Anda di halaman 1dari 28

TOKOH - TOKOH ILMUAN MUSLIM

MAKALAH

Untuk memenuhi sebagai persyaratan mata kuliah


Teknologi Islam

Dosen Pembimbing :
Ary Antony Putra, MA

Disusun oleh :
Ikbal Aditya
193110283
III B

UNIVERSITAS ISLAM RIAU


FAKULTAS TEKNIK
PRODI TEKNIK SIPIL
PEKANBARU
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, saya tidak
akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta
salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan
kelak.

Saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
sehingga makalah “Tokoh tokoh ilmuam muslim” dapat diselesaikan. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Islam. Saya berharap makalah
tentang tokoh tokoh ilmuan islam ini dapat menjadi referensi bagi orang banyak yang
ingin tau mengenaitokoh ilmuan muslim.

Saya menyadari makalah bertema Tokoh – tokoh ilmuan muslim ini masih
perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan kekurangan. Saya terbuka
terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun materi, saya
mohon maaf.

Demekian yang dapat saya sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.

Tanjungpinang, 21 Oktober 2020

Ikbal Aditya

i
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................................... -
KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 3
A. Perkembangan Ilmu Zaman Islam............................................................. 3
B. Fase-fase Perkembangan Pandangan Islam Terhadap IPTEK................... 6
C. Sketsa Histosis Pembidangan Islam Terhadap Ilmu dalam islam............. 15
D. Ilmuan Muslim dan Penemuannya............................................................ 17
E. Apa saja Kontribusi Ilmuan Muslim di Bidang Sains............................... 18
BAB III PENUTUP.................................................................................................... 24
A. Kesimpulan.............................................................................................. 24
B. Saran......................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kajian tentang “ The Islamic Civilization” atau peradaban Islam tidak bisa lepas dari
peradaban Arab yang menjadi tempat lahirnya agama Islam. Oleh karena itu, terkadang
peradaban ini disebut dengan peradaban Arab, karena pertama kali peradaban ini muncul di
kalangan bangsa Arab, sekalipun kemudian meluas dan dikembangkan oleh generasi Islam
selain bangsa Arab, baik melalui transfer ilmu, kesamaan tipologi dan standar, maupun
bahasa dan tulisannya. Selain itu, peradaban ini disebut peradaban Arab karena sebagian
tokoh terbesarnya seperti; Hunain ibn Ishaq, Yohana ibn Masawih, Nabit ibn Qarrah dan
Ali Abbas Al-Majusi mereka adalah orang-orang Arab non-muslim.

Sedangkan penyebutannya sebagai peradaban Islam, karena ia sebagai penggagasnya


dan selamanya akan menjadi kekuatan yang menggerakkannya dengan dengan ajaran-
ajarannya. Di sisi lain, penyebutan sebagai peradaban Islam ini dikarenakan sebagian
tokohnya yang terbesar adalah orang Islam non-Arab seperti; Ibnu Sina, Al-Biruni, Abu
Bakar Al-Razi, dan Al-Khawarizmi.

Terlepas dari perbedaan penyebutan tersebut, faktor utama dalam sebuah peradaban
besar adalah Ilmu pengetahuan. Sebagai faktor utama dalam perkembangan peradaban,
ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang serius dalam Islam. Masa sebelum
kedatangan Islam yang disebut dengan Masa Jahiliyah, misalnya, merupakan argumentasi
penting bahwa Islam datang dengan membawa ilmu pengetahuan dan meminimalisir
kebodohan. Predikat “jahiliyah” bukan berarti bangsa Arab sebelum Islam datang tidak
memiliki peradaban dan mengenal peradaban-peradaban lainnya. Beberapa abad sebelum
Islam muncul, daerah Arab telah mengenal peradaban lembah Nil, peradaban lembah
Daljah dan Furat, peradaban Syam, peradaban Yaman, peradaban Tunis, peradaban
Bahrain, peradaban Yunani, peradaban India dan peradaban Persia.

Ketika Islam datang sebagai agama dengan membawa benih-benih peradaban yang
besar dan secara terang-terangan menghimbau untuk mempelajari ilmu dan menjadikannya
sebagai jalan utama kehidupan, maka para pecinta ilmu mulai mempelajari warisan
peradaban yang telah ada sebelumnya. Dalam lembaran sejarah peradaban Islam, kita bisa
melihat hubungan yang harmonis antara agama dan akal, selama lima abad, dimulai dari
abad kedelapan sampai abad ketiga belas masehi. Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena

1
dalam Islam, akal sebenarnya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan posisi penting
dalam Islam.

Substansi Al-Qur’an sebagai sumber utama agama Islam juga menjadi bukti bahwa
Islam sangat mengapresiasi ilmu pengetahuan. Misalnya, dalam wahyu pertama yang
diterima oleh Nabi Muhammad saw.Kata Iqra’, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish
Shihab,   terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun, lahir aneka
makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu,
dan membaca teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan objek yang
harus dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan
tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Lebih lanjut, Shihab
menyatakan bahwa kata iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri
sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah maupun diri sendiri, baik yang tertulis
maupun tidak. Makna yang terkandung dalam kitab suci ini sangat dipahami dan
diaktualisasikan oleh umat Islam pada masa dahulu sehingga banyak karya-karya besar
yang dihasilkan oleh mereka.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana perkembangan ilmu zaman islam?


2. Apa saja fase perkembangan pandangan islam terhadap ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana sketsa histrosis pembidangan ilmu dalam islam?
4. Siapa saja ilmuwan muslim dan penemuannya?
5. Apa saja kontribusi ilmuwan muslim di bidang sains?

C. TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui perkembangan ilmu zaman islam.


2. Untuk mengetahui perkembangan pandangan islam terhadap ilmu pengetahuan.
3. Untuk mengetahui sketsa histrosis pembidangan ilmu dalam islam.
4. Untuk mengetahui siapa saja para ilmuwan muslim.
5. Untuk mengetahui kontribusi ilmuwan muslim di bidang sains.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Ilmu Zaman Islam

Sebelum diuraikan sejarah dan perkembangan ilmu dalam islam, ada baiknya
diuraikan sedikit tentang pandangan islam terhadap ilmu. Hal ini penting untuk
diketahui karena menjadi landasan bagi pengembangan ilmu disepanjang sejarah
kehidupan umat manusia, mulai dari zaman klasik sampai saat ini.

Sejak awal kelahiran Pengghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana
sudah diketahui, bahwa Nabi Muhammad Saw. Ketika diutus oleh Allah sebagai rasul,
hidup dalam masyarakat yang terbelakang, dimana paganisme tumbuh menjadi sebuah
identitas yang melekat pada masyarakat Arab masa itu. Kemudian Islam datang
menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyyah menjadi
masyarakat yang berilmu dan beradab.

Kalau dilacak akar sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu tumbuh
besamaan dengan munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasullah Saw. Menerima wahyu
pertama, yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah ”membaca”. Jibril
memerintahkan Muhammad Dengan Bacalah Dengan Menyebut Nama Tuhanmu Yang
Menciptakan. Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang
sampai Nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata Iqra inilah kemudian lahir aneka
makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu,
dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu menghendaki
umat Islam untuk senantiasa “membaca” dengan dilandasi bismi Rabbik, dalam arti hasil
bacaan itu naninya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.

Dalam wahyu pertama, Allah swt. Sudah menegaskan bahwasanya ilmu itu
bersumber darinya. Dialah yang mengajarkan kepada manusia apa yang semula tidak
diketahuinya. Sejumlah ayat yang lain juga menegskan hal yang serupa. Ini berarti
bahwa setiap yang berasal dari Allah swt, apakah itu yang tertuang dalam Al-Qur’an
atau sunnah, adalah ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Di sinilah posisi
kaidah deduktif ilmu dalam Islam berlaku.

Dalam wahyu pertama juga Allah telah memerintahkan manusia untuk mencari ilmu
lewat membaca, seraya meminta perhatian bahwa Allah swt, telah menciptakan manusia

3
dari segumpal darah. Modus serupa juga terdapat dalam ayat-ayat yang lain, dimana
Allah swt, mengajak manusia merenungkan dan memikirkan fenomena alam, psikologi
manusia dan sejarah.

