapat berimprovisasi dalam mendongeng.
3. Memilih cerita yang mempunyai pesan, tidak semua cerita rakyat mempunyai pesan moral
yang baik untuk anak-anak, pilihlah cerita rakyat yang pesan dan budayanya dapat ditiru
anak- anak.
4. Sesuaikan dengan usia anak karena setiap tingkatan umur memiliki cara bercerita atau
mendongeng yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan informasi yang berbeda di
tiap tingkatan umur.
Mendongeng bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu mendongeng tanpa alat peraga dan
mendongeng dengan alat peraga. Mendongeng tanpa alat peraga biasa dilakukan oleh seorang
ibu/nenek kepada cucunya dan guru kepada muridnya. Sedangkan mendongeng dengan alat
peraga adalah mendongeng dengan dibantu oleh alat peraga, misalnya mendongeng dengan
cara membacakan buku cerita bergambar, sambil memainkan boneka, atau dibantu oleh
adengan frahmen tergantung kretivitas pendongeng. Apa pun cara yang dilakukan sebelum
mendongeng seorang pendongeng hendaknya sudah hafal jalan cerita dan mengenal karakter
tokoh-tokoh dongeng yang akan dibawakan.

5
BAGIAN III
MANFAAT MENDONGENG

Manfaat Mendongeng Sebagaimana orang dewasa, anak-anak memperoleh pelepasan


emosional melalui pengalaman fiktif yang tidak pernah dialaminya dalam kehidupan nyata.
Dongeng ternyata merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan aspek-aspek
kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan), sosial, dan aspek konatif (penghayatan) anak-anak.
(Asfandiyar, 2007). Banyak manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan mendongeng, baik untuk
anak-anak maupun pendongengnya.
Manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menumbuhkan sikap proaktif. Anak akan terlatih untuk bersikap proaktif yang akan terus
dikembangkan dalam hidupnya, hal ini akan membantu perkembangan dan pertumbuhan
jiwa serta kreativitas anak.
2. Mempererat hubungan anak dengan orang tua. Saat mendongeng ada jalinan komunikasi
yang erat antara pendongeng (orang tua) dengan anak. Melalui kata-kata, belaian , pelukan,
pandangan penuh sayang, senyuman ekspresi, kepedulian, dan sebagainya. hal tersebut
akan mempererat hubungan antara pendongeng dengan anak. Anak akan merasa
diperhatikan, disayang sehingga dia pun akan merasa lebih dekat. Kedekatan akan membuat
anak lebih nyaman, aman, bahagia sehingga menciptakan sebuah situasi yang kondusif bagi
perkembangan fisik maupun psikisnya.
3. Menambah pengetahuan. Cerita-cerita di dalam dongeng memberi pengetahuan baru bagi
anak. Cerita Legenda terjadinya suatu tempat misalnya akan memberi pengetahuan tentang
nama-nama tempat dan nama-nama tokoh. Cerita tentang binatang mengenalkan nama-
nama binatang.
4. Melatih daya konsentrasi Dongeng sebagai sarana informasi dan komunikasi yang digemari
anak-anak melatih anak dalam memusatkan perhatian untuk beberapa saat terhadap objek
tertentu. Saat kita mendongeng anak memperhatikan kalimat-kalimat yang kita keluarkan,
gambar-gambar atau boneka di tangan kita. Saat itu biasanya anak tidak mau diganggu ini
menunjukkan bahwa anak sedang konsentrasi mendengarkan dongeng. Apalagi jika kita
mengajukan pertanyaan berkaitan dengan dongeng yang kita sampaikan. Kemampuan
konsentrasi yang baik menstimulasi kemampuan yang lain.
5. Menambah perbendaharaan kata. Saat mendongeng banyak kata-kata yang digunakan, yang
kemungkinan merupakan kata baru bagi seorang anak, dengan demikian perbendaharaan
kata anak akan bertambah. Semakin banyak dongeng yang didengar semakin banyak pula
kata-kata baru yang diperkenalkan kepada anak.
6. Menumbuhkan minat baca. Jika kita mendongeng dengan menggunakan buku cerita, berarti
kita telah memperkenalkan benda bernama buku kepada anak. Jika anak tertarik berarti kita
telah menanamkan rasa cinta kepada buku, rasa cinta pada buku akan menumbuhkan minat
baca pada anak.

6
7. Memicu daya berpikir kritis anak. Seorang anak biasanya selalu bertanya tentang hal-hal
baru yang belum pernah mereka temui, ketika mendengarkan dongeng yang belum pernah
mereka dengar mereka akan bertanya tentang hal baru tersebut ini akan melatih anak untuk
mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya dan memicu anak untuk berpikir kritis.
8. Merangsang imajinasi, fantasi, dan kreativitas anak. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang
besar terhadap sesuatu yang menarik. Rasa ingin tahu tersebut dapat menumbuhkan daya
imajinasi, fantasi dan kreativitas anak. Dongeng-dongeng yang disajikan dalam konteks olah
logika dapat membangkitkan kemampuan imajinasi, fantasi, serta kreativitas anak.
9. Memberi pelajaran tanpa terkesan menggurui Pada saat mendengarkan dongeng anak
dapat menikmati cerita dongeng yang disampaikan sekaligus memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita dongeng tanpa diberithu secara langsung oleh pendongeng.

7
BAGIAN IV
KUMPULAN CERITA (DONGENG, Legenda, dll.)
Cerita Dongeng itu ada yang bersifat pendek dan ada yang bersifat panjang.
Di bawah ini ada beberapa contoh dongeng yang bersifat pendek yang sarat dengan pesan
moral, dan juga beberapa contoh cerita apakah dongeng, apakah sage (cerita rakyat), legenda,
ataukah itu mitos; namun apa yang disampaikan ini tidak lain hanyalah sebagai bahan/referensi
di dalam menggali khazanah seni budaya suku Dayak di Kalimantan Tengah.

A. DONGENG PENDEK

Dongeng pendek memberikan banyak pesan moral untuk anak. Beberapa contoh cerita
dongeng singkat ini bisa menjadi sarana orang tua untuk lebih dekat dengan anak.
Cerita dongeng pendek yang sarat makna dan pesan moral, bisa jadi salah satu sarana orang
tua membangun kedekatan dengan anak. Banyak sekali contoh cerita dongeng, baik cerita
dongeng singkat ataupun cerita dongeng panjang.
Mengutip buku Children’s Literature in the Elementary School, cerita dongeng adalah bentuk
dari narasi baik yang berupa lisan maupun tulisan.

Di Indonesia sudah tak terhitung berapa banyak cerita dongeng, baik cerita dongeng pendek
maupun cerita dongeng panjang. Beberapa dongeng pun menampilkan karakter imajinatif
seperti hewan yang bisa berbicara seperti kisah kancil dan buaya. Karakter hewan yang bisa
berbicara selayaknya manusia itu bukan tanpa tujuan. Cerita dongeng menggunakan
karakter hewan supaya menghibur. “Memberikan peran kepada hewan dalam cerita
dongeng, akan membuat narasinya menarik dan menghibur,” kata Donald Haase.

Cerita dongeng pendek atau dongeng singkat, tak hanya lebih mudah dipahami anak, tapi
juga memudahkan orang tua, yang tidak memiliki banyak waktu luang. Biasanya, cerita
dongeng pendek hanya menghabiskan waktu 10 menit saja untuk membacanya, sementara
cerita dongeng panjang berkisar di 15 hingga 30 menit bahkan lebih.

Berbagai Karakter Cerita Dongeng


Cerita dongeng pendek juga memiliki beberapa karakter di dalamnya. Seperti kita tahu,
cerita dongeng singkat dibuat untuk anak-anak, sehingga keberagaman karakter jadi poin
yang cukup penting.
Beberapa anak mungkin suka mendengar atau membaca cerita dongeng pendek tentang
karakter hewan. Ada juga yang lebih menyukai cerita dongeng panjang dengan karakter
legenda rakyat.
Berikut ini adalah beberapa contoh cerita dongeng pendek dan juga cerita dongeng panjang,
yang bisa menjadi salah satu sarana bagi orang tua untuk membangun kedekatan dengan
anak, memberikan pesan moral hingga membantu menguatkan daya imajinasi.

8
1. Cerita Dongeng Buaya dan Kancil yang Cerdik
Pada suatu hari ada seekor kancil yang sedang mencari makan di dalam hutan. Ia
berjalan menyusuri hutan, karena makanan yang ada di sekitar tempat tinggalnya mulai
berkurang. Kancil pun pergi menyusuri hutan, hingga ia menemui sungai. Sungai itu
dipenuhi dengan buaya berukuran besar yang kelaparan. Si kancil pun tak kehabisan
akal. Sesaat ia berpikir, ia pun menemukan cara menghadapi kawanan buaya yang
kelaparan.

“Hai buaya, apakah kalian sudah makan siang?” Teriak kancil kepada buaya yang ada di
sungai.

Tiba-tiba seekor buaya muncul ke permukaan air dan berkata “Siapa itu yang berteriak?
Mengganggu tidur siangku saja!” Buaya yang lain pun ikut menyahuti dengan ketus
pertanyaan si kancil “Diam kau kancil! Atau nanti kami akan
memakanmu!”

Kancil menjawab “Tenang dulu hai buaya, Aku ke sini membawa pesan dari sang raja
hutan. Jadi jangan dulu engkau memakanku.” Buaya-buaya itu pun penasaran dengan
pesan yang dibawa oleh kancil.

“Raja hutan memintaku untuk menghitung jumlah buaya yang ada di sungai ini. Karena,
raja hutan akan memberikan hadiah untuk kalian. Jadi panggillah seluruh teman-
temanmu” Seru kancil kepada buaya.

Mendengar hal tersebut, buaya pun senang dan bergegas memanggil kawanannya.
Buaya- buaya tersebut, kemudian berbaris rapi di permukaan sungai.

Setelah kawanan buaya itu berbaris, kancil lantas melompat sambil menghitung buaya.
Namun ternyata, itu hanya siasat cerdik si kancil agar bisa menyeberangi sungai yang
dipenuhi kawanan buaya.
Pesan moral dari cerita dongeng buaya dan kancil di atas adalah bagaimana kecerdikan
bisa mengalahkan kekuatan. ----------
2. Cerita Dongeng Pendek Burung Bangau yang Angkuh
Di sebuah sungai kecil, seekor burung bangau berjalan dengan langkah yang begitu
anggun. Ia menatap air sungai yang sangat jernih, dan dengan leher dan paruhnya yang
panjang, ia bersiap untuk menerkam mangsanya di dalam air.

Burung bangau tersebut begitu senang melihat ke dalam air, karena pagi hari itu, banyak
sekali ikan-ikan kecil yang berenang. Namun, dengan angkuhnya ia berujar pada dirinya
sendiri “Hari ini Saya tidak mau makan ikan-ikan kecil,”

“Saya adalah burung bangau yang anggun, tidak sepantasnya Saya memakan ikan-ikan
kecil di sungai ini,” kata bangau dengan angkuhnya.
9
Si bangau yang angkuh itu pun kemudian menanti datangnya ikan yang lebih besar
untuk ia mangsa. Waktu pun berlalu, hari semakin siang dan burung bangau yang
angkuh itu tetap menunggu ikan yang lebih besar. Namun saat hari telah siang, ikan-ikan
kecil yang ada di tepian sungai berenang ke tengah sungai.

Hingga akhirnya burung bangau yang angkuh itu tidak lagi melihat seekor ikan pun di
sungai itu, dan membuatnya terpaksa memangsa siput kecil yang berada di pinggir
sungai.
Cerita dongeng pendek tentang burung bangau yang angkuh di atas, memberikan pesan
moral untuk anak agar tidak bersikap angkuh atau sombong, karena akan merugikan
orang lain dan juga diri sendiri. ---------
3. Dongeng Serigala dan Anak Kambing yang Cerdik
Di dalam sebuah hutan, tinggallah seekor ibu kambing bersama anaknya. Pada suatu
ketika, ibu kambing meninggalkan anak kambing di rumah. Ibu kambing hendak pergi
mencari makan.

Ibu kambing ingin sang anak tinggal di rumah yang aman, selama ia pergi mencari
makan. Anak kambing itu pun diberi pesan oleh ibunya agar tidak membukakan pintu
kepada siapapun selama ibunya pergi mencari makan.

Sebelum pergi, ibu kambing juga memberikan sebuah lagu yang jadi penanda jika sang
ibu telah sampai di depan rumah setelah mencari makanan.

Tanpa mereka sadari, tak jauh dari rumah ada seekor serigala yang menguping
pembicaraan ibu dan anak kambing. Serigala itu pun, jadi memiliki niat jahat untuk
memangsa si anak kambing saat ibunya telah pergi dari rumah.

Beberapa saat setelah ibu kambing pergi ke luar rumah untuk mencari makanan.
Serigala pun mengendap-endap ke depan rumah, dan menyanyikan lagu yang telah
diajarkan ibu kambing kepada anaknya.

Si anak kambing pun heran, ia merasa bahwa ibunya belum lama meninggalkan rumah
tapi kenapa ia mendengar lagu tersebut.

Anak kambing tersebut, kemudian mengintip dari balik jendela dan terkejut karena yang
dilihatnya bukan si ibu kambing melainkan seekor serigala.

Meski takut dan merasa terancam, anak kambing itu pun dengan cerdik berteriak dan
membuat suara gaduh dari dalam rumah.

Teriakan anak kambing dan suara gaduh yang ia buat membuat binatang lain datang ke
rumahnya dan membuat serigala pergi, berlari dari rumah tersebut.
Dongeng singkat tentang serigala dan anak kambing yang cerdik, memberi pesan
10
kepada anak agar mereka tidak mudah percaya terhadap orang yang baru dikenal.
-------

11
4. Dongeng Kelinci yang Sombong dan Kura-Kura
Cerita dongeng pendek tentang kelinci yang sombong dan kura-kura ini jadi salah satu
cerita dongeng singkat, yang cukup populer. Lantas, bagaimana kisahnya?

Di dalam sebuah hutan rimba, hiduplah berbagai hewan. Di antara banyaknya hewan di
dalam hutan rimba itu, ada seekor kelinci yang sangat sombong. Kelinci itu dengan
sombongnya mengatakan bahwa ialah hewan yang bisa berlari paling cepat di hutan ini.

“Aku adalah kelinci, hewan yang larinya paling cepat di hutan ini. Tidak ada yang bisa
mengalahkan kecepatanku berlari,” kata kelinci dengan sombongnya.

Seluruh hewan di hutan itu pun, sudah tahu betapa sombongnya kelinci itu. Namun
memang hanya kelinci hewan yang larinya paling cepat di antara hewan lain di hutan
rimba tersebut. Banyak hewan yang sudah ditantang lomba lari oleh kelinci, tapi tidak
ada yang berani.

Sampai suatu ketika seekor kura-kura tua bijaksana yang menerima tantangan kelinci
untuk berlomba lari. Seisi hutan tahu, kura-kura tua itu sangat lambat, dan menerima
tantangan lomba lari si kelinci hanya membuang-buang waktu saja.

“Hai kelinci, aku mau menerima tantanganmu untuk adu lomba lari,” kata si kura-kura
tua yang bijaksana. Kelinci menertawakan si kura-kura tapi ia setuju untuk beradu cepat
dengannya.

Hari yang dinanti tiba, pertandingan lomba lari antara kelinci sombong dan kura-kura
tua yang bijaksana pun segera dimulai. Keduanya telah bersiap di posisi start. Seluruh
hewan di hutan rimba itu berkumpul untuk menyaksikan perlombaan.

“Hai kura-kura, kamu berlari duluan saja, Aku akan menunggu sampai jarakmu cukup
jauh,” kata kelinci mengejek kura-kura. Perlombaan pun dimulai dengan kura-kura yang,
dengan susah payah berlari. Kelinci sombong itu masih diam saja di garis start.

Tak lama, kelinci sombong itu pun melesat cepat bagai kilat, mendahului kura-kura yang
baru saja berjalan beberapa langkah. Saking cepatnya berlari, kelinci pun hampir tiba di
garis finis. “Ah, aku sudah mau sampai di garis finis, tapi kura-kura belum juga terlihat.
Lebih baik, Aku bersantai dulu saja, sambil menunggu kura-kura,” Kelinci pun
memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon yang rindang, sampai ia ketiduran.

Sementara itu, si kura-kura tetap meneruskan langkahnya. Perlahan, ia pun hampir


sampai di garis finis. Kelinci pun masih tertidur pulas di bawah pohon.

Tak lama kemudian kelinci terbangun dan melihat bahwa si kura-kura sudah tinggal satu
langkah lagi menuju garis finis. Ia pun bergegas menyiapkan diri dan kembali berlari
12
mengejar kura-kura. Namun sayangnya, ia tak punya waktu untuk menyusul kura-kura
yang sudah menyelesaikan lomba, tepat satu detik sebelum kemudian kelinci menyusul
di belakangnya.

“Ah tidak, Aku tidak mungkin kalah dari si kura-kura yang lambat ini!” Kata si kelinci
menunjukkan rasa kecewa. Hewan lain yang menyaksikan perlombaan pun tak
menyangka, akhirnya ada yang mengalahkan kelinci di lomba lari.

Kelinci yang sombong itu pun akhirnya sadar, bahwa ia salah telah meremehkan kura-
kura. Ia sadar, seharusnya ia tidak boleh meremehkan siapapun meski ia adalah hewan
tercepat di hutan.
Dari cerita dongeng singkat tentang kelinci yang sombong dan kura-kura tua bijaksana
di atas, anak bisa mendapat pesan moral yang sangat bagus.
Orang tua bisa memberi tahu anak, agar tidak boleh sombong meski memang ia
mampu. Anak juga bisa mendapat pelajaran bahwa tidak boleh meremehkan orang
lain, malah harus bisa menghargai orang lain. ---------

5. Burung Merpati dan Semut


Pada suatu hari, seekor semut yang sedang mencari makan tergelincir dan masuk ke
dalam sungai. Semut berteriak minta tolong, karena ia hampir tenggelam di sungai
tersebut.

Di waktu yang bersamaan, pagi itu seekor burung merpati sedang terbang menikmati
udara di atas sungai. Ketika sedang terbang menikmati udara pagi yang segar, burung
merpati juga mendengar suara teriakan minta tolong.

Burung merpati pun mencari di mana sumber suara tersebut. Ya, itu adalah teriakan
semut yang hampir tenggelam di sungai. Dengan segera, burung merpati pun
menghampiri semut tersebut dan membantu mengangkat tubuh kecil semut keluar dari
air. “Terima kasih hai burung merpati. Kalau tidak ada kamu, mungkin Aku sudah
tenggelam di sungai ini,” kata semut. Burung merpati pun menjawab “Iya semut, lain
kali kau berhati-hatilah”.

Beberapa waktu berselang, seekor semut yang sedang mencari makan di pinggir sungai
tak sengaja melihat seorang pemburu yang sedang mengincar burung merpati. Semut
kaget, karena merpati yang jadi incaran pemburu itu adalah yang menyelamatkannya
waktu ia hampir tenggelam di sungai.

Semut pun dengan segera menghampiri pemburu yang juga sudah bersiap menembak
burung merpati. Setelahnya, semut menggigit kaki si pemburu itu dengan sangat keras,
dan membuat pemburu tersebut kaget dan berteriak.

13
Burung merpati yang sedang santai di atas pohon pun mendengar teriakan pemburu
dan langsung bergegas terbang menjauh, untuk menghindari pemburu itu.

Saat sedang terbang, burung merpati melihat seekor semut yang ada di kaki pemburu
tersebut. Setelah kondisi aman, burung merpati menghampiri semut dan mengucapkan
terima kasih. “Hai semut, terima kasih ya. Kau sangat berani sekali!” Kata burung
merpati kepada semut. “Iya merpati, aku hanya ingin balas budi karena kamu telah
menolongku saat hampir tenggelam di sungai waktu itu.” Kata semut.
Cerita dongeng singkat tentang burung merpati dan semut di atas tentu memiliki pesan
moral dan pengajaran untuk anak. Pelajaran yang bisa diambil adalah agar anak mau
saling tolong menolong orang yang sedang dalam kesulitan.

Banyak sekali pesan moral yang bisa diambil oleh anak, dari lima contoh cerita dongeng di
atas. Mulai dari cerita dongeng pendek kancil yang mengajarkan anak bahwa kecerdikan bisa
mengalahkan kekuatan. Hingga cerita dongeng singkat tentang kelinci yang akhirnya kalah
dengan kesombongannya sendiri. ---------

https://katadata.co.id/safrezi/berita/619a43ff73bd3/5-cerita-dongeng-pendek-sarat-makna-dan-
pesan-moral (diunduh tanggal 29 Juni 2022, pukul 1.40).

Kemudian ada banyak tentang crita dongeng rakyat, Legenda sang penunggu bulan; Legend
Batu Gantung, Kisah Gajah dan Semut. dll.

