Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“GENDER DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL”

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Praktik Pekerja Sosial dalam
Masyarakat Multikultural

Dosen Pengampu:
Dr. Nur Dyah Gianawati, M.A
NIP. 195806091985032003

Oleh:
1. Fitria Wulan Sari NIM. 160910301004
2. Dini Oktavia NIM. 160910301020
3. Tista Arumsari NIM. 160910301037
4. Lailiyatul Hasanah NIM. 170910301031
5. Alfiyatul Hidayah NIM. 170910301041

JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS JEMBER

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah berjudul “Gender dalam Masyarakat Multikultural”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Praktik Pekerja
Sosial dalam Masyarakat Multikultural. Adapun makalah ini telah kami usahakan
semaksimal mungkin. Namun, tidak lepas dari itu semua, kami menyadari
sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penulisan, bahasanya maupun
dari segi yang lain. Oleh karena itu, dengan penuh kesadaran kami memohon
maaf sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nur Dyah
Gianawati, M.A yang telah memberi penulis kesempatan untuk menyusun
makalah mengenai gender, kaitannya dengan masyarakat multikultural, sehingga
kami mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam tentang hal tersebut. Selain itu,
tanpa bimbingan dan arahan beliau kepada kami, tidak mungkin kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik. Terima kasih pula kami sampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam menyelesaikan tugas
mata kuliah Teori Praktik Pekerja Sosial dalam Masyarakat Multikultural ini.
Semoga apa yang kita kerjakan bukan merupakan sesuatu yang sia-sia belaka.
Akhirnya, kami mengharapkan semoga apa yang telah kami kerjakan dapat
bermanfaat baik bagi kami sendiri, maupun bagi pembaca sekalian.

Jember, 5 November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................4
BAB II. PEMBAHASAN..................................................................................................5
2.1 Konsep Seks dan Gender....................................................................................5
2.2 Perbedaan Peran Gender.....................................................................................7
2.3 Ketidakadilan Gender (Gender Inequalities)....................................................12
2.4 Lahirnya Gerakan Feminisme sebagai Upaya Mencapai Kesetaraan Gender
14
2.5 Dampak Perbedaan Peran Gender dalam Masyarakat Multikultural.................17
2.6 Studi Kasus Perbedaan Peran Gender di Suku Bugis........................................19

2.7 Tantangan Bagi Pekerja Sosial dengan Adanya Konsep Gender dalam
Masyarakat Multikultural....................................................................................20
BAB III PENUTUP.........................................................................................................22
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................22
3.2 Saran 23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perempuan diciptakan memang berbeda dengan laki-laki, secara biologis.
Hanya itu, lain tidak. Namun, realitas yang ada seringkali menunjukkan hal yang
berbeda. Nyatanya, dalam berbagai hal perempuan kerap kali ditempatkan setelah
laki-laki, mendapatkan perlakuan diskriminatif, dan termajinalisasi. Ia menempati
kedudukan nomor dua setelah laki-laki dalam segala bidang kehidupan. Dalam
bidang politik, ekonomi dan ranah pekerjaan, sosial, pendidikan, bahkan
kesehatan dan keagamaan.
Salah satu contohnya, dalam bidang politik, perempuan dibatasi
keikutsertaannya dalam berkontestasi dalam dunia politik. Kata ‗dibatasi‘ dalam
hal ini tidak hanya berarti secara kuantitatif porsi yang diberikan tergolong sedikit
dibandingkan porsi yang diberikan untuk laki-laki dalam dunia pengambilan
kebijakan publik dan pemerintahan. Namun lebih dari itu, bahwa apabila
partisipasi yang diberikan kaum perempuan untuk terjun dalam dunia politik
ternyata terbukti rendah, maka penulis dapat mengatakan hipotesis terkait hal
tersebut. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena perempuan dibesarkan
dengan konstruksi budaya, tradisi, dan sistem sosial yang mengerdilkannya
sehingga banyak di antara perempuan-perempuan yang memiliki pola pikir yang
kurang baik. Seperti, pada akhirnya perempuan akan tinggal di dapur sehingga
pendidikan setinggi apapun tidak akan berarti.
Tradisi, konstruksi dan sistem sosial di mana perempuan tinggal juga
mempengaruhi bagaimana perkembangan pembagian peran antara perempuan dan
laki-laki, baik di ruang privat maupun di ruang publik. Di mana-mana di dunia ini,
perempuan selalu ditempatkan pada posisi yang tidak setara. Baik di Jawa, salah
satu suku bangsa terbesar di Indonesia, maupun di Arab, salah satu negeri yang
menerapkan hukum islam. Di Arab, sebuah kisah nyata tentang seorang
perempuan telah menguak banyak fakta tentang bagaimana perempuan dipandang

1
oleh rakyat di negeri yang menerapkan hukum-hukum islam. Adalah Firdaus,
yang ditemui oleh Nawaal El-Sadaawi1 di suatu penjara di Arab Saudi. Ia adalah
tahanan yang menunggu eksekusi hukuman gantung yang sebelum waktu
eksekusinya sempat mengisahkan cerita hidupnya kepada Nawaal El-Saadawi2.
Sepanjang hidupnya, semenjak lahir sampai akhirnya berakhir di tiang gantungan,
Firdaus mengalami banyak ketidakadilan gender. Mulai konstruksi sosial budaya,
tradisi, dan sistem sosial yang kurang berpihak pada perempuan hingga kekerasan
secara fisik dan kekerasan seksual telah dialaminya berulang kali. Konstruksi
sosial yang eksis pada masyarakat Arab tercermin dari narasi berikut:

Ketika paman naik ke atas kereta api dan mengucapkan selamat tinggal, saya menangis
dan merengek supaya dia membawa saya bersamanya ke Kairo. Tetapi Paman bertanya,
―Apa yang akan kau perbuat di Kairo, Firdaus?‖ Lalu saya menjawab, ―Saya ingin ke El
Azhar dan belajar seperti Paman.‖ Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa El
Azhar hanya untuk kaum pria saja. 3