Selanjutnya ada juga ayat lain yang mengatakan , Katakanlah: Apakah sama orang-
orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui? ,
sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Selain ayat-ayat tersebut di atas, ada juga hadis Rasulullah yang menekankan wajibnya
mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya kalau perlu. “carilah ilmu sampai ke negeri
Cina”. Dengan demikian,Alquran dan Hadis kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu
yang di kembangkan oleh umat islam dalam spectrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi,
kedua sumber pokok islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan
pengembangan ilmu-ilmu . peran itu adalah : pertama, prinsip-prinsip semua ilmu
dipandan kaum Muslimin terdapat dalam Alquran. Dan sejuh pemahaman terhadap
Alquran, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris terhadap  kitab suci ini , yang
memugkinkan tidak hanya pengungkapkan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi
juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan
paragdigma ilmu. Kedua, Alquran dan Hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi
pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu ;
pencarian ilmu dalam segi apa pun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan
Tauhid. Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan
Alquran dan Sunnah merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu islam.
Singkatnya, Alquran dan Sunnah menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas
intelektual dalam konformitas dengan semangat islam.

Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw. Menegaskan


dalam sebuah hadits yang terkenal,

ِ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل َم فَ ِري‬


‫ْضةٌ َعلَى ُك ِّل ُم ْسلِ ٍم َو ُم ْسلِم‬
 
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimat. HR. Ibnu Abdil Bari 
Ilmu menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Penekanan kepada ilmu
dalam ajaran Islam sangat jelas terlihat dalam Al-qur’an, sunnah Nabi saw dan ajaran
semua tokoh Islam dari dulu sampai sekarang. Diantar yang paling utama adalah Al-
qur’an surah al-‘Alaq: ayat 1-5 yang membrikan tekanan pada pembacaan sebagai
wahana penting dalam usaha keilmuwan, dan mengukuhkan kedudukan Allah swt.
Sebagai sumber tertinggi ilmu pengetahuan manusia.

4
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak dikehetahuinya.”

Dalam menafsirkan kelima ayat diatas, Ibn Katsir menyoroti pentingnya ilmu bagi
manusia. Ibn Katsir menulis:
“Dalam ayat-ayat ini terdapat peringatan bahwasannya manusia diciptakan dari
segumpal darah. Dan di antara bentuk anugerah Allah Ta’ala adalah mengajarkan
manusia apa yang semula tidak diketahuinya. Maka kemuliaan dan keagungan manusia
terletak pada ilmu. Dan, inilah kemampuan yang membuat bapak manusia, Adam lebih
istimewa daripada malaikat.”

Penekanan terhadap pentingnya ilmu dapat terlihat juga dari kedudukan orang-orang
yang mencari, memiliki, mengajarkan dan mengamalkan ilmu (‘ulama). Al-Qur’an
menegaskan bahwa sangat berbeda sekali antara orang yang mengetahui dan orang yang
tidak mengetahui,
“Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menenrima
pelajaran” (az-Zumar: 9).
Orang-orang yang beilmu dan menyibukkan dirinya dalam majelis-majelis keilmuan,
tentunya disamping juga mereka beriman, dalam penilaian Allah memiliki derajat yang
sangat terhormat,

ٍ ‫يَرْ فَ ِع هللاُ الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ِمن ُك ْم َوالَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر َجا‬    
‫ت َوهللاُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ُُر‬

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang


yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadalah : 11)

Semua pencari ilmu, tegas Nabi saw., akan dimudahkan jalannya ke surge. Para
malaikat akan menghormatinya dengan meletakkan sayap-sayapnya. Seluruh makhluk
yang ada di bumi sampai ikan-ikan yang ada di laut terdalam sekalipun, akan
memohonkan ampunan. Itu disebabkan kemuliaan mereka yang jika dibandingkan
dengan orang-orang ahli ibadah yang kurang ilmunya ibarat bulan purnama ditengah
gugusan bintang-bintang. Mereka semua adalah para pewaris nabi. Di tangan merekalah
ilmu para nabi, yang lebih berharga daripada dinar dan emas, diembankan.

5
َ ‫ك طَ ِريقًا َْيلتَ ِمسُ فِ ْي ِه ِع ْل ًما َسه ََّل هللاُ لَهُ طَ ِر ْيقًا ِإل َى ْا‬
(‫لجنَّ ِة (رواه مسلم‬ َ َ‫َمن َسل‬

“Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan
memudahkan baginya jalan ke surge.” (HR Muslim)

Hadits di atas memberi gambaran bahwa dengan ilmulah surga itu akan didapat.
Karena dengan ilmu orang dapat beribadah dengan benar kepada Allah Swt dan dengan
ilmu pula seorang muslim dapat berbuat kebaikan. Oleh karena itu orang yang menuntut
ilmu adalah orang yang sedang menuju surga Allah.
Mencari ilmu itu wajib, tidak mengenal batas tempat, dan juga tidak mengenal batas
usia, baik anak-anak maupun orang tua. Kewajiban menuntut ilmu dapat dilaksanakan di
sekolah, pesantren, majlis ta’lim, pengajian anak-anak, belajar sendiri, penelitian atau
diskusi yang diselenggrakan oleh para remaja mesjid.
Ilmu merupakan cahaya kehidupan bagi umat manusia. Dengan ilmu, kehidupan di
dunia terasa lebih indah, yang susah akan terasa mudah, yang kasar akan terasa lebih
halus. Dalam menjalankan ibadah kepada Allah, harus dengan ilmu pula. Sebab
beribadah tanpa didasarkan ilmu yang benar adalah sisa-sia belaka. Oleh karena itu
dengan mengamalkan ilmu di jalan Allah merupakan ladang amal (pahala) dalam
kehidupan dan dapat memudahkan seseorang untuk masuk ke dalam surga Allah.

B. Fase Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Peradaban Islam

Harun Nasution menyimpulkan bahwa periode perkembangan sejarah Islam bisa


dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu; 1) masa klasik, antara tahun 650-1250 M, 2)
masa pertengahan, antara tahun 1250-1800 M, 3) masa modern, sejak tahun 1800 M
sampai sekarang.
1.  Periode Klasik (650-1250 M)
Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di
Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada
kekuasaan Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di
Damaskus dan terakhir di Baghdad.
Periode klasik ini dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi
Muhammad saw yang kemudian diteruskan oleh khulafaur rasyidindan dikembangkan
era daulah (dinasti) Bani Umayyah. Dalam mendeskripsikan sejarah penyebaran Islam
periode khilafah awal, maka analisis weberian dianggap cukup relevan. Max Weber

6
menekankan bahwa faktor ide atau gagasan atau pemikiran merupakan faktor yang
sangat menentukan adanya perubahan sosial.[16]
Dalam konteks ini, ide-ide yang terkandung dalam al-Qur’an mempengaruhi
struktur sosial kemasyarakatan dan membentuk struktur baru. Kehadiran Nabi
Muhammad dengan nilai-nilai baru telah mempengaruhi struktur sosial masa itu hingga
dewasa ini. Bahkan, tatanan dunia secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari
gagasan-gagasan yang terinspirasi dari al-Qur’an yang dibawa Nabi. Ide-ide atau
gagasan pemikiran itu tentunya baru terlihat memiliki arti sosial jika sudah diwujudkan
dalam berbagai pergumulan dan perubahan budaya. Dari proses inilah, kemudian
peradaban Islam muncul sebagai peradaban baru dalam kancah dunia internasional.
Kehadiran Nabi membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide
dan gagasan Nabi yang tersurat dalam al-Qur’an menjadi inspirasi untuk menuju
tatanan kehidupan yang lebih mapan dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-
Qur’an yang dibawa Nabi termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejak
mendapatkan wahyu langit dalam ‘uzlah (pengasingan) di gua Hira’ tahun 610 M.,
Muhammad mulai berbicara atas nama Allah swt. dan memproklamirkan Islam sebagai
agama Tauhid untuk kemaslahatan umat manusia dan rahmat bagi alam semesta. Sejak
inilah Nabi mulai membentuk sebuah komunitas masyarakat keagamaan dalam ikatan
semangat tawhid.  Muhammad mulai mendapatkan perlawanan  dan tantangan keras
dari masyarakat paganisme di Mekkah dan dianggapnya sebagai orang yang terserang
penyakit syaraf, gila dan sebagainya. Muhammad dilahirkan dan dibesarkan di tengah-
tengah suku Qurasiy Mekkah, tetapi reformasi teologi, reformasi kultural, dan
reformasi sosial yang dibawanya berdasarkan wahyu Allah, dianggap memiliki peran
penting dalam membangun tatanan sosial-politik dan tradisi kaum Qurasiy.[17]
Komunitas tauhid yang dibangun awalnya hanya terdiri dari segelintir orang yang
kemudian disebut dengan generasi muslim awal (al-sabiqun a;-awwalun). Generasi
muslim awal ini didominasi oleh kalangan muda. Hal ini secara historis-empiris
menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa Nabi bersifat reformatif dan counter terhadap
tradisi yang stagnan sehingga diikuti oleh kalangan muda. Dalam paradigma sejarah
peradaban dan politik, kalangan muda sering diartikan sebagai representasi kalangan
kritis, dinamis, dan anti status quo.
Selain itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari Mekkah
ke Madinah juga memberikan kontribusi penting dalam proses pembentukan
peradaban. Periode Mekkah merupakan periode yang menyakitkan bagi Nabi dan
pengikutnya sehingga Nabi melakukan hijrah ke Madinah (Yatsrib) tahun 622 M untuk
menyusun kekuatan baru setelah Mekkah dianggap tidak kondusif untuk penyebaran
dakwah Islam. Di Madinah, Nabi menyusun kekuatan sosial-politik dan ekonomi untuk