B. DONGENG ANAK ATAU DEWASA DARI CERITA RAKYAT


Dongeng Anak dari Cerita Rakyat Ringkas
1. Malin Kundang
Malin Kundang adalah cerita rakyat Sumatera Barat yang sangat populer karena
mengandung pesan moral yang sangat dalam.
Dikisahkan, Malin Kundang merupakan anak seorang janda bernama Mande Rubayah dan
berasal dari keluarga nelayan miskin.
Suatu hari, ia pergi merantau dan mempersunting seorang gadis dari keluarga
bangsawan. Saat mempersunting gadis tersebut, ia berbohong bahwa ibunya bukanlah
seorang janda, melainkan keluarga bangsawan.
Setibanya di kampung halaman, kebohongan Malin Kundang terungkap. Ia malu dengan
istri dan tak mau mengakui sang ibu yang merupakan janda miskin.
Mande Rubayah kemudian mengutuk Malin Kundang menjadi batu.
Pesan moral yang bisa diambil dari cerita ini adalah seorang anak harus menghargai
orangtua dan jangan sekali-kali durhaka.

14
2. Sangkuriang
Sangkuriang merupakan cerita rakyat Jawa Barat, tepatnya di Tanah Sunda, yang menjadi
asal- usul kisah Gunung Tangkuban Perahu.
Diceritakan, Sangkuriang adalah seorang anak yang berkeinginan untuk menikahi ibunya
sendiri. Namun, ia tidak mengetahui kenyataan bahwa wanita yang ia sukai ternyata
ibunya sendiri. Sang ibu, Dayang Sumbi, sebenarnya seorang bidadari yang berperawakan
awet muda. Sangkuriang boleh menikahi Dayang Sumbi dengan memenuhi syarat yang
diminta, namun akhirnya digagalkan oleh Dayang Sumbi sendiri.
Pesan moral yang bisa diangkat dari kisah ini adalah untuk mengajarkan anak agar
tidak sombong, harus berbuat baik, serta pandai menahan hawa nafsu.

3. Timun Mas
Timun Mas atau Timun Emas adalah cerita rakyat Jawa Tengah yang berkisah tentang
seorang gadis cantik terlahir dari buah timun berwarna emas.
Buah timun tersebut ditanam oleh Mbok Srini, janda tua yang mendapatkan
petunjuk dari raksasa di dalam mimpinya untuk menanam timun tersebut.
Sang raksasa menyuruh Mbok Srini untuk menanam biji timun yang akan melahirkan
seorang anak gadis. Namun apabila lahir dan tumbuh besar, sang raksasa akan kembali
dan memintanya sebagai santapan.
Dengan usaha keras, Timun Mas akhirnya bisa selamat dari raksasa yang ingin
menyantapnya.
Pesan moral yang bisa diambil dari cerita ini adalah percaya bahwa hidup akan berakhir
indah jika dilalui dengan usaha serta kerja keras dalam menghadapi setiap rintangan
yang ada.

4. Kancil
Si Kancil adalah tokoh paling populer di antara tokoh dongeng anak Indonesia dan ada
banyak versi ceritanya.
Ada kisah Kancil dan Buaya, Kancil dan Harimau, sampai Kancil dan Petani.
Pesan moral yang bisa diambil dari kisah Si Kancil yakni sebaiknya kita menggunakan
kecerdasan yang kita miliki untuk hal-hal baik saja supaya orang tidak hanya segan, tapi
juga menyayangi kita.

5. Bawang Merah Bawang Putih


Bawang Merah Bawang Putih adalah cerita rakyat asal Riau yang bercerita tentang kisah
kakak beradik tidak sedarah dengan sifat yang sangat bertolak belakang.
Bawang Merah memiliki sifat yang negatif, seperti malas, sombong, dan dengki.
Sedangkan Bawang Putih sebaliknya, ia rendah hati, tekun, rajin, dan jujur.
Bawang Putih hidup dengan ibu tiri yang sifatnya tak jauh berbeda dengan Bawang
Merah.

15
Pesan moral yang bisa diambil dari kisah ini adalah untuk selalu berbuat baik, meskipun
orang lain berbuat jahat, sebab kebaikan tidak ada yang pernah sia-sia.

6. Ande Ande Lumut


Ande Ande Lumut adalah cerita rakyat Jawa Timur yang berkisah tentang Pangeran Raden
Panji Asmarabangun yang kabur dari istana Kerajaan Kediri demi untuk mencari calon
istrinya.
Di dalam perjalanannya, sang pangeran mengubah namanya menjadi Ande-Ande Lumut.
Ia kemudian bertemu dengan Klenting Kuning yang sebenarnya adalah Putri Sekartaji dari
Kerajaan Jenggala.
Pesan moral yang bisa diambil dari kisah ini adalah anak yang baik akan mendapatkan
kebahagian dan kesuksesan di kemudian hari, sedangkan yang berperilaku buruk akan
mendapat sebaliknya.

7. Keong Mas
Keong Mas atau Keong Emas adalah cerita rakyat Jawa Timur yang bercerita tentang putri
Kerajaan Daha bernama Candra Kirana yang dinikahi oleh pangeran tampan bernama
Raden Inu Kertapati.
Namun Candra Kirana disingkirkan oleh Dewi Galuh yang merasa iri terhadapnya. Sang
putri diubah menjadi keong emas oleh penyihir suruhan Dewi Galuh.
Ketika menjadi keong emas, Candra Kirana dipelihara oleh seorang nenek dan kabar
tersebut pun sampai ke telinga sang pangerang.
Hingga pada akhirnya, sang putri dan pangeran dipertemukan kembali.
Pesan moral dari kisah ini adalah kejahatan sekecil apapun yang ditutupi, pasti nanti
akan terungkap juga.

https://www.99.co/blog/indonesia/dongeng-anak-cerita-rakyat/ (diunduh tanggal 29 Juni 2022,


pukul 2.36).
Selain Kesah (Dongeng), Legenda yang dimiliki oleh masyarakat setempat yang dikisahkan
(ingesah) secara turun-temurun.
Sebagaimana beberapa Dongeng dari beberapa daerah di Kalimantan Tengah ini, antara lain:

C. “SARITA/KESAH” DI KALANGAN SUKU DAYAK NGAJU


Di Kalangan Suku Dayak, di setiap daerah aliran sungai masing-masing banyak menyimpan
cerita; baik itu bersifat Mite/Mitos, Legenda, Fabel, Sejarah lokal, juga lainnya. Kita akui
bahwa Suku Dayak di Kalimantan Tengah sangatlah banyak menyimpan cerita sebagaimana
yang disebutkan di atas, namun kita sadari bahwa sebenarnya kita miskin akan sejarah.
Karena sejarah adalah:

16
ilmu pengetahuan, punya fakta (bukti-bukti yang jelas), dan punya objek. Dapat kita kita lihat
dan telusuri cerita-cerita yang dimaksud sebagaimana yang ada di bawah ini.

1) NYAI UNDANG RATU RUPAWAN DARI PULAU KUPANG

Kesah “Nyai Undang Ratu Rupawan dari Pulau Kupang” yang ditulis oleh Ai Kurniati,
berasal dari cerita rakyat Kalimantan Tengah.
Alkisah, Nyai adalah ratu cantik dari Pulau Kupang yang memimpin dengan adil dan
Undang

bijaksana. Berita tentang kecantikan dan kebijaksanaan sang ratu terdengar sampai ke
pelosok negeri, termasuk oleh Raja Sawang dan Raja Nyaliwan. Kedua raja sombong
tersebut sama-sama ingin memiliki Nyai Undang.
Namun, karena kesombongan keduanya, Nyai Undang menolak pinangan keduanya.
Penolakan pinangan tersebut berujung maut. Rakyat kedua raja tersebut dendam kepada
Nyai Undang karena kematian raja mereka gara-gara Nyai Undang.
Untuk membalaskan dendam mereka, rakyat Raja Sawang dan Raja Nyaliwan menyerang
kerajaan Nyai Undang. Namun, berkat bantuan keempat saudara Nyai Undang, rakyat
Raja Sawang dan Nyaliwan bisa dikalahkan. Setelah kemenangan tersebut, Nyai Undang
menikah dengan Pangeran Sangalang.

Cerita ini mengajari kita bahwa kesombongan akan membawa siapapun pada keburukan.

https://labbineka.kemdikbud.go.id/bahasa/ceritarakyat/f457c545a9ded88f18ecee47145a72c0
(diunduh tanggal 2 Juli 2022, pukul 8.23).
Catatan: Untuk sarita (cerita) lengkapnya silahkan baca Buku Kalimantan Membangun
(Tjilik Riwut, 1979:395-399), atau dalam bukunya yang lain “Maneser Panatau Tatu Hiang”
(Tjilik Riwut, 2003: 432-438), cetakan pertama; dan (Tjilik Riwut, 2015:521), cetakan
kedua; dengan judul : “Pertempuran Di Pulau Kupang”.

2) PENGGALAN CERITA DAMBUNG SANDAN


Cerita ini bermula dari Kampung Paring atau desa Penda Asem memiliki tetua desa
bernama Dambung Jerek, sementara Desa Juking Jawa Layang atau Tanjung Jawa belum
memiliki tetua Desa. Baik desa Tanjung Jawa ataupun Desa Penda Asem keduanya
terletak di daerah aliran sungai Barito yang masuk wilayah Kabupaten Barito Selatan
Provinsi Kalimantan Tengah.
Perjalanan menuju kedua desa ini dahulu hanya bisa dilalui tranportasi sungai, sekarang
sudah bisa dilalui tranportasi darat motor atau mobil melalui jalan trans- Kalimantan.
Dan pada saat

17
sekarang disepanjang daerah aliran sungai Barito sudah banyak ditemukan desa-desa
baru selain kedua desa di atas.
Isi dari cerita ini, mengangkat tokoh yang bernama Dambung Sandan yang berasal dari
desa Tanjung Jawa. Cerita yang dituturkan dari mulut kemulut atau dalam bahasa dayak
‘Tetek Tatum’dari generasi ke generasi sampai sekarang.
Cerita Dambung Sandan berisi kisah latar belakang kelahirannya yang luar biasa
dilanjutkan dengan kisah pengembaraannya sampai pada masa tuanya. Sebuah kisah
yang sudah menjadi legenda dalam masyarakat dari suku Dayak terutama suku Dayak
Ngaju dan Suku Bakumpai di wilayah Barito; yang pernah terjadi di masa lampau. Kesah
atau legenda ini pernah saya tulis (Offeny Red), kemudian diedit ulang dan diterbitkan
oleh (“Dambung Sandan” oleh Arita Estarika, 2020).
Dalam kisah ini banyak hal yang bisa kita simak yaitu tentang adat-istiadat dan kebiasaan-
kebiasaan yang dilandasi budaya lokal juga peranan tokoh-tokoh adat dalam mengatasi
persoalan yang terjadi, yang berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran adat; seperti
“singer” ataupun “bali sahiring”.

3) Penggalan cerita SALUANG DAN BUNTAL MENGADU DOMBA SESAMA RAJA BUAYA
Bermula dari paparan cerita ini, tersebutlah empat ekor buaya yang sangat besar sekali
dan yang disebut raja dari segala raja buaya. Namanya dan tempat tinggalnya menurut
yang ditulis di bawah ini: Yang pertama yaitu bernama “Lanting Janjam”, tempat
tinggalnya yaitu di Ulek Parahu; Yang kedua yaitu bernama “Tabuan Rangas“ tempat
tinggalnya yaitu di Danau Raya; Yang ketiga yaitu bernama “Pamukah Kajang “ tempat
tinggalnya yaitu di Danau Malawen; dan yang keempat yaitu bernama “ Kumbang
Baranaung “ tempat tinggalnya yaitu di Danau Lampur.
Tersebutlah mereka raja berempat itu semua memegang atas kekuasaannya masing-
masing. Tidak juga diketahui apakah mereka berempat bersahabat atau ada
pertengkaran. Menurut cerita dimaksud ada Saluang Idak Idak (dengan gelar Jarum
Panyulam) mereka berdua Buntal. Kata Saluang pada Buntal : “ Bagaimana idemu supaya
mudah memperoleh segala macam makanan ? Sebab kita orang yang kecil ini mudah
sekali dimangsa oleh orang yang besar, sebab itu kita berdua mencari ide supaya kita
berdua bisa makan orang yang besar “.
Pemikiran atau ide mereka berdua itu sudah sejalan. Lalu mereka berdua mengunjungi
Danau Raya, Danau Malawen, Danau Lampur. Saluang Idak Idak (Jarum Panyulam)
bersama Buntal tersebut menyabung (mengadu domba) supaya raja buaya itu berkelahi
(perang).
Sampai di tempat Raja Tabuan Rangas. Saluang Idak Idak (Si Jarum Panyulam) serta
Buntal lalu bersujud, sembari berkata : “ Oh Raja yang mulia dan sangat terkenal),
seantero Kerajaan Danau Raya ini, hanyalah tuanku raja saja yang patut dipuji dihormat.
Tapi sekarang dengarlah segala kata-kata hambamu (rewarm) ini oh tuanku raja, ada raja
yang terkenal dan besar kekuasaannya melebihi dari tuanku raja yaitu Raja besar
18
namanya Lanting Janjam, tempat singgasana kerajaannya di Ulak Parahu (Daerah Aliran
Sungai Barito). Dikarenakan dia merasa dirinya besar dan sangat kuasa.
Dia tidak bisa tenang hatinya apabila dia tidak mampu menaklukkan (membawahi) dari
segenap raja seperti tuanku raja ini. Supaya raja-raja tersebut membawahi kekuasaan
miliknya, dia selalu siaga menghadapi perang. Segenap raja yang ingin diperanginya
adalah “ Yang utama Tuanku Raja; yang kedua Tuanku Raja Pamukah Kajang, kerajaannya
di Danau Malawen; dan yang ketiga adalah Tuan Raja Kumbang Baranaung, kerajaannya
di Danau Lampur.
Sebab itu perlu sekali kami berdua hambamu (rewarm) datang memberitahukan berita
itu yang dapat membahayakan terhadap tuanku Raja. Oh Tuanku Raja andaikan tuanku
Raja senang mendengarkan ide hambamu (rewarm) ini, supaya bahaya tersebut dapat
dihindari dari takhta kerajaan tuanku Raja. Yang utama, benar tuanku Raja
bermusyawarah dengan tuan Raja Pamungkah Kajang mereka berdua Tuan Raja
Kumbang Baranaung; Yang kedua, mempersiapkan segala bala pasukan (serdadu); Yang
ketiga, langsung menggempur ke kerajaan tuan Raja Lanting Janjam. Dengan begitu desa
(kerajaan) tuanku Raja tidak terkena petaka “.
Setelah itu mereka berdua tersebut mohon pamit pulang, kemudian mengunjungi Raja
Pamukah Kajang dan Raja Kumbang Baranaung. Sama saja kata-katanya sebagaimana
yang disampaikan kepada Raja Tabuan Rangas tadi.
Ketiga-tiga Raja tersebut seraya mendengar berita dari Saluang Idak Idak (si Jarum
Panyulam) dan Buntal, hati mereka panas sebab mereka tiga merasa tidak ada raja yang
lebih besar kekuasaannya dari mereka.
Lalu mereka tiga itu bermusyawarah kemudian mempersiapkan diri serta pasukan
perang miliknya, ingin menyerang menggempur Raja Lanting Janjam.

Akibat dari suatu berita yang tidak jelas kebenarannya dari seseorang yang berkeinginan
memiliki sesuatu karena merasa tidak memiliki kemampuan tetapi dengan cara
menyebar berita mengadu domba ke seorang penguasa. Maka sebelum berbuat selidiki
dulu berita itu janganlah langsung mengambil kesimpulan. Yang pada akhirnya menuai
malapetaka.

4) (a). KISAH SINGA REWA DAN KULIT BUNTAL (versi Indonesia)


Waktu jaman Belanda menguasai Indonesia, beberapa petinggi pemerintah Belanda
memasuki Pulau Kalimantan. Mereka mengangkat orang-orang berpengaruh di
Kalimantan. Khususnya di Kalimantan Tengah mereka memberi jabatan,
Temanggung, Damang, Dambung dan Singa.
Gelar "Singa" adalah untuk seseorang tokoh Dayak Ngaju yang mempunyai
keberanian dan kesaktian, yang disegani lawan maupun kawan.
Suatu hari si tuan Belanda ini mengajak "Singa Rewa" mendayung naik perahu
19
menelusuri sungai Kapuas dan Kahayan.

Sesampai di Lewu (kampung) Mandomai, Belanda bertanya kepada Singa Rewa:


"Lewu apa ini Singa Rewa?" Ini lewu "Tanah Merah" (Petak Bahandang) dulu belum
beranama "Mandomai". Kemudian mereka masuk Anjir Pulang Pisau. Sesampai di
Pulang Pisau. Tuan Belanda Bertanya lagi "Lewu apa ini Singa Rewa?" ini lewu "Hulu
Parang!" kata Singa Rewa. "Bukan Singa Rewa!" Belanda menyela. "Ah.. sama saja
tuan. Pulang Pisau dan Hulu Parang sama saja.!"
Kemudian sampai di Buntoi, Belanda bertanya, "lewu apa ini Singa Rewa?" "Inu lewu
air berbuih- buih."
Tuan Belanda bertanya kepada Singa Rewa : "Apa arti nama kamu "Singa Rewa",
dijawab "Singa Rewa adalah "Binatang buas di tengah hutan, pohon roboh tidak
berdaun"! tuan.
Tiba-tiba perahu mereka menabrak batang pohon yang hanyut di sungai. tuan
Belanda kaget dan bertanya : "Apa itu Singa Rewa?" "Tidak apa-apa tuan, kayu sama
kayu."
Mereka melanjutkan penyusuran mereka, teringatlah tuan Belanda akan kulit
"Buntal" yang sudah kering dalam tasnya, lalu ia keluarkan. Saat itu Singa Rewa tidak
memakai baju, lalu di gosok tuan Belanda kulit Buntal itu ke punggung Singa Rewa.
"Aduh...aduhh... tuan apa itu tuan?" "tuan menjawab "tidak apa-apa Singa Rewa,
kulit sama kulit".
Singa Rewa kembali berkata "aduh tuan tidak sama, kulit hidup dengan kulit mati".
Hahahahaaa siapa yang tahan dengan kulit buntal yang kasar.

http://giusbuyuttigoi.blogspot.com/2013/02/kesah-singa-rewa.html (diunduh tanggal 29 Juni


2022, pukul 7.37).

4). (b). KESAH SINGA REWA DAN KUPAK BUNTAL (versi Dayak Ngaju)/Oleh: Offeny.A.I.)
Katika jaman Balanda manguasa Indonesia, papire bakas lewu pamarentah Balanda
tame Pulau Kalimantan je metoh te bagare Pulau Borneo. Ewen mangkat papire oloh
bapangaruh intu Kalimantan. Khususe intu Kalimantan Tengah ewen manenga
jabatan, Tamanggung, Damang, Dambung, dan Singa.
Galar ‘Singa’ yete akan ije biti tokoh Dayak Ngaju je manempo kahanyi tuntang
kasaktian, je inggaer musuh atawa kawal.
Hung ije andau si Tuan Balanda toh mirak ‘Singa Rewa’ mambesei lompat jukung
manyaroroi sungei Kapuas dan Kahayan.
Sana sampai intu Lewu Mandomai, Balanda misek Singa Rewa: “Narai aran Lewu je
toh Singa Rewa?” je toh lewu “Tanah Merah” (Petak Bahandang) horan hindai
bagare “Mandomai”. Limbah te tinai ewen tame Anjir Pulang Pisau. Sana sampai intu
Pulang Pisau.
20
Tuan Balanda misek tinai “Narai aran lewu je toh Singa Rewa?” Je toh lewu “Hulu
Parang!” kuan Singa Rewa. “Beken Singa Rewa!” Balanda mahelat pander. “Ah…,
sama ih tuan. “Pulang Pisau dan Hulu Parang sama ih!” Limbah te sampai intu
Buntoi, Balanda misek, “Narai aran lewu je toh Singa Rewa?” Je toh Lewu danum
babure-bure!” Tuan Balanda misek Singa Rewa tinai : “Narai riman aram “Singa
Rewa?”, injawab Singa Rewa: “Singa Rewa yete Meto basiak intu bentok himba,
upon kayu balihang dia badawen!” tuan.
Salenga jukung ewen manalanggar batang kayu je bahantung hong sungei. Tuan
Balanda tangkejet palus misek : “Narai te Singa Rewa?! Jawab Singa Rewa : “Dia
nara-narai tuan, kayu sama kayu”.
Limbah te tinai ewen tarus mampahayak hasur sungei, taraingat tuan Balanda aton
mina kupak “Buntal” je jari keang intu huang tase, palus impaluae. Metoh te Singa
Rewa dia mahapan baju, palus inggosok tuan Balanda kupak Buntal te ka punggung
Singa Rewa. Kayah… kayah… tuan narai te?!” tuan manjawab : “Dia Nara-narai Singa
Rewa, kupak sama kupak”. Singa Rewa haluli hamauh : “Kayah tuah dia sama, kupak
belom dengan kupak matei”. Hahahahaaa eweh je tahan dengan kupak buntal je
kasar.