Jika salah satu anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu
akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti yang ia lakukan
setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu,
kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur. Ayah tak pernah pergi tidur
tanpa makan malam terlebih dulu, apapun yang terjadi. Kadang-kadang apabila tak ada
makanan di rumah, kami semua akan pergi tidur dengan perut kosong. Tetapi dia
(Ayah) selalu memperoleh makanan. Ibu akan menyembunyikan makanannya dari kami
di dasar sebuah lubang tungku. Ia makan sendirian sedangkan kami mengamatinya saja.
Pada suatu malam, saya memberanikan diri untuk mengulurkan tangan ke arah
piringnya, tetapi ia memberi sebuah pukulan yang keras pada punggung dan jari-jari
saya.4

Di Indonesia, masyarakatnya masih melanggengkan budaya patriarki, salah


satunya adalah masyarakat Suku Jawa. Indrawati mengemukakan bahwa
masyarakat Jawa adalah masyarakat yang memiliki pembatasan-pembatasan
tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki
yang lebih dominan dibanding perempuan5. Hal ini dibuktikan dengan idiom

1
Seorang dokter Mesir yang terkenal sebagai novelis dan penulis sekaligus pejuang hak-hak
wanita
2
Kisah ini dapat dibaca di novel Perempuan di Titik Nol atau Women at Point Zero atau Firdaus
3
Nawal El-Sadaawi, Perempuan di Titik Nol - Terjemah Indonesia oleh Amir Sutaarga, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 22
4
Ibid.
5
Indrawati, Pergeseran Konsep Gender Pada Rumah Tradisional Jawa Joglo, (Thesis S2 Desain
Interior Bandung: FSRD ITB, 2002)
masak, macak, manak atau konco wingking yang menunjukkan bahwa perempuan
seakan hanya bisa memberi kontribusi di belakang layar. Perempuan tidak berhak
memiliki mimpi dan tujuannya sendiri. Ia diciptakan untuk menjadi kaum kelas
dua yang harus mendukung laki-laki, tidak boleh memiliki eksistensi pribadi.
Seperti halnya Arab, Indonesia juga merupakan bangsa dengan beragam
budaya, adat-istiadat, suku dan agama. Sehingga disebut juga sebagai bangsa
dengan masyarakat yang multikultural. Arab dengan berbagai agama dan
kepercayaan yang dianut masyarakatnya, tidak hanya islam, tetapi juga agama
Kristen (baik Ortodoks Yunani maupun Katolik Yunani), Judaisme, Druze,
Baha‘i, bahkan juga ateisme dan agnotisisme. Masyarakat yang memeluk agama
islam di Arab pun masih beragam alirannya, seperti Arab Sunni, Arab Syiah, dan
Arab Ibadi.6 Keadaan sosial budaya tersebut memiliki dimensi yang sama dengan
Indonesia. Masyarakatnya memiliki berbagai macam agama—yang dalam satu
agama masih ada berbagai aliran yang berbeda—Suku, adat istiadat dan budaya.
Arab dan Indonesia juga menghadapi tantangan dalam mewujudkan
kesetaraan gender, sebab masyarakatnya juga menganut budaya patriarki.
Perbedaan peran gender pada laki-laki dan perempuan menimbulkan adanya
ketidakadilan gender. Anak perempuan di Arab diperlakukan berbeda dengan
anak laki-laki oleh orang tuanya, perempuan juga tidak lazim mengenyam
pendidikan tinggi. Sama halnya dengan di Indonesia.
Problematika ketidakadilan gender menjadi variatif dalam masyarakat yang
memiliki beragam suku, adat-istiadat, budaya dan agamanya. Misalnya, dalam
masyarakat Jawa perempuan sejak kecil diinternalisasi perannya dalam ruang
domestik, seperti harus bisa memasak, selalu patuh pada suami (tidak memiliki
daya tawar untuk bernegosiasi), dan sebagainya. Hal ini mungkin berbeda pada
masyarakat Betawi, Papua, Manado, Batak dan lainnya. Sehingga, persoalan
perbedaan gender dan ketidakadilan yang mengikutinya pun menjadi beragam
kasusnya sesuai dengan kearifan lokal yang ada. Oleh karenanya, pada satu

6
Sumanto Al Qurthubi, 2017, Sejumlah Kesalahpahaman Tentang Bangsa Arab,
https://www.dw.com/id/sejumlah-kesalahpahaman-tentang-bangsa-arab/a-40966480 (Diakses
pada 6 November 2019)
daerah, suku, agama dan budaya tertentu, persoalan gender yang dihadapi perlu
dilihat dan dianalisa sebagai sesuatu yang unik. Hal inilah yang mendasari penulis
dalam menyusun makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang penulis angkat dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan gender dan apa perbedaannya dengan seks?
b. Mengapa perbedaan peran gender dapat menimbulkan ketidakadilan
gender?
c. Bagaimana konsep gender dalam masyarakat multikultural?
d. Adakah studi kasus perbedaan peran gender dalam budaya tertentu di
Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis susun di atas, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui secara definitif apa yang dimaksud dengan gender dan
mendeskripsikan perbedaannya dengan seks;
b. Untuk menjelaskan bahwa perbedaan peran gender dapat menimbulkan
ketidakadilan gender;
c. Untuk menjelaskan konsep gender dalam masyarakat multikultural;
d. Untuk mengetahui studi kasus perbedaan peran gender dalam budaya
tertentu di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASA
N

