Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Praktik Pekerja Sosial dalam
Masyarakat Multikultural
Dosen Pengampu:
Dr. Nur Dyah Gianawati, M.A
NIP. 195806091985032003
Oleh:
1. Fitria Wulan Sari NIM. 160910301004
2. Dini Oktavia NIM. 160910301020
3. Tista Arumsari NIM. 160910301037
4. Lailiyatul Hasanah NIM. 170910301031
5. Alfiyatul Hidayah NIM. 170910301041
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah berjudul “Gender dalam Masyarakat Multikultural”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Praktik Pekerja
Sosial dalam Masyarakat Multikultural. Adapun makalah ini telah kami usahakan
semaksimal mungkin. Namun, tidak lepas dari itu semua, kami menyadari
sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penulisan, bahasanya maupun
dari segi yang lain. Oleh karena itu, dengan penuh kesadaran kami memohon
maaf sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nur Dyah
Gianawati, M.A yang telah memberi penulis kesempatan untuk menyusun
makalah mengenai gender, kaitannya dengan masyarakat multikultural, sehingga
kami mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam tentang hal tersebut. Selain itu,
tanpa bimbingan dan arahan beliau kepada kami, tidak mungkin kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik. Terima kasih pula kami sampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam menyelesaikan tugas
mata kuliah Teori Praktik Pekerja Sosial dalam Masyarakat Multikultural ini.
Semoga apa yang kita kerjakan bukan merupakan sesuatu yang sia-sia belaka.
Akhirnya, kami mengharapkan semoga apa yang telah kami kerjakan dapat
bermanfaat baik bagi kami sendiri, maupun bagi pembaca sekalian.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................4
BAB II. PEMBAHASAN..................................................................................................5
2.1 Konsep Seks dan Gender....................................................................................5
2.2 Perbedaan Peran Gender.....................................................................................7
2.3 Ketidakadilan Gender (Gender Inequalities)....................................................12
2.4 Lahirnya Gerakan Feminisme sebagai Upaya Mencapai Kesetaraan Gender
14
2.5 Dampak Perbedaan Peran Gender dalam Masyarakat Multikultural.................17
2.6 Studi Kasus Perbedaan Peran Gender di Suku Bugis........................................19
2.7 Tantangan Bagi Pekerja Sosial dengan Adanya Konsep Gender dalam
Masyarakat Multikultural....................................................................................20
BAB III PENUTUP.........................................................................................................22
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................22
3.2 Saran 23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
1
oleh rakyat di negeri yang menerapkan hukum-hukum islam. Adalah Firdaus,
yang ditemui oleh Nawaal El-Sadaawi1 di suatu penjara di Arab Saudi. Ia adalah
tahanan yang menunggu eksekusi hukuman gantung yang sebelum waktu
eksekusinya sempat mengisahkan cerita hidupnya kepada Nawaal El-Saadawi2.
Sepanjang hidupnya, semenjak lahir sampai akhirnya berakhir di tiang gantungan,
Firdaus mengalami banyak ketidakadilan gender. Mulai konstruksi sosial budaya,
tradisi, dan sistem sosial yang kurang berpihak pada perempuan hingga kekerasan
secara fisik dan kekerasan seksual telah dialaminya berulang kali. Konstruksi
sosial yang eksis pada masyarakat Arab tercermin dari narasi berikut:
Ketika paman naik ke atas kereta api dan mengucapkan selamat tinggal, saya menangis
dan merengek supaya dia membawa saya bersamanya ke Kairo. Tetapi Paman bertanya,
―Apa yang akan kau perbuat di Kairo, Firdaus?‖ Lalu saya menjawab, ―Saya ingin ke El
Azhar dan belajar seperti Paman.‖ Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa El
Azhar hanya untuk kaum pria saja. 3
Jika salah satu anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu
akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti yang ia lakukan
setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu,
kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur. Ayah tak pernah pergi tidur
tanpa makan malam terlebih dulu, apapun yang terjadi. Kadang-kadang apabila tak ada
makanan di rumah, kami semua akan pergi tidur dengan perut kosong. Tetapi dia
(Ayah) selalu memperoleh makanan. Ibu akan menyembunyikan makanannya dari kami
di dasar sebuah lubang tungku. Ia makan sendirian sedangkan kami mengamatinya saja.