5) PALANDUK BATANDING BABINIH DENGAN SANSIBUR

Sinde katika, palanduk tolak satiar mangau panginae... heka kea kulam, dinon babaya akan
suang kanai ih. metoh ie sampai saran ije sungei, ie hasundau dengan sansibur. Kuan
sansibur dengan palanduk : "Hau, nger bara kueh toh?" Tombah palanduk : "eh, bara
ngawa kau, manggau panginan akan galang kanai". Tarewen sansibur palus hamauh tinai :
"Hakarang!! babuah auhe nah nger, kuman kare tetek batang!" Tombah palanduk : "dia ih,
sanger, lehan dia ikau haratie, tetek tantimun olon kalunen hong tana kanih, haratim!!"
Tombah kea sansibur : "Ela rahas sanger, ihatku mureh ikau".
Hamauh tinai sansibur dengan palanduk : "Nger, hiningku auh oloh, ikau toh tahan babinih,
toto tenah?" Tombah palanduk : "Boh, puna gawin aingku je malayap ije male-malem".
Hamauh tinai sansibur : "En ikau olih batanding dengangku?" Tombah palanduk : "Ceh,
lecakm kau, kaulim malawan aku!!"
Tombah sansibur : "Ela manawah aku nger!" "Ayo kue batanding babinih eweh je helo
tantiruh!" Kuan palanduk manantang sansibur. Tombah sansibur : "Ayo, amon kute
kahandakm".
Ye ewen due nampara batanding babinih. Sasar kaput andau, sasar runtuk matan
palanduk, awi heka limbah satiar. Hamauh sansibur dengan palanduk : "En batiruh ikau
nger?"

21
Tombah palanduk : "Dia kare batiruh!". "Kai", kuan sansibur. "En jadi batiruh ikau nger?"
kuan sansibur. "Hindai", kuan palanduk.
Alem sasar ambo, hamauh tinai sansibur : "En jari batiruh ikau nger?" Tombah palanduk,
parak kantu-kantuk handak ngambutep : "Hindaaaiiii....sangerr....!" "Kai", kuan sansibur.
Dia pire palanduk palus takenyep, ngambutep, tantiruh. Hamauh sansibur tinai : "En, jari
batiruh ikau nger?"
Tarewen sabanen palanduk, palus nangkeru, hayak tombah : "Hindaiiiiiii..!!!", salenga
hining auh halebung "bung!!! ampie palanduk manangkeru palus lawu akan sungei. Lepah
bisa-luntus ih palanduk. "Kek kek kek. " tatawen sansibur, manantawe palanduk je lawu
akan sungei.
Sangit angat atei palanduk: "Narai je nantawem sanger, aku nah dia kare mangantuk,
ihat ku handak mandoi, awi tahi dia mandoi!". "Kai, tenah" kuan sansibur, sambil tatawe
tinai : "kek kek kekkk....
Pea kaolih palanduk malawan sansibur habinih, awi matan sansibur cara rena-renang dia
puji ngambutep, jaton upak matae..... kek kek kekk....

6) SANGUMANG KUMAN JUHU ISIN KUJANG


Sinde katika Sangomang ewen ndue indange jaton bara balut awi wayah mandang je
panjang. Ye hamauh ih indang Sangomang kau dengan Sangomang. Oi, Sangomang, awi
ikau tolak talih mamam Maharaja kanih balaku isin kujang mamam akan balut itah andau
toh, awi are ampie kabun kujang mamam. “Yoh, indang,” kuan Sangomang tombah.
Balalu harikas Sangomang tolak akan Istana Maharaja, palus misek dengan mamae
maharaja awi je puna paharin ije kalambutan indange. “Oi, amaku Maharaja tau aku
balaku isin kujang akan balut ikei kue indangku andau toh, peteh indangku?” Tombah
Maharaja : “ela je isi, batange mahin dia aku manenga akan keton, amon handak kuman
isin kujang, imbul kabuat!” Hakarang! Indang, lalehan kakihm nah mama, dengan anak
akem” kuan Sanguomang. “Puna ih amon handak tatau”, kuan Maharaja tombah kea.
Dengan kapehe atei Sangumang buli, balalu nyarita akan indange narai auh mamae
Maharaja. Sanguomang palus dinun akal, balalu ie mansuman akan indange, tirok itong
uka manduan isin kujang mamae te.
“Oi, indang, jewu itah tolak akan eka mama Maharaja, indang mumah lontong eka
sarangan kujang kareh, aku mampalaya mama bagandang.
Amon auh tewah gandangku “pak kapak...bung.....bung....bung...” rimae hindai te. Amon
tewah gandang kue mama “pak golong.....golong..... jawut....jawut... Pak
golong...golong.....
jawut...jawut. ” te wayah indang marukat kujang mama. Kuan Sangomang dengan indange.
“yoh
anak kuan indang Sangomang.
22
Sangomang harikas golong manalih human mamae Maharaja mimbit manewah gandang.
Narai taloh ati puna kahanjak Maharaja bagandang. Ewen ndue nampara manewah
gandang, marasuk auhe hiau, metoh te indang Sangomang tolak akan likut Istana Maharaja
mumah lontong sambil sahokan..
Dia pire-pire katika hining auh tewah gandang Sangomang dengan mamae Maharaja :
“pak...kapak.....bung...bung...bung ” “Oh, hindai ampie kuan atei indang Sangomang.
Dia pire-pire tinai hining tewah gandang : “pak... golong....golong...jawut...jawut...” Ye, te,
kuan atei indang Sangomang, sambil golong marukat isin kujang, sampai kontep
lontong.....
Limbah te buli kan huma indang Sangomang maharagu kujang, batange akan barin bawoi,
isie akan juhu hewui pundang saluang. Sangomang paramisi buli kea bara eka mamae
Maharaja.
Sana sampai huma Sangomang ewen ndue indange kuman balut juhu isin kujang.” Puna
balut mangat resa-resap toto.
Limbah kuman Sangomang ewen ndue indange birik lenge marasih awan eka kuman nah.
Sangumang palus pehe kanaie, handak mamani, tau haranan juhu basantan indahang tinai
awi wayah pandang panjang, riwut papa hirahe. Hancap Sanguomang hadari akan jamban
palus mantuhus arepe akan btang talian, tame jamban palus mamani.
Narai taloh ati, Sangomang mani mambocor : pruuussssssss.....!!...pruuusss..!! lepah keroh
batang danum awi tain Sangomang je mani mambocor nah. Alahan bara keroh tunek awan
oloh manyedot amas.
Hung penda danum kanih uras babusau kawan laok. Takana kea rajan tampahas, dia tahan
keme danum keruh hayak ewau tai dia kalaluen kuan kawan laok. Kawan laok balaku
dengan Sangomang uka tende mamani, haranan lalau kakerouh batang danum te.
Sangomang dia olih mampatende tesaue te, juju-juan tai kau prit-pret sinde. Balalu kawan
laok pumpong hong ije eka, manirok kilen ampie mampatende tesau Sangumang.
Kajariae ewen dinun ije tirok, uka tau mampatende tesau Sangomang, dengan manenga
akan Sangomang tisin cintamani, uka ie terai mamani. Tisin te sakti tau malalus narai
palaku oloh je mahapae. Uras kawan laok pakat bulat atei. Balalu ewen manalih
Sanguomang palus manenga tisin te.
Hemben te kea tesau Sangomang candak. Sangomang luompat akan ngambu, buli akan
huma, mamasut tisin panengan laok te nah. Sangomang balaku, alem kareh, mendeng ije
istana hai tandipah Istana Maharaja. “gup!! Palus mancugut istana je hai tandipah Istana
Maharaja, mama Sangomang.
Hong hanjewu andau, metoh maharaja misik bara tiroh, ie tarewen sabanen, salenga aton
istana hai tandipah istana hai.
“Hau, hau...istana eweh je aton tandipah istana kutoh..? Kuan Maharaja”. Tombah kawan
Mantir Raja, “jete Istana ayun Sangomang, je salenga mancugut hamalem endau.” Kuan
23
ewen.

Palus Maharaja, harikas, handak manekap mandau, tatekap ladok; handak manekap lunjo
tatekap papas, handak manekap dohong tatekap pipis bindang, hakarang uras sala tekap
haranan kagugup Maharaja. Palus Maharaja marentah kare parajurit ayue : “Ayo tehau
akeku Sangomang manaharep aku hetoh !!”
Ye ewen kawan prajurit tolak akan Istana Sangumang, mander parentah Maharaja.
Sangomang tolak kea akan Istana Maharaja. Sana sampai, Maharaja manambang
Sangomang mamalus ie tame. Maharaja dia sabar misek Sangomang narai buku sababe
salenga aton istana hai ayun Sangomang, labih hai bara Istana Maharaja.
“Oi, akenku Sangomang, kilen kesahe ikau tau tatau nyalenga, maka istana ayum toh labih
hai bara istanangku?” kuan pisek Maharaja.
“Ceh, mama ela mamparandah arep, magon hai istana ayun mama.” Kuan Sangomang.
“Dia aken, hai istana ayum!” kuan Maharaja tinai. “Ander akangku rahasia, aken?” “Ceh,
mama, kilau dia katawan, jetoh nah panatau je pelai taliau apangku bihin.” Kuan
panombah Sangomang.
Maharaja puna juju-juan sinde musuk muneh misek Sangomang. “Ander ih aken, narai
karugie ikau mander akan mamam toh?” kuan Maharaja. Hamauh tinai Sangomang : “Terai
mama mahin bukih, dia mama manenga akan kue indang balaku isin kujang male.” “Takan,
takan aken, laku, laku bei palepah kabun kujangku kau, akan balut keton ndue indangm.”
Auh Maharaja mangatau Sangomang.
“Anu, ma, mahamen angatku manyarita akam.” Kuan Sangomang. “Dia narai ih aken, jetoh
rahasia kue ih, jaton oloh je mangatawan.” Kuan Maharaja.
Kajariae insanan Sanguomang kea narai buku sababe ie salenga tatau : “Kutoh kesahe nah,
ma : “Male nah indangku marukat kujang likut istana toh, metoh kue manewah gandang.”
Hakarang, tarewen Maharaja kilen je aku dia katawan?” Kuan Maharaja.
Sabar ma, hindai lepah kesahku, kuan Sangomang, haluli manuntung kesah : “Sasadang
kakaree, palus indang buli manjuhu isin kujang dengan santan enyoh batue, namean isut
pundang saluang. Puna juhu mangat resa-resap toto. Dia katawan narai mawie, salenga
pehe kanai limbah kuman, palus aku te, muhun akan jamban, sakalinya mani manesau,
puna nampurus sinde, nyamah keruh batang danum toh. Haranan kakeruh batang danum
tuntang ewau dia kalaluen, lepah busau kawan laok. Ye ewen kawalan laok je ngapala awi
rajan tampahas pakat manenga aku tisin cintamani, uka aku terai mamani. Tuntang tisin te
tisin sakti, narai bewei je laku itah uras tau tulus manjadi.
Maka bara te aku balaku panatau tuntang istana hai tandipah istana ayun mama toh.” “Oh,
kute auh kesah nah aken. Kareh aku marukat kujang aku manampa juhu isin kujang are-
are, hayak are santan mangat golong manesau.” Kuan Maharaja. “Ela ma!” kuan
Sangomang. “Narai kare ela!” Aku mamam ela sampai kalah panatau bara ikau, aku handak
kea balaku tisin cintamani bara rajan tampahas te.” Tuombah

24
Maharaja, palus ie malihi Sanguomang, manalih likut huma, marukat kujang.
Dia mise jam, juhu kujang basantan jari masak, haranan tasang barangai ih gawin
maharaja, puna mahimat gulung kuman tuntang goulung manesau.
Pea horeh, dia pire katahie, pehe kanain Maharaja, puna sudu-sudu sinde angate,
Maharaja palus mantehus arepe akan batang talihan dia sampet tame akan jamban, puna
alahan bara tampurus danum sedot tai maharaja kau nampurak, pruuuuuussss
pruuuuussssssssss!!!
Hemben te kea keruh batang danum, alahan bara kakeruh tain Sangomang male, hayak
ewau puna jaton tara tanding sinde. Lepah busau nagau kawan laok je aton melai batang
danum. “Lalehan kamias tain Maharaja toh” kuan rajan tampahas, puna handak mampatei
itah kawan laok toh ampie gawie.
Toh ie keme angat balehe kuan rajan tampahas. Parak kasangit atei rajan tampahas
mansukap paran Maharaja : “Barrrr!!! Sambar rajan tampahas paran Maharaja. “Kayah!!
kayah!!! Kuan Maharaja “matei aku, matei aku nyambar tampahas parangku”. Maharaja
lompat bara talian akan istana dia sampet kepan salaware, parak lua-luai sinde. Tara gitan
Sangomang, basa Maharaja hadari bara batang talian parak haluai.
Sangomang maja Maharaja, tuntang ie hamauh : “Te je kuangku nah ma…, ela ikau
manumon taloh gawingku, handak patatau arep, halawu kana sambar param awi rajan
tampahas. Indu kahawe-hawen.” Kuan Sangomang. “Ela ikau nyarita akan oloh aken, taloh
je mawi aku toh”, kuan Maharaja taharep Sangomang.
“Dia, ma, dia balang aku manarung ikau akan oloh are, narai taloh gawim.” Kuan
Sangomang. “Ela aken, ela.” Kuan Maharaja nyame-nyame. “Narungku ikau ma…, uju
gantang bahataku akan ngawa, uju gantang bahataku akan ngaju. Dia balang aku
manarung ikau ma. Pelek teken inuntungku, bakiwak beseiku inambingku, narungku ikau.”
Kuan Sangomang.
“Ela aken, ela, kareh aku nenga akam bawi jahawen.”kuan Maharaja. “Dia aku ma, akan
naraiku, akan sawangku lalau kakaree, akan jipengku ewen te betauku. Narungku ikau
ma.” Kuan Sangomang.
“Kareh aku nenga akam Putir Busu, ken, asal ikau dia manarung aku.” Kuan Maharaja tinai.
Takinyut Sangomang mahining aran Putir busu, palus ie hamauh : “Hau, toto nah ma?”
kuan Sangomang. “Toto”. Hau “iyoh, toto” kuan Maharaja. “Te apang, palus aku ih eka
batue,” kuan panombah Putir Busu bara karung, sambil kumi-kumi, awi ie puna handak kea
dengan Sangomang je bakena balinga.
Pandak kesah, balang Sangomang manarung mamae Maharaja ie palus mangabali arepe
dengan Putir Busu, ewen belom sanang landang melai Istana Hai.

Peteh Penyang:
1. Sala kea gawin Sangumang ewen ndue indange je manakau kujang maharaja. Keleh
mimbul kabuat bele itah manduan atawa balaku ayun oloh, tau oloh dia manenga.
25
2. Ela lalau bukih dengan kawan kula, panatau dia imbit matei.
3. Keleh rajin baimbul kare sayur, lombok, puring betung, tuntang kare batang bua.
4. Amon kuman sasadang ih ela namparuau, tau pehe kanai tuntang tau akan panyakit,
kuan dokter.
5. Ela mangeroh batang danom lepah lumat kareh kawan laok.
6. Ela bahiri, tuntang mipen ramon oloh. Jete malanggar hukum kasapoloh.

26
7). MANGARUHI

Lewu Pahandut asal kota Palangka, katika horan benyem tunis jaton karami kilau wayah toh.
Jalan magun hindai baaspal, huma magon jaha-jahai, motor sapeda tege olohe ih je mahagae.
Tapaare oloh mananjung pai manguan jalanan. Are padang himba tuntang batang kayu likut
balikat huma, kawan burung metu murah itah manyundaue. Kute kea kare laok murah manggau
tuntang mandinue.

Saran lewu Pahandut tege datah randah je ngare oloh Danau Seha. Danau Seha inggare oloh
awi kinjap seha amon wayah pandang.Wayah pandang, datah te teah tuntang are petak maruak
mandanau hete eka pumpong karen laok. Wayah pangujan danum handalem datah danau te
leteng.
Icus dengan kakawalan ayue rajin mangaruhi laok.

Amon jari wayah pandang Icus dengan kakawalan rami mangaruhi mangguang ruak danum je
magun nalakung eka kawan laok are pumpong. Hete ewen rami manawan laok manggayap
mangacal penda danum parak petak kinyak, sampai danum te keruh. Tege tengah dinun laok
behau, tege tengah dinun laok kakapar, bapuyu, sasapat. Sinde katika Icus tatekap laok lindung,
sana ie payah kilau handipe, palus ie tarewen sabanen tuntang mangkariak “handipe!”, padahal
jete dia je handipe tapi laok lindung, awi tampae kilau handipe panjang.

Katika wayah pandang je beken tinai ewen Icus dengan kakawalan ayue haluli rami mangaruhi,
manggau laok akan balut melai huma, amon ewen dinon laok te ewen manusuk laok te hapan
uwei je sila epat. Tusuk laok ewen panjang awi haranan kakare laok je dinon ewen nah. Sampai
andau sasanja ewen Icus dengan kakawalae buli kahuman ewen genep biti. Te ewen
mamparahan pangolih ewen akan indu ewen. “O… Umai, toh dinungku ngaruhi laok, ngoreng
akangku mai.” Kuan Icus dengan Indue. Indu Icus palus manduan laok te, tege behau, puhing,
kakapar, sasapat tuntang bapuyu, balalu marasih manguan laok te. Limba uras jari barasih laok
te tege je ngoreng, tege je imahak.

Andau jari kaput, bari masak, balut masak te Icus dengan indu bapae tuntang kawan paharie
kuman naharep panginan je jari simpan. Narai kahanjak atei Icus awi ie kuman balut laok
mangat, tuntang ie mangkame pangolih ayue dinun ngaruhi andau te olih akan balut ewen
hindu bapa kawan paharie. Tege angat kabanggae aloh gawi kilau busik bangang tapi dinun laok
are.
Sinde andau tinai Icus dengan kare kawal ayue tolak manguang Danau Seha, handak mangaruhi
laok.

Ewen rami sambil baka horeh dengan kawan kawal, sambil ngaruhi, manggayap lunek petak,
manggayap rombak batang, Salenga Icus mangkariak “Akaiii!!!” palus ie manggatang lenge
tuntang mabirik lengee, awi tarewen sakalinya hanjaliwan behau mamangkit tunjuk indu Icus.
Narai taloh ati, tunjuk indu Icus badaha, ie palus haketer, tuntang misek kawan bakas, “En dia
narai ih buah taring handipe te?” Tombah kawan bakas je hila saran, “Dia narai ih, awi
hanjaliwan behau dia bawisa.”
27
Salawah atei Icus mahining dia en-en ih buah totok hanjaliwan behau. Tapi tatap kea ateie dia
mangat awi tunjuk te badaha. Aloh tunjuk Icus badaha ie dia jera mangaruhi laok.
Hong sinde katika tinai Icus aton kambo kahain bitie, ie imbit awi kawan bakas omba
mangaruhi. Malar kea ampin kakejau tanjung akan likut lewu, Labih kurang ije jam tanjung
ewen, tapi sana sampai eka ruak danum te ewen rami manekap laok mangaruhi, sampai genep
bitin ewen dinun sama ije lontong. Sadang puat lontong ewen andau jari halemei, te ewen oloh
are harikas buli. Icus meton laok je ije lontong te puna keke hurus, babaya olih mamaksa arepe,
obet lungkang- lihang haranan kabehat laok te.

Sana sampai huma te Icus mangisai marasih laok. Awang je hai, kilau behau miau nyiri kanaie,
awang je korik kilau sasapat, baya mupet micik, ingisai hapan saok, manganan kanai tuntang
tisike, palus munyah laok te dengan uyah sasadang karee. Hong andau jewu andau mandang te
Icus mangekei laok akan manampa pundang.

Kadue katelo andau mangekei pundang te, te Icus mambagi pundang akan kawan paharie, awi
pundang laok te puna are, dia tapa kinan akan kabuat.
Tege kesah oloh bakas, kilen sewut je “mangaruhi”. Horan tamparan oloh mangaruhi te
inampara awi kawan bawi, te ewen kawan bawi rami sewu akan ruak danum danau atawa
talaga metoh wayah pandang, te ewen mangurah, mangeruh danum hete, sampai are kawan
laok te busau nangau, awi danum keruh, te kawan bawi mangat ih manekap laok melai danum
keruh te.

Auh je mangeruh danum te, palus akan sewut “Mangaruhi”. Percaya atawa dia jete auh kesahe
kea.

http://giusbuyuttigoi.blogspot.com/ (diunduh tanggal 29 Juni 2022, pukul 7.31)

8). KESAH OLOH MAMANTUNG

Tege handi-hakaka, arae te 'Basura' dengan 'Harati'. Basura te tambakase, andie te inggare
Harati. Ewen ndue kilau oloh lewu kea basatiar mamantat gita “pantung” melai himba likut
lewu.

