Anda di halaman 1dari 29

TUGAS MAKALAH

KONSELING ISLAMI

“KONSEP DAN MODEL KONSELING QUR’ANI”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah konseling islami

Dosen Pengajar
Lilim Halimah. BHSc,MHPSY

Disusun Oleh :
Kelompok 2
Raden Annisa Wahdini 20050119006
Astri Firdasannah 20050119011
Putri Gena Mayana 20050119031
Tekstidinegari Thaufik 21050119019

MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat rahmat Allah Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat dan
hidayahnya, Alhamdulillah kami dari kelompok dua dapat menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh Ibu Lilim Halimah, BHSc, MHPsy yaitu membuat makalah mengenai
materi “Konsep dan Model Konseling Qur’ani”.
Makalah ini memuat penjelasan dan uraian mengenai konseling qur’ani dan
pengaplikasiannya berupa modul konseling qur’ani berdasarkan fenomena yang
diangkat.
Dalam pembuatannya makalah ini, tentunya banyak pihak yang mendukung
serta memberikan dorongan kepada kami, untuk itu kami ingin mengucapkan
terimakasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung kami dalam penyelesaian
makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh
pembacanya, walau tentunya didalamnya masih banyak terdapat kekurangan dan
kesalahan, untuk hal itu kami ingin memohon maaf, kami tunggu kritik dan sarannya
agar kami dapat memperbaiki kesalahan, melengkapi segala kekurangan, dan agar kami
dapat membuat tugas yang lebih baik lagi di masa mendatang.

Bandung, Juli 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................3
KONSEP DASAR KONSELING QUR’ANI...................................................................3
1.1. Konseling............................................................................................................3
1.2. Konseling Islami.................................................................................................5
1.3. Konseling Qur’ani...............................................................................................6
1.3.1. Definisi Konseling Qur’ani..............................................................................6
1.3.2. Ciri Khas Konseling Qur’ani...........................................................................7
1.3.3. Tujuan Konseling Qur’ani................................................................................8
1.3.2. Tahapan Konseling Qur’ani.............................................................................9
1.4. Kecemasan........................................................................................................12
1.4.1. Definisi Kecemasan.......................................................................................12
1.4.2. Aspek-Aspek Kecemasan...............................................................................13
1.4.3. Jenis-Jenis Kecemasan...................................................................................13
1.4.4. Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan........................................................14
1.4.5. Tingkat Kecemasan........................................................................................15
1.4.6. Upaya Untuk Mengurangi Kecemasan..........................................................16
BAB II.............................................................................................................................17
PEMBAHASAN FENOMENA DAN MODUL KONSELING QUR’ANI...................17
1.1. Kasus/Fenomena...............................................................................................17
1.2. Pembahasan Kasus............................................................................................18
1.3. Modul Konseling Qur’ani.................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................19

3
BAB I

KONSEP DASAR KONSELING QUR’ANI

1.1. Konseling
Kata konseling (counseling) berasal dari kata counsel yang diambil dari bahasa
Latin yaitu counselium, artinya “bersama” atau “bicara bersama”. Pengertian “berbicara
bersama-sama” dalam hal ini adalah pembicaraan konselor (counselor) dengan seorang
atau beberapa klien (conselee). (Latipun, 2008).
Counseling, dalam kamus bahasa inggris berkaitan dengan kata Counsel, yang
mempunyai arti sebagai berikut: nasihat (to obtion counsel); anjuran (to give counsel);
pembicaraan (to task counsel). Dengan demikian, counseling diartikan sebagai
pemberian nasihan, pemberitan anjuran dan pembicaraan dengan bertukar pikiran.
Menurut American Counseling Association (2018), konseling profesional adalah
suatu hubungan profesional yang bertujuan untuk memberdayakan perbedaan individu,
keluarga, dan kelompok sehingga mampu mencapai tujuan kesehatan mental,
kesejahteraan, pendidikan, dan karir. Konseling psikologi adalah kegiatan yang
dilakukan untuk membantu mengatasi masalah psikologis yang berfokus pada aktivitas
preventif dan pengembangan potensi positif yang dimiliki dengan menggunakan
prosedur berdasar teori yang relevan, dilakukan untuk menyelesaikan masalah
pendidikan, perkembangan manusia ataupun pekerjaan baik secara individual maupun
kelompok (Kode Etik Himpsi, 2010).
Carl Rogers, seorang psikolog humanistic terkemuka, berpandangan bahwa
konseling merupakan hubungan terapi dengan klien yang bertujuan untuk melakukan
perubahan self (diri) pada pihak klien. Pada intinya Rogers dengan tegas menekankan
pada perubahan sistem self klien sebagai tujuan konseling akibat dari struktur hubungan
konselor dengan kliennya. (Latipun, 2008).
Dalam bahasa Arab, konseling diartikan sebagai al-irsyad, istisyarah dan kata
bimbingan diartikan dengan al-taujih. Maka guidance and counseling dialih bahasakan
menjadi al-Taujih wa al-Irsyad atau al-Taujih wa al-Istisyarah. Al-irsyad serta akar
katanya (isytiqaqnya) dalam al-Qur’an ditemukan dengan menggunkan kata rasyada