2.1 Konsep Seks dan Gender


Dalam memahami persoalan perempuan, membedakan antara konsep jenis
kelamin (sex) dan konsep gender adalah hal pertama yang harus dilakukan
(Susanto, 2005:48). Perbedaan antara konsep sex dengan gender ini sangat
diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan
ketidakadilan serta dikriminasi sosial yang menimpa perempuan. Hal ini
dikarenakan adanya keterkaitan yang erat antara perbedaan gender (gender
differences) dan ketidak adilan gender (gender inequalities) serta kaitannya
terhadap ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara
lebih luas.
Pada dasarnya perbedaan laki-laki dan perempuan dibedakan menjadi dua
konsep, yaitu jenis kelamin (sex) dan gender. Perbedaan jenis kelamin (sex)
merupakan perbedaan yang mengacu pada perbedaan fisik atau perbedaan fungsi
reproduksi. Misalnya, manusia berjenis kelamin laki-laki dicirikan dengan adanya
jakala/jakun, penis, dan memproduksi sperma. Sedangkan, manusia berjenis
kelamin perempuan dicirikan dengan kepemilikan atas rahim, vagina, organ untuk
menyusui, dan sebagainya. Artinya, jenis kelamin berhubungan dengan segala
sesuatu yang bersifat given (pemberian), dan secara biologis tidak bisa
dipertukarkan antara satu dengan yang lain.
Hubeis (2010:71) memaparkan bahwa memang ada perbedaan mendasar
antara perempuan dan laki-laki dalam ciri biologis yang primer dan juga sekunder.
Ciri biologis primer itu tidak dapat dipertukarkan atau diubah (sulit) dan
merupakan pemberian atau ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, kecuali dengan cara
operasi seperti kasus artis Dorce Gamalama yang mengubah organ tubuhnya
melalui operasi dari laki-laki menjadi perempuan, tapi tetap tidak memiliki
kemampuan untuk hamil dikarenakan diluar kemampuan medis (ciptaan Tuhan).
Begitupun untuk kasus Thomas Beatie yang berganti kelamin dari perempuan
menjadi laki-laki, tapi tetap mampu mengandung seorang bayi sebab
bagaimanapun ia tidak bisa menghilangkan kodratnya sebagai seorang
perempuan, yakni menstruasi, hamil, dan melahirkan.
Adapun ciri biologis sekunder ialah tidak mutlak menjadi milik dari laki-laki
atau perempuan saja. Misalnya, suara halus dan lembut tidak selalu milik
perempuan dikarenakan terdapat juga laki-laki yang suaranya halus dan lembut.
Begitupun sebaliknya dengan rambut panjang, juga tidak selalu identik dengan
perempuan karena laki-laki pun juga ada yang berambut panjang (tidak hanya
masa sekarang, dahulu pun tepatnya pada zaman raja-raja masa lalu di Inggris,
misalnya, dimana laki-laki bangsawan juga berambut panjang selain perempuan).
Lantas, apa yang disebut sebagai gender? Gender merupakan interpretasi
kultural atas perbedaan jenis kelamin, akan tetapi tidak selalu berhubungan
dengan perbedaan fisiologis seperti yang selama ini banyak dijumpai dikalangan
masyarakat. Misalnya, perempuan dikenal denga sifat-sifat lemah lembut,
pengertian, teliti, emosional, dan keibuan. Sebaliknya, laki-laki dilekatkan dengan
sifat kuat, perkasa, rasional, dan lain-lain. Berbeda dengan sex, gender dapat
dipertukarkan satu dengan yang lain. Artinya, ada perempuan yang rasional, kuat
dan perkasa, sebaliknya, ada pula laki-laki yang emosional, lemah lembut dan
bersifat keibuan.
Fakih (2013: 9) menjelaskan bahwa perubahan ciri dari sifat gender dapat
terjadi dari waktu ke waktu, dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Misalnya,
pada zaman dahulu di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat daripada laki-laki.
Tetapi pada zaman yang lain dan lokasi yang berbeda, laki-laki menjadi pihak
yang dianggap lebih kuat. Perubahan ini juga berlaku pada kelas sosial dalam
masyarakat. Misalnya, di tempat tertentu, perempuan kelas bawah di pedesaan
dianggap lebih kuat daripada kaum laki-laki. Maka, semua hal yang dapat
dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang dapat berubah dari satu
waktu dan tempat yang lain, serta antar-kelas sosial satu ke kelas sosial lain, inilah
yang disebut dengan konsep gender.
Gender yang berlaku di dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan
masyarakat tentang hubungan antara laki-laki dan kelaki-lakian dan antara
perempuan dan keperempuanan. Yang pada umumnya, jenis kelamin laki-laki
berhubungan dengan sifat gender maskulin, sedangkan jenis kelamin perempuan
berkaitan dengan sifat gender feminim. Akan tetapi, hubungan tersebut bukan
merupakan korelasi absolut. Selain itu, terdapat dua elemen mengenai gender
yang bersifat universal, yaitu gender tidak identik dengan jenis kelamin serta
gender merupakan dasar dari sistem pembagian kerja di semua masyarakat.
Gender dapat beroperasi dengan jangka waktu yang cukup lama, karena
didukung oleh adanya system kepercayaan gender (gender belief system), dimana
kepercayaan ini mengacu pada serangkaian kepercayaan pendapat akan laki-laki
dan perempuan dan juga tentang kualitas maskulinitas dan feminitas. Sistem ini
mencakup penilaian pada laki-laki dan perempuan itu sendiri. Sikap terhadap
peran dan juga tingkah laku yang cocok bagi laki-laki dan perempuan, serta sikap
terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan. Atau arti lain dengan
sistem kepercayaan gender mencakup elemen dekriptif dan preskriptif, yaitu
tentang bagaimana sebenarnya dan seharusnya laki-laki dan perempuan itu.
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai
pandangan yang jelas tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan itu.
Penelitian Williams dan Best (seperti dikutip oleh Deaux & Kite dalam
Susilastuti, 1993: 31) yang mencakup 30 negara menampilkan semacam
konsensus tentang atribut laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa sekalipun gender itu tidak universal, akan tetapi ―generalitas
pankultural‖ itu ada. Pada umumnya laki-laki dipandang sebagai lebih kuat dan
lebih aktif, serta ditandai oleh kebutuhan besar akan pencapaian, dominasi,
otonomi dan agresi. Sebaliknya perempuan dipandang sebagai lebih lemah dan
kurang aktif, lebih menaruh perhatian pada afiliasi, keinginan untuk mengasuh
dan mengalah.