Basura toh oloh je bakuhu, dia nahuang kalah dengan andie Harati, dia nahuang kalah dengan
oloh beken. Gagenep ie mamantat batang pantung, te ie manyalender ngambu-ngiwa, lepah
batang pantung te uras awan pahat Basura, nyamah neweng awi mahimat kare gitan pantung
te.

Awi puna bakuhu mahimat are gitan pantung. Beken tinai ayun Harati, ie baya mangguris ije
kajalan ih, sila-silae mambalikat batang pantung. Kahimat Harati, uka batang pantung dia layu
halai, tuntang eter gitae tau bunggut mamantat gita pantung te.

Hung sinde katika, metoh ewen ndue manalih himba pantung likut lewu, ewen ndue hambilang
28
madu mangabuat mamantat, mangumbang kare batang pantung. Haranan kaheka biti bereng
Harati ie palus tapatiruh melai upon kayu pantung.

29
Salenga tara hining awi Harati tege auh tangis tatum melai parak himba te. Ie tarewen, tapisik
palus manampayah arepe aton hung ije huma bahalap. “Boh, kilen aku toh, je melai hung huma
bahalap toh?” Kuan huang atei Harati.
Indahang tinai intu baun Harati, sepsimpan bari-panginan jari simpan. “Boh… kilen tinai bari-
panginan toh, eweh kea je manadi je toh?”

Metoh Harati manirok melai atei huange. Salenga aton ije bawi bahalap mendeng melai
balikate, palus ie hamauh dengan Harati. “Oii… pahari, has ikau kuman ndai”! Awi ikau endau
tahi tujah, musti ikau balau kanaim katontoh!”

”Yoh, aku tarewen salenga aton melai eka toh! Narai buku sababe. Aku puna toto tujah
tapatiruh awi kahekaan mamantat gita pantung!” Kuan Harati. “Eweh ikau toh?” Pisek Harati
dengan oloh bawi langkis te.

“Aku toh Kariau Bawin Pantung!” kuan oloh bawi te. Balalu Harati misek tinai : “Eweh je
manangis-manatum endau?” Tombah ih Kariau Bawin Pantung, “Auh tangis tatum te, ye kakare
batang pantung je mantat keton olon kalunen, tuntang je ineweng olon kalunen nah.
“Kanampie uka keton dia manangis-manatum?” Pisek Harati.

Palus tombah Kariau Bawin Pantung : “Keton ela ndai mamantat gitan pantung, mahin amon
keton olon kalunen maneweng ikei.”
“Yoh, amon kilau te je sapatute, kareh aku mansanan auh toh akan olon kalunen,” kuan Harati.

Ye limbah te Kariau Bawin Pantung manenga ije pundut akan Harati. “Toh inengaku akam, uka
ikau tatau sanang.!” Tuntang ikau buli lewum ih, ela ndai mamantat gita pantung.!” Kuan Kariau
Bawi Pantung.

Ye, salenga Harati palus aton hung Lewu human ewen. Harati mukei pundut je inenga Kariau
Bawin Pantung, sakalinya uras bintap amas hung pundut te. Balalu misek kakae Basura. “Kilen
andi ikau palus lilap, dia katawan tintun darim? Tuntang kea bara kueh kare amas, panatau
toh?” “Anu… aka… aku te.. kilau tujah… palus tapisik melai ije huma hai, bahalap, tuntang
sundau dengan Kariau Bawin Pantung.” Ie te je manenga aku amas toh asal aku dia ndai
mamantat gita pantung.

Harati te mangesah akan kakae Basura, gete-getei auh manyundau Harati dengan Kariau Bawin
Pantung nah.

Narai taloh ati, hung hanjewu andau, puna oloh je bakuhu, dia kare mentai kareh-jewu, Basura
palus harikas tolak akan himba pantung likut lewu. Hajat-huang sundau dengan Kariau Bawin
Pantung.

Puna hajat niat tulus manjadi. Basura sundau kea dengan Kariau Bawin Pantung, Baya Kariau

30
Bawin Pantung hubah manjadi ije Ijin kambe hai, ie basingi dengan Basura, palus Ijin te
mambisak-bihas Basura. Basura matei awi ijin kambe hai te.
Kute auh kesah mampatei Basura, oloh je bakuhu te.
Olon kalunen magun sampai katika toh tege je mamantat gita pantung, awang je katawan kesahe
ie manampa gawie balaku asi tuntang paramisi dengan Kariau Bawin Pantung. -------

Peteh Penyang:
1. Ela itah manjadi oloh je bakuhu
2. Keleh itah bagawi bujur buah, ela marusak kabun pambulan tuntang marusak alam
lingkungan.
3. Rajaki tuah uras awi asi sintan Hatalla Pangkahai Tuhan.
4. Taloh gawi je sala tuntang dia bahalap akan manggetem bua je dia bahalap kea.
http://giusbuyuttigoi.blogspot.com/ (diunduh tanggal 29 Juni 2022, pukul 13.31)

D. “TANUHUI” DI KALANGAN SUKU DAYAK MAANYAN

Kita berbicara dongeng, mendongeng. Di Wilayah Barito Timur atau juga Barito Selatan, kita
mengenal dengan istilah Bahasa Maanyan “Tanuhui”.
“Tanuhui” adalaah : Dongeng atau cerita rakyat. Biasanya tanuhui atau dongeng atau bercerita
untuk menidurkan anak-anak. [Kakah katuju tanuhui ma kawan umpu ni / Kakek senang
mendongeng buat cucu-cucunya]
Tanuhui atau dongeng/ cerita rakyat, merupakan sebuah media komunikasi masyarakat adat
sejak jaman dahulu sampai sekarang.
Bisa kita temui dalam berbagai kesempatan pemenuhan hukum adat di seluruh wilayah Kab.
Barito Timur. Tanuhui/Story telling banyak memiliki makna dalam kehidupan masyarakat adat.
Para tokoh adat “tanuhui” / menceritakan sejarah perjalanan hidup orang Dayak Maanyan sejak
dahulu kala dan diteruskan secara turun temurun.. Tak hanya isi tanuhui /cerita, gestur tubuh,
cara bercerita, dan dialek itu sendiri akan memunculkan sebuah ciri khas kebudayaan
masyarakat Dayak Maanyan.
Tanuhui (dongeng/ cerita rakyat) asal usul babasal/jimat sakti suku Dayak Maanyan. (bpk Batherius
mantan Damang Paju Epat). Cerita rakyat ini diwariskan turun-tenurun berasal dari kampung Dayak
Maanyan tempo dulu, sebuah tanuhui tentang asal usul orang Dayak Maanyan mendapatkan
babasal/jimat sakti.

Tanuhui ini diceritakan oleh mantan Damang Paju Epat pak Batherius. Sebuah cerita berasal dari
pedalaman Kalimantan yang berada di wilayah perbatasan, diceritakan sejak zaman Kerajaan
Nansarunai menggunakan Bahasa sastra kuno "PANGUNRAUN".

https://www.youtube.com/watch?v=GouWFTQlzng (diunduh tgl 5 Juli 2022, pukul 21.21)

Di bawah ini akan kita lihat beberapa “Tanuhui” yang ada di kalangan Suku Dayak Maanyan di

31
Barito Timur juga di Barito Selatan, sebagai mana yang ada pada “Tanuhui” berikut ini.

1). Tanuhui : TUMPUK (KAMPUNG) BALAWA

Ada sebuah kampung yang dikenal dengan Balawa kampung ini adalah salah satu Kampung dari
orang Ma’anyan Paju Epat.di sebut Paju Epat karena Suku Dayak Ma’anyan ini berasal dari
Empat Paju atau empat Kampung yang berdekatan. Empat Kampung itu adalah Siung, Telang,
Murutuwu dan Balawa.

Pada zaman dahulu (jaman tawuk sadi) keempat kampung ini sering mendapat Usak atau di
Serang oleh Suku Dayak lain, tak terkecuali Kampung Balawa.

Di pinggir kampung Balawa ada sebuah pohon yang sangat besar yaitu Pohon Binjai.Pohon
inilah yang menjadi patokan bagi musuh yang datang menyerang kampung ini sehingga
Kampung ini dapat dengan mudah ditemui oleh musuh.

Daerah Balawa di pimpin oleh Seorang Damang (Pemimpin Suku Dayak) yang memiliki Ilmu
menyembunyi kan Kampung nya. Sehingga Balawa tidak pernah di temukan oleh musuh yang
ingin menyerang dan merampok Kampung ini.

Ketika ada kebetulan ada beberapa orang dari Suku Dayak lain yang melewati kampung Balawa
ketika berburu. Maka mereka melihat bahwa Kampung Balawa adalah daerah yang subur .maka
ketika mereka kembali ke kampung mereka di ceritakan merekalah yang mereka lihat kepada
Pemimpin mereka.maka timbulah niat mereka untuk menyerang dan merampok kampung itu.

Maka pergilah mereka menuju Kampung Balawa. Namun kedatangan mereka di ketahui oleh
masyarakat Balawa yang melihat iring-iringan mereka menuju Kampung Balawa. Maka dia
menemui Damang Balawa untuk member itahu bahwa ada musuh yang menyerang dengan
Ilmu yang dia miliki Damang itu menyembunyikan kampung nya Sehingga Kampung itu tidak
dapat di temui oleh musuh.
Ketika para musuh itu sampai di daerah Balawa mereka tidak dapat menemukan Kmapung
itu.tapi mereka yakin bahwa di daerah itulah Kampung Balawa.sebab ada Pohon Binjai yang
sangat besar yang menjadi patokan mereka.

32
Namun yang mereka lihat hanyalah hutan belantara yang sangat lebat,sedangkan Kampung
Balawa adalah daerah yang cukup ramai.tetapi saat mereka datang untuk menyerang daerah
itu tiba-tiba menjadi hutan dan mereka hanya mendengar suara kokokan ayam ketika pagi tiba
dan suara babi yang kelaparan.

Namun orang ma’anyan di Balawa dapat melihat dengan jelas musuh berkeliling Kampung
bahkan di bawah rumah Betang ketika mereka telah berkeliling mencari Kampung itu selama
dua hari maka merekapun pulang dengan Perasaan Kecewa sebab yang mereka temukan
hanyalahhutan yang gelap oleh rindangnya pohon-pohon besar,maka nereka menyebut daerah
itu balawa yang artinya gelap. Sebutan itulah yang menjadi nama dari kampung itu sampai
sekarang.

Pada suatu hari Damang Balawa mengumpulkan para tokoh adat dan masyarakat Balawa untuk
bermusyawarah bagaimana caranya supaya Kampung mereka tidak di serang. Ia kuatir
walaupun ia mampu menyembunyikan kampung nya pada suatu hari nanti ada musuh yang
berhasil menemukan kampung mereka.

Dan musyawarah itu di sepakatilah mereka untuk menebang pohon Binjai besar itu yang
menjadi penanda bagi musuh yang ingin menyerang Kampung Balawa. Sebab karena adanya
pohon itu maka musuh dengan mudah menemukan daerah Balawa.

Maka keesokan harinya para Pemuda kampung pun bersiap untuk Menebang pohon itu dengan
alat beliung tapi anehnya Pohon itu tidak dapat di tebang setiap satu kulit terkelupas maka kulit
itu menutup kembali.sehingga mereka tidak berhasil menebang pohon itu .

Pada malam harinya Damang Balawa bermimpi didatangi seseorang dan berkata usaha mereka
untuk menebang Pohon Binjai itu adalah sia-sia karena walau bagai manapun mereka tidak
akan bisa menebang pohon itu.orang itu berkata bahwa ada Seekor Kera berbulu Emas yang
tangan kirinya memegang pohon itu dan tangan kanan nya menjangkau awan .

Pohon itu dapat di tebang jika penduduk balawa memenuhi syaratnya. Keesokan harinya
Damang memberitahu penduduk mimpinya malam tadi maka mereka memenuhi syarat seperti
yang disampaikan orang di dalam mimpi damang itu.

33
Setelah itu mereka pun kembali menebang Pohon itu setelah hampir satu hari barulah pohon
itu tumbang tepat ditengah-tengah Kampung Balawa dan sangat terasa oleh mereka getaran
yang ditimbulkannya.maka bersoraklah mereka bergembira karena berhasil menebang pohon
itu.

Kehidupan pun kembali seperti biasa batang pohon Binjai yang tumbang itu di gunakan
masyarakat untuk menjemur kain bahalai sehabis di gunakan dalam Ijambe atau upacara
kematian orang Dayak ma’anyan maka batang pohon itu lama kelamaan menjadi berwarna
hitam.

Pada suatu hari ada seorang penduduk berkata kepada temannya “coba kamu lihat batang
pohon itu mirip naga coba perhatikan panjang pohon ini dan dahannhya dua keatas mirip
tanduk”.

Sampai pada suatu hari ada seorang perempuan mencari rebung kehutan setelah itu ia
mengupas kulit rebung itu diatas batang pohon itu. Maka tidak di sengaja sebetan Mandau nya
mengenai batang Pohon itu dan Kulit Pohon itu terkelupas dan pohon itu mengeluarkan cairan
berwarna merah seperti darah maka perempuan itupun lari ketakutan.sambil berteriak bahwa
Pohon itu adalah naga.

Dia menceritakan kepada penduduk lain.maka maka ramailah orang sekampung membicarakan
hal itu hanya satu orang yang berkata.”Tidak mungkin itu naga.cairan merah itu memang getah
Pohon Binjai itu”.

Pada Malam harinya hujan turun dengan sangat deras sehingga malam itu sangat sepi.Damang
Balawa kembali bermimpi di datangi seseorang dan berkata “Apa salah kami sehingga kalian
begitu benci.kalian sudah menebang kami sekarang kalian menyebut kami naga.baiklah kami
akan pergi jauh dari sini”.

Maka keesokan harinya pada pagi harinya ketika penduduk Balawa terbangun mereka melihat
batang pohon besar itu tidak ada lagi kini yang ada hanyalh aliran sungai di bekas batang pohon
itu membelah kampung Balawa.maka jika orang itu beruntung mereka dapat melihat Tunggul
pohon itu di dalam air sebesar bulatan drum. Masyarakat sekitar percaya bahwa ketika seorang
ibu yang hamil beruntung bisa menemukan tunggul pohon itu ketika mandi di sungai itu dan

34
berdiri diatas nya maka anak yang dilahirnya akan tampan atau cantik, tapi tidak semua orang
yang dapat menemui tunggul pohon Binjai besar itu.

Kampung Balawa sampai sekarang masih kita kenal,sebuah kampung yang teletak di Kecamatan
Paju Epat kabupaten Barito Timur. --------

http://rummybertuadi.blogspot.com/2018/02/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
(diunduh tgl 5 Juli 2022, 0ukul 21.04)

2). Tanuhui /Legenda : LIANG SARAGIH


Tidak banyak orang tahu mengenai legenda Liang Saragi. Legenda asal Kalimantan Tengah yang
nyaris terlupakan. Cerita dimulai ketika Kerajaan Tumpuk Lusun Bumi Manang Menuh sedang
sibuk mencari jodoh bagi sang tuan puteri. Dari sekian banyak pria di desa itu, tidak ada
satupun yang berkenan di hati Putri Layu Turus Riwut Pasang Angin. Entah apa yang menyentuh
hati Putri Layu. Ia justru memilih pria miskin bernama Saragi.

Singkat cerita, Saragi yang yatim berhasil memenuhi semua persyaratan yang diajukan raja.
Bersama ibunya, Saragi dibawa ke istana. Ia dan Putri Layu kemudian melangsungkan
pernikahan meriah. Beberapa raja dan pangeran dari negeri tetangga diundang untuk
menghadiri pesta pernikahan.Saat pesta berlangsung,
Kerajaan Tumpuk Lusun Bumi Manang Menuh dijatuhi kutukan. Azab itu datang ketika para
pemuda pesaing yang datang dari luar kerajaan melanggar perintah raja. Mereka mencemooh
Saragi. Kerajaan yang tadinya megah akhirnya hancur diterjang bencana dan berubah menjadi
gua dan lautan air.Saragi selamat namun tidak begitu dengan istrinya. Setelah bencana
berakhir, Saragi terus mencari Putri Layu Turus Riwut. Namun, pencarian tidak juga berhasil.
Bahkan Saragi tersesat di sebuah goa yang kemudian dikenal dengan nama Liang Saragi.Pada
akhirnya, pasangan ini dipertemukan kembali berkat pertolongan gaib yang dilakukan oleh Suku
Dayak. Saragi dan Putri Layu Turus Riwut Pasang Angin kembali bersatu setelah melalui proses
reinkarnasi. --------
Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1531511

35
3). NANSARUNAI
(Oleh : Rummy Bertuadi)

Pada zaman dahulu di daerah Kalimantan berdiri sebuah Kerajaan yang dikuasai oleh seorang
Kepala Adat yang bergelar Amah Jarang (yang artinya ayah Jarang, karena anak pertamanya
bernama Jarang sedangkan anak keduanya bernama Idung). Dan pada saat itu di Kalimantan
sudah ada perkampungan Jawa yang di pimpin oleh Japutra Layar dia memiliki istri yang sangat
cantik yang bernama Tubatu, Japutra Layar adalah orang yang suka berlayar.
Pada saat itu Japutra Layar berlayar kembali ke pulau Jawa dan meninggalkan istrinya di
Kalimantan, bertepatan dengan kepergian Japutra Layar ke Pulau Jawa terjadi kemarau panjang
dan konon terjadi hingga satu tahun yang mengakibatkan air laut menjadi surut, sehingga
Japutra Layar tidak dapat kembali ke Kalimantan.
Pada saat itu istri Japutra Layar yang bernama Tubatu sulit untuk mendapatkan air, dan pada
suatu pagi dia merenung di jendela rumah nya, tiba-tiba datang burung merpati hinggap di
jendela dekat Tubatu dan burung itu mengepak kan sayapnya ternyata dari badan burung itu
ada airnya, Tubatu pun berpikir dari mana burung ini mendapatkan air sedangkan saat ini
dilanda musim kemarau panjang. Pada keesokan harinya Tubatu memutuskan mengikuti arah
burung itu terbang sehingga sampailah dia di sebuah sumur milik Amah Jarang, dia senang
sekali dan tiap hari mandi di situ.
Hingga pada suatu hari Amah Jarang datang ke sumurnya dan dia mendapatkan sumurnya
seperti ada orang yang habis mandi, dugaan itu di perkuat ketika dia menemukan sehelai
rambut yang panjang di pinggir sumur nya, dan dia berkata “ini pasti rambut perempuan”.
Amah Jarang pun memutuskan untuk mengintip dari balik semak siapa gerangan perempuan
yang tiap hari mandi di sumurnya itu, dan ternyata benar ada seorang perempuan cantik
berambut panjang yang datang mandi ke sumur itu dia adalah Tubatu istri Japutra Layar.
Dengan sigap Amah Jarang menghunus mandaunya ke leher Tubatu sehingga Tubatu kaget dan
mau berhubungan dengan Amah Jarang asalkan jangan di bunuh, dari hubungan itu Tubatu pun
hamil dan melahirkan se orang anak yang diberi nama Paning, dan untuk menutupi itu semua
dari Japutra Layar; Tubatu menyembunyikan anaknya yang bernama Paning itu ke seBuah
gunung dengan posisi kepala ke arah Pulau Jawa sedangkan kaki ke arah pulau Kalimantan.
Setelah kemarau berlalu akhirnya Japutra Layar kembali ke Kalimantan. Pada suatu saat Japutra
Layar menyuruh istrinya melihat ubannya ketika Tubatu melihat uban Japutra Layar meneteslah
air susu Tubatu ke kepala Japutra Layar, melihat hal itu Japutra Layar sangat marah dan berkata
kepada Tubatu siapa yang telah membut kamu memiliki anak, dengan Tangis Tubatu berkata
aku memiliki anak dari Amah Jarang. Japutra Layar sangat marah daN mengumpulkan
pasukannya dan siap menyerang Kerajaan Nansarunai, dalam pertempuran itu Kerajaan
Nansarunai mengalami kekalahan orang meninggal di mana-mana sedangkan Amah Jarang
kepalanya di penggal oleh Japutra Layar dan kepala Amah Idung dibawanya ke Pulau Jawa
beserta kekayaan

36
Kerajaan Nan- sarunai. Dari pertempuran ini hanya Idung dan Jarang yang selamat dan berhasil
melarikan diri ke hutan.
Beberapa tahun kemudian Idung dan Jarang dimimpikan oleh ayahnya bahwa Nansarunai sudah
aman dan ayah mereka menyuruh Idung dan Jarang kembali ke daerah kelahiran mereka, ketika
kembali ke Nansarunai menemukan tanah kelahiran mereka sudah rata dengan tanah dan
mayat di mana-mana, Idung dan Jarang pun berpikir untuk mengambil kembali kepala ayah
mereka dari Pulau Jawa yang di bawa oleh Japutra Layar, dengan ilmu mereka; mereka terbang
menggunakan daun yang di baut seperti jukung ke Pulau Jawa, sesampainya mereka Idung dan
Jarang berbaur dengan masyarakat sekitar, dan ada seorang perempuan yang suka kepada
Idung dan Jarang dengan perempuan itu Idung dan Jarang memanfaatkannya agar orang-orang
di sana termasuk japutra layar, bagaimana agar mereka menjadi mabuk. Idung dan Jarang
menyuruh perempuan itu memberikan tuak kepada orang-orang di sana, sehingga setelah
meminum tuak itu seluruh mereka mabuk termasuk Japutra Layar, disaat mereka mabuk
Japutra Layar mengambil kepala Amah Jarang dan melemparnya ke hadapan kerumunan orang
banyak, idung dan jarang pun memungut kepala ayahnya itu dan siap-siap kembali, tetapi
perempuan yang terlanjur suka dengan idung dan Jarang berupaya menghalangi mereka dengan
merayu Idung dan Jarang, Idung yang tidak tahan dengan rayuan perempuan itu hampir
tergoda tetapi Jarang mengingatkan mereka harus kembali karena kalau mereka tidak kembali,
sampai orang-orang itu sadar mereka pasti di bunuh, akhirnya mereka pun kembali ke
Nansarunai dengan membawa kepala ayah mereka, dan konon kepala Amah Jarang ini
dikeluarkan jika ada acara khusus seperti ijambe, dan menurut kepercayaan daerah tempat
Kerajaan Nansarunai ini tidak dapat ditemukan oleh kita karena menghilang secara gaib hanya
orang yang bisa nyarunai (tumet) yang bisa memasuki area ini yang di dalamnya ada sumur
milik Amah Jarang dan kunun tidak ada satu binatang pun yang bisa masuk ke area ini dan
hanya burung elang saja yang bisa memasuki area sumur ini dan muncul kepercayaan jika elang
bersarang 7 turunan di sarang itu pasti di dalam sarangnya ada sebuah tanah yang di bawanya
dari sekitaran sumur Amah Jarang dan bila kita dapat mendapatkan tanah itu menurut
kepercayaan tanah itu dapat menyembuhkan segala penyakit.
Demikian cerita tentang Nansarunai keturunan asli dari Idung dan Jarak adalah Dayak Maanyan
Paju Epat, yang merupakan warga asli Nansarunai. -------
(Sepertinya si pendongeng hanya menceritakan ttg perjalan dari si Idung dan si Jarang, krn tdk
ada dialog dlm cerita ini, Judulnya memang Nansarunai, tp Nansarunai yg bagaimana??).