7
menyatakan perang ekonomi kepada pedagang Quraiys. Secara sosiologis, hijrah
merupakan imigrasi dan pemutusan ikatan-ikatan kekerabatan dengan kaum Quraisy
Mekkah. Namun demikian, hijrah tidak hanya merupakan perpindahan Nabi dan umat
Islam untuk menghindari tekanan-tekanan dan perlawanan dari kaum kafir Quraisy.
Hijrah berdampak positif bagi perkembangan kegiatan intelektual umat Islam. Mereka
lebih leluasa untuk mengembangkan pengetahuannya sebagaimana yang memang
ditekankan oleh Nabi dalam berbagai hadisnya.
Ekspansi yang dilakukan oleh pemegang estafet pemerintahan selanjutnya
-Khulafa’ Al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah- secara garis besar
memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat
dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-
daerah yang dikuasai Islam.  Secara pasti, ekspansi Islam menyebabkan terjadinya
kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan
Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.
Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan
pesat. Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan peradaban Islam pada puncak
kejayaan. Ulama’-ulama’ mujtahid bermunculan, begitu juga para ilmuwan muslim
telah menghasilkan karya-karya seni, filsafat dan ilmu pengetahuan secara
mengagumkan.
Peran para khalifah tidak bisa dinegasikan dari kemajuan yang dicapai oleh periode
ini, terutama pada masa Bani Abbas. Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-
809 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat
didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait Al-Hikmah,
yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan tetapi juga
akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan
yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran, matematika, optika,
geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.
Maka kemudian muncul beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi
kebanggaan dunia Islam seperti; Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam yang
pertama kali menyusun Astrolabe (alat yang dahulu dipakai untuk mengukur tinggi
bintang-bintang dan sebagainya; Al-Fargani (di Eropa dikenal dengan sebutan Al-
Fragnus) adalah pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi; Dalam bidang optika,
Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai orang yang menentang
pendapat bahwa mata yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat. Menurutnya,

8
bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata bisa
melihat benda yang bersangkutan.
Dalam bidang Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M) dikenal sebagai bapak Kimia.
Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah pengarang buku besar tentang kimia
yang baru dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran dan
farmasi.
Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’I dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-
Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Al-
Nazzam, dan Al-Zuba’i dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-
Bustami dan Al- Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn
Sina dan Ibnu Miskawih dalam filsafat.
Ringkasnya, periode ini adalah periode peradaban Islam yang tertinggi dan
berpengaruh pada tercapainya peradaban modern di Barat sekarang. Periode kemajuan
Islam ini, menurut Christopher Dawson, bersamaan dengan abad kegelapan di Eropa.
Memang sebagaimana dijelaskan oleh Mc. Neill, kebudayaan Kristen di Eropa antara
600-1000 M. sedang mengalami masa surut yang rendah. Di Abad XI, Eropa mulai
sadar akan adanya peradaban Islam yang tinggi di Timur dan melalui Spanyol, Sicilia
dan Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit dibawa ke Eropa.
2. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Pada masa pertengahan, yakni antara tahun 1250-1800 M adalah fase kemunduran
dari intelektual umat Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam, sehingga
ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia
dengan akhirat. Di zaman ini, desentralisasi dan disintegrasi bertambah
meningkat yang berakibat pada hilangnya khilafah secara formil. Islam tidak lagi
mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai lambang persatuan dan ini
berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat khalifah baru di Istanbul di abad ke-16.
Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia
bertambah nyata. Dunia Islam terbagi dua, bagian Arab yang terdiri atas Arabia, Irak,
Suria, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusat; dan bagian
Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran
sebagai pusat. Kebudayaan Persia mengambil bentuk internasional dan dengan
demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab.
Di samping itu, pengaruh tarekat-tarekat bertambah mendalam dan bertambah
meluas di dunia Islam. Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu

9
ijtihad telah tertutup diterima secara umum di zaman ini. Perhatian pada ilmu-ilmu
pengetahuan sedikit sekali. Tetapi sebaliknya, Islam mendapat pemeluk-pemeluk baru
di daerah-daerah yang selama ini belum pernah dimasuki Islam.
Pada periode pertengahan ini, terdapat masa tiga kerajaan Besar (1500-1800 M).
Tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi
di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Tahun 1500-1700 M dianggap sebagai fase
kemajuan II dalam sejarah peradaban Islam. Literatur dalam bahasa Turki di zaman
inilah mulai muncul. Di masa-masa sebelumnya, pengarang-pengarang Turki menulis
dalam bahasa Persia. Di zaman Sultan Salim I dan Sultan Sulaiman dikenal dua
pengarang; Fuzuli dan Baki, yang kemudian disusul di abad ke-18 oleh Nedim dan
Syeikh Ghalib. Dalam bidang arsitek, sultan-sultan mendirikan istana-istana, masjid-
masjid, benteng-benteng dan sebagainya.
Di India, bahasa Urdu juga meningkat menjadi bahasa literatur dan menggantikan
bahasa Persia yang sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-sultan di Delhi. Para
penulis besar pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar, Sauda, Dard, dan Mir (abad
18). Sayangnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat kurang sekali
dibandingkan dengan masa-masa kejayaan Islam I. Kemajuan Islam II ini lebih
ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.
Tahun 1700-1800 M disebut sebagai fase kemunduran II kerajaan Islam. Pada
tahun-tahun ini kondisi kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Di bidang
ekonomi, juga terpuruk akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur dan Barat.
Ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh
suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistis, sehingga
dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis. Sementara, pada masa itu Barat
mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya bertambah besar, ke dunia
Islam yang didudukinya kian lama bertambah mendalam. Akhirnya, di tahun 1978 M,
Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang terpenting. Jatuhnya
pusat Islam ini ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan
menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban yang lebih tinggi dari
peradaban Islam.
3. Periode Modern (1800 M - dan seterusnya)
Periode Modern (1800 M - dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat
Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat mengilhami kebangkitan. Raja-raja dan
pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan
kekuatan umat Islam kembali. Pada era ini, sebagaimana diungkapkan Al-Faruqi,
kondisi umat Islam sangat tidak menggembirakan sekalipun dalam kuantitas besar

