oleh
PROGRAM PASCASARJANA
MEDAN
2023
1. PENDAHULUAN
Tanjungbalai Asahan adalah salah satu daerah tingkat dua di propinsi Sumatera Utara.
Etnis asli yang mendiami Tanjungbalai Asahan adalah etnis Melayu dan Batak yang sebagian
besarnya beragama Islam. Di samping etnis tersebut, terdapat juga beberapa etnis lainnya
seperti, Jawa, Aceh, Minang, India, dan Tionghoa yang beragama Konghucu dan Buddha.
Namun, etnis Melayu merupakan motor utama penggerak roda kebudayaan di Tanjungba la i
Asahan. Oleh sebab itu, perilaku budaya secara umum yang ditampilkan di daerah ini selalu
merepresentasikan dan mengatasnamakan Islam, karena telah menjadi adagium di kawasan ini
bahwa Melayu sama dengan Islam. Kendatipun agama Islam telah lama dianut oleh pendud uk
Tanjungbalai Asahan, tetapi banyak ditemukan ritual-ritual yang berasal dari ajaran animis me
yang terus tumbuh. Tradisi orang-orang Islam yang khas inilah yang disebut oleh Robert
Redfield sebagai little tradition yang membedakan keislaman masyarakat Tanjungbalai Asahan
dengan masyarakat Muslim di daerah lainnya (Matondang, 2016). Salah satu di antara tradisi
khas itu adalah tradisi Manyonggot yang dilakukan sebagai media penyembuhan. Manyonggot
secara antropologis dapat dipahami sebagai sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat
Tanjungbalai Asahan, khususnya di daerah pedalaman dan daerah-daerah pinggir laut lainnya
yang berkaitan dengan magis. Tradisi ini dilakukan ketika seseorang dari anggota masyarakat
kehilangan semangat badan yang disebabkan karena sebelumnya ia mengalami hal yang
membuatnya sangat terkejut.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan
metode etnografi (Croswell, John W:2007). Lokasi penelitian adalah Kota Tanjungba la i,
Sumatera Utara, alasan penentuan lokasi adalah karena kota Tanjungbalai merupakan daerah
yang masyarakat di dalamnya sebagai pelaku adat Manyonggot. Peneliti menganggap kajian
tentang Manyonggot dalam masyarakat melayu Asahan perlu untuk dilakukan sebagai salah
satu upaya melestarikan nilai budaya daerah setempat. Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah data kualitatif. Instrument penelitian adalah peneliti sendiri ditambah
dengan instrument tambahan berupa catatan lapangan. Pengumpulan data diperoleh dengan
metode pengamatan-partisipasif.
2. LANDASAN TEORI
Manusia hidup dalam ruang waktu yang ditempuh selama hidupnya. Sebahagiaan ruang
dan waktu yang ditempuh manusia ini mengandalkan transmisi budaya secara lisan atau
kelisanan. Untuk mengembangkan peradaban atau sivilisasinya, manusia belajar bak secara
formal maupun informal, manusia selalu belajar dari sejarah (Sinar, 2015). Menurut Garraghan
(1975) dalam Sinar, 2015 yang dimaksud sejarah itu memiliki tiga makna yaitu: (1) peritiwa-
peristiwa mengenai manusia pada masa lampau, aktualias masa lalu, (2) rekaman mengena i
manusia di masa lampau atau rekaman tentang aktualitas masa lampau, dan (3) proses atau
teknik membuat rekaman sejarah. Dari point pertama dapatlah kita menyebutkan bahwa tradisi
lisan masuk dalam kategori kajian sejarah sebab tradisi lisan sebagai sebuah kebudayaan yang
diwariskan secara turun temurun tentu melibatkan manusia pada masa lampau. Di dalam
konteks keilmuan, tradisi lisan ini berasal dari fakta-fakta yang berupa sumber “tak tertulis ”
yang ditrasnmisikan secara lisan. Selain itu, pelestarian kebudayaan seperti ini, sangat
bergantung pada kekuatan memori (daya ingat) dari generasi manusia yang mendukung tradisi
lisan tersebut. Tradisi lisan sangat kaya mengandung informasi dan sistem pengetahua n
kebudayaannya, yang melaluinya kita dapat belajar banyak tentang konsep-konsep kebudayaan
yang diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat pendukungnya (Sinar, 2015).