37
4). Tanuhui : DESA BALAWA
(Oleh : Elis Setiati, S.Pd., M.Hum)
SEBUAH PERPISAHAN

Di suatu tempat bernama negeri Nansarunai (kerajaan suku Dayak Maanyan) tinggallah masyarakat
Maanyan yang hidup aman, tenang, dan makmur sentosa. Di situ ada sekelompok pemimpin-pemimpin
adat yang sangat disegani oleh masyarakat karena kebijaksanaan dan kekuatan mereka untuk menjaga
negeri Nansarunai dari segala mara bahaya. Pimpinan adat itu dinamakan Uria Pitu (tujuh orang
pemimpin adat) dan Patis Mawuyung. Ketujuh orang yang disebut Uria Pitu itu adalah Uria Dambung
Napulangit, Uria Mapas, Uria Rantau, Uria Biring, Uria Ponneh, Uria Pulanggiwa, dan Uria Buman. Negeri
Nansarunai sudah terkenal di mana-mana sebagai kerajaan yang sangat megah, kaya raya, mewah,
indah, dan jaya. Hal itu membuat membuat kerajaan lain ingin menguasainya. Pada suatu hari saat bumi
Nansarunai yang makmur diserang oleh berbagai kerajaan, Uria Pitu dan Patis Mawuyung bertempur
dengan gagahnya. Namun,

mereka tidak cukup kuat untuk menghalau serbuan dari kerajaan lain. Sampai suatu ketika, negeri
Nansarunai akhirnya ditaklukkan dengan damai oleh sebuah kerajaan yang sangat besar dan masyhur.
Para pemimpin adat Nansarunai, yaitu Uria Pitu dan Patis Mawuyung tidak mau bergabung atau tunduk
kepada pemimpin yang baru. Mereka pergi dari negeri Nansarunai dan masuk ke dalam hutan belantara
sambil membawa bekal untuk melanjutkan hidup di wilayah baru. “Apakah kita akan mengikuti raja yang
baru atau kita pergi saja dari tempat ini, Saudaraku?” Uria Dambung Napulangit bertanya kepada para
uria dan Patis Mawuyung. “Kita tak boleh menyerah bahkan mengikuti mereka. Lebih baik kita pergi dari
tempat ini!” kata Patis Mawuyung kepada Uria Pitu. “Apakah engkau takut, Patis Mawuyung?” tanya
Uria Ponneh kepada Patis Mawuyung. Patis Mawuyung terlihat kaget mendapatkan pertanyaan dari Uria
Ponneh. Tidak sekali pun dia takut atau mau mengikuti para penjajah negeri Nansarunai. Hanya
kemarahan yang memancar di raut wajahnya, apalagi saat Uria Ponneh memberikan pertanyaan itu. Dia
pun berkata kepada Uria Ponneh sambil menahan amarahnya.

“Tidak sedikit pun aku takut pada peperangan dan penjajahan ini. Aku hanya takut jika rakyat kita
menderita, aku kehilangan saudara seperti kalian, dan aku hanya takut kepada Tuhan Sang Pencipta.”
“Maafkan aku, Saudaraku Patis Mawuyung, yang gagah berani. Bukan maksudku menghina dan
meremehkanmu. Aku tahu kita semua dalam keadaan lelah. Lelah melewati berbagai macam
peperangan yang beberapa kali telah menghancurkan tempat kita. Meskipun kita sudah berusaha, pada
akhirnya kita kalah juga, meski negeri kita direbut dengan cara damai.” Sambil berkata, Uria Ponneh
mengulurkan tangan dan menjabat tangan Patis Mawuyung seraya memegang pundaknya dengan kuat.

Patis Mawuyung tersenyum kembali dan dia menjabat erat tangan Uria Ponneh. “Perang sudah
membuat masyarakat dan negeri Nansarunai hancur. Jangan sampai kita bertikai di antara sesama suku
sendiri. Semoga kita semua yang masih ada di sini bisa saling menghormati satu sama lain,” kata Patis
Mawuyung kepada Uria Ponneh dan uria lainnya.

Semua mengangguk tanda setuju. Perkataan Patis Mawuyung sungguh bijaksana dan baik untuk bekal
kehidupan mereka. “Bagaimana langkah kita selanjutnya?” Uria Mapas bertanya kepada para uria dan
Patis Mawuyung. “Mungkin kita harus belajar ilmu perang untuk membalas kekalahan kita dan
membangun kembali negeri Nansarunai.” Uria Rantau berbicara dengan semangat yang berapai-api. “Ke

38
mana kita harus belajar ilmu berperang? Apakah kita harus menempuh perjalanan yang jauh untuk
mendapatkan ilmu berperang?” ujar Uria Biring kepada mereka.

“Perang sudah banyak menyengsarakan rakyat dan menghancurkan negeri ini. Jadi, mari kita hentikan
saja, mari kita berdamai dengan keadaan. Bukan kita mengalah, tetapi demi rakyat Nansarunai yang
masih tersisa.” Patis Mawuyung berkata kepada Uria Pitu. “Damai itu indah dan kita harus melindungi
rakyat tanpa harus berperang.” Uria Biring berkata kepada saudara-saudaranya.

“Sekarang apa yang harus kita lakukan dengan keadaan begini?” ujar Uria Buman yang sedari tadi
berdiam diri saja. “Bagaimana kalau kita mencari wilayah baru dan membangun tempat yang baru?”
kata Uria Pulanggiwa saat itu. Musyawarah pun terjadi di tengan hutan belantara yang sepi. Suasana
pun menjadi ramai karena banyak hal yang mereka sampaikan dan bicarakan pada musyawarah kecil itu.
Mereka sejenak melupakan kisah peperangan yang telah membuat mereka pergi dari tempat tinggal
mereka. Setelah lama saling memberikan pendapat, akhirnya Uria Pitu dan Patis Mawuyung
mendapatkan kesepakatan.

Uria Pitu dan Patis Mawuyung memutuskan untuk berpisah dan pergi ke tempat yang berbeda. Mereka
mencari wilayah yang lebih baik dan lebih aman daripada tempat sebelumnya. Saat itu juga mereka
membagikan bekal yang mereka bawa dari negeri Nansarunai. Bekal yang mereka bawa bermacam-
macam, seperti bibit padi, ayam serta alat-alat bertani dan berladang. Mereka pun membagikan bekal
itu dengan adil. Patis Mawuyung mendapatkan giliran terakhir dan bagian bekal yang tersisa.

“Patis Mawuyung ambillah sisa bekal yang kita bawa ini. Apa pun itu semoga dapat menjadi modal hidup
bagi kita di tempat yang baru,” begitu kata salah satu Uria Pitu sambil memberikan bekal kepada Patis
Mawuyung. Lalu, Patis Mawuyung mengambil bagian dari bekal yang sudah diberikan kepadanya. Bekal
itu berupa ayam jago, bibit padi yang berwarna hitam, dan berbagai macam peralatan bertukang dan
berladang. Bibit padi yang dibagikan kepada Patis Mawuyung tampak jelek dan berwarna hitam karena
bibit padi itu merupakan sisa bekal yang terakhir. Namun, Patis Mawuyung tidak marah, dia malah
bersyukur masih mendapatkan benih padi dari Uria Pitu.

“Terima kasih, Saudara-Saudaraku. Kalian sudah memberiku bekal untuk kehidupan di tempat yang
baru,” kata Patis Mawuyung kepada para pimpinan adat tersebut. “Berhati-hatilah, Patis, karena kami
tidak bisa lagi bersamamu. Semoga kamu tidak mengalami kesulitan dalam menempuh perjalanan
menuju tempat yang baru. Semoga tempat yang baru itu adalah tempat yang subur,” kata salah satu
Uria Pitu yang berada di situ. “Iya. Terima kasih atas doa kalian. Demikian juga harapan dan doaku untuk
kalian semua,” ujar Patis Mawuyung kepada Uria Pitu.

“Perjuangan kita bersama cukup sampai di sini. Mari kita cari wilayah, tanah, dan suasana baru yang
mungkin saja dapat membuat kebahagiaan bagi sesama manusia,” kata Uria Mapas. “Perang sudah
membuat rakyat dan kita semua menderita. Jadi, berdamailah untuk sebuah keadaan yang sulit,” kata
Uria Rantau. “Aku tak segan-segan meminta bantuan kalian apabila di tanahku, di tempat yang baru
nanti ada kesulitan,” Uria Biring ikut bersuara. “Ya! Kami bersedia membantumu, Saudaraku. Demikian
juga, kami akan meminta bantuanmu.” Patis dan para uria berbicara bersamaan. Mereka tampak akur
dan sangat menghormati satu sama lain. Seandainya tak ada perang, takkan ada perpisahan di antara
Uria Pitu dan Patis Mawuyung, para pimpinan adat Nansarunai.

39
“Jangan sekali-kali kita saling menoleh ke belakang setelah perpisahan nanti agar perjalanan kita
berhasil sampai ke tempat yang kita cari,” kata Uria Dambung kepada para pimpinan adat tersebut.
Mereka saling berjabat tangan dan berpelukan tanda perpisahan juga persaudaraan. Satu per satu Uria
Pitu berjalan dan berpencar untuk mencari wilayah baru yang lebih baik. Hati Patis Mawuyung terasa
sakit karena perpisahan tersebut. Semua terharu, tetapi tak setetas air mata pun jatuh dari pelupuk
mata mereka. Bagi mereka, lelaki pantang mengeluarkan air mata untuk sebuah perjuangan.

“Semoga para Uria Pitu selamat dan menemukan tempat yang layak untuk kehidupan mereka
selanjutnya.” Patis Mawuyung bergumam dalam hatinya. Keadaan terasa sunyi dan sepi. Hutan
belantara dan isinya menjadi saksi perpisahan para Uria Pitu dan Patis Mawuyung. Setelah semua
berpencar, kini tinggallah Patis Mawuyung seorang diri. Sendiri di hutan belantara tidak membuatnya
takut. Dia mempersiapkan perjalanannya untuk mencari wilayah dan tempat yang baru. Inilah perjalanan
sunyi Patis Mawuyung yang baru saja dimulai.

PATIS MAWUYUNG

Dalam perjalanan mencari wilayah yang baru, Patis Mawuyung banyak menemukan petualangan dan hal
yang luar biasa. Suatu hari, saat dia melintasi sebuah kampung yang amat sepi, dia melihat lelaki tampan
dan wanita cantik. Ternyata lelaki tampan dan wanita cantik itu adalah sepasang suami istri yang baik
hati. Mereka menolong Patis Mawuyung dengan memberikannya tempat tinggal dan makanan. Sudah
berhari- hari berjalan di tengah hutan belantara, Patis Mawuyung hanya memakan dedaunan muda,
umbiumbian, dan binatang buruan yang ditemukannya.

“Siapakah Tuan ini? Apakah Tuan tersesat?” Dengan wajah yang ramah lelaki tampan itu bertanya
kepada Patis Mawuyung. “Namaku Patis Mawuyung. Aku berasal dari tempat yang jauh yang bernama
negeri Nansarunai. Aku salah satu pemimpin adat di sana. Saat ini aku harus pergi mencari wilayah baru
karena negeri itu sudah hancur dan sudah dikuasai oleh kerajaan lain,” jawab Patis Mawuyung dengan
wajah muram.

“Selamat datang di tempat kami yang sederhana ini, Patis. Senang menerima kehadiran Patis di pondok
ini. Tinggallah lebih lama di sini karena kami tahu ini sudah takdir kami menerima seseorang yang hebat
dari negeri Nansarunai.” Mereka menyambut Patis Mawuyung dengan ramah dan merasa senang sekali
atas kehadiran Patis Mawuyung meski mereka baru saja mengenalnya.

“Terima kasih atas sambutan yang hangat ini. Semoga segala keselamatan dan umur panjang menyertai
kalian berdua.” Patis Mawuyung terharu mendengar perkataan mereka. Tempat yang menjadi
persinggahan Patis Mawuyung adalah sebuah pondok sederhana yang dihuni keluarga kecil yang terdiri
atas suami yang tampan dan seorang istri yang cantik jelita. Mereka keluarga yang baik hati dan ramah.
Sang istri yang cantik itu baru saja melahirkan.

Pada suatu hari, ketika sang istri pergi ke sungai untuk mandi, ada seekor panganen (ular yang sangat
besar) mendekatinya. Wanita itu terkejut. Dia berteriak, tetapi apa daya tak ada yang menolongnya.
Suaminya sedang berada di ladang di tengah hutan.

“Tolong, jangan mangsaku. Anakku masih kecil dan suamiku memerlukanku.” Wanita ini berbicara
dengan wajah ketakutan. Dia memohon pada ular untuk membebaskannya. “Aku akan membawamu ke
rumahku
40
karena aku kesepian di sana.” Tiba-tiba sang ular berbicara kepada wanita cantik itu. Wanita cantik itu
terkejut mendengar ular raksasa itu dapat berbicara. Terjadilah percakapan antara ular raksasa dan
wanita cantik itu.

“Ular, kau dapat berbicara? Lepaskan aku. Aku memiliki keluarga yang menungguku di rumah.” “Aku
takkan melepaskanmu. Kau sendiri yang membuat aku ke sini.” “Bagaimana bisa aku membuatmu ke
sini?” “Kau mengundangku kemari dengan bau harum tubuhmu. Kau pasti baru saja melahirkan.
Padahal, orang yang baru melahirkan tidak boleh pergi ke sungai untuk mandi dan mencuci. Itulah
sebabnya aku akan menjemputmu untuk pergi ke rumahku.” Panganen itu langsung membawa wanita
itu dalam lilitannya.

“Berhenti! Lepaskan wanita itu.” Tiba-tiba Patis Mawuyung datang dan keluar dari sela pepohonan besar
menuju pinggiran sungai. Wanita cantik itu senang karena kehadiran Patis Mawuyung memberikannya
harapan hidup. “Tolong aku, Patis, aku sangat takut! Panganen ini akan membawaku ke sarangnya.”
Wanita cantik itu berteriak dan suaranya bergetar karena ketakutan. “Jangan takut. Aku akan
menolongmu. Tenanglah! Semakin kau bergerak, semakin kuat lilitan panganen itu.” Patis Mawuyung
berkata kepada wanita cantik itu. Panganen itu mencoba menepis kehadiran Patis dengan hempasan
ekornya yang sangat besar dan panjang. Namun, dengan cekatan Patis Mawuyung meloncat dan
menghindari hempasan-hempasan ekor panganen tersebut. “Siapa kamu berani-berani menghalangi
aku membawa wanita ini?” Panganen itu berbicara dengan marah sambil mengangkat kepalanya seolah
ingin menelan Patis Mawuyung.

“Aku adalah pengembara dari jauh. Siapa pun yang berbuat jahat akan aku basmi,” jawab Patis
Mawuyung dengan lantangnya.

“Wanita ini sendiri yang mengundangku untuk membawanya ke sarangku,” dengan geram panganen itu
berkata. “Bagaimana mungkin wanita ini mengundangmu? Dia sendiri takut dan tak berdaya
menghadapimu.” Patis mawuyung berkata sambil menunjuk wanita itu. “Siapa pun yang berada di
sungai ini dengan menyebarkan bau harum tubuhnya, maka dia akan menjadi milikku,” jawab panganen
itu dengan lantang. “Aku yang salah, Patis. Aku melanggar nasihat suamiku agar aku tidak pergi ke
sungai setelah aku melahirkan,” kata wanita cantik sambil menangis.

Panganen yang membelit wanita cantik itu berdesisdesis seolah tidak sabar ingin segera membawa
wanita itu pergi jauh dari sungai. Dia mengambil ancangancang untuk segera pergi tanpa ingin menyakiti
siapa pun, tetapi Patis Mawuyung tidak ingin melepaskannya. “Lepaskan wanita itu. Mari kita berdamai!
Sudah banyak peperangan yang aku alami dan sekarang aku tak mau berperang melawan panganen
sepertimu.” Patis Mawuyung berkata sambil berdiri dengan tangan di pinggang.

“Tak ada yang bisa mencegahku! Menjauhlah kalau kau tak ingin celaka. Aku tak akan menyakiti wanita
cantik ini. Dia hanya akan menemaniku di sarang,” jawab panganen sambil mengubah posisinya saat itu.
Patis Mawuyung tetap tidak beranjak pergi dari tempat itu. Bertambah marahlah panganen kepada Patis
Mawuyung. Tak segan-segan dia menghempas ekornya ke arah Patis Mawuyung sambil kepalanya ikut
mematuk-matuk. Gerakan panganen itu kelihatan indah, tetapi mematikan.

Patis Mawuyung berusaha keras menaklukkan panganen dengan segala daya. Namun, sepertinya kulit
panganen itu tak mempan oleh senjata. Saat Patis Mawuyung berpikir untuk mencari jalan keluarnya,
dengan cepat panganen melarikan diri sambil membawa wanita cantik itu. Patis Mawuyung mencoba

41
mengejar panganen yang merayap cepat sekali melewati pinggiran sungai di antara akar-akar pohon
besar di hutan belantara tersebut. Sungguh kasihan wanita cantik itu masih dalam lilitan ular raksasa.
Dia terus berteriak sampai suaranya tidak terdengar lagi oleh Patis Mawuyung.

Patis Mawuyung pun segera pergi ke pondok tempat persinggahannya. Dia ingin memberitahukan suami
wanita cantik tersebut. Namun, di pondok itu hanya ada seorang bayi mungil yang sedang tidur di
sebuah ayunan yang terbuat dari bahalai (kain panjang tipis yang biasa menjadi selimut). Bayi mungil itu
tidur dengan nyenyaknya dan Patis pun keluar dari pondok agar bayi itu tak terbangun dan menangis.
Sedih hati Patis memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi, apalagi melihat bayi mungil yang masih
memerlukan seorang ibu. Waktu terasa lama bagi Patis Mawuyung. Dia menunggu kedatangan suami
wanita cantik itu. Akhirnya, suami wanita itu datang dari ladangnya. “Syukurlah kau datang! Istrimu
diculik oleh seekor panganen.” Dia berkata dengan lantang pada lelaki tampan itu.

“Aku sudah menasihati istriku agar dia tak ke sungai untuk mandi dan mencuci. Sudah menjadi tradisi
untuk tidak ke sungai setelah seorang wanita melahirkan. Bau badan orang sesudah melahirkan itu
dipercaya sangat harum sehingga dapat mengundang mara bahaya. Akhirnya, seekor panganen itu
benarbenar datang menculik istriku. Apa yang harus aku lakukan Patis?” Lelaki tampan ini berkata
kepada Patis dengan wajah yang sangat sedih.