10
umat Islam berdomisili di tanah yang subur dengan sumber daya alam yang melimpah.
Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi atas bangsa-bangsa Timur dan Islam.
Dan bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan menjadikan dirinya sebagai
imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik, kekuasaan dan militer.
Setelah umat Islam menyadari ketertinggalannya, maka kemudian muncul upaya
dekonstruksi oleh para pemikir Islam untuk membangkitkan ketertiduran umat Islam.
Etika politik kebangsaan pun dibangun seiring dengan pembangunan dan reformasi
teologi. Upaya-upaya itu antara lain mengajak umat Islam untuk melakukan shifting
paradigm (loncatan paradigma) dengan memunculkan keberanian menafsirkan ajaran-
ajaran dasar agama dengan interpretasi-interpretasi baru yang lebih segar dan progresif
sesuai perkembangan zaman. Ini dimaksudkan agar nilai luhur Islam tidak usang oleh
dinamika perubahan yang berjalan begitu cepat. Dari sini, bermunculan ide-ide
keagamaan baru seperti tajdid (pembaruan), revivalisme (puritanisme, kembali ke
ajaran dasar al-Qur’an dan al-Sunnah), dan bahkan  muncul juga sekularisme yang
kontroversial.
Pada periode ini, muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi
pioner pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam dirasionalisasikan dan difahami dalam
konteks ke-kini-an dan kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami dari sudut
pandang lokal, tetapi juga dalam perspektif universal dan kontekstual. Sejarah
mencatat munculnya para pemikir Islam di dunia Arab, seperti di Arab, Mesir, dan
Turki. Demikian juga di India dan Pakistan. Tidak ketinggalan di Indonesia dan dunia
Islam lainnya.
Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh pembaharuan Islam yang
sangat popular. Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan
pengaruhnya dapat dirasakan sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh
Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, MustafaKemal
Attaturk, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Abdul halim Mahmud, dan sebagainya.
Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu sepertiMuhammad Iqbal, Ali Jinah,
Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-lain. Demikian juga yang
terjadi di Indonesia. Tokoh pembaharuan yang cukup popular, dapat disebutkan
diantaranya : Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali, Abdurrahman
Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.
Secara garis besar, gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, dapat
dipahami dalam empat model gerakan sebagai berikut:
a)  Gerakan Wahabiyah atau Salafiyah.

11
Pelopornya adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Jazirah Arabia.
Tumbuh dan lebih berkembang di Hijaz sebagai jantung umat Islam sedunia, ketika itu.
Gerakan ini dipandang sebagai gerakan puritanisme Islam. Gerakan yang hampir
serupa tumbuh di India yang dipelopori oleh Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin
di India. Menurut Harun Nasution, Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang
teoris yang sangat memahami ajaran Islam, tetapi ia dipandang sebagai seorang
pemimpin yang dengan aktif dan progresif berusaha menyebarkan dan mewujudkan
pemikirannya. Sedangkan Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin dipandang
sebagai tokoh yang menentang sufisme secara sangat tajam.
Gerakan-gerakan ini muncul bukan karena pengaruh Barat, tetapi sebagai reaksi
terhadap faham Tauhid Islam (Aqidah) yang telah dirusak oleh hadirnya ajaran-ajaran
yang menyimpang, seperti mempercayai keramat, merajalelanya bid’ah, khurafat, dan
tahayul serta kemusyrikan. Untuk melepaskan umat islam dari kesesatan ini, tokoh ini
berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya
(asli), yakni Islam yang dianut oleh Nabi saw, sahabat, tabi’in sampai abad ke-3
Hijriyah.Sumber ajaran islam hanyalah al-Quran dan al-Hadits. Untuk memahami
ajaran yang terkandung dalam dua sumber tersebut, maka dipergunakan ijtihad. Oleh
karena itu, pintu ijtihad belum tertutup, bahkan harus tetap dibuka;
Dalam pandangan Amien Rais, gerakan Wahabiyah sering dianggap terlalu
revolusioner oleh karena gagasan-gagasan yang disampaikannya terlalu radikal
menurut ukuran zamannya. Sekalipun dipengaruhi oleh pikiran reformatif Ibnu
Taimiyyah, gerakan Wahabiyah tidak sepenuhnyamerupakan duplikat fikiran-fikiran
Ibnu Taimiyyah.
Terdapat beberapa perbedaan mendasar. Pertama, jika Ibnu Taimiyyah menyerang
sufisme, maka serangannya tidak frontal. Sedangkan gerakan Wahabiyah menyerang
sufisme tanpa ampun, sekalipun harus diakui bahwa berkat jasa kaum Wahabiyah-lah
pembabatan bid’ah, khurafat, tahayul yang merajalela di dunia Islam pada masa lalu
berhasil secara mengesankan.Kedua, sikap agak kaku terhadap rasionalisme, Ibnu
Taimiyyah juga melakukan kritik terhadap rasionalisme, tetapi kritik itu tidak berakibat
memojokan penalaran rasional terhadap usaha perbaikan terhadap berbagai dimensi
kehidupan kaum muslimin. Barangkali kelemahan kaum Wahabi adalah semangat agak
anti terhadap rasionalismenya, sehingga semboyan ijtihad yang dikumandangkannya
tidak begitu efektif, berhubung tidak diberikannya tempat secara wajar bagi
intelektualisme. Akan tetapi harus kita catat, adanya pengaruh positif bagi masyarakat
muslim di dunia, terutama prinsip egalitarianisme yang diserukan gerakan ini. (Amien
Rais, dalam John Donohue, 1995 : xii).

12
b)  Gerakan Pembaharuan (Modernisme)
Gerakan ini dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897).
Kemudian diikuti dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan
dilanjutkan oleh muridnya, Rasyid Ridla (1865-1935). Gerakan ini tumbuh dan
berkembang di Mesir, ketika itu (bahkan sampai sekarang) menjadi
pusat intelektualisme Islam. Gerakan ini –sesuai dengan namanya- berusaha
mengadopsi kemajuan Barat dan menyesuaikannya (adaptasi) dengan peri-kehidupan
umat Islam. Gerakan ini menolak selalu bersandar pada kejayaan Islam masa lalu dan
lebih memilih hikmah-hikmah yang dapat diambil dari masa itu, kemudian
menghidupkannya kembali di tengah-tengah kaum Muslimin. Hal ini bisa
diwujudkan dalam pemikiran politik, social, budaya, agama, dan sebagainya. Secara
langsung maupun tidak langsung, hasil pemikirannya disebarkan melalui berbagai
tulisan, terutama dalam majalah dan ceramah-ceramah di berbagai tempat dan waktu.
Ide-ide atau pemikiran dasarnya adalah sebagai berikut : 1) Kembali kepada sumber
dasar ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu al-Quran dan al-Hadits; 2)Pintu ijtihad tetap
terbuka. Ijtihad perlu dilakukan untuk memahami sumberajaran Islam (al-Quran dan
al-Hadits) yang disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman (interpretasi
baru); 3) Akal (rasio) adalah alat untuk melakukan ijtihad. Menggunakan rasio (akal)
danpenalaran menjadi sangat penting dan memiliki posisi yang sangat
tinggi; 4)Percaya kepada hukum alam (sunnatullah). Hukum alam tidak bertentangan
dengan Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan modern yang
berdasarkan hukum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkanwahyu adalah dua
hal yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan modern,idealnya sesuai dengan islam.
Saat ini yang mengalami kemajuan dalam ilmupengetahuan dan teknologi adalah
Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di masa lampau (yang
sekarang telah hilang dan dimiliki Barat), umat Islam harus kembali dan mempelajari
serta menguasai ilmu pengetahuan; 5) Percaya kepada kebebasan berkehendak dan
bertindak (free-will and free-act) seperti faham Qadariyah.
c)  Westernisme
Westernisme diartikan sebagai faham ke-Barat-Baratan atau “berkiblat” ke
Barat. Faham ini mengajak umat Islam untuk menerima dan mengadopsi pengetahuan
Barat dan semua yang berasal dari Barat. Gerakan ini tumbuh dan berkembang di
India, salah satu pusat politik Islam (tempat kerajaanMughal yang besar itu). Gerakan
ini dipelopori oleh Sir Ahmad Khan (1817-1989). Ia mendirikan Universitas Aligarh
untuk mengembangkan dan menyebarkan ide-idenya. Ide-ide dasarnya sebenarnya