2.2 Perbedaan Peran Gender


Perbedaan peran gender (gender differences) antara manusia laki-laki dan
perempuan terjadi melalui proses yang amat panjang. Terbentuknya perbedaan-
perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya, dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui
ajaran agama maupun negara (Fakih, 2013: 9). Melalui sosialisasi yang panjang
tersebut, akhirnya gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan—seolah-olah
bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan
gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan.
Akibat sosialisasi gender, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang
tersosialisasikan secara evolusioner, perlahan-lahan mempengaruhi masing-
masing jenis kelamin. Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki
harus bersifat agresif dan kuat. Sehingga, kaum laki-laki kemudian terlatih,
tersosialisasi dan termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang
ditentukan oleh suatu masyarakat, yaitu secara fisik lebih kuat dan lebih besar.
Sebaliknya, konstruksi sosial bagi kaum perempuan adalah harus bersifat
lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh
kepada perkembangan emosi, visi dan ideologi kaum perempuan, tetapi juga
mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Karena proses
sosialisasi dan rekonstruksi yang berlangsung lama secara mapan, akhirnya
menjadi sulit dibedakan apakah sifat gender ini, seperti kaum perempuan yang
lemah lembut dan kaum laki-laki kuat perkasa, dikonstruksi atau dibentuk oleh
masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan. Tetapi, kita dapat
kembali kepada ukuran bahwa setiap sifat yang melekat pada masing-masing jenis
kelamin sepanjang dapat dipertukarkan satu sama lain, maka sifat tersebut adalah
hasil konstruksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat yang ditetapkan Tuhan.
Dewasa ini, kita mengalami kebingungan dalam memisahkan antara gender
dan seks. Sebab, terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang
disebut sebagai seks dan gender. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang
kurang tepat dan tidak pada tempatnya di masyarakat, dimana apa yang
sesungguhnya disebut sebagai gender (hasil konstruksi masyarakat) justru
dianggap sebagai kodrat (ketentuan biologis dari Tuhan). Misalnya, yang
seringkali disebut sebagai kodrat perempuan adalah gender atau hasil konstruksi,
diantaranya, mendidik anak, mengelola, dan merawat kebersihan dan keindahan
rumah dianggap sebagai kodrat perempuan. Padahal, hal tersebut merupakan
peran gender yang diberikan kepada perempuan dan dikonstruksi secara kultural
dalam masyarakat.
Adapun perbedaan gender yang melahirkan peran yang berbeda antara laki-
laki dan perempuan akan diuraikan dalam tabel berikut.
Jenis Kelamin (Sex) Gender
No.
(bersifat kodrati) (Tidak bersifat kodrati)
Peran reproduksi kesehatan berlaku Peran sosial bergantung
1.
sepanjang masa. pada waktu dan keadaan.
Peran reproduksi kesehatan ditentukan oleh Peran sosial bukan kodrat
2.
Tuhan atau kodrat Tuhan tapi buatan manusia.
Menyangkut perbedaan
peran, fungsi, dan
tanggungjawab laki-laki
dan perempuan sebagai
Menyangkut perbedaan organ biologis hasil kesepakatan atau hasil
lakilaki dan perempuan khususnya pada bentukan dari masyarakat.
bagian alat-alat reproduksi. Sebagai Sebagai konsekuensi dari
konsekuensi dari fungsi alat-alat hasil kesepakatan
3. reproduksi, maka perempuan mempunyai masyarakat, maka
fungsi reproduksi seperti menstruasi, hamil, pembagian peran laki-laki
melahirkan dan menyusui; sedangkan adalah mencari nafkah dan
lakilaki mempunyai fungsi membuahi bekerja di sektor publik,
(spermatozoid). sedangkan peran
perempuan di sektor
domestik dan bertanggung
jawab masalah
rumahtangga.
Peran reproduksi tidak dapat berubah; Peran sosial dapat berubah:
4. sekali menjadi perempuan dan mempunyai Peran istri sebagai ibu
rahim, maka selamanya akan menjadi rumahtangga dapat
perempuan; sebaliknya sekali menjadi laki- berubah menjadi pekerja/
laki, mempunyai penis, maka selamanya pencari nafkah, disamping
menjadi laki-laki. masih menjadi istri juga.
Peran sosial dapat
dipertukarkan Untuk saat-
saat tertentu, bisa saja
suami dalam keadaan
menganggur tidak
mempunyai pekerjaan
Peran reproduksi tidak dapat dipertukarkan:
sehingga tinggal di rumah
5. tidak mungkin peran laki-laki melahirkan
mengurus rumahtangga,
dan perempuan membuahi.
sementara istri bertukar
peran untuk bekerja
mencari nafkah bahkan
sampai ke luar negeri
menjadi Tenaga Kerja
Wanita (TKW).
Bekerja di dalam rumah
dan dibayar (pekerjaan
publik/produktif di dalam
rumah) seperti jualan
masakan, pelayanan
kesehatan, membuka salon
6. Membuahi
kecantikan, menjahit/
tailor, mencuci
pakaian/loundry, mengasuh
dan mendidik anak orang
lain (babbysitter/ pre-
school).
7. Menstruasi Bekerja di luar rumah dan
dibayar (pekerjaan publik
di luar rumah).
Bekerja di dalam rumah
dan tidak dibayar
(pekerjaan domestik
rumahtangga) seperti
8. Mengandung/hamil memasak, menyapu
halanam, membersihkan
rumah, mencuci pakaian
keluarga, menjahit pakaian
keluarga.
Bekerja di luar rumah dan
tidak dibayar (kegiatan
9. Melahirkan anak bagi perempuan sosial kemasyarakatan)
bagi laki-laki dan
perempuan.
Mengasuh anak kandung,
memandikan, mendidik,
membacakan buku cerita,
Menyusui anak/ bayi bagi perempuan menemani tidur. Menyusui
anak bayi dengan
menggunakan botol bagi
laki-laki atau perempuan.
Mengangkat beban,
memindahkan barang,
membetulkan perabot
10. Sakit prostat untuk laki-laki dapur, memperbaiki listrik
dan lampu, memanjat
pohon/ pagar bagi laki-laki
atau perempuan
Menempuh pendidikan
tinggi, menjadi pejabat
publik, menjadi dokter,
menjadi tentara militer,
menjadi koki, menjadi guru
11. Sakit kanker Rahim bagi perempuan TK/SD, memilih program
studi SMK-Tehnik
Industri, memilih program
studi memasak dan merias
bagi laki-laki atau
perempuan.