Patis Mawuyung menenangkan lelaki itu. Dia berjanji akan menolong mereka untuk mengembalikan istri
lelaki tampan itu. “Aku akan menolongmu, Nak! Aku akan mencari keberadaan panganen itu. Semoga
istrimu masih hidup dan dapat kita selamatkan,” kata Patis Mawuyung menenangkan lelaki tampan ini.
Patis Mawuyung pun memulai pencarian istri lelaki tampan itu. Patis Mawuyung bersemadi dengan kaki
bersila dan kedua telapak tangannya bertemu. Dengan mata batinnya dia menelusuri alam sekitarnya.
Lama tak ada tanda-tanda Patis Mawuyung sadar dari semadinya. Tubuhnya tiba-tiba bergetar dan dia
tersentak dan bangun dari semadinya. “Istrimu masih hidup dan dia ada di sebuah gua yang amat jauh
dari sini. Batinku mengatakan istrimu akan kembali ke rumah ini dengan selamat. Istrimu adalah wanita
yang berani. Tanpa kekerasan dia mampu keluar dari sarang ular tersebut. Percayalah padaku!” Begitu
Patis mengatakan penglihatan mata batinnya. “Bagaimana mungkin, Patis? Apa yang terjadi?”

“Hati yang bersih membuat jalan hidup orang yang baik selalu penuh keselamatan, Anakku. Bersabarlah
menunggu istrimu di sini. Jagalah anakmu sementara kita menanti kepulangan istrimu,” jawab Patis
Mawuyung menenangkan lelaki tampan itu. Sementara itu, di sebuah tempat yang menyerupai sebuah
gua, ada sebuah sarang yang sangat besar. Di tempat itulah panganen itu bersarang. Di situ juga dia
membawa wanita cantik itu untuk menemaninya. Dia memperlakukan wanita cantik itu dengan baik.
Tak dibiarkannya wanita itu kelaparan atau kehausan meski wajah wanita cantik itu bermuram durja.
Panganen itu tak peduli. Yang penting dia memiliki teman dalam sarangnya dan dia menganggap wanita
cantik ini betah tinggal di sarangnya yang besar.

Meskipun panganen itu bersikap sangat baik, wanita cantik itu tidak bahagia. Hati dan pikirannya hanya
tercurah memikirkan keluarga kecilnya. Setiap malam dia teringat bayi mungil dan suaminya yang
tercinta. Setiap hari dia berdoa memohon agar Tuhan Sang Pencita menolongnya. Hanya Tuhan yang
mampu menolongnya dan dia meyakini tidak ada yang tidak mungkin untuk Tuhan.

Hingga suatu hari, di suatu kesempatan, doa wanita cantik itu terkabul. Saat ular itu sedang lengah dan
pergi meninggalkan gua itu, wanita cantik ini tak menyia-nyiakan kesempatan. “Aku harus pergi dari
tempat ini. Inilah kesempatan baik dan terakhir untukku. Inilah jawaban doaku.” Wanita cantik ini

42
bersyukur atas keajaiban ini. Sebelum terlambat dia segera keluar gua dengan mengendap-ngendap dan
menahan napasnya. Sesekali dihirupnya napas panjang. Wanita cantik ini keluar gua dan berjalan
melewati hutan yang sama seperti yang dilewatinya dulu saat ular itu menculiknya.

Perjalanan yang dilakukan wanita cantik ini terasa lama. Banyak onak dan duri melekat di badannya.
Namun, keinginan untuk bertemu keluarga tercintanya sangat besar, melebihi perih yang ada di
tubuhnya. Semangatnya yang berkobar membuat perjalanan yang sangat jauh itu terasa tidak berarti.
Dalam pikirannya hanya suami dan bayi mungil yang sangat dicintainya. Hingga di suatu tempat, wanita
itu sudah tidak kuat berjalan. Untunglah dia tidak melewati sungai lagi. Apabila dia melewati sungai
untuk kembali ke kampungnya, ular itu pasti dapat menyusulnya.

“Tuhan, tolonglah aku. Aku sudah tidak kuat lagi berjalan. Kakiku kaku dan badanku lemah.” Dia berdoa
dengan segenap hatinya. Pada saat dia berdoa, saat itu pula Patis Mawuyung bersemadi. Kembali dia
tersentak bangun dari semadinya. Dia mencari pemilik rumah itu dan langsung berbicara padanya.
“Anakku! Mari kita jemput istrimu. Dia berada di hutan, tidak jauh dari ladangmu.” “Benarkah?
Bagaimana keadaannya?” “Sudah, tak usah bertanya lagi. Kita harus cepat menjemputnya sebelum
panganen itu mengambilnya kembali.” Dengan tegas Patis berkata kepada lelaki tampan itu. Mereka
segera pergi ke tempat yang ditunjukkan dalam penglihatan mata batin Patis Mawuyung. Sepanjang
perjalanan, lelaki tampan itu berdoa mengucapkan syukur kepada Tuhan Sang Pencipta. Mereka
berjalan seolah-olah terbang bagai angin.

Setelah sekian lama berjalan, mereka menemukan seorang wanita sedang duduk dengan wajah yang
sangat pucat.

“Istriku, akhirnya aku menemukanmu. Maafkan aku tidak menjagamu dengan baik.” Suami tampan itu
memeluk istrinya dengan kuat. Tangis mereka memecahkan keheningan hutan belantara itu. Sang istri
tak dapat berkata-kata lagi. Dia hanya dapat bersyukur atas apa yang terjadi. “Bawalah istrimu pulang.”
Suara Patis Mawuyung menyadarkan mereka berdua. “Terima kasih, Patis. Atas pertolonganmu kami
bisa berkumpul bersama lagi.” “Ya, ya, ya, berterima kasihlah kepada Tuhan Sang Pencipta. Aku hanya
perantara saja,” jawab Patis Mawuyung dengan senyum simpulnya. Lelaki itu pun menggendong istrinya
untuk kembali ke rumah mereka. Mereka pun berjalan pelan menyusuri hutan yang sepi itu. Saat itu
matahari mulai tenggelam di ufuk barat dan jalan pulang ke rumahnya terasa semakin dekat saja. Lelaki
itu sangat bahagia atas kepulangan istrinya yang cantik ini. Akhirnya, mereka dapat berkumpul lagi
bersama bayi mungil mereka.

KIJANG DAN KURA-KURA

Suara kokok ayam ramai sekali pagi itu. Patis Mawuyung sudah bangun dari tidurnya yang nyenyak.
Suami istri yang berada dalam rumah itu menyambut Patis Mawuyung dengan sarapan pagi yang
sederhana. Segelas kopi panas dan singkong rebus yang masih hangat. Asap singkong itu masih
mengepul tanda baru saja matang. “Mari, Patis Mawuyung, ikutlah sarapan bersama kami. Hanya ini
yang dapat kami sajikan hari ini.” Wanita cantik itu menyajikan sarapan itu ke depan Patis Mawuyung.
“Terima kasih untuk hidangan yang luar biasa ini. Bagiku, keramahan kalian membuat makanan dan kopi
ini menjadi nikmat.” Sambil berbicara Patis menyeruput kopi dan memakan singkong rebus yang ada di
depannya. Mereka berkumpul di dapur sambil duduk bersila di lantai dapur itu. Mereka
mendengarkan cerita-cerita Patis

43
Mawuyung dengan asyik. Suasana menjadi ramai oleh tawa. Tak lagi mereka membicarakan kejadian
yang menimpa keluarga itu. Hingga akhirnya Patis Mawuyung mengatakan ingin melanjutkan
perjalanannya.

“Anakku, seperti yang pernah aku ceritakan pada awal perkenalanku dengan kalian, aku harus pergi
untuk mencari wilayah baru.” Wajah Patis terlihat sendu saat mengatakan hal itu. “Janganlah secepat
ini, Patis. Kami masih ingin kau berada di tempat ini, di rumah kami yang sangat sederhana,” jawab
pemuda itu dengan perasaan sedih dan istrinya pun ikut berkata-kata. “Apakah Tuan tidak suka dengan
sambutan dan pelayanan kami?” “Tidak, bukan itu. Aku sangat menghargai dan berterima kasih atas
kebaikan kalian berdua. Aku kembali dapat merasakan kehangatan keluarga di rumah ini. Aku tak akan
melupakan kalian yang sudah aku anggap sanak keluargaku. Percayalah!” tegas Patis Mawuyung pada
mereka berdua. Patis Mawuyung menyakinkan mereka bahwa perjalanannya masih panjang untuk
menemukan tempat yang baru. Dia meyakinkan suami istri itu tentang tanggung jawabnya untuk
membentuk dan membuka wilayah baru, seperti yang telah diemban Uria Pitu.

“Baiklah, Tuan, kami tidak dapat menghalangi keinginan Tuan yang mulia itu. Kami percaya Tuan akan
mendapatkan tempat yang baik, seperti yang Tuan harapkan. Kami yakin, semua orang yang hidup
bersama dengan Tuan, yang tinggal di wilayah yang Tuan bangun akan sejahtera dan aman sentosa.”
Penuh semangat lelaki tampan itu berkata kepada Patis Mawuyung. Dia dan istrinya sangat
menghormati Patis Mawuyung. Malam pun tiba, suara malam terdengar begitu syahdu. Angin bertiup
sepoi menggerakkan dahandahan pohon yang menghasilkan bunyi-bunyian malam. Dalam rumah yang
sederhana itu, Patis Mawuyung mempersiapkan kepergiannya buat esok pagi. Dia melantunkan syair
tumet leut (lagu khas suku Dayak Maanyan dengan nada yang berayun-ayun) yang terasa
menghanyutkan perasaan pemilik rumah itu. Patis Mawuyung berhasil menutup malam dengan
indahnya.

Pagi telah tiba disambut kicau punai yang meramaikan pagi di hutan yang sepi. Kini Patis Mawuyung
melanjutkan perjalanannya untuk menemukan tempat yang baru. Setelah jauh perjalanannya, dia
berhenti di sebuah kebun yang luas. Dia berkeliling mencari pemilik kebun itu.

Namun, yang dilihatnya hanyalah kijang dan kurakura yang sedang asyik memakan cabai muda dari
kebun yang besar itu. “Huhhh … huhhh … huhh … pedas sekali cabai ini. Padahal, cabai ini masih muda.”
Kijang berbicara sambil kepedasan dan air liurnya menetes-netes. “Hai, Kijang, janganlah engkau ribut.
Nanti kita ketahuan sedang mencuri di sini.” Kura-kura menegur kijang dengan berbisik. “Makanlah,
Kura-Kura! Jangan kau terganggu dengan ulahku.” Kijang terus bersuara seperti orang kepedasan.
Terjadilah perselisihan di antara binatang itu. Melihat mereka sedang berselisih paham, Patis Mawuyung
langsung menangkap kijang dan kura-kura. Mereka kaget dengan kedatangan Patis Mawuyung, apalagi
mereka tertangkap ketika sedang mencuri di kebun petani.

“Kamu bukan pemilik kebun ini. Lepaskan kami! Kami tidak berurusan denganmu,” kata kijang dengan
wajah takut. “Siapa pun aku tidaklah penting. Kalian berdua sudah mencuri di kebun ini. Aku tidak akan
membiarkan siapa pun yang berbuat jahat, baik itu binatang maupun manusia. Semua harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kalian akan aku serahkan kepada petani pemilik kebun ini.
“Tolong! Jangan serahkan kami kepada petani itu. Kami terpaksa mencuri karena kami kelaparan.” Kura-
kura berbicara dengan wajah memelas kepada Patis Mawuyung.

“Mencuri adalah perbuatan yang tidak baik. Masih banyak makanan yang bisa kalian makan di luar
kebun ini. Ada dedaunan hutan dan buah-buah hutan. Cabai ini milik petani dan kalian tidak boleh
44
mencurinya. Susah payah petani itu menanam cabainya. Janganlah kalian mengganggu kebunnya.”
Patis berbicara

45
dengan bijaksana. Kedua binatang itu pasrah. Mereka tidak berdaya menghadapi Patis Mawuyung. Patis
pun mencari petani pemilik kebun cabai itu. Lama dia berjalan, akhirnya petani itu ditemukannya. Patis
melihat ada kemarahan di wajah petani itu. Lalu, dia menyapa petani itu dengan pelan. “Apakah ada
yang mengganggu pikiranmu, Tuan?” Petani itu terkejut mendengar pertanyaan seseorang. Lalu, dia
mendekati Patis Mawuyung.

“Maaf, Anda siapa, ya?” tanyanya dengan heran. “Saya pengembara dari jauh ingin bertanya kepada
Tuan. Di manakah kini saya berada?” Sambil berkata Patis memberikan tangannya untuk bersalaman.

“Kamu ada di kebun sayurku. Namun, hariku kurang baik karena aku telah ditipu oleh dua ekor binatang
yang selalu mengganggu kebunku.” Wajah petani ini terlihat murung sambil menjabat tangan Patis
Mawuyung. “Apakah binatang itu adalah kijang dan kura-kura? Iya benar! Bagaimana Anda
mengetahuinya?” Heran wajah petani itu menatap Patis Mawuyung. “Aku telah melihat perbuatan
mereka. Saat mereka sedang berselisih paham, mereka langsung kutangkap,” jawab Patis sambil
menyerahkan binatang tersebut. “Terima kasih, wahai Pengembara yang baik hati. Binatang-binatang
inilah yang sering mencuri di kebunku. Lama sudah aku mencari mereka.” Dengan geram petani itu
berkata. “Akan tetapi, nasihatku jangan engkau sakiti kijang dan kura-kura ini. Maafkanlah perbuatan
mereka dan buatlah agar mereka berjanji tidak mengganggu kebunmu lagi.” Patis memandang petani
dan kedua binatang itu dengan tenang. “Aku dan kura-kura meminta maaf atas kesalahan kami.
Lepaskanlah kami. Kami berjanji tidak akan mengganggu kebunmu lagi,” ucap kijang dengan sedih.

Patis Mawuyung tidak ingin petani itu menyakiti kijang dan kura-kura. Bagimana pun kesalahan orang
atau binatang, petani itu wajib memaafkannya ketika mereka tahu kesalahan dan meminta maaf.
“Baiklah, aku memaafkan kalian, tapi kalian harus tetap berada di sini. Aku akan membuatkan kandang
untuk kalian agar kalian tidak lagi berkeliaran di kebunku.” Petani itu memberikan syarat yang tidak
menguntungkan kijang dan kura-kura. “Berarti kau tidak membebaskan kami dan kau masih marah
kepada kami?” Kijang berteriak dan meronta di pegangan petani. Petani itu tidak siap dengan reaksi
sang kijang sehingga lepaslah kijang itu dari tangannya. Petani itu mencoba mengejar kijang dan dia
melepaskan kurakura. Kijang itu berlari kencang ke dalam hutan. Namun, malang buat si kura-kura dia
tidak dapat berlari dengan kencang sehingga petani itu dapat menangkapnya kembali.

Melihat hal tersebut, Patis Mawuyung menggelenggelengkan kepalanya. Dia tidak menyalahkan
kepergian kijang dan kura-kura. Petani itu membuat mereka ketakutan dengan cara mengancam ingin
menghilangkan kebebasan mereka sebagai binatang hutan.

“Janganlah kau sakiti kura-kura itu. Binatang itu tidak berdaya, tetapi kecerdikannya dapat membuatmu
teperdaya. Aku akan melanjutkan perjalananku. Semoga kau bijaksana dengan melepaskan kura-kura
itu.” Patis mengingatkan petani itu. Patis Mawuyung pun berlalu dari hadapan si petani pemilik kebun
cabai. Petani itu sepertinya tidak mendengarkan nasihat Patis Mawuyung. Dia tetap menangkap kura-
kura itu. Hatinya senang dapat menangkap salah satu pencuri cabai di kebunnya. “Kau akan kubawa
pulang dan kujadikan teman di rumah,” ujar petani pada kura-kura. Kura-kura tidak menjawab
perkataan petani. Kemudian, petani itu membawa pulang kura-kura. Sesampainya di rumah, dia bingung
meletakkan kurakura. Kemudian, dia melihat panci penanak nasi lalu meletakkan kura-kura di sana.
“Bagaimana kalau aku menghabiskan nasimu?” Kura-kura bertanya kepada petani.

Si petani tentu saja panik. Dia tidak mau kura-kura menghabiskan nasinya. Sementara dia saja
kekurangan beras untuk dimasak lagi. Lalu, petani ini berpikir meletakkan kura-kura di air. “Kau akan
kuletakkan di air
46
saja agar tidak memakan nasiku.” “Aku pasti akan menghabiskan air di penampungan ini.” Kura-kura
berkata dengan lantang dan tegas. “Aku akan meletakkanmu di bawah tangga saja karena tempat inilah
yang paling aman untukmu.” Petani pun meletakkan kura-kura di bawah tangga. “Wah, aku pasti akan
melihat bagian tubuh bawahmu yang selalu kau tutupi.” Petani bingung, dia malu kalau kura-kura
melihat bagian tubuhnya setiap hari ketika menaiki tangga. Mengetahui hal itu petani itu pun langsung
bertanya pada kura-kura. “Bagaimana jika kau kuletakkan di sungai saja?” “Jangan! Aku akan mati lemas.
Aku tidak mau mati sia-sia. Maafkan aku, Pak!” jawab kura-kura dengan wajah ketakutan.

“Ha … ha … ha .… Aku harus meletakkanmu di sungai kalau begitu.” Dengan senang hati petani itu
membawa kura-kura ke sungai.

Kura-kura itu pun dilepas ke sungai dengan cara melemparkannya. Dia tidak tahu bahwa dirinya sedang
diperdaya oleh kura-kura yang cerdik. Namun, petani itu pulang dengan hati senang karena dia telah
membuang kura-kura ke sungai. Sementara, kura-kura berteriak, “Hueh … hut … hueh .. hut.” Kura-kura
itu telah selamat dari tawanan si petani. Ternyata, petani tidak tahu kalau kura-kura dapat berenang di
sungai.

BATU JIMAT PADI

Setelah meneruskan perjalanannya lagi, Patis Mawuyung tiba di sebuah desa yang makmur dengan
masyarakat yang ramah. Saat itu Patis Mawuyung singgah di balai adat. Dia ikut serta bergabung dan
mendengarkan rapat desa yang dipimpin seorang pemimpin adat yang bijaksana. Desa itu bernama Sani
Sarunai dengan pemimpin adat bernama Amah (Bapak) Jarang “Aku memberikan tanggung jawab
kepada para datu, dara, dan lelaki untuk mengurus kelompok masyarakat yang bernama Pangunraun
(dari bahasa Maanyan kuno). Kelompok Pangunraun ini mengurus kegiatan di bidang ekonomi, yakni
melestarikan ajaran moyang kita untuk membuka ladang, membudi daya berbagai jenis tanaman, buah-
buahan, dan terutama bibit padi,” kata Amah Jarang berbicara kepada penduduk Desa Sani Sarunai.

Rupanya, di desa itu pembagian tugas dilakukan oleh pemimpin adatnya. Patis Mawuyung tetap
mengikuti rapat desa itu dengan khidmat. Dia berbaur dengan masyarakat yang ada di situ. “Selanjutnya,
kuserahkan bidang kesenian untuk Jarang karena dia yang paling hebat menabuh gendang meskipun
pada saat dia sedang bekerja.” Seluruh masyarakat bertepuk tangan dengan hasil rapat itu. Semua
mengangguk tanda setuju. Saat itu juga mereka membubarkan diri untuk kembali bekerja. Namun,
sebelum itu Amah Jarang membagi kelompok-kelompok kecil untuk pembukaan lahan baru. Saat musim
membuka ladang baru, masyarakat Desa Sani Sarunai membuat kelompok-kelompok kecil. Hanya si
Jarang yang tidak mempunyai kelompok. Patis Mawuyung heran mengapa Jarang tidak mendapatkan
kelompok. Dia mendekati Jarang dan bertanya kepadanya. “Anak Muda mengapa kau tidak
mendapatkan kelompok?”

“Ladangku sangat kecil, Tuan. Jadi, tidak ada orang yang mau masuk kelompok ini. Orang-orang tentu
mencari kelompok yang punya ladang besar yang tentunya akan menghasilkan keuntungan yang banyak
pula.” Wajah Jarang terlihat amat sedih.

Dia sadar kalau dia tidak memiliki apa pun selain kemampuannya bermain gendang. Dengan ladang yang
kecil tentu tidak ada orang yang mau bergabung dengannya. Padahal, Jarang memiliki hati yang baik. Dia
sepertinya suka membantu masyarakat Sani Sarunai tersebut. Hati Patis terenyuh. Dia bersimpati pada
keadaan Jarang. “Sungguh kasihan engkau, Jarang. Bersabarlah. Aku melihat keberuntungan berpihak

47
kepadamu. Kebaikan dan ketulusan hatimu membuat rezeki mengalir untukmu. Percayalah pada
perkataanku. Orang-orang akan menyesal karena tidak masuk kelompokmu. Sekali lagi percayalah
padaku, Anak Muda!” Patis Mawuyung menenangkan sambil merangkul pundak Jarang. “Tuan telah
membuat hati saya senang. Saya bahagia mendengar perkataan Tuan. Saya percaya Tuan bukan orang
biasa,” katanya sambil memandang Patis Mawuyung.