13
memiliki kesamaan dengan ide-ide dasar yang disampaikan oleh Muhammad Abduh.
Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam India mengalami kemunduran
karena tidak mengikuti perkembangan zaman. Islam pernah mengalami kemajuan yang
luar biasa pada masa klasik, tetapi peradaban dan kemajuan itu telah hilang. Saat ini
yang mengalami kemajuan adalah Barat.
Oleh karena itu menurutnya, umat Islam India akan mengalami kemajuanjika bukan
hanya mempelajari dengan Barat, tetapi sebaiknya bekerja sama dengan Barat
(Inggris). Dasar kekuatan Barat adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk
mengalami kemajuan, maka umat Islam harus mempelajari dan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Jalan yang harus ditempuh adalah memperkuat
hubungan dengan Barat (Inggris) dan mengambil berbagai aspek kemajuan dan
ketinggian yang ada di Barat.
d)   Sekularisme
Sekularisme tumbuh dan berkembang di Turki sebagai pusat politik islam bekas
wilayah Daulah Usmaniyyah (Turki-Usmani). Pelopornya adalah Mustafa Kemal
Attaturk (1881-1938). Mustafa Kemal, sebenarnya adalah seorang
Nasionalis pengagum Barat. Ia menginginkan Islam mengalami kemajuan. Oleh karena
itu,  menurutnya perlu diadakan pembaharuan dalam agama untuk disesuaikan
dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah agama rasional dan sangat diperlukan
dalam kehidupan manusia. Tetapi agama rasional itu telah dirusak oleh para ulama.
Ajaran Islam memerlukan sekularisasi. Usaha sekularisasinya berpusat pada upaya
menghilangkanulama dari kekuasaan Negara dan politik. Yang difahami sebagai ulama
adalah orang atau komunitas yang menguasai syariat dan ajaran Islam serta
menentukan masalah sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan.
Menurut Attaturk, negara harus dipisahkan dari agama. Inilah esensi dari
sekularisasi. Dengan pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut, ia berpendapat
bahwa al-Quran perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, adzan dan khutbah
menggunakan bahasa Turki. Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup,
digantikan oleh fakultas “Ilahiyah” yang mendidik imam shalat, khatib-khatib, dan
mengembangkan berbagai pembaharuan yang diperlukan. Pendidikan agama dan
bahasa Arabdihilangkan dari sekolah-sekolah. Nama-nama orang Turki harus
mengikuti nama-nama orang Eropa. Hukum syariat tentang perkawinan diganti oleh
hukum Barat (Swiss). Wanita mempunyai hak cerai yang sama dengan kaum pria.
Diandalkan hukum-hukum baru, seperti hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata,
dan lain-lain yang diambil dari hukum-hukum Barat.

14
C. Sketsa Histrosis Pembidangan Ilmu dalam Islam

Sejak periode klasik, bisa dikatakan telah ada pembidangan ilmu yang pada
umumnya  terbagi kepada ilmu-ilmu agama dan non-agama. Sebutan untuk ilmu agama
beragam; al-‘ulum al-diniyyah, al-‘ulum al-naqliyyah, al-‘ulum al-Syar’iyyah,
al-‘ulum al-Islamiyyah, dan ‘ulum al-‘Arab. Untuk ilmu non-agama biasa disebut
dengan al-‘ulum al-dunyawiyyah, al-‘ulum al-‘Aqliyyah, al-‘ulum al-dakhilah, ‘ulum
al-‘Ajam dan ‘ulum al-Awail. Ilmu seperti tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, dan tasawuf
adalah kelompok ilmu-ilmu agama. Sedangkan bahasa Arab, sejarah, filsafat,
kedokteran, astronomi, matematika, kimia, fisika, kosmografi termasuk kelompok ilmu
non-agama.
Imam Syafi’i, salah satu pendiri Madzhab Fikih, juga melakukan pengelompokan
ilmu dari sisi legal knowledgenya. Menurutnya, ilmu ada dua; pertama,‘ilm
‘ammah (ilmu yang diterima secara umum) dan kedua ‘ilm khasshah (ilmu yang
menjadi wilayah orang-orang tertentu). Ilmu ‘Ammah mempunyai nash yang tegas
dalam al-Qur’an dan Hadis Mutawatir di mana tidak terjadi perbedaan periwayatan
serta kewajibannya. Ilmu yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah kewajiban
shalat lima waktu, puasa Ramadlan, melaksanakan haji bagi yang mmapu, membayar
zakat, haramnya zina, membunuh, mencuri, minum khamr. Semua tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan muslim. Sedangkan yang selain itu, dikategorikan ke dalam ‘ilm
khasshah. Pembidangan ilmu versi Syafi’i ini mengantarkan kepada wilayah kesadaran
bersama bahwa untuk kelompok pertama tidak terdapat ruang perbedaan pendapat,
namun untuk kelompok kedua sangat terbuka ruang perbedaan pendapat yang seluas-
luasnya. A. Qadri Azizy menafsirkan pendapat Syafi’i bahwa yang tidak boleh terjadi
perbedaan pendapat dari kelompok pertama dalam pandangan Syafi’i hanyalah garis
besar dari beberapa hal, sedangkan uraian detailnya juga terbuka ruang yang lebar
untuk terjadinya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini bisa terjadi karena
perbedaan analisis atau kesimpulan penelitiannya.
Filosof muslim periode klasik, Al-Farabi (w.339 H) mengelompokkan ilmu menjadi
lima bagian, yaitu:
a. Ilmu bahasa yang mencakup sastra, nahwu, sharf dan lain-lain.
b. Ilmu logika yang mencakup pengertian, manfaat, silogisme dan sebagainya.
c. Ilmu propadetis (al-ta’lim) yang mencakup ilmu hitung, geometri, optika,
astronomi, astrologi, musik dan sebagainya.
d. Ilmu fisika dan metafisika.

15
e. Ilmu sosial, ilmu hukum dan ilmu kalam.
Ibnu Buthlan (w. 450 H), seorang ahli kedokteran yang mengelompokkan ulama
yang wafat sekitar pertengahan abad kesebelas Masehi ke dalam tiga kelompok
berdasarkan cabang ilmu yang mereka tekuni; 1) Ilmu-ilmu Keagamaan, 2) Ilmu-ilmu
Klasik, dan 3) Ilmu-ilmu Sastra. George Makdisi melukiskan keharmonisan ketiga
pembidangan ilmu di atas sebagai piramida terbalik, atau dengan segi tiga sama kaki
yang terbalik, di sebelah sudut kanan atas adalah ilmu-ilmu keagamaan, di sebelah
kirinya ilmu-ilmu awail seperti filsafat dan di bawahnya ilmu-ilmu sastra yang
menopang ilmu-ilmu di atasnya.
Ibnu Khaldun (w.808 H) dalam bukunya, membuat dua pembagian besar, yaitu ilmu
yang diperoleh melalui pemikiran (thabi’i) dan ilmu yang diperoleh melalui tradisi
(naqli). Pertama disebut ilmu filsafat atau akal dan mencakup logika, fisika, metafisika,
ilmu hitung, geometri, musik dan astronomi. Kedua disebut ilmu naqli yang mencakup
tafsir, hadis, hukum, ilmu kalam, tasawuf dan ilmu bahasa.
Al-Ghazali (w. 1111 M) yang dipuncak ketokohannya lebih intens dalam bidang
tasawuf, membagi ilmu kepada ilmu-ilmu syari’at dan non-syari’at. Cukup menarik,
ternyata tidak saja ilmu-ilmu seperti kedokteran dan ilmu hitung yang penguasaannya
dihukumi fardlu kifayah, bahkan ilmu-ilmu syari’at, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an,
tafsir,rijal al-Hadis, ushul Fiqih dan Fiqh, oleh Al-Ghazali juga dihukumi fardlu
kifayah. Sedangkan ilmu yang fardlu ‘ain hanya terbatas pada penguasaan ilmu
mengenai kewajiban-kewajiban dasar yang dalam penerapannya amat ditentukan oleh
waktu, situasi dan kondisi tertentu dari setiap individu.
Klasifikasi ilmu seperti di atas muncul secara wajar, dalam pandangan Ibnu
Khaldun, atas fenomena pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat
dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-
daerah yang dikuasai Islam. Sementara secara epistemologi Islam, klasifikasi seperti
itu tidak ada. Namun, perlu digaris bawahi bahwa pengklasifikasian ilmu tersebut tidak
berpengaruh negatif terhadap gairah intelektual di kalangan muslim klasik. Memang
secara kasuistik ada saja pertentangan, akan tetapi bukan sebagai pandangan umum
(public image), seperti dijelaskan oleh Nurcholis Madjid. Ia menyatakan, “sekeras-
kerasnya percekcokan intelektual di masa klasik, tidaklah hal itu membawa kepada
sikap parokialistik dan sikap anti ilmu...”
Pada abad 13 Masehi, pemisahan secara tegas terjadi, di mana madrasah tidak lagi
memasukkan ilmu-ilmu awail. Akibat tidak dimasukkannya ilmu-ilmu awail ke dalam
kurikulum madrasah, penyebaran ilmu-ilmu ini harus bergantung sepenuhnya pada
usaha-usaha belajar perorangan. Hal ini kemudian disinyalir sebagai pemicu sikap