3. METODE PENELITIAN
4. PEMBAHASAN
4.1 Makna dan Fungsi Manyonggot
Berdasarkan asal usulnya kata “songgot” merupakan perbendaharaan kata dari bahasa
batak Toba yang telah diadopsi menjadi bahasa Melayu Asahan, dalam bahasa Batak “songgot”
memiliki arti kaget atau terkejut. Secara semantis kata manyonggot berarti mengejutkan atau
membuat terkejut, dalam hal ini manyonggot dimaknai sebagai acara adat yang bertujuan untuk
membuat terkejut orang yang sakit (karena terkejut disebabkan kecelakaan atau sebagainya)
agar semangat batinnya kembali lagi atau dalam kata lain manyonggot berfungsi agar rasa
terkejut yang sebelumnya diderita oleh seseorang hilang atau tondi badannya kembali datang.
Manyonggot adalah sebuah tradisi masyarakat Melayu terutama di kawasan Pesisir Timur
Sumatera Utara, dalam budaya melayu Asahan Manyonggot merupakan tradisi untuk menolak
bala dan penyakit bagi keluarga, saudara, atau siapapun yang terkena musibah (Sumber
wawancara Arifin 25 Oktober 2019 dalam Graldine, 2020).
Dalam masyarakat Melayu Asahan “manyonggot”dikenal sebagai sebuah acara adat
ketika seseorang secara diam-diam dan secara mendadak didatangi oleh serombongan orang
(sanak famili, jiran, karib kerabat) sambil dibawakan bale (balai) berisikan pulut (beras ketan),
marawal dan telur, bale kemudian diangkat ke atas kepala orang tersebut sambil diucapkan
doa-doa dan nasihat, kemudian dipakaikan kain sarung ke badan orang tersebut lalu ditaburi
beras dan bunga rampai serta disuapi dengan pulut yang terdapat pada bale, sebelum acara ini
dilaksanakan maka seluruh sanak famili dilarang menyebut kata-kata yang berhubunga n
dengan acara manyonggot, misalnya: bale, pulut, kain sarung, dan lain sebagainya, hal ini
bertujuan agar orang tersebut sama sekali tidak mengetahui bahwa dirinya akan disonggot oleh
keluarganya, larangan ini bertujuan supaya orang yang disonggot tersebut benar-benar terkejut
dengan acara penyonggotan itu dan diharap dengan terkejutnya ia, maka semangat badannya
(kekuatan mental) akan kembali datang atau sebagai doa dan harapan baik kepada dirinya, jika
seseorang mengetahui dirinya akan disonggot maka diyakini bahwa acara penyonggotan tidak
akan menjadi “obat” bagi orang tersebut. Seseorang yang disonggot biasanya orang yang
mengalami sakit parah, orang yang ditimpa sesuatu yang sangat mengejutkan (misalnya
tertabrak kendaraan), orang yang akan melahirkan, akan berangkat naik haji, dll.
(Matondang 2014:450 dalam Graldine, 2020) Menyonggot adalah adat istiadat untuk
mengembalikan kekuatan jiwa (semangat) seseorang yang sedang mengalami musibah seperti
kecelakan, sakit dan lain sebagainya. Songgot juga bisa digunakan dalam acara penghorma ta n
seperti berangkat haji, khitanan, atau khataman Alqur‟an. Acara ini dilakukan dengan
melakukan upah-upah, yaitu dengan membawa balai (wadah bersegi empat bertingkat) yang
didalamnya terisi pulut ketan yang diwarnai dengan warna kuning sedangkan yang berkaitan
dengan keagamaan dikaitakan dengan upah-upah
Nilai dan norma yang terkandung dalam tradisi lisan manyonggot adalah sebagai berikut:
Nilai: nilai budaya, nilai moral dan nilai religius
Norma: berserah diri kepada ketentuan Tuhan YME, perduli terhadap sesama, saling
menyayangi, pantang menyerah, dll
Hubungan manusia dengan manusia, kepedulian antar sesama juga sangat tercermin
dalam kehidupan masyarakat Tanjungbalai terkhusus bagi antar keluarga dan karib kerabat,
tradisi manyonggot adalah salah satu bentuk kepedulian antar sesama, orang yang hilang
semangat badannya karena merasakan terkejut akan dianggap perlu disonggot, manyonggot
adalah upaya sekelompok orang untuk menyembuhkan orang yang sakit, jadi tradisi tersebut
harus berasal dari inisiatif orang lain, tidak boleh orang yang mengalami sakit ikut
berpartisipasi dalam persiapan acara adat tersebut.
Hubungan manusia dengan leluhur, tradisi manyonggot adalah warisan leluhur, tetap
menyelenggrakan tradisi tersebut di tengah era moderen saaat ini adalah bentuk kepercayaan
dan keterikatan dengan leluhur.