“Ayo, bermainlah gendang. Mari kita menumet (nyanyian khas Dayak Maanyan yang menggunakan
bahasa Maanyan Kuno). Kau adalah orang hebat yang aku temui Jarang. Nasib baik akan memihakmu.”

Perkataan Patis Mawuyung membuat paluan (pukulan) gendang Jarang terasa begitu indah. Patis
Mawuyung pun menumet bersama Jarang. Tumet (lagu) mereka terdengar oleh Amah Jarang, lalu dia
pergi menemui Patis Mawuyung. “Siapakah engkau dan apa yang membuatmu ke desa ini?” Dengan
heran Amah Jarang bertanya kepada Patis Mawuyung. “Namaku Patis Mawuyung. Aku berasal dari
negeri yang jauh. Aku sedang mengembara mencari tempat yang baru karena tempat asalku sudah
diporakporandakan penjajah dan aku tidak mau mengikuti mereka. Kini aku melewati desamu dan
berhenti sejenak untuk melepaskan lelahku. Apakah aku boleh tinggal di tempat ini untuk melepas
penatku?” “Tentu saja boleh. Aku pimpinan adat di sini. Aku adalah Amah Jarang. Kau boleh tinggal
untuk sementara waktu di sini. Bahkan, kalau kau ingin, menetaplah di sini karena aku melihat
kemampuanmu dalam menumet. Sungguh serasi dengan paluan gendang Jarang.

“Terima kasih atas keramahtamahan dan pujian Tuan, tetapi aku tetap akan melanjutkan perjalanan
setelah lelahku hilang. Maaf, kalau aku mengecewakan perasaan Tuan. Tuan sangat baik. Semoga
kebaikan Tuan terbalaskan,” jawab Patis Mawuyung dengan lembut.

“Kalau begitu marilah bergabung bersama kami untuk sebuah upacara adat.” Amah Jarang meminta
Patis untuk mengikuti upacara adat yang akan mereka lakukan sebelum berladang. “Upacara adat
apakah itu, Tuan?” kata Patis dengan penuh tanda tanya. “Sebelum kami membuka ladang-ladang baru
ini, kami akan mengadakan upacara mamalas (menyembelih) hewan,” jawab Amah Jarang. “Upacara
mamalas itu adalah pesta pengorbanan seekor binatang peliharaan yang bertujuan untuk memberikan
penghargaan pada alam semesta yang sudah memberikan mereka kehidupan. Hal ini sesuai dengan
ajaran moyang kami dulu.” Jarang ikut bercerita. Patis Mawuyung sangat kagum pada desa itu karena
mereka masih mempertahankan tradisi yang ada.

Lama Patis Mawuyung tinggal di tempat itu. Dia belajar cara bercocok tanam dan berladang. Amah
Jarang pun tak segan membagikan ilmu pengetahuannya tentang pertanian dan bidang ekonomi. Patis
Mawuyung merasa sudah cukup waktunya berada di desa tersebut. Patis merasa puas sudah belajar
ilmu pertanian dan ekonomi pada Amah Jarang. Dia akan melanjutkan perjalanan menuju tempat yang
baru dengan petualangan yang baru pula. “Saatnya aku pergi, Tuan. Terima kasih untuk segalanya. Tak
akan pernah aku melupakan Tuan. Doakan aku agar menemukan tempat yang tepat.” Patis menjabat
tangan Amah Jarang dengan hangat. Dia pun langsung berpamitan kepada Jarang karena di tempat
Jaranglah dia tinggal. “Anak Muda, terima kasih kau telah memberikan tempat istirahat yang nyaman.
Ingatlah pesanku dulu saat kita bertemu. Kamu akan menemukan keberuntungan besar dari
kebaikanmu. Teruslah memalu gendangmu, buatlah tumet yang indah untuk alam semesta dan
penduduk desa ini.” Patis Mawuyung pun merangkul Jarang.

“Hati-hatilah, Tuan. Aku juga berterima kasih kepadamu. Kau juga telah banyak membantuku. Aku akan
kehilangan teman berdiskusi yang hebat dan aku yakin kau akan menemukan tempat yang sesuai
dengan
48
keinginanmu. Takdir akan membimbingmu ke sana.” Amah Jarang berkata-kata sambil menganggukkan
kepala dan tersenyum kepada Patis Mawuyung.

“Aku juga berterima kasih padamu, Tuan. Engkau telah banyak membantuku dan memberiku banyak
wejangan yang baik. Aku akan mengingat semua pesan dan wejanganmu. Aku berdoa agar keselamatan
ada bersamamu, Tuan.” Jarang mengatakannya dengan sedih, tetapi dia juga tak ingin menahan Patis
Mawuyung. Saat Patis Mawuyung melangkahkan kaki, tak pernah sekali pun Jarang berpaling. Dia masih
berharap Patis membalikkan badan dan kembali ke desanya. Namun, harapan Jarang tinggal harapan.
Tak sekali pun Patis membalikkan badannya. Dia terus berjalan sampai bayangannya pun tak terlihat
lagi. Masa panen telah tiba di desa Jarang. Tibatiba datang seorang nenek yang mau ikut bergabung
memanen padi di ladang penduduk desa itu. Dia membawa sebuah keranjang yang besar sekali.
“Apakah aku bisa ikut memanen padi?” kata nenek itu kepada penduduk desa.

“Tidak, Nek! Kami tidak bisa menerima perempuan tua yang aneh seperti dirimu.” Penduduk desa
serentak berkata kepada nenek itu. “Tolonglah aku agar dapat bekerja di ladang kalian ini,” kata nenek
itu dengan mengiba. Rupanya, tak ada yang mendengarkan perkataan dan permohonan nenek itu.
Sepertinya para penduduk desa takut melihat penampilan nenek yang membawa sebuah keranjang
besar itu. Nenek itu tak diterima di ladang-ladang penduduk yang besar. Saat dia berjalan mencari
ladang lainnya, sampailah nenek itu di ladang Jarang yang sangat kecil, yang hanya mengelilingi sebuah
pohon saja. Meskipun begitu, Jarang tidak peduli. Dia tetap memanen padi sambil memalu gendang.
Jadi, tangan kiri memalu gendang, tangan kanan memanen padi. “Nak! Apakah aku boleh ikut memanen
padi di ladangmu ini?” suara nenek itu sangat mengiba. “Tentu saja, Nek! Nenek boleh ikut memanen
padi di ladangku. Mari kita bersenang-senang sambil bekerja,” kata Jarang dengan riang hati.

Mulailah sang nenek memanen padi di ladang Jarang. Namun, apa yang terjadi? Berbulan-bulan nenek
itu memanen, padi yang dipanen terus bertambah dan isi lumbung padi Jarang tak pernah habis.
Lumbung itu terisi penuh bahkan bertambah banyak. Berpuluh-puluh lumbung padi dibuat Jarang
sampai-sampai Jarang merasa bosan membuat lumbung padi. “Nek! Hentikan saja memanen padi di
ladangku ini karena aku merasa sudah banyak membuat lumbung dan semuanya sudah terisi penuh. Aku
rasa cukup, Nek!” “Apabila itu maumu, Anak Muda, aku akan berhenti memanen padi di ladangmu,”
kata nenek itu dengan tersenyum. “Terima kasih atas kebaikan Nenek kepadaku. Ini adalah sebuah
mujizat untukku. Panenku terbanyak kali ini, Nek, padahal ladangku kecil sekali.” Jarang berkata kepada
nenek itu. “Baiklah aku akan pergi dari desa ini, Anak Muda,” kata nenek itu kepada Jarang.

Sambil menumpuk padi terakhir, Jarang memberanikan diri bertanya kepada nenek itu. “Sebelum Nenek
pergi, siapakah dirimu, Nek?

“Aku adalah Itak Pumpun Wusi (nenek padi), Anak Muda.” Seketika nenek itu terjatuh roboh ke tanah
dan menjadi sebuah batu. Jarang merasa terkejut. Hatinya merasa pilu. Meskipun dia baru mengenal
Itak Pumpun Wusi, Jarang merasa kehilangan.

“Mengapa engkau menjadi batu, Itak Pumpun Wusi?” Sambil mamalu gendangnya, Jarang
mengeluarkan nyanyian kesedihan sekaligus rasa syukur atas perjumpaannya dengan Itak Pumpun Wusi.
Batu yang berasal dari raga Itak Pumpun Wusi itu dinamakan Watu Panampareian (batu jimat padi).
Watu Panampareian itulah yang dipegang dan menjadi keberuntungan Jarang. Jarang selalu teringat
dengan perkataan Patis Mawuyung tentang kesabaran, kebaikan, dan ketulusan hati yang membuat
rejeki mengalir kepadanya. Ternyata, dia memang menjadi manusia yang beruntung. Saat itu juga ingin
rasanya
49
dia mencari Patis Mawuyung. Jarang ingin bercerita tentang keajaiban yang terjadi dalam hidupnya. Dia
akan selalu mengingat petuah-petuah bijak dari Patis Mawuyung yang bijaksana dan baik hati.

DESA BALAWA

Setelah jauh meninggalkan Desa Sani Sarunai, Patis Mawuyung melanjutkan perjalanannya mencari
wilayah baru. Patis Mawuyung sangat suka bernyanyi. Dia membawakan tumet leut agar perjalanannya
tidak membosankan. Sambil menumet, dia mengingat petualangannya di berbagai tempat. Semua itu
memberikannya banyak pengalaman berharga. Dia terus berjalan melintasi hutan, kebun, kampung,
desa, ladang, kebun, dan sungai, tetapi mata batinnya tak melihat sedikit pun tempat yang akan dia tuju.
Sambil menyusuri sebuah sungai, Patis Mawuyung berusaha mencari tempat yang cocok untuk wilayah
barunya.

“Apa yang terjadi pada mata batinku? Aku tak ditunjukkan tempat yang benar-benar bisa menjadi
wilayah baru dan kehidupan baruku. Mengapa sejauh ini aku belum menemukan tempat yang cocok?”
gumam Patis Mawuyung sambil terus berjalan dengan membawa lanjung (bakul punggung) yang berisi
bekal yang dibagikan pada saat keberangkatannya dulu. Ayam jagonya pun selalu dibawa Patis
Mawuyung ke mana- mana. Ayam itu menjadi teman setia dalam perjalanan Patis Mawuyung. Mereka
menjalin persahabatan yang erat. Terkadang ayamnya mengingatkan Patis Mawuyung untuk beristirahat
saja karena usaha Patis menempuh perjalanan sangat keras. “Patis Mawuyung Sahabatku,
beristirahatlah. Jangan kaupaksakan perjalanan ini.

Kini Tuan terlihat kurus, aku takut Tuan akan sakit.” Ayam jago itu berkata kepada Patis seraya
mengepakkan sayapnya. Terharu hati Patis pada perhatian ayam jagonya ini. Namun, dia harus terus
berjalan karena dia ingin segera mendapatkan tempat yang dia idamkan. “Tenang saja, Ayam Jagoku.
Aku akan menjaga kesehatanku dengan memakan ramuan hutan yang kita temukan di sepanjang jalan
ini. Aku malah cemas tidak bisa menjagamu dalam perjalanan ini.” Patis Mawuyung memberikan
jawaban yang membuat ayam jago itu senang. “Tuanku, jangan engkau mencemaskanku. Aku akan
menjaga diriku dan mengurus diriku. Aku malah sedih karena Tuan harus selalu menggendongku dalam
lanjung ini,” ucap ayam seraya menggerak-gerakkan mulutnya.

“Kalau aku tidak meletakkanmu di lanjungku ini, binatang hutan bisa saja menerkammu. Kau adalah
teman seperjalanan yang menyenangkan. Namun, aku heran sebab tak sekali pun aku mendengar
kokokmu yang indah itu?” jawab Patis Mawuyung dengan heran. Patis Mawuyung baru menyadari kalau
ayamnya tidak pernah berkokok dalam perjalanan ini. Sampai suatu ketika dia bernazar. “Apabila ayam
yang aku bawa ini berkokok nyaring, perjalananku akan kuhentikan. Di situlah aku akan menemukan
tempat yang baru dan luas,” kata Patis Mawuyung dalam hatinya. Jauh sudah perjalanannya. Namun,
dia belum mendapatkan tempat yang benar-benar tepat. Sesampainya di Desa Maipe, Patis Mawuyung
berhenti dan dia memperhatikan desa itu dengan jeli.

Ada sesuatu yang dia rasakan. Mata batinnya mengatakan bahwa tempat yang akan menjadi tujuannya
sudah dekat. Banyak desa dan kampung dilaluinya, tetapi semua masih terlihat sepi. Tidak banyak orang
terlihat di sana. Banyak bahasa yang ditemukannya dalam perjalanan mencari wilayah baru ini. Semua
itu masuk dalam ingatannya lalu dipelajarinya dengan cepat. Hutan belantara pun dirambah Patis
Mawuyung dengan harapan mendapatkan wilayah baru. Tiba-tiba langkah kaki Patis Mawuyung terasa
berat dan bergetar. Ada kekuatan yang membuatnya tidak dapat menggerakkan kakinya. Seolah-olah
ada yang menahannya. Dia merasakan bahwa dia harus berhenti di tempat itu. “Apa yang terjadi
50
pada diriku?

51
Semua terasa kaku. Kakiku tak mampu melangkah lagi. Alam berilah petunjuk kepadaku!” Patis
Mawuyung berucap dengan nyaring di tengah hutan itu. Saat itu suasana sangat menyeramkan. Patis
Mawuyung berada di hutan yang lebat, penuh dengan pohon ulin (kayu besi) yang besar dan tinggi serta
tumbuhan rotan yang menjalar ke mana-mana. Semua terasa gelap dan Patis Mawuyung merasa tak
punya kekuatan lagi. Dia hanya berdiri saja di tempat itu sambil menunggu apa yang akan terjadi.
“Kukuruyuk … kukuruyuk … kukuruyuk …,” ayam yang dibawa Patis Mawuyung bersuara nyaring. Kokok
ayam itu menggema sampai ke seluruh hutan belantara. Patis Mawuyung sampai menutup telinga.

Angin datang menghempas tempat itu dengan kuatnya. Saking kuatnya angin bertiup, pepohonan ikut
meliukliuk. Ayam Patis Mawuyung masih saja berkokok dengan kuat dan nyaring. Patis Mawuyung
perlahan merasakan tubuhnya tidak kaku lagi. Dia dapat menggerakkan seluruh tubuhnya seperti sedia
kala. Tiba-tiba hutan yang gelap itu menjadi terangbenderang, seperti ada sinar matahari yang
menembus tempat itu. Patis Mawuyung ternganga dan terpesona. Perlahan angin mereda dan Patis
Mawuyung merasakan suasana yang berbeda. “Wow, inilah keajaiban yang aku tunggu, Sang Pencipta
benar-benar mendengarkan doaku,” kata Patis Mawuyung dalam hatinya. Patis Mawuyung
menghentikan langkahnya dan memperhatikan tempat itu dengan terkagum-kagum. Tempat yang amat
luas dan penuh dengan pohon yang besar. Diambilnya segenggam tanah dan diciumnya aroma tanah di
hutan itu. Patis Mawuyung senang karena ada aroma kehidupan di situ. Tanah hutan itu datar dan
kelihatan subur.

“Sang Pencipta langit dan bumi sudah menolongku. Aku diberikan petunjuk dengan menggunakan kokok
ayamku ini. Baik, kalau begitu tempat ini akan aku kunamakan Balawa (terang benderang),” kata Patis
Mawuyung dengan lantang dan suaranya bergema di belantara itu. Patis Mawuyung sangat bahagia atas
anugerah yang diberikan Tuhan kepadanya. Tak sia-sia dia berjalan dan menempuh hutan belantara,
jurang, sungai, rawa, ladang, kebun, desa, dan kampungkampung. “Terima kasih Sang Pencipta. Kau
tunjukkan tempat ini untukku. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Lama aku mencari tempat
ini dan kau, Ayamku, apa yang membuatmu berkokok?” dia bertanya pada ayamnya yang sedang berada
di dahan pohon. “Inilah yang dinamakan takdir, Tuanku. Kau sangat baik padaku dan pada orang-orang
yang kau temui.

Oleh karena itu, aku membalas kebaikanmu dengan cara seperti ini. Tiba-tiba saja aku berkokok saat
Tuan melintas daerah yang gelap ini,” jawab sang ayam kepada Patis Mawuyung. Setelah beristirahat
Patis Mawuyung memulai pekerjaannya dengan membuka lahan baru itu. Dia menebang pohon yang
tinggi dan besar dan membangun sebuah pondok tempat dia berteduh. Tanah datar itu dibersihkannya
agar segera terbuka ladang baru. Meskipun dia sendirian, Patis Mawuyung mengerjakan semua itu
dengan rajin dan sabar. Kekuatan yang dimilikinya menjadi modal utama dalam pekerjaannya. Patis
Mawuyung meyakini apabila orang bekerja dengan sungguh-sungguh, dengan setulus hati, dan
mencintai pekerjaannya, niscaya hidupnya akan bahagia.

Semangat yang tinggi menyelimuti Patis Mawuyung. Dia ingin tempat yang sudah ditemukannya dengan
segala keajaiban itu menjadi tempat yang akan menghidupi banyak orang dan menjadi desa yang aman,
tenteram, dan makmur. Setelah Patis membangun pondoknya, dia mulai membuka lahan untuk
menyambung hidupnya. Kiranya ilmu pertanian sudah didapatkannya saat dia mengembara dulu. Patis
memulai kehidupan di Balawa dengan menanam benih padi yang dibawanya. Benih padi itu kelihatan
jelek dan berwarna hitam, tetapi itu tidak menyurutkan langkah Patis untuk segera menanamnya. Dia
mengolah tanahnya dengan baik dan menugal (melubangi tanah dengan kayu yang ujungnya
ditajamkan) atau menanam benih padi itu dengan rasa cinta sambil manumet . Dalam perjalanannya
52
menuju Balawa,

53
Patis Mawuyung mendapatkan banyak bibit tanaman dari petani. Jadi, sebelum padinya tumbuh sampai
pada masa panennya, dia menanam segala sayuran dan umbi-umbian. Patis Mawuyung juga
memelihara ayamnya dengan baik bahkan dia menangkap ayam hutan untuk dipelihara dan diternakkan
agar ayam- ayamnya bertambah banyak. Hari demi hari, Balawa semakin ramai oleh kokok ayam. Padi
yang ditanam Patih Mawuyung tumbuh dengan subur dan ternyata ada dua jenis padi yang tumbuh di
tempat yang sama dan ditanam pada waktu yang sama. Jenis padi pertama dapat dipanen saat berumur
empat bulan.

Patis Mawuyung menamakan padi itu gilei. Disebut gilei karena saat dimasak rasanya lengket dan enak.
Patis Mawuyung memanen lagi jenis padi kedua, yaitu setelah padi itu berumur enam bulan. Jenis ini
dinamakan lungkung (jenis padi yang enak dan khusus ditanam di ladang). Saat dimasak, aroma beras
lungkung ini enak sekali sehingga dapat menimbulkan selera makan yang tinggi. Lama-kelamaan Balawa
menjadi desa yang ramai. Banyak orang datang ke sana untuk membuat rumah dan berladang. Tempat
ini subur dan memiliki sumber mata air yang cukup. Desa Balawa menjadi tempat strategis untuk
pertanian.

Di Desa Balawa itu pula Patis Mawuyung menjadi pemimpin yang bijaksana. Patis Mawuyung sangat
pandai bergaul dia membentuk kerja sama dengan desa di sekitarnya, yaitu dengan wilayah Paju Epat
(pembagian wilayah di suku Dayak Maanyan yang terdiri atas empat desa, yaitu Desa Telang, Desa
Siung, Desa Balawa, dan Desa Murutuwu). Bersama dengan pimpinan adat desa wilayah Paju Epat, Patis
Mawuyung melaksanakan upacara adat ijambe, yaitu pembakaran tulang orang yang sudah meninggal.
Patis Mawuyung memang masih menghormati adat-istiadat masa lalu. Di Desa Balawa inilah acara
ijambe masih dilakukan dengan waktu yang panjang, yaitu selama sembilan hari.

Kini Desa Balawa kian ramai. Kesuburan tanahnya membuat lebih banyak orang datang ke sana untuk
membuka ladang. Patis Mawuyung telah berhasil mewujudkan impiannya. Hutan belantara itu sudah
menjadi desa yang aman dan makmur. Desa Balawa menjadi tempat yang terang dan penuh berkat dari
Sang Pencipta. ---------------

https://budi.kemdikbud.go.id/buku/pdf/Isi.pdf (diunduh tgl 6 Juli 2022, pukul 6.39).