16
antipati dan kecaman terhadap ilmu-ilmu awail terutama filsafat yang telah dicurigai
oleh para teolog di abad kesebelas Masehi.
Lambat laun, terbentuklah kesadaran baru yang sebenarnya amat merugikan umat
Islam, yakni apa yang disebut oleh Anees sebagai “dikotomi konseptual” yang
menurutnya dalam batas-batas tertentu sebagai akibat yang wajar dari ajaran sufi.
Munculnya istilah ilmu terpuji (mahmud) dan ilmu tercela (madzmum) berakibat pada
penekanan pengetahuan keagamaan dan dikorbankannya cabang-cabang pengetahuan
lainnya. Menurutnya, hal ini menimbulkan kontradiksi yang besar dan membekas ke
dalam kultur umat Islam belakangan yang tidak dapat dihilangkan.

D. Ilmuwan Muslim dan Penemuannya

Sains dan seni dalam Islam merupakan kesatu paduan antara nilai kewahyuan dan
kreatifitas kemanusiaan dalam mengembangkan potensi alam semesta. Proses
pengembangan dan wujud dari puncak kemampuan semua ini selalu disebut sebagai
peradaban. Kesemua fenomena di kalangan masyarakat Islam dalam mewujudkan hal
ini, adalah sebagai sesuatu yang khas yang menunjukkan bahwa Islam sendiri adalah
sebagai bagian dari sistem peradaban dunia. Karena dalam banyak hal, Islam memiliki
sejumlah doktrin yang selalu mengarahkan pada semua penganutnya untuk
mewujudkan kemampuan masing-masing semaksimal mungkin dalam aspek-aspek
kebudayaan. Seperti semua seni Islam murni, apakah itu bentuk-bentuk arsitektur
masjid, sya’ir-sya’ir alegoris sufi, dan sebagainya sampai pada bentuk-bentuk dan
model alat pengembangan sains, dan sebagainya, kesemuanya itu sebagai perwujudan
dari bentuk-bentuk pengabdian pada nilai-nilai ilahiyah. Dengan demikian semua
bentuk-bentuk sains dan seni dalam Islam secara keseluruhannya juga
memanifestasikan pada pemanfaatan fasilitas alam semesta, yang secara tidak langsung
juga memang berasal dari Allah SWT. Sehingga hampir tidak ada ruang untuk
menjelaskan bahwa, berbagai bentuk sains dan seni dalam Islam bersifat secular atau
terpisah dari pertanggung jawaban (para penciptanya) terhadap Allah Yang Maha
Pencipta dan Maha Ahli dalam semua hal “Wa Fauqo Kulli Dzi ‘Ilmin ‘Aliim” (QS.
Yusuf: 76).
Dalam sebuah tulisannya Oleg Grabor menjelaskan, bahwa sains, seni dan budaya
Islam jelas-jelas memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan seni dan
budaya masyarakat dunia lainnya yang lainnya, berikut sejumlah kekhasan dan
keunikannya. Seperti halnya juga Kristen, Budha, Eropa, China dan sebagainya. Hal ini
bisa dimengerti, karena semua bentuk-bentuk karya seni dan budaya bahkan sains dan

17
teknologinya tidak semata-mata lahir dari dunia yang kosong atau hampa, tapi ia
merupakan wujud dari hasil dialog antara idealitas dan sistem keyakinan si pencipta
(kreator) nya dengan realitas dan tuntutan sejarah yang mengililinginya. Sekalipun
demikian bukan berarti sains dan teknologi serta seni dan budaya Islam sama sekali
tanpa mengadopsi dari luar doktrin mereka, bahkan mungkin sebagian dalam hal-hal
yang bersifat teknis hampir sepenuhnya juga berangkat dari luar doktrin. Karena
doktrin-doktrin dalam Islam pada umumnya lebih bersifat dan bernuansa pada sesuatu
yang lebih universal, dorongan kemajuan, tidak berbicara pada hal-hal yang bersifat
teknis. Oleh karena itu para sarjana muslim sebagai kreatornya, telah mengambil dan
mengadopsi unsur-unsur dari luar dengan begitu antusias, untuk kemudian
menyesuaikannya dengan konsep-konsep ajaran Islam itu sendiri.

E. Kontribusi Ilmuwan Muslim di Bidang Sains

Konstribusi ilmuwan muslim dalam bidang sains, khususnya ilmu alam (natural
science; ilmu kauniyah) amatlah besar, sehingga usaha menutupinya, memperkecil
perannya, mengaburkan sejarahnya tidak sepenuhnya berhasil. CIPSI (Center for
Islamic Philosophical Studies an Information) sebuah lembaga penelitian yang
dipimpin Mulyadhi Karta negara telah menginvertaris setidaknya ditemukan tidak
kurang 756 ilmuwan Muslim termuka yang memiliki konstribusi dalam perkembangan
sains dan pemikiran filsafat. Daftar ini baru tahap awal, dan tidak termasuk di
dalamnya ribuan ulama dalam disiplin ilmu-ilmu syar’iyyah.
Saat ini, sangat banyak rujukan berupa buku, jurnal ilmiah atau situs internet, yang
bisa kita gunakan untuk mengetahui informasi ini. Bahkan ada beberapa lembaga yang
khusus didirikan untuk melakukan inventarisasi kontribusi ilmuwan muslim dalam
peradaban dunia. Namun sayangnya sejarah kegemilangan ilmuwan muslim ini
amatlah langka kita temui dalam buku-buku sains di lingkungan sekolah dan akademik.
Sejarah sains biasanya disebutkan dimulai sejak zaman Yunani Kuno kira-kira 550 SM
pada masa Phytagoras, kemudian meredup pada zaman Hellenistik sekitar 300 SM
yang dipenuhi mitos dan tahayul, kemudian bangkit kembali pada masa Renaissance
sekitar abad 14-17 M hingga saat ini. Dengan demikian sejarah sains “hilang” selama
lebih dari 1500 tahun lamanya dari buku-buku pelajaran dan buku teks sains.
Sementara itu ada diantara kaum Muslim sendiri memandang usaha untuk
mengungkap sejarah sains dan penemuan ilmuwan Muslim sebagai usaha yang bersifat
apologetik dan hanya nostalgia semata. Namun pandangan sinis seperti ini sangat tidak