Dalam konteks pemikiran Islam, kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al-
‘addah ma’rifah), yang dilawankan dengan al-‘addah al’jahiliyyah. Kearifan dapat dipahami
sebagai segala sesuatu yang didasari oleh ilmu pengetahuan, diakui akal, serta dianggap baik
oleh ketentuan agama (Sinar, 2015). Kearifan lokal yang terkandung di dalam tradisi
manyonggot adalah konsep tolak bala terkejut dengan mengejutkan kembali. Antidote adalah
penawar racun, dalam dunia medis, jika seseorang keracunan maka ada zat yang juga sifatnya
racun namun berfungsi untuk menjadi penawar. Masyarakat Melayu Asahan menggunaka n
konsep antidote tersebut. Jika ada orang yang ditimpa rasa terkejut yang sangat besar, sehingga
membuat semangat badannya hilang, maka orang yang bersangktan perlu dibikin terkejut agar
semangat badannya (tondi) kembali lagi. Kearifan lokal keseluruhan: bertolak dari fenomena
racun yang menjadi penawar bagi racun (antidote), masyarakat melayu Asahan percaya bahwa
rasa terkejut yang membuat seseorang menjadi jatuh sakit dapat dihilangkan dengan cara
kembali membuat dia terkejut.
Walaupun sulit dijelaskan secara ilmiah, namun acara adat ini selalu efektif, barangkali
karena dilakukan dengan keyakinan yang kuat dan sugesti positif sehingga orang yang telah
disonggot akan kembali bersemangat dan tidak lemah seperti sebelumnya.
4.5 Tata cara manyonggot (dimodifikasi dari tulisan Fata Ibnu Hajar):
1. Bale dibawa secara diam-diam dan mendadak kemudian diangkat ke atas kepala
orang yang disonggot (biasanya terlebih dahulu yang manyonggot adalah orang yang tertua )
sambil diucapkan hitungan dalam dialek setempat yaitu satu, duo, tigo, ompat, limo, onam
(diucapkan dengan cepat), tujuh (diucapkan dengan sangat lamban), hitungan ke tujuh bale
berada tepat di atas kepala orang yang disonggot, lalu orang yang menyonggot mengucapka n
doa kepada yang disonggot, misalnya “Sehat-sehat kau yo, selama-selamat dalam hidup ni,
elok elok dalam becakap supayo suko orang dengan awak yo”.
2. Orang yang manyonggot menyarungkan kain sarung ke badan orang yang disonggot,
disarungkan dari kepala hingga pinggang.
3. Orang yang manyonggot mencabut marawal (bunga bale dalam Wahid, 2008) dan
mengangkatnya ke atas kepala orang yang disonggot kemudian menyuapkan pulut (ketan) dan
inti (kelapa parut bergula merah) kepada orang yang disonggot.
4. Orang yang manyonggot menaburkan beras dan irisan bunga rampai dan pandan dari
kepala hingga badan serta memercikkan air renjisan ke telapak tangan orang yang disonggot.
5. Beras diambil dari piring kira-kira setengah kepalan lalu ditaburkan ke atas kepala
hingga badan orang yang disonggot.
6. Orang yang menyonggot menyalami orang yang disonggot sambil kembali
mengucapkan doa, nasihat dan harapan, misal “elok-elok kamu yo, sehat-sehat, balek semangat
badan” dan sebagainya.
Setelah prosesi di atas selesai, biasanya sanak keluarga tetap bertahan di kediaman
orang yang disonggot untuk saling bercerita dan bersilaturrahmi kepada anggota keluarga yang
lain, tak jarang acara adat ini diakhiri dengan makan bersama dan ditutup dengan pembacaan
doa.
5. KESIMPULAN
Ceswell, John W.2007. Second Edition Qualitative Inquiry and Research Design Choosing
Among Five Approaches. Sage Publication: India
Graldine, Pricilia. 2020. Makna Istiadat Songgot Pada Masyarakat Melayu Tanjung Balai:
Skripsi.MEDAN. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hajar, Fata Ibnu. Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Syair Manyonggot Pada Tradisi Sosial
Budaya Masyarakat Tanjungbalai, Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah.
Sinar, Silvana dan Muhammad Takari (2015). Teori dan Metode untuk Kajian Tradisi Lisan.
Medan: Penerbit Mitra
Wahid, Ramli Abdul. 2008. Kamus Bahasa Melayu Asahan. Medan: LP2IK