5). RIWAYAT PUTRI BANJAR Di Tanah Dayak Makam Putri Mayang Sari
(Berada Di Desa Jaar Barito Timur)

Bangunan berwarna kuning berbentuk rumah adat Banjar itu, memang agak tersembunyi di
balik rimbunan pohon karet yang tumbuh subur. Kalau kita bepergian dari Banjarmasin ke
Tamiang Layang dan melintasi Desa Jaar, bangunan itu tidak tampak dari jalan raya. Sebuah
bangunan sekolah dasar akan menghalangi pandangan kita. Menurut tetuha adat di
Desa ...Jaar, di dalam bangunan berbentuk rumah adat Banjar itu terdapat pusara Putri Mayang
Sari. Ia adalah putri Sultan Banjar yang pernah menjadi pemimpin di Tanah Dayak Ma’anyan.
Karena itu bagi orang Dayak Maanyan, bangunan unik itu mempunyai arti dan makna tersendiri.
Tulisan ini bertujuan memaparkan hubungan antara Urang Banjar dan Urang Ma’anyan yang
bersumber dari tradisi lisan. Dalam mengumpulkan data untuk bahan tulisan ini, saya (Pdt. DR.

54
Marko Mahin, MA.) dibantu Pdt.Hadi Saputra Miter, S.Th putra Dayak Ma’anyan asal Tamiang
Layang, alumnus STT-GKE Banjarmasin.
Putri Mayang Sari Menurut sejarah lisan orang Dayak Ma’anyan, Mayang Sari yang adalah putri
Sultan Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya, Noorhayati.
Putri Mayang Sari dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi pada 13 Juni 1858, yang
dalam penanggalan Dayak Ma’anyan disebut Wulan Kasawalas Paras Kajang Mamma’i.
Sedangkan Noorhayati sendiri, menurut tradisi lisan orang Dayak Ma’anyan adalah perempuan
Ma’anyan cucu dari Labai Lamiah, tokoh mubaligh Suku Dayak Ma’anyan.
Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah kepada Uria Mapas, pemimpin dari tanah
Ma’anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan, dalam kesalahpahaman Pangeran Suriansyah
membunuh saudara Uria Mapas yang bernama Uria Rin’nyan yaitu pemimpin di wilayah
Hadiwalang yang sekarang bernama Dayu. Akibatnya, Sultan Suriansyah terkena denda Adat
Bali, yaitu selain membayar sejumlah barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai
ganti orang yang dibunuhnya.
Setelah Uria Mapas meninggal dunia, penduduk setempat mengangkat Putri Mayang Sari untuk
memimpin daerah Sangarasi yang sekarang bernama Ja’ar –lima kilometer dari Tamiang Layang.
Kepemimpinan Mayang Sari sangat diakui masyarakat setempat, karena selain putri dari
seorang Sultan Banjar, ia adalah saudara angkat Uria Mapas Negara. Dalam tradisi Dayak
Ma’anyan, Putri Mayang Sari dicitrakan sebagai perempuan berambut panjang dan berparas
cantik. Namun bukan hanya kecantikan yang mempesona dimilikinya, tetapi kemampuan
menyejahterakan rakyat di wilayah yang dipimpinnya.
Dituturkan, pada masa hidupnya Putri Mayang Sari tidak pernah diam. Ia rajin mengadakan
kunjungan ke desa untuk mengetahui kehidupan rakyat yang sebenarnya, dan secara khusus
untuk mengetahui bagaimana ketahanan pangan masyarakat. Ia selalu mengawasi bagaimana
hasil panen masyarakat. Untuk meningkatkan hasil panen, Putri Mayang Sari menganjurkan
agar penduduk menanam padi di daerah berair, karena hasil panennya lebih baik daripada di
daerah kering (tegalan).
Rute kunjungan Putri Mayang Sari setiap tahun adalah melewati daerah Timur yakni Uwei,
Jangkung, Waruken, Tanjung. Kemudian daerah Barat yaitu Tangkan, Serabun, Beto, Dayu,
Patai, Harara dan kembali ke Jaar Sangarasi. Menurut kepercayaan orang Dayak Ma’anyan,
daerah atau wilayah yang dikunjungi atau dilewati Putri Mayang Sari itu selalu mendapat
berkah- keberuntungan, misalnya pohon buah berbuah lebat.
Konon, buah langsat di daerah Tanjung yang terkenal manis dan disenangi banyak orang adalah
karena daerah Tanjung adalah tempat singgah Putri Mayang Sari. Kendati beragama Islam,
dalam menjalankan pemerintahannya Putri Mayang Sari menggunakan sistem mantir epat
pangulu isa yaitu sistem pemerintahan tradisional Dayak Ma’anyan. Dalam pola kepemimpinan
ini, satu wilayah ditangani empat pemimpin (mantir) dan satu pengulu. Empat mantir mengurus
masalah pemerintahan, sedangkan pengulu mengatur seluk beluk Hukum Adat. Dalam

55
pemerintahannya

56
memang ada dua hal yang diprioritaskan, yaitu terpenuhnya kebutuhan pangan rakyat dan
tegaknya Hukum Adat yang bagi orang Dayak Ma’anyan adalah tata aturan kehidupan.
Setelah mengalami sakit selama tiga hari, pada 15 Oktober 1615 atau dalam penanggalan Dayak
Ma’anyan disebut Wulan Katiga Paras Kajang Minau, Putri Mayang sari wafat. Karena kecintaan
rakyat kepadanya, jasadnya tidak langsung dikuburkan, tetapi disemayamkan terlebih dahulu di
dalam rumah hingga kering.
Setelah mengering, karena cairan dari mayat disalurkan ke dalam tempayan, jasad Putri
Mayang dibawa ke seluruh daerah agar semua rakyat mendapat kesempatan memberikan
penghormatan terakhir kepada pemimpin mereka yang telah meninggal dunia. Akhirnya,
jenazah Putri disemayamkan di Sangarasi yaitu wilayah Jaar sekarang. Urang Banjar dan
Ma’anyan Tradisi lisan orang Dayak Ma’anyan memang banyak bertutur tentang relasi antara
Urang Banjar dan Urang Ma’anyan.
Misalnya dituturkan, orang Ma’anyan pada mulanya adalah penghuni Kayu Tangi. Karena itu,
orang Ma’anyan, dalam bahasa ritual wadian, menyebut dirinya sebagai anak nanyu hengka
Kayu Tangi. Hal itu untuk menunjukkan, sebelum hidup terserak di beberapa wilayah sekarang,
mereka tinggal di Kayu Tangi, yaitu wilayah yang sekarang berkembang menjadi Kota
Banjarmasin.
Dalam Sejarah Banjar (2003: 36-7) dituliskan, sebelum berdirinya Kesultanan Banjarmasin pada
1526, bahkan sebelum adanya Negara Dipa dan Negara Daha sebagai cikal-bakal Kesultanan
Banjarmasin, berdiri satu negara etnik orang Ma’anyan yang bernama Nansarunai. Karena
kuatnya usak jawa atau Jawa yang merusak yaitu gempuran dari Majapahit, mereka harus pergi
dari Nansarunai.
Juga dituturkan tentang seorang tokoh bernama Labai Lamiah. Konon, ia adalah orang Dayak
Ma’anyan pertama yang menjadi muallaf dan mubaligh. Ia berdakwah di wilayah Nagara yang
masyarakatnya pada waktu itu adalah campuran antara suku Dayak Ma’anyan dan mantan
prajurit Majapahit yang masih memeluk agama Hindu Syiwa. Labai Lamiah berhasil
mengislamkan orang-orang Ma’anyan yang ada di Banua Lawas atau sekarang disebut Pasar
Arba, tidak jauh dari Kalua. Akibatnya, Balai Adat orang Ma’anyan di tempat itu berubah fungsi
menjadi Masjid. Hingga sekarang, di halaman Masjid itu masih dapat ditemukan beberapa guci
yang menjadi simbol keberadaan orang Ma’anyan.
Orang Dayak Ma’anyan yang memeluk Islam disebut jari hakey. Pada awalnya, sebutan hakey
ditujukan kepada utusan Raja Banjar yang hadir dalam Ijambe (upacara kematian). Ketika
mereka dengan sopan menolak memakan daging babi yang dihidangkan dan menjelaskan
alasannya, orang Ma’anyan berkata: “O … hakahiye sa” (o … begitukah). Berdasarkan ucapan
itu, semua orang Banjar, muslim dan orang Dayak Ma’anyan yang beragama Islam disebut
hakey. Adanya kaum yang bahakey membuat orang Ma’anyan tidak lagi satu warna. Mereka
yang bertahan dengan adat, pergi meninggalkan wilayah Kerajaan Banjar mencari tempat baru.
Dipimpin Uria Napulangit, mereka pergi ke dan menetap di tepi Sungai Siong di sebelah Barat

57
Daya Tamiang Layang sekarang. Namun rasa persaudaraan mereka dengan kerabat yang
bahakey tetap terjalin.

58
Hal itu tampak dengan dibangunnya Balai Adat yang dikhususkan untuk muslim, yang mereka
sebut Balai Hakey. Bangunan ini dapat dilihat dalam upacara besar Dayak Ma’anyan seperti
Ijambe (upacara pembakaran mayat), khususnya di masyarakat Paju Epat (nama wilayah empat
kampung besar). Di Balai itu, masakan yang disajikan harus disembelih secara Islam oleh
perwakilan yang beragama Islam.
Hingga kini, Balai Hakey tetap didirikan oleh orang Dayak Ma’anyan setiap kali ada Ijambe. Balai
yang kokoh, sekokoh sikap toleransi orang Ma’anyan. Perekat Sosial Hikmat atau kearifan
memang ada di mana-mana. Ia berseru di pinggir jalan memanggil orang untuk
menghampirinya, demikian kata Penulis Amsal. Ia ada di mana saja termasuk di dalam tradisi
lisan. Bagi masyarakat yang belum mengenal budaya tulis-menulis, tradisi lisan merupakan
sarana untuk menyimpan sejarah silam kehidupan suku. Lebih dari itu, tradisi lisan juga sarana
untuk menguraikan jati diri. Karena itu, dalam upacara penting misalnya Ijambe, tradisi lisan
selalu dituturkan.
Paparan di atas memperlihatkan betapa dahsyatnya Urang Ma’anyan menguraikan jati dirinya
ketika berhadapan dengan Urang Banjar. Tentu saja, hal itu dilakukan karena Banjar tidak
sekadar identitas suku, tetapi juga identitas politik, sosial, ekonomi dan agama. Banjar sebagai
identitas agama tampak dalam adagium ‘Banjar berarti Islam dan Islam berarti Banjar’. Namun
bagi orang Ma’anyan, adagium bersosok dingin itu tidak harus dikontestasikan. Tidak perlu jalan
merah yang sarat amarah, apalagi pertumpahan darah.
Bagi mereka, Banjar adalah hakei yaitu saudara mereka yang memeluk agama Islam. Tradisi
lisan telah menjadi referensi kultural mereka untuk bersikap ramah kepada siapa pun, kendati
berbeda agama dan keyakinan. Juga menjadi rujukan politik, ketika menerima seseorang yang
tidak seagama dengan mereka untuk menjadi pemimpin mereka. Tradisi lisan telah menjadi
sumber kearifan untuk merekatkan persaudaraan dan kekerabatan.
Tradisi lisan memang seumpama teks Kitab Suci, punya daya paksa yang tinggi namun cara
kerjanya sangat halus sehingga tidak terasa sama sekali. Hal ini tampak dari berdirinya
bangunan rumah adat Banjar yang adalah makam Putri Mayang Sari di Desa Jaar, Tamiang
Layang, Kalteng. Mereka mendirikan bangunan itu berdasarkan tradisi lisan Putri Banjar di
Tanah Ma’anyan. Lebih jauh lagi, tempat pemakaman Putri Mayang Sari itu baru saja dipugar
oleh Pemkab Barito Timur. Ini petanda, sekarang pun beliau masih dihormati masyarakat
setempat.
Secara fisik, bangunan itu adalah makam Putri Mayang Sari. Namun secara metafisik, bangunan
itu adalah terusan batin persaudaraan yang menghubungkan Urang Dayak Ma’anyan dengan
Urang Banjar. Juga menjadi media budaya dan sumber sejarah, di mana mereka dapat merunut
benang merah kekerabatan dengan orang Banjar dan kemudian berkata: “Kalian bukan orang
lain.” -------
http://farinlimandamuliayin.blogspot.com/2014/10/cerita-rakyat-tamiang-layang-kab-
barito.html (diunduh tgl 6 Juni 2022, pukul 5.49)

59
BAGIAN V SIMPULAN

Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut.
1. Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng dapat
dibedakan menjadi empat golongan besar, yaitu: 1) dongeng binatang (animal tales), 2)
dongeng biasa (ordinary folktales), 3) lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes), dan 4)
dongeng berumus (formula tales). Dongeng binatang yang terkenal di Indonesia adalah
“Sang Kancil”. Untuk dongeng biasa yang penyebarannya luas ada beberapa tipe, yaitu: 1)
dongeng bertipe “Cinderella”, 2) dongeng bertipe “Oedipus”. 3) dongeng bertipe “Swan
Maiden”

2. Mendongeng adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau suatu
kejadian secara lisan. Tradisi mendongeng sudah dimiliki bangsa Indonesia berabad-abad
yang lalu. Mendongeng dapat dilakukan tanpa alat peraga dapat pula dilakukan dengan alat
peraga. Saat mendongeng dongeng yang disampaikan harus disesuaikan dengan usia anak
yang mendengarkan dongeng tersebut.

3. Berbagai manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan mendongeng adalah: 1) Menumbuhkan
sikap proaktif. 2) Mempererat hubungan anak dengan orang tua. 3) Menambah
pengetahuan.
4) Melatih daya konsentrasi. 5) Menambah perbendaharaan kata. 6) Menumbuhkan minat
baca. 7) Memicu daya pikir kritis anak. 8) Merangsang imajinasi, fantasi, dan kreativitas anak.
9) Memberi pelajaran tanpa terkesan menggurui.

4. Suku Dayak di Kalimantan Tengah sangatlah banyak menyimpan cerita, namun kita sadari
bahwa sebenarnya kita miskin akan sejarah.

60
DAFTAR PUSTAKA

Asfandiyar, Andi Yudha. 2007. Cara Pintar Mendongeng. Cetakan I. Bandung:Mizan


Media Utama.

Bachri, S Bachtiar.2005. Pengembangan Kegiatan Bercerita, Teknik dan


Prosedurnya. Jakarta: Depdikbud

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: Percetakan PT Temprint.

Estarika, Arita, 2020. Dambung Sandan (Sebuah Legenda Suku Dayak). Cetakan
pertama. Banjarbaru: Zukzezexpress.

Ibrahim, Offeny. A.,, 2012. Kumpulan Sarita Rakyat Kalimantan Tengah (Kumpulan Cerita Rakyat
Kalimantan Tengah) Inyampai Mahapan Due Basa Dayak Ngaju, Indonesia (Disampaikan Melalui
Dua Bahasa : Dayak Ngaju, Indonesia), Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Midada Rahma Press.

Priyono, Kusumo.2001. Terampil Mendongeng. Jakarta: PT Grasindo.

Riwut, Tjilik, 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur). Cetkan
pertama. Palangka Rya: Penerbit Pusakalima.

---------------, 2015. Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur). Cetkan pertama.
Yogyakarta: Penerbit NR Publishing

Santana K, Septiawan.2010. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kulitatif. Jakarta:


Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

https://ejournal2.undip.ac.id › article › download (diunduh tgl 30 Juni 2022, pukul 14:50).

http://giusbuyuttigoi.blogspot.com/ (diunduh tanggal 29 Juni 2022, pukul 7.31)

------------

61
BIODATA PENYUSUN

Drs. Offeny. A. Ibrahim, M.Si lahir di Mahajandau, Kecamatan Dusun Hilir,


Kabupaten, Barito Selatan, Kalimantan Tengah, 10 September 1958, dari orang tua
Adrianus Ibrahim (Guru) dan Ridine Atjeng. Anak ke 4 (empat) dari 7 (tujuh putra)
bersaudara.

Pendidikan formal : SDN-SMPN di Mangkatip (1967-1975) ; SMAN di Kuala


Kapuas (1979). Melanjutkan Studi di Universitas Palangka Raya (Unpar) dan lulus
sebagai Sarjana S1, Pendidikan (1985). Telah menyelesaikan Program Magister
Ilmu Agama Dan Kebudayaan pada Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Bali (2011).

Pendidikan Non formal : Kursus Keterampilan Dekorasi Pemuda/knpi se- Kalimantan Tengah di
Palangka Raya (1981).

Pengalaman : Pernah bekerja (Honorer) dan ikut serta mengembangkan motif-motif Kalimantan
Tengah, pada Sanggar Budaya Tunjung Nyaho (SBTN), Universitas Palangka Raya (1986) ; membuat
lukisan-lukisan serta ukiran-ukiran dari kayu motif Kalimantan Tengah. Sering diminta sebagai (Ketua
atau Anggota) Tim Juri pada berbagai lomba (seperti : Lomba Mewarna, Menggambar/Merlukis, Perahu
Hias, Lintas Budaya, Penulisan Cerita Rakyat, Ornamen, Stand Pameran, dll); Mengikuti penataran,
pelatihan, seminar, serta ikut aktif di berbagai kegiatan sosial lainnya, dan Sebagai Tenaga Dosen di FKIP
Universitas Palangka Raya (1986-sekarang); Dosen Tidak Tetap di STIKes Eka Harap Palangka Raya (2012-
sekarang); Sebagai Asesor/Instruktur, pada PLPG SD/MI/SDLB/SMP/SMA Sertifikasi Guru se- Kalimantan
Tengah (2012, 2014, 2016); Sebagai Pemateri/Nara Sumber pada Mata Pelajaran Muatan Lokal bagi
Guru PAUD, SD/MI/SDLB/SMP/SMA se- Kalimantan Tengah (2010); Pemateri/Nara Sumber Untuk Guru-
guru pada Program Kegiatan Bimbingan Teknis Mata Pelajaran Muatan Lokal Pendidikan Khusus, Dinas
Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah (2018).; Tim Penyusunan Kurikulum Mulok SMA, pada Dinas
Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah (2019); Nara Sumber pada Kegiatan Pelatihan Pemandu Wisata
Alam Pedesaan dan Perkotaan, pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palangka Raya (2019); Nara
Sumber Konsinyasi Prapenerbitan Kamus Budaya Kalimantan Tengah, Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju-
Indonesia, dan Ekabahasa Dayak Ngaju, pada Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2019).

Kemudian bersama dengan saudara sepupu Albert. A. Bingan (alm.) telah menyusun dan
menerbitkan Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju-Indonesia (1996), dan Upon Ajar Basa Dayak Ngaju (Pokok
Pelajaran Bahasa Dayak Ngaju) (2001); bersama Ibu Hana Pertiwi telah menyusun dan menerbitkan
Buku Upon Ajar Basa Dayak Ngaju untuk SD Kelas II s.d Kelas VI SD (2006); menyusun dan menerbitkan
Buku Kumpulan Sarita Rakyat Kalimantan Tengah (Kumpulan Cerita Rakyat Kalimantan Tengah, dalam
Dua Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa Indonesia) (2012); menyusun dan menerbitkan Buku Seni Budaya
Kalimantan Tengah (2014).

Pernah ikut bergabung dan bekerja pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Lembaga
Penelitian (Lemlit) Universitas Palangka Raya sebagai Tim Studi Sosial Budaya (2005-2010). Ditunjuk dan
diangkat sebagai Kepala Pusat Penelitian Kebudayaan Dayak Lembaga Penelitian Universitas Palangka
Raya (2001-2004); diangkat sebagai Sekretaris Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas Palangka Raya
(Masa Bakti 2016-2020); Kemudian diangkat kembali sebagai Ketua Jurusan Pendidikan IPS FKIP UPR
(Masa Bakti 2020-2024); Diangkat sebagai Anggota Senat Fkip UPR (Masa Bakti 2020-2024).
Pernah memperoleh Sertifikat sebagai Juara III dari Bupati Kapuas Bpk Ir. Burhanudin Ali, pada
Sayembara desain monumen Bundaran Besar jalan Pemuda Kuala Kapuas (2004); Pernah memperoleh

62
Certificate Of Recognition dari Ketua Recording Technicion, sebagai Penterjemah The Jesus Film ke versi
Bahasa Dayak Ngaju (Language version of the Dayak Ngaju) di Palangka Raya (2015); memperoleh
Piagam Penghargaan sebagai Tokoh Bahasa, dari Kapala Balai Bahasa Kalimantan Tengah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan pada kegiatan Anugerah Tokoh Kebahasaan dan Kesastraan Kalimantan
Tengah (2019); Pernah memperoleh hadiah pada Sayembara Nama Maskot Administrasi dan Vokasi UPR
(2020).

Menikah dengan Arita Estarika Belle Amann, dikaruniai 3 putera : Aldria Adriano Ibrahim, Aldio
Ferdika Ibrahim, Aldonius Oktora Ibrahim.

63

Anda mungkin juga menyukai