Pada suatu malam, saya memberanikan diri untuk mengulurkan tangan ke arah
piringnya, tetapi ia memberi sebuah pukulan yang keras pada punggung dan jari-jari
saya.4
1
Seorang dokter Mesir yang terkenal sebagai novelis dan penulis sekaligus pejuang hak-hak
wanita
2
Kisah ini dapat dibaca di novel Perempuan di Titik Nol atau Women at Point Zero atau Firdaus
3
Nawal El-Sadaawi, Perempuan di Titik Nol - Terjemah Indonesia oleh Amir Sutaarga, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 22
4
Ibid.
5
Indrawati, Pergeseran Konsep Gender Pada Rumah Tradisional Jawa Joglo, (Thesis S2 Desain
Interior Bandung: FSRD ITB, 2002)
masak, macak, manak atau konco wingking yang menunjukkan bahwa perempuan
seakan hanya bisa memberi kontribusi di belakang layar. Perempuan tidak berhak
memiliki mimpi dan tujuannya sendiri. Ia diciptakan untuk menjadi kaum kelas
dua yang harus mendukung laki-laki, tidak boleh memiliki eksistensi pribadi.
Seperti halnya Arab, Indonesia juga merupakan bangsa dengan beragam
budaya, adat-istiadat, suku dan agama. Sehingga disebut juga sebagai bangsa
dengan masyarakat yang multikultural. Arab dengan berbagai agama dan
kepercayaan yang dianut masyarakatnya, tidak hanya islam, tetapi juga agama
Kristen (baik Ortodoks Yunani maupun Katolik Yunani), Judaisme, Druze,
Baha‘i, bahkan juga ateisme dan agnotisisme. Masyarakat yang memeluk agama
islam di Arab pun masih beragam alirannya, seperti Arab Sunni, Arab Syiah, dan
Arab Ibadi.6 Keadaan sosial budaya tersebut memiliki dimensi yang sama dengan
Indonesia. Masyarakatnya memiliki berbagai macam agama—yang dalam satu
agama masih ada berbagai aliran yang berbeda—Suku, adat istiadat dan budaya.
Arab dan Indonesia juga menghadapi tantangan dalam mewujudkan
kesetaraan gender, sebab masyarakatnya juga menganut budaya patriarki.
Perbedaan peran gender pada laki-laki dan perempuan menimbulkan adanya
ketidakadilan gender. Anak perempuan di Arab diperlakukan berbeda dengan
anak laki-laki oleh orang tuanya, perempuan juga tidak lazim mengenyam
pendidikan tinggi. Sama halnya dengan di Indonesia.
Problematika ketidakadilan gender menjadi variatif dalam masyarakat yang
memiliki beragam suku, adat-istiadat, budaya dan agamanya. Misalnya, dalam
masyarakat Jawa perempuan sejak kecil diinternalisasi perannya dalam ruang
domestik, seperti harus bisa memasak, selalu patuh pada suami (tidak memiliki
daya tawar untuk bernegosiasi), dan sebagainya. Hal ini mungkin berbeda pada
masyarakat Betawi, Papua, Manado, Batak dan lainnya. Sehingga, persoalan
perbedaan gender dan ketidakadilan yang mengikutinya pun menjadi beragam
kasusnya sesuai dengan kearifan lokal yang ada. Oleh karenanya, pada satu
6
Sumanto Al Qurthubi, 2017, Sejumlah Kesalahpahaman Tentang Bangsa Arab,
https://www.dw.com/id/sejumlah-kesalahpahaman-tentang-bangsa-arab/a-40966480 (Diakses
pada 6 November 2019)
daerah, suku, agama dan budaya tertentu, persoalan gender yang dihadapi perlu
dilihat dan dianalisa sebagai sesuatu yang unik. Hal inilah yang mendasari penulis
dalam menyusun makalah ini.