2.3 Ketidakadilan Gender (Gender Inequalities)


Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang jadi
persoalan adalah ternyata adanya perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan berbasis gender pula, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum
perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur yang
menyebabkan baik kaum laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem
tersebut (Fakih, 2013:12).
Keadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan,
yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan
tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau pelabelan
negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan banyak (burden),
serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 2013: 13). Manifestasi
ketidakadilan gender tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena saling
berkaitan dan berhubungan, serta saling mempengaruhi secara dialektis. Misalnya,
marginalisasi ekonomi kaum perempuan terjadi karena stereotipe tertentu atas
kaum perempuan yang akhirnya berujung pada subordinasi, kekerasan pada
perempuan, yang kemudian tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi dan visi
kaum perempuan sendiri. Manifestasi dan sifat dari ketidakadilan gender akan
diuraikan seperti berikut ini.
Ketidakadilan gender ini bersifat:
1. Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung,
baik disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang
berlaku.
2. Tidak langsung, seperti suatu peraturan yang sama tapi pelaksanaanya
menguntungkan jenis kelamin tertentu.
3. Sistematik, yaitu ketidak adilan yang berakar dalam sejarah, norma
atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat
membeda-bedakan.
Ketidakadilan gender menurut beberapa pakar timbul dalam bentuk:
1. Stereotype atau Pelabelan atau penandaan yang seringkali bersifat
negatif secara umum dan melahirkan ketidakadilan. Contohnya ialah
perempuan sering digambarkan emosional, lemah, cengeng, tidak
rasional, dan sebagainya. Stereotype tersebut yang kemudian
menjadikan perempuan selama ini ditempatkan pada posisi domestik,
kerapkali perempuan di identikan dengan urusan masak, mencuci, dan
seks (dapur, sumur, dan kasur).
2. Kekerasan (violence) Kekerasan berbasis gender, kekerasan tersebut
terjadi akibat dari ketidakseimbangan posisi tawar (bargaining
position) atau kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Kekerasan
terjadi akibat konstruksi peran yang telah mendarah daging pada
budaya patriarkal yang menempatkan perempuan pada posisi lebih
rendah. Cakupan kekerasan ini cukup luas, diantaranya eksploitasi
seksual, pengabaian hak-hak reproduksi, trafficking, perkosaan,
pornografi, dan sebagainya.
3. Marginalisasi Peminggiran terhadap kaum perempuan terjadi secara
multidimensional yang disebabkan oleh banyak hal bisa berupa
kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan
kebiasaan, atau pengetahuan (Fakih, 2013: 17). Salah satu bentuk
paling nyata dari marginalisasi ini adalah lemahnya peluang
perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi. Proses tersebut
mengakibatkan perempuan menjadi kelompok miskin karena
peminggiran terjadi secara sistematis dalam masyarakat.
4. Subordinasi atau penomorduaan ini pada dasarnya merupakan
keyakinan bahwa jenis kelamin tertentu dianggap lebih penting atau
lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Hal ini berakibat pada
kurang diakuinya potensi perempuan sehingga sulit mengakses posisi-
posisi strategis dalam komunitasnya terutama terkait dengan
pengambilan kebijakan.
5. Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden) Adanya
anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin serta
tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga berakibat bahwa semua
pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab
perempuan. Untuk keluarga miskin perempuan selain bertanggung
jawab terhadap pekerjaan domestik, mereka juga mencari nafkah
sebagai sumber mata pencarian tambahan keluarga, ini menjadikan
perempuan harus bekerja ekstra untuk mengerjakan kedua
bebannya.