18
benar, sebab menemukan akar sejarah adalah penting bagi peradaban manapun di dunia
ini, terlebih bagi peradaban yang ingin bangkit dari keterpurukan. Banyak pelajar,
mahasiswa atau bahkan guru dan dosen Muslim yang mungkin tak kenal sama sekali,
bahwa perkembangan teknologi kamera tak bisa dilepaskan dari jasa seorang ahli fisika
eksperimentalis pada abad ke-11, yaitu Ibn Al Haytham. Ia adalah seorang pakar optik
dan pencetus metode eksperimen. Bukunya tentang teori optik, al- Manadir (book of
optics), khususnya dalam teori pembiasan, diadopsi oleh Snellius dalam bentuk yang
lebih matematis. Tak tertutup kemungkinan, teori Newton juga dipengaruhi oleh Al
Haytham, sebab pada Abad Pertengahan Eropa, teori optiknya sudah sangat dikenal.
Karyanya banyak dikutip ilmuwan Eropa. Selama abad ke-16 sampai 17, Isaac Newton
dan Galileo Galilei, menggabungkan teori Al Haytham dengan temuan mereka. Juga
teori konvergensi cahaya tentang cahaya putih terdiri dari beragam warna cahaya yang
ditemukan oleh Newton, juga telah diungkap oleh Al Haytham abad ke- 11 dan
muridnya Kamal ad-Din abad ke-14. Al Haytham dikenal juga sebagai pembuat
perangkat yang disebut sebagai Camera Obscura atau “pinhole camera”. Kata
“kamera” sendiri, konon berasal dari kata “qamara“, yang bermaksud “yang diterangi”.
Kamera Al Haytham memang berbentuk bilik gelap yang diterangi berkas cahaya dari
lubang di salah satu sisinya. Dalam alat optik, ilmuwan Inggris, Roger Bacon (1292)
menyederhanakan bentuk hasil kerja Al Haytham, tentang kegunaan lensa kaca untuk
membantu penglihatan, dan pada waktu bersamaan kacamata dibuat dan digunakan di
Cina dan Eropa.
Dalam bidang Fisika-Astronomi, Ibnu Qatir, ilmuwan muslim yang mempelajari
gerak melingkar planet Merkurius mengelilingi matahari. Karya dan persamaan
Matematikanya sangat mempengaruhi Nicolaus Copernicus yang pernah mempelajari
karya-karyanya. Ibn Firnas dari Spanyol sudah membuat kacamata dan menjualnya
keseluruh Spanyol pada abad ke-9. Christoper Colombus ternyata menggunakan
kompas yang dibuat oleh para ilmuwan Muslim Spanyol sebagai penunjuk arah saat
menemukan benua Amerika. Ilmuwan lain, Taqiyyuddin (m. 966) seorang astronom
telah berhasil membuat jam mekanik di Istanbul Turki. Sementara Zainuddin
Abdurrahman ibn Muhammad ibn al-Muhallabi al-Miqati, adalah ahli astronomi
masjid (muwaqqit – penetap waktu) Mesir, dan penemu jam matahari. Ahmad bin
Majid pada tahun 9 H atau 15 Masehi, seorang ilmuwan yang membuat kompas
berdasarkan pada kitabnya berjudul Al-Fawaid. Ilmuwan Muslim lain, Abdurrahman
Al-Khazini, saintis kelahiran Bizantium atau Yunani adalah seorang penemu jam air
sebagai alat pengukur waktu. Para sejarawan sains telah menempatkan al-Khazini
dalam posisi yang sangat terhormat. Ia merupakan saintis Muslim serba bisa yang
menguasai astronomi, fisika, biologi, kimia, matematika dan filsafat. Sederet buah
pikir yang dicetuskannya tetap abadi sepanjang zaman. Al-Khazani juga seorang

19
ilmuwan yang telah mencetuskan beragam teori penting dalam sains. Ia hidup di masa
Dinasti Seljuk Turki. Melalui karyanya, Kitab Mizan al-Hikmah, yang ditulis pada
tahun 1121-1122 M, ia menjelaskan perbedaan antara gaya, massa, dan berat, serta
menunjukkan bahwa berat udara berkurang menurut ketinggian. Salah satu ilmuwan
Barat yang banyak terpengaruh adalah Gregory Choniades, astronom Yunani yang
meninggal pada abad ke-13.
Nama lain yang sangat terkenal adalah Abu Rayian al-Biruni dalam Tahdad
Hikayah Al-Makan. Ia adalah penemu persamaan sinus dan menyusun dan menyusun
sebuan ensiklopedi Astronomi Al-Qanan Al-Mas’adiy, di dalamnya ia
memperkenalkan istilah-istilah ilmu Astronomi (falak) seperti zenith, ufuk, nadir,
memperbaiki temuan Ptolemeus, dia juga mendiskusikan tentang hipotesis gerak bumi.
Ia menuliskan bahwa bumi itu bulat dan mencatat “daya tarik segala sesuatu menuju
pusat bumi”, dan mengatakan bahwa data astronomis dapat dijelaskan juga dengan
menganggap bahwa bumi berubah setiap hari pada porosnya dan setiap tahun sekitar
matahari.
Abdurrahman Al-Jazari, ahli mekanik (ahli mesin) yang hidup tahun 1.100 M,
membuat mesin penggilingan, jam air, pompa hidrolik dan mesin-mesin otomatis yang
menggunakan air sebagai penggeraknya, Al-Jazari sebenarnya telah mengenalkan ilmu
automatisasi. Al-Fazari, seorang astronom Muslim juga disebut sebagai yang pertama
kali menyusun astrolobe. Al- Fargani atau al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu
astronomi yang diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan
Johannes Hispalensis. Muhammad Targai Ulugh-Begh (1393-1449), seorang pangeran
Tartar yang merupakan cucu dari Timur Lenk, diberi kekuasaan sebagai raja muda di
Turkestan, berhasil mendirikan observatorium yang tidak ada tandingannya dari segi
kecanggihan dan ukurannya. Observatorium ini adalah yang terbaik dan paling akurat
pada masanya, sehingga menjadikan kota Samarkand sebagai pusat astronomi
terkemuka.
Ketika itu sudah terbit Katalog dan tabel-tabel bintang berjudul Zijd-I Djadid
Sultani yang memuat 992 posisi dan orbit bintang. Tabel ini masih dianggap akurat
sampai sekarang, terutama tabel gerakan tahunan dari 5 bintang terang yaitu Zuhal
(Saturnus), Mustary (Jupiter), Mirikh (Mars), Juhal (Venus), dan Attorid (Merkurius).
Kitab ini sudah mengkoreksi pendapat Ptolomeus atas magnitude bintang-bintang.
Banyak kesalahan perhitungan Ptolomeus. Hasil koreksi perhitungan terhadap waktu
bahwa satu tahun adalah 365 hari, 5 jam, 49 menit dan 15 detik, suatu nilai yang cukup
akurat. Ilmuwan lain lagi bernama Al-Battani atau Abu Abdullah atau Albategnius (m.
929). Ia mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolomeus, orbit matahari dan
planet tertentu. Ia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan, mendisain

20
catalog bintang, merancang jam matahari dan alat ukur mural quadrant. Karyanya De
scientia stellarum, dipakai sebagai rujukan oleh Kepler, Copernicus, Regiomantanus,
dan Peubach. Copernicus mengungkapkan hutang budinya terhadap al-Battani.
Dalam bidang pengobatan dan kedokteran, peradaban Islam mencatatkan sejarah
yang gemilang, hal ini disebabkan karena pengobatan sangat erat kaitannya dengan
agama (Nasr 1976) . Berbagai bidang dalam ilmu pengobatan dan kedokteran
dipelajari, seperti ilmu obat-obatan, ilmu bedah, ophtamology, internal medicine,
hygiene dan kesehatan masyarakat, anatomi dan fisiology, bahkan dalam Islam
terdapat disiplin ilmu yang khas yang disebut dengan “Tib an-Nabawy” atau
“pengobatan cara Nabi”. Sebagai contoh, misalnya karya monumental Ibn Sina al-
Qanun fi at-Tib yang merupakan buku teks bagi bagi pendidikan kedokteran di Eropa
selama beratus-ratus tahun sebelum mereka mengalami kebangkitan sains. Dalam
bidang ilmu bedah ada tokoh ilmu bedah Abu‟l Qasim al-Zahrawi dengan karya ilmu
bedahnya Kitab al-ta’rif (The book of concession), ia juga menciptakan berbagai alat
bedah yang masih digunakan para dokter bedah hingga saat ini. Dua ahli kedokteran
ar-Razi (865-925) atau Rhazes dan Ibn Sina (980-1037) adalah pelopor dalam bidang
penyakit menular. Ar-Razi telah mempelopori penemuan ciri penyakit menular dan
memberikan penanganan klinis pertama terhadap penyakit cacar, dan Ibn Sina adalah
salah satu pelopor yang menemukan penyebaran penyakit melalui air. Bagaimanapun
juga, tidak mungkin mengungkap seluruh kontribusi ilmuwan Muslim dalam ruang
yang begitu terbatas dalam makalah ini, namun sekurangnya gambaran yang diberikan
di atas, dan referensi yang bisa ditelusuri lebih lanjut bisa menambah pengetahuan kita
tentang sejarah sains di dunia Islam.
Prestasi dan kontribusi para ilmuwan Muslim ini perlu dikenalkan di sekolah-
sekolah. Bukan untuk mengecilkan peran ilmuwan lain dari agama dan keyakinan lain.
Tapi untuk mengungkap kebenaran sejarah sains, bahwa perkembangan sejarah sains
tidak meloncat begitu saja dari zaman Yunani ke Barat modern. Ada peran luar biasa
dari peradaban Islam di situ yang tidak mungkin dan terlalu besar untuk diabaikan.
Tanpa kehadiran para ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang telah mewariskan
peradaban yang sangat agung, kemajuan peradaban Barat saat ini tidak mungkin
terjadi. Sebab, merekalah sesungguhnya yang menjadi penghubung peradaban Yunani
dan Romawi dengan peradaban Eropa saat ini. Secara jujur, hal ini diakui oleh salah
seorang cendekiawan Barat sendiri, yakni Emmanuel Deutscheu asal Jerman, Ia
mengatakan, “Semua ini (yakni kemajuan peradaban Islam) telah memberikan
kesempatan baik bagi kami untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu
pengetahuan modern.