2.7 Tantangan Bagi Pekerja Sosial dengan Adanya Konsep Gender dalam
Masyarakat Multikultural
Kesadaran masyarakat tentang kesetaraan gender berawal dari pengetahuan
yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Pengetahuan yang positif tentang
kesetaraan gender akan membawa manfaat yang banyak bagi setiap perempuan
dan laki-laki dalam menjalani tugas-tugas kehidupan. Sedangkan kekeliruan atau
ketidakpahaman masyarakat mengenai makna kesetaraan gender dapat menjadi
penyebab bertambahnya kasus-kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi pada
masyarakat Indonesia baik pada laki-laki maupun perempuan.
Kasus KDRT, perceraian yang semakin marak terjadi pada awalnya
disebabkan oleh disfungsi pembagian kerja, peran, hak, dan pengambilan
keputusan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga pemahaman tentang
kesetaraan gender tujuan utamanya adalah untuk mengurangi permasalahan-
permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan mendorong
terbentuknya keluarga-keluarga yang harmonis dan sejahtera. Dengan demikian
bukan hanya perempuan yang perlu memahami kesetaraan gender, tetapi justru
laki-laki.
Faktanya, tindakan kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar dialami
oleh kaum perempuan. Dengan demikian, yang perlu mendapatkan perubahan
sikap ialah orang yang melakukan tindakan kekerasan tersebut. Memberikan
pemahaman hingga berwujud menjadi kesadaran dan perubahan sikap dan
perilaku merupakan bagian dari tugas dan fungsi pekerjaan sosial sebagai
pembawa perubahan sekaligus problem solver. Dalam hal ini, intervensi pekerjaan
sosial dapat berbentuk tiga upaya yaitu, engage, educate, empower. Engage
diantaranya merupakan upaya pekerjaan sosial untuk menghubungkan korban-
korban ketidakadilan gender kepada pihak atau lembaga yang memiliki
kewenangan. Educate yaitu upaya memberikan pemahaman kesetaraan gender
kepada masyarakat terutama kelompok-kelompok yang membutuhkan. Sedangkan
empower merupakan upaya memberikan kemauan dan kemampuan untuk
bertindak kepada kelompok yang dianggap paling membutuhkan. Didasarkan
pada tingkatan pengetahuan, masyarakat desa adalah sasaran yang paling
membutuhkan edukasi mengenai kesetaraan gender.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari makalah ini antra lain:
1. Perbedaan jenis kelamin (sex) merupakan perbedaan yang mengacu
pada perbedaan fisik atau perbedaan fungsi reproduksi. Misalnya,
manusia berjenis kelamin laki-laki dicirikan dengan adanya
jakala/jakun, penis, dan memproduksi sperma. Sedangkan, manusia
berjenis kelamin perempuan dicirikan dengan kepemilikan atas
rahim, vagina, organ untuk menyusui, dan sebagainya. Artinya, jenis
kelamin berhubungan dengan segala sesuatu yang bersifat given
(pemberian), dan secara biologis tidak bisa dipertukarkan antara satu
dengan yang lain. Selanjutnya, Gender merupakan interpretasi
kultural atas perbedaan jenis kelamin, akan tetapi tidak selalu
berhubungan dengan perbedaan fisiologis seperti yang selama ini
banyak dijumpai dikalangan masyarakat. Misalnya, perempuan
dikenal denga sifat-sifat lemah lembut, pengertian, teliti, emosional,
dan keibuan. Sebaliknya, laki-laki dilekatkan dengan sifat kuat,
perkasa, rasional, dan lain-lain. Berbeda dengan sex, gender dapat
dipertukarkan satu dengan yang lain. Artinya, ada perempuan yang
rasional, kuat dan perkasa, sebaliknya, ada pula laki-laki yang
emosional, lemah lembut dan bersifat keibuan.