2.4 Lahirnya Gerakan Feminisme sebagai Upaya Mencapai Kesetaraan


Gender
Zaman pencerahan atau enlightenment yang terjadi di Eropa pada abad ke 17
yang berperan sebagai tonggak sejarah penting dalam mendeklerasikan kebebasan
dan kemajuan serta melepaskan diri dari kungkungan agama. Era ini disebut juga
“the age of reason” yang mengkritik politik dan agama status quo. Enlightenment
adalah kondisi dimana manusia menjadi subjek dan bebas menentukan jalan
hidupnya. Salah satu aspek terpenting didiskusikan di era ini adalah status
perempuan yang sebelumnya dianggap sebagai makhluk setengah manusia yang
hanya berperan sebagai pelengkap dalam sejarah manusia. Sehingga dari awal
sejarah peradaban barat perempuan seringkali dipandang dari sudut negatif. Pada
sisi lain bible juga berbicara tentang perempuan kaitannya dengan sejarah Hawa
(Eva) sebagai sosok yang merayu Adam untuk berbuat dosa. Lalu literarur barat
klasik sangat dipengaruhi oleh kisah dalam bible tersebut yang menimbulkan
sikap anti terhadap feminis.
Kondisi inilah yang memengaruhi pemikiran masyarakat Barat pada saat itu
yang melahirkan sikap meremehkan posisi wanita yang dianggap makhluk
setengah manusia dan tidak punya hak-hak kemanusiaannya. Adalah Mary
Wollstonecraft (1759-1797) yang dengan lantang menyerukan persamaan hak di
antara lelaki dan perempuan serta menolak semua bentuk perbudakan. Dia juga
sangat tajam mengkritik kebiasaan lelaki pada masa itu yang menjadi tirani
terhadap keluarga. Pada sisi lain dia meminta perempuan untuk lebih bersikap
jantan dan lebih maskulin. Kemudian ide ini berkembang melintasi hamper
seluruh belahan dunia dan mendapat tempat yang luar biasa di awal abad ke 20,
khususnya di Amerika yang diprakarsai oleh Elizabeth Cady Stanton dan Susan B.
Anthony.
Teori-teori feminisme gelombang pertama mengajukan pertanyaan-
pertanyaan bersifat sosiologis serta peranan perempuan di dalamnya telah
mempermasalahkan kedudukan dan posisi perempuan di masyarakat, terutama
persoalan hak-hak sipilnya (Arivia dalam Sutanto, 2017: 4). Dalam bidang sosial,
kaum feminis menandai bahwa hak-hak perempuan sangat terbatas. Tradisi
menghendaki perempuan menjadi pengurus rumah tangga dan keluarga, sehingga
sebagian besar masa hidupnya hanya dihabiskan dalam lingkungan rumah. Selain
itu, perempuan juga tidak diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi
memangku jabatan-jabatan tertentu, atau menekuni profesi- profesi tertentu.
Keterbatasan perempuan dalam bidang sosial juga berpengaruh pada kehidupan
ekonomi mereka. Sebagian besar lapangan kerja tertutup bagi perempuan dan
kalaupun mereka diberi kesempatan untuk mencari nafkah, upah yang diterima
mereka akan jauh lebih rendah (Paramitha dalam Sutanto 2017: 4). Sementara,
bidang politik dipilih kaum feminis sebagai jalan keluar untuk segala tuntutan
mereka yang tidak juga dipenuhi oleh pemerintah. Mereka beranggapan bahwa
keadaan perempuan tidak akan mengalami kemajuan jika pemerintahan tetap
dikuasai dan didominasi oleh laki-laki (Djajanegara dalam Sutanto, 2017: 5).
Pada gelombang kedua, pemikiran-pemikiran feminisme bukan lagi
memfokuskan diri pada pertanyaan-pertanyaan melakukan pergerakan politis
seperti pada teori feminisme gelombang pertama. Akan tetapi, lebih pada
mempertanyakan peranan gender. Gelombang kedua teori feminisme memberikan
penjelasan umum tentang konsep fundamental penindasan terhadap perempuan.
Pada tahap teori ini, pembahasan difokuskan kepada ―perbedaan‖ yang diciptakan
antara perempuan dan laki-laki yang terjadi mengakar sebagai ―kodratiah‖ (Arivia
dalam Sutanto, 2017: 4).
Gerakan feminisme gelombang ketiga ini masih sulit didefinisikan dan label
ini masih mempunyai sangat sedikit arti. Namun, debat-debat menunjukkan
feminisme masih menunjukkan vitalitasnya dan wanita punya potensi untuk
mengambil tindakan tidak hanya secara personal saja, tetapi juga secara politis
(Hannam dalam Sutanto, 2017: 4).
Pada tahun 1970 perempuan mendapatkan hak legal untuk dirinya sendiri,
reproduksi seksual, untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi,
mendapatkan pekerjaan. Tetapi tidak berhenti pada titik itu saja, mulai ada
penjajahan yang baru terhadap perempuan sehingga kaum perempuan ketakutan
mengenai hal yang remeh yaitu penampilan. Penampilan yang dimaksud seperti
wajah, berat badan, rambut, pakaian. Hal tersebut menjadi sesuatu hal yang sangat
penting bagi kaum perempuan seolah-olah selama ini perempuan
memperjuangkan hal tersebut (Wolf dalam Sutanto, 2017: 5).
Tetapi pada waktu yang bersamaan, masalah baru pun muncul yaitu pola
makan yang tidak sehat secara tiba-tiba meningkat secara drastis, operasi
kecantikan menjadi kebutuhan yang sangat dicari oleh perempuan. Hal ini
menjadi aneh karena seharusnya perempuan semakin mandiri dengan kebebasan
yang mereka dapatkan, tetapi secara bersamaan perempuan menjadi sangat
tergantung untuk mengajar sebuah penampilan tertentu (Wolf dalam Sutanto,
2017: 5).
Adanya forum laki-laki yang kemudian diinisiasi telah menjadi sebuah
kebutuhan penting, selain untuk membangun arah perjuangan yang jelas, forum
laki-laki juga berfungsi untuk menopang satu sama lain untuk menghadapi
tantangan yang selama ini dihadapi oleh aktivis laki-laki. Seperti adanya
pemikiran bahwa laki-laki tidak perlu ikut berjuang karena adanya hak hak
maskulinitas yang mereka terima dan stigmasisasi dari kaum laki-laki sendiri
yakni stigma sebagai laki-laki yang tidak memenuhi kualifikasi laki-laki ideal atau
stigma laki-laki dengan orientasi seksual tertentu. Ideologi Aliansi Laki-Laki Baru
didasari adanya upaya belajar dari pengalaman mereka (aktivis laki-laki)
berhubungan dengan gerakan perempuan, ataupun perempuan feminis.
Pembelajaran dan pengalaman ini, kemudian direlatifkan sebagai nilai-nilai yang
mereka pegang, dan memunculkan adanya istilah laki- laki baru, laki-laki anti
kekerasan sebagai citra baru laki-laki. Gerakan laki-laki Aliansi Laki-Laki Baru
tidak hanya memperjuangkan adanya keadilan bagi kaum perempuan, namun juga
memperjuangkan hak-hak individu dari laki-laki. Aliansi Laki-Laki Baru
memperjuangkan adanya kebebasan individu, baik laki-laki maupun perempuan,
yang selama ini terkekang oleh partriarki dan maskulinitas dengan konsep ―laki-
laki baru‖nya.