21
Karena itu, sewajarnyalah kami senantiasa mencucurkan airmata tatkala kami
teringat akan saat-saat jatuhnya Granada.”(Granada adalah benteng terakhir
Kekhilafahan Islam di Andalusia yang jatuh ke tangan orang-orang Eropa). Hal senada
diungkapkan oleh Montgomery Watt, ketika ia menyatakan, “Cukup beralasan jika kita
menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka
sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah
apa-apa.”
Bahkan yang menarik sekaligus mengejutkan, sumbangsih peradaban Islam
terhadap dunia, termasuk dunia Barat, juga diakui oleh Presiden Amerika Serikat saat
ini, Barack Obama. Hal itu terungkap saat dia berpidato tanggal 5 Juli 2009. Beliau
menyatakan: Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah - di tempat-tempat
seperti Universitas Al-Azhar - yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta
membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa.
Ilmuwan Muslim telah banyak berjasa dalam pengembangan SAINS, khususnya
ilmu kimia. Setelah menerjemahkan dan mempelajari tulisan-tulisan tentang alkimia,
baik dari Yunani maupun dari Mesir, ahli kimia Muslim menyadari bahwa alkimia
yang dilakukan oleh orang-orang Yunani dan Mesir pada zaman purba itu bersifat
spekulatif bercampur mistik. Oleh karena itu para ahli kimia Muslim menentangnya
dan mereka melakukan eksperimen yang kemudian menghasilkan zat-zat kimia baru
yang dikenal antara lain sebagai: asam, basa, alkohol, dan garam.
Istilah alkali untuk basa berasal dari kata Arab “al-kali” yang berarti abu tumbuhan,
dan natrium hidroksida adalah basa penting yang telah dibuat oleh ilmuwan Muslim.
Eksperimen yang mereka lakukan meliputi antara lain  destilasi, sublimasi, kristalisasi,
oksidasi, dan presipitasi. Mereka juga telah membuat beberapa senyawa dalam jumlah
besar, baik untuk keperluan ilmiah maupun pengobatan. Senyawa mineral yang telah
disintesis antara lain besi sulfat, merkuri sulfida, merkuri oksida, tembaga sulfat,
tembaga sulfida, natrium bikarbonat, dan kalium sulfide.
Para ahli kimia Muslim juga telah mengenal cara memperoleh tembaga murni, yaitu
dengan jalan mengalirkan larutan tembaga sulfat pada potongan-potongan besi. Ini
adalah suatu penemuan dalam bidang elektrokimia. Demikian pula penemuan tentang
berkaratnya logam biasa bila kena udara yang lembab adalah suatu penemuan yang
penting pada masa itu. Selain dalam ilmu kimia, mereka juga memberikan sumbangan
dalam bidang teknologi kimia. Mereka menyempurnakan pembuatan gelas dan
memberikan warna-warna dengan menggunakan oksida-oksida logam.

22
Pembuatan baja untuk pedang yang dikenal di seluruh dunia dilakukan oleh para
pekerja Muslim di kota Damaskus dan di Spanyol. Demikian pula mereka
menyempurnakan teknologi pembuatan kertas pada abad ke-9 M.
Kertas pada awalnya dibuat oleh orang-orang Cina dengan menggunakan bahan
sutera dengan proses yang rumit. Ilmuwan Muslim membuat kertas dari kapas karena
kayu sangat jarang terdapat di wilayah Timur Tengah. Mereka telah mampu mengolah
kapas dengan bahan-bahan kimia melalui proses kimia dalam jumlah besar, sehingga
dalam abad pertengahan telah dapat dibuat jutaan buku. Penemuan pembuatan kertas
dengan cara ini telah membuka cakrawala baru dalam peradaban manusia. Teknologi
pembuatan kertas ini kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para ilmuwan di
Eropa.
Meskipun penemuan salpeter atau kalium nitrat dilakukan oleh orang Cina, namun
baru pada akhir pemerintahan Dinasti Thang, kira-kira tahun 906, mereka
mengembangkannya hingga menjadi bahan peledak untuk keperluan senjata. Pada
tahun 870, orang Arab telah melakukan penambangan salpeter. Para ahli kimia Muslim
kemudian membuat bahan peledak dari saltpeter dengan menambahkan belerang,
karbon, dan bahan kimia lainnya. Pada abad ke-10 M, mereka menemukan nitrogliserin
yang juga merupakan bahan peledak. Hasil penemuan mereka ini diperkenalkan
kepada dunia Barat dan pada abad ke-13 M, Roger Bacon, seorang ahli kimia Eropa,
berhasil membuat dan mengembangkan pembuatan bahan peledak ini.
Penggunaan proses destilasi oleh para ahli kimia Muslim untuk memurnikan suatu
zat merupakan revolusi dalam ilmu kimia. Mereka telah mampu memurnikan dan
memperoleh berbagai macam zat kimia dalam keadaan murni. Dengan proses destilasi
terhadap hasil fermentasi gula dan pati, mereka telah dapat membuat dan memurnikan
alcohol yang dalam Bahasa Arab disebut al-quhul. Zat kimia yang diperoleh antara lain
asam cuka, minyak lemon, minyak mawar, asam sulfat, dan aldehid.
Dengan demikian, dalam periode Islamlah para ilmuwan Muslim telah mempelopori
perkembangan ilmu kimia dan teknologi kimia. Di antara mereka yang berjasa ialah
Jabir Ibnu Hayyan, Al-Kindi, dan Ar-Razi.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu Pengetahuan merupakan aspek terpenting dalam perkembangan peradaban.
Dalam Islam, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian serius sebagaimana terkandung
dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Pemaknaan dan pemahaman terhadap
kedua sumber itu yang menyebabkan perbedaan generasi umat Islam dari awal hingga
sekarang. Interptreasi itu pulalah yang menyebabkan gairah inteletual dalam lembaran
sejarah peradaban Islam mengalami fluktuasi.
Secara garis besar, perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam dibagi
menjadi tiga fase: 1) Periode Klasik (650-1250 M), di mana ilmu pengetahuan mengalami
kemajuan yang sangat pesat, muncul karya-karya besar dan temuan-temuan sains yang
belum pernah ada sebelumnya. 2) Periode Pertengahan (1250-1800 M), gairah intelektual
umat Islam terkikis dan sangat merosot. Tidak ada lagi buah karya atau penemuan sains
yang dihasilkan oleh ilmuwan muslim. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat
menurun. 3) Periode Modern (1800 M – Sekarang), umat Islam mulai menyadari
keterpurukan dan ketertinggalannya utamanya dalam bidang sains dan teknologi. Spirit ini
melahirkan beberapa model gerakan pembaharuan dalam interpretasi dan implementasi
terhadap ajaran Islam. Secara umum, ada empat model gerakan pembaharuan yang muncul;
Wahabiyah, Modernisme, Westernisme dan Sekularisme.
B. Saran

24
  Keterbatasan informasi dan ketelitian penulis dalam menyusun makalah ini, menjadi
sebab adanya keurangan-kekurangan yang tidak dapat kami hindari. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penambahan wawasan bagi para penulis
khususnya.

Demekian makalah yang saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila
ada saran dan kritik yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada saya sendiri.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan memakluminya, karena saya
adalah hamba Allah SWT yang tak luput dari salah khilaf, alfa dan lupa.

DAFTAR PUSTAKA

Unknow, 2017. Maklah Ilmuan Muslim


https://yahanu87.blogspot.com/2017/03/makalah-ilmuan-muslim.html?m=1

25

Anda mungkin juga menyukai