2. Perbedaan peran gender antara manusia laki-laki dan perempuan
terbentuk oleh sosialisasi yang diperkuat dan dikonstruksi secara
sosial dan kultural melalui ajaran agama maupun negara. Melalui
sosialisasi yang panjang ini, gender dianggap sebagai ketentuan
Tuhan yang seolah-olah bersifat biologis dan tidak bisa diubah
kembali. Akibat sosialisasi gender yang tersosialisasikan secara
evolusioner dan perlahan-lahan, mempengaruhi individu perempuan
dan laki-laki untuk menuju kepada sifat gender yang ditentukan oleh
suatu masyarakat. Hal ini yang kemudian menyebabkan terjadinya
perbedaan pembagian kerja (perempuan dituntut berada pada ruang
domestik sedangkan laki-laki mencari nafkah dan mengekspresikan
diri pada ruang publik). Tidak hanya itu, marginalisasi, subordinasi,
stereotipe, kekerasan, serta sosialisasi ideologi dan nilai gender juga
manifestasi ketidakadilan gender. Oleh karenanya, ketidakadilan
gender disebabkan oleh konstruksi sosial masyarakat yang terus
disosialisasikan dan dilanggenggkan dalam waktu yang lama.
3. Gender dalam budaya masyarakat multikultural menemui berbagai
tantangan lokal yang berbeda-beda. Tetapi pada umumnya dapat
dibedakan dalam dua budaya yang dianut sebagian besar masyarakat
Indonesia, yaitu budaya matriarki dan patriarki. Budaya matriarki
cenderung menempatkan perempuan lebih superior dibandingkan
laki-laki. Sebaliknya, budaya patriarki cenderung menempatkan laki-
laki lebih utama dibandingkan perempuan.
4. Ada. Di Suku Bugis, peran gender tidak hanya terbagi atas peran
untuk perempuan dan laki-laki. Tetapi, ada 5 peran gender, yaitu
bissu (sebagai pemuka agama), oroane (laki-laki), makkurai
(perempuan), calalai (perempuan yang berpenampilan seperti laki-
laki), dan calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan).
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
1. Konsep gender perlu diedukasi kepada seluruh lapisan masyarakat
agar baik laki-laki maupun perempuan dapat membedakan mana
sifat-sifat yang diberikan oleh Tuhan, dan mana yang dikonstruksi
oleh masyarakat secara sosial dan kultural. Sehingga, setiap individu
dapat mendapatkan kebebasan untuk berekspresi dan menjalankan
hidupnya tanpa tekanan konstruksi sosial gender. Terlebih,
konstruksi yang tidak berdampak positif bagi perempuan dan laki-
laki dan menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender.
2. Paham feminisme dan kesetaraan gender perlu disebarluaskan pada
masyarakat luas agar baik laki-laki maupun perempuan dapat
memperoleh kesempatan dalam bidang apapun secara setara.
DAFTAR PUSTAKA
Adyani, N.K.S. 2016. Bentuk Perkawinan Martriarki Pada Masyarakat Hindu Bali
Ditinjau Dari Perspektif Hukum Adat dan Kesetaraan Gender. JOISH:
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 5 No. 1 .
Al-Qurthubi, S. 2017. Sejumlah Kesalahpahaman Tentang Bangsa Arab.
https://www.dw.com/id/sejumlah-kesalahpahaman-tentang-bangsa-arab/a-
40966480 [Diakses pada 6 November 2019]
Amin, S. 2013. Pasang Surut Gerakan Feminisme. Marwah: Jurnal Perempuan,
Agama, dan Jender. Vol. XII No. 2 Hlm. 146 – 156
El-Sadaawi, Nawal. 2002. Perempuan di Titik Nol [Terjemah Indonesia oleh Amir
mJoglo. Thesis S2 Desain Interior Bandung: FSRD ITB.