2.5 Dampak Perbedaan Peran Gender dalam Masyarakat Multikultural


Sebelum membahas terkait perbedaan gender dalam Masyarakat
Multikultural, dirasa perlu adanya pemahaman tentang Masyarakat
Multikulturalitu sendiri. Secara etimologis, multikultural berasal dari kata multi,
yang artinya banyak/beragam dan kultural, yang berarti budaya. Keragaman
budaya, itulah arti dari multikultural. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat
berbagai macam budaya yang memiliki ciri khas tersendiri.
Mengingat banyaknya kebudayaan yang ada di Indonesia, Indonesia dapat
dikategorikan sebagai masyarakat multikultural. Di Indonesia sendiri meski tidak
dapat dipungkiri banyak kebudayaan yang terkontaminasi dengan budaya
patriarki, artinya menempatkan keberadaan laki-laki di atas perempuan. Budaya
partriarki dapa diindentifikasi secara konkrit terlihat di Suku Batak, dimana Suku
Batak cenderung menurunkan marga ayah (laki-laki) kepada anak-anaknya,
sedangkan marga ibu (perempuan) dikesampingkan. Sedangkan budaya patriarki
yang abstrak jelas menjadi mayoritas kebudayaan di Indonesia.
Cara membedakan apakah budaya tersebut patriarkis atau tidak jelas mudah,
dari bagaimana anak laki-laki cenderung mendapatkan privilage diatas anak
perempuan. Anak laki-laki cenderung mendapatkan kesempatan dan ruang lebih
banyak daripada anak perempuan, anak laki-laki cenderung memiliki pilihan
dalam menentukan hidupnya daripada anak perempuan, hingga anak laki-laki
diberi dukungan penuh atas pilihan yang diambilnya sedangkan anak perempuan
biasanya masih mendapat penghakiman atas pilihannya. Tidak bisa dipungkiri
bahwa hampir sebagian besar kebudayaan Indonesia memiliki akar budaya
patriarkis yang berkembang didalamnya.
Salah satu faktor pembawanya akar patriarkis ini tidak bisa dipungkiri adalah
budaya dari Arab. Nawal el Saadawi sebagai seorang perempuan mesir yang
menjadi salah satu tokoh feminis terkenal timur tengah membongkar seberapa
patriarkis budaya Arab. Alasan yang selalu digunakan adalah Agama Islam yang
berkembang di Timur Tengah, namun hal tersebut sudah tentu tidak bisa diterima
secara langsung tanpa adanya dialektika.
Agama Islam sebenarnya merupakan agama yang universal yang
menempatkan perempuan dan laki-laki secara setara. Namun akibat politik yang
dibawa oleh para laki-laki untuk mempertahankan eksistensi mereka. Belum lagi-
lagi kebanyakan penafsir baik Al-Quran dan hadist merupakan laki-laki yang
tidak memiliki pemahaman kesetaraan gender yang baik. Tujuannya untuk
melanggengkan patriarki sehingga Agama Islam terus menurus menjadi alasan
seolah-olah perempuan sudah kodratnya seperti itu.
Kembali pada pembahasan peran gender dalam masyarakat multikultural, jika
kita membicarakan patriarki kita juga punya kesempatan untuk membicarakan
matriarki. Walaupun tidak banyak budaya maupun suku di Indonesia yang
menganut budaya matriarki. Berbanding terbalik dengan budaya patriarki, budaya
matriarki cenderung menempatkan perempuan lebih superior dibandikan laki-laki.
Ibarat mencari jarum ditumpukan jerami, mencari budaya matriarki jelas sulit di
mayoritas budaya yang berkembang dengan akar patriarki.
Budaya matriarki yang masih ada di Indonesia berada di Bali, dimana dalam
perkawinan matriarki, suami yang berstatus sebagai pradana dilepaskan
hubungannya dengan keluarga asalnya (secara legal) lalu masuk dalam keluarga
istrinya. Bentuk perkawinan matrilokal ini terjadi agar anak perempuan tersebut
dapat menjadi ahli waris dari harga orang tuanya. Anak perempuan yang semula
bukan sebagai ahli waris dapat menjadi ahli waris terhadap orang tuanya sehingga
bisa mengambil laki-laki untuk diajak kerabat sang perempuan.

2.6 Studi Kasus Perbedaan Peran Gender di Suku Bugis


Peran gender seolah-olah terpolarisasi seperti jenis kelamin, namun sejatinya
dalam kebudayaan Indonesia terdapat keberagaraman gender mengingat
konstruksi gender hanya berlaku secara sosial-budaya. Hal-hal yang mungkin
dianggap tabu oleh norma-norma sosial masyarakat sekitar, sebenarnya secara
kebudayaan sudah mengkonstruksi mengenai identitas gender mereka bergantung
derajat toleransi atau penerimaan mengenali mereka sebagai banci atau kedi
(Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis), kawe-kawe (Sulawesi umumnya),
sara siwe (Bima), wandu (Jawa) dan istilah-istilah lainnya.
Salah satu peran gender yang akan menjadi studi kasus adalah peran
gender di Suku Bugis. Suku Bugis memiliki 5 gender dalam mengklasifikasikan
masyarakat sukunya. Pertama, Bissu atau pemuka agama Bugis kuno pra-Islam
yang berperan sebagai penasehat, pengabdi, dan penjaga benda pusaka keramat
(Arajat). Keistimewaan Bissu adalah spesifikasi gendernya, yang tidak masuk
kategori laki-laki maupun perempuan. Kedua, Oroane, yanng artinya pria atau
laki-laki. Biasanya gender ini dituntut harus maskulin dan mampu menjalin
hubungan dengan perempuan. Ketiga, Makkunrai atau perempuan. Makkunrai
kerap kali dituntut untuk bersikap feminim dan menjalani pekerjaan domestik.
Keempat, Calalai, yaitu perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki.
Calalai mungkin di masyarakat modern dianggap sebagai perempuan tomboy.
Kelompok ini mengacu pada orang yang menjadi perempuan saat lahir tetapi
mengambil peran laki-laki heteroseksual dalam masyarakat Bugis. Yang terakhir
atau kelima adalah Calabai, laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan.
Calabai umumnya laki-laki secara fisik tapi mengambil peran seorang perempuan
heteroseksual dalam masyarakat Bugis.

2.7 Tantangan Bagi Pekerja Sosial dengan Adanya Konsep Gender dalam
Masyarakat Multikultural
Kesadaran masyarakat tentang kesetaraan gender berawal dari pengetahuan
yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Pengetahuan yang positif tentang
kesetaraan gender akan membawa manfaat yang banyak bagi setiap perempuan
dan laki-laki dalam menjalani tugas-tugas kehidupan. Sedangkan kekeliruan atau
ketidakpahaman masyarakat mengenai makna kesetaraan gender dapat menjadi
penyebab bertambahnya kasus-kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi pada
masyarakat Indonesia baik pada laki-laki maupun perempuan.
Kasus KDRT, perceraian yang semakin marak terjadi pada awalnya
disebabkan oleh disfungsi pembagian kerja, peran, hak, dan pengambilan
keputusan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga pemahaman tentang
kesetaraan gender tujuan utamanya adalah untuk mengurangi permasalahan-
permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan mendorong
terbentuknya keluarga-keluarga yang harmonis dan sejahtera. Dengan demikian
bukan hanya perempuan yang perlu memahami kesetaraan gender, tetapi justru
laki-laki.
Faktanya, tindakan kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar dialami
oleh kaum perempuan. Dengan demikian, yang perlu mendapatkan perubahan
sikap ialah orang yang melakukan tindakan kekerasan tersebut. Memberikan
pemahaman hingga berwujud menjadi kesadaran dan perubahan sikap dan
perilaku merupakan bagian dari tugas dan fungsi pekerjaan sosial sebagai
pembawa perubahan sekaligus problem solver. Dalam hal ini, intervensi pekerjaan
sosial dapat berbentuk tiga upaya yaitu, engage, educate, empower. Engage
diantaranya merupakan upaya pekerjaan sosial untuk menghubungkan korban-
korban ketidakadilan gender kepada pihak atau lembaga yang memiliki
kewenangan. Educate yaitu upaya memberikan pemahaman kesetaraan gender
kepada masyarakat terutama kelompok-kelompok yang membutuhkan. Sedangkan
empower merupakan upaya memberikan kemauan dan kemampuan untuk
bertindak kepada kelompok yang dianggap paling membutuhkan. Didasarkan
pada tingkatan pengetahuan, masyarakat desa adalah sasaran yang paling
membutuhkan edukasi mengenai kesetaraan gender.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari makalah ini antra lain:
1. Perbedaan jenis kelamin (sex) merupakan perbedaan yang mengacu
pada perbedaan fisik atau perbedaan fungsi reproduksi. Misalnya,
manusia berjenis kelamin laki-laki dicirikan dengan adanya
jakala/jakun, penis, dan memproduksi sperma. Sedangkan, manusia
berjenis kelamin perempuan dicirikan dengan kepemilikan atas
rahim, vagina, organ untuk menyusui, dan sebagainya. Artinya, jenis
kelamin berhubungan dengan segala sesuatu yang bersifat given
(pemberian), dan secara biologis tidak bisa dipertukarkan antara satu
dengan yang lain. Selanjutnya, Gender merupakan interpretasi
kultural atas perbedaan jenis kelamin, akan tetapi tidak selalu
berhubungan dengan perbedaan fisiologis seperti yang selama ini
banyak dijumpai dikalangan masyarakat. Misalnya, perempuan
dikenal denga sifat-sifat lemah lembut, pengertian, teliti, emosional,
dan keibuan. Sebaliknya, laki-laki dilekatkan dengan sifat kuat,
perkasa, rasional, dan lain-lain. Berbeda dengan sex, gender dapat
dipertukarkan satu dengan yang lain. Artinya, ada perempuan yang
rasional, kuat dan perkasa, sebaliknya, ada pula laki-laki yang
emosional, lemah lembut dan bersifat keibuan.
2. Perbedaan peran gender antara manusia laki-laki dan perempuan
terbentuk oleh sosialisasi yang diperkuat dan dikonstruksi secara
sosial dan kultural melalui ajaran agama maupun negara. Melalui
sosialisasi yang panjang ini, gender dianggap sebagai ketentuan
Tuhan yang seolah-olah bersifat biologis dan tidak bisa diubah
kembali. Akibat sosialisasi gender yang tersosialisasikan secara
evolusioner dan perlahan-lahan, mempengaruhi individu perempuan
dan laki-laki untuk menuju kepada sifat gender yang ditentukan oleh
suatu masyarakat. Hal ini yang kemudian menyebabkan terjadinya
perbedaan pembagian kerja (perempuan dituntut berada pada ruang
domestik sedangkan laki-laki mencari nafkah dan mengekspresikan
diri pada ruang publik). Tidak hanya itu, marginalisasi, subordinasi,
stereotipe, kekerasan, serta sosialisasi ideologi dan nilai gender juga
manifestasi ketidakadilan gender. Oleh karenanya, ketidakadilan
gender disebabkan oleh konstruksi sosial masyarakat yang terus
disosialisasikan dan dilanggenggkan dalam waktu yang lama.
3. Gender dalam budaya masyarakat multikultural menemui berbagai
tantangan lokal yang berbeda-beda. Tetapi pada umumnya dapat
dibedakan dalam dua budaya yang dianut sebagian besar masyarakat
Indonesia, yaitu budaya matriarki dan patriarki. Budaya matriarki
cenderung menempatkan perempuan lebih superior dibandingkan
laki-laki. Sebaliknya, budaya patriarki cenderung menempatkan laki-
laki lebih utama dibandingkan perempuan.
4. Ada. Di Suku Bugis, peran gender tidak hanya terbagi atas peran
untuk perempuan dan laki-laki. Tetapi, ada 5 peran gender, yaitu
bissu (sebagai pemuka agama), oroane (laki-laki), makkurai
(perempuan), calalai (perempuan yang berpenampilan seperti laki-
laki), dan calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan).

3.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
1. Konsep gender perlu diedukasi kepada seluruh lapisan masyarakat
agar baik laki-laki maupun perempuan dapat membedakan mana
sifat-sifat yang diberikan oleh Tuhan, dan mana yang dikonstruksi
oleh masyarakat secara sosial dan kultural. Sehingga, setiap individu
dapat mendapatkan kebebasan untuk berekspresi dan menjalankan
hidupnya tanpa tekanan konstruksi sosial gender. Terlebih,
konstruksi yang tidak berdampak positif bagi perempuan dan laki-
laki dan menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender.
2. Paham feminisme dan kesetaraan gender perlu disebarluaskan pada
masyarakat luas agar baik laki-laki maupun perempuan dapat
memperoleh kesempatan dalam bidang apapun secara setara.
DAFTAR PUSTAKA

Adyani, N.K.S. 2016. Bentuk Perkawinan Martriarki Pada Masyarakat Hindu Bali
Ditinjau Dari Perspektif Hukum Adat dan Kesetaraan Gender. JOISH:
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 5 No. 1 .
Al-Qurthubi, S. 2017. Sejumlah Kesalahpahaman Tentang Bangsa Arab.
https://www.dw.com/id/sejumlah-kesalahpahaman-tentang-bangsa-arab/a-
40966480 [Diakses pada 6 November 2019]
Amin, S. 2013. Pasang Surut Gerakan Feminisme. Marwah: Jurnal Perempuan,
Agama, dan Jender. Vol. XII No. 2 Hlm. 146 – 156
El-Sadaawi, Nawal. 2002. Perempuan di Titik Nol [Terjemah Indonesia oleh Amir
mJoglo. Thesis S2 Desain Interior Bandung: FSRD ITB.

Fakih, M. 2013. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar
Hubeis, A. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor: IPB
Press
Larasjiwo, L. 2016. Aliansi Laki-Laki Baru: Gerakan Sosial Lahir Dari Gerakan
Perempuan. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Suryani, T. 2018. Bissu: Keistimewaan Gender dalam Tradisi Bugis. Endogami:
Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi Vol. 2 No.1
Susanto. 2005. Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan. Jurnal Spirit Publik UNS. Volume 1 No. 1
Susilastuti, D.H. 1993. Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi dalam
Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sutanto, O. 2017. Representasi Feminisme dalam Film Spy. Jurnal E-Komunikasi
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra, Surabaya. Vol.
V No. 1 Hlm. 1 – 10

Anda mungkin juga menyukai