4
(min amrina rasyada), kemudian yarsyudun(la‟allahum yarsyudun). Kata al-Rasyid
merupakan salah satu dari nama Allah (al-Asma‟ al-Husna) yang sembilan puluh
sembilan. Kata ini pun dapat ditemukan dalam al-Qur’an dalam kalimat alaisa minkum
rajulun rasyid. Sedangkan dalam hadis temukan kata rusydi, sebagaimana doa Nabi
Muhammad: Allahumma alhimni rusydi wa a‟idzni min syarri nafsi. Dalam hadis lain
beliau bersabda: ‘alaikum bisunnati wa sunnati khulafa’ al-rasyidin almahdiyyin
(Diponegoro, 2014).

1.2. Konseling Islami


Konseling islami merupakan salah satu pendekatan dari teknik konseling yang
menggunakan konsep islam sebagai dasar kajiannya. Menurut Rajab (2015), konseling
islami merupakan bantuan terarah daripada seorang konselor terhadap klien yang
menghadapi masalah, sehingga klien tersebut boleh menjalani hidup dengan lebih baik
dan bahagia sesuai dengan panduan dan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh itu,
Konseling Islam dapat diformulasikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan
kesedaran individu bagi meraih kebahagiaan hidup di dunia dan juga di akhirat.
Tujuan dari Konseling Islami adalah bahwa dalam kehidupan haruslah hubungan
sesama manusia itu dilandasi oleh keimanan, kasih sayang, saling menghargai, dan
berupaya saling membantu berdasarkan iman kepada Allah SWT. Layanan konseling
islami dilakukan dengan beberapa layanan bantuan, yaitu tabayyun, al-hikmah,
mau’idlah, dan mujadalah (Willis, 2007)
1. Tabbayun, yaitu memperoleh kejelasan informasi atau data mengenai pribadi klien.
Layanan ini berkaitan dengan upaya memahami karakteristik pribadi klien sebelum
memberikan treatment atau intervensi. Langkah ini sangat baik, karena dapat
mencegah terjadinya kesalahan atau kekeliruan dalam memberikan konseling.
2. Al-Hikmah, yaitu memberikan wawasan keilmuwan atau memberikan informasi
tentang berbagai hal yang bermakna bagi potensi dirinya. Informasi yang diberikan
itu seperti hakekat jati diri sebagai hamba Allah dan khalifah, tugas dan tujuan hidup
di dunia, karakteristik akhlak mulia, prinsip-prinsip belajar dalam Islam, romantika
kehidupan menurut Islam, dan konsep kerja dalam Islam. Melalui pemberian
informasi tersebut, diharapkan klien memiliki (a) kesadaran tentang makna hidupnya

5
di dunia ini, (b) kemampuan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan
terjadi, dan (c) terampil dalam mengambil keputusan atau menemukan alternatif
yang paing baik bagi kehidupannya (bagi dirinya sendiri dan orang lain).
3. Mau’idhah (taushiah), yaitu pemberian nasihat kepada klien yang mengalami
masalah secara individual. Nasihat ini berisi berbagai petunjuk, ilustrasi, atau contoh-
contoh kehidupan para rasul, sahabat, para ulama, atau para tokoh shaleh lainnya.
Melalui taushiah ini diharapkan ini diharapkan klien dapat menyelesaikan
masalahnya, tercerahkan pikiran dan perasaannya, sehingga dapat menjalani
kehidupan dengan penuh percaya diri, tawakal, bersyukur, dan bersabar.
4. Mujadalah, yaitu upaya menciptakan situasi yang dialogis dalam proses konseling
secara kelompok. Di sini konselor tidak mendominasi pembicaraan, atau
memberikan indoktrinasi kepada klien, akan tetapi memberikan kesempatan atau
peluang untuk berdiskusi, curah pendapat, mengemukakan pendapat atau
masalahnya, sehingga terjadi dialog yang dapat mengembangkan pencerahan berpikir
yang positif dan penyelesaian masalahnya secara tepat.
Ada beberapa prinsip dalam konseling islam menurut Faqih (2001), adalah
sebagai berikut:
a. Asas-asas kebahagiaan dunia dan akhirat (Al-Baqarah: 201), (Ar-Ra’d: 26, 28-
29), (Al-Qashash: 77)
b. Asas fitrah (Ar-Rum: 30)
c. Asas lillahi ta’ala (Al-An’am: 162), (Adz-Dzariyat: 56), (Al-Bayinah: 5)
d. Asas bimbingan seumur hidup
e. Asas kesatuan jasmaniah-rohaniah (Al-Baqarah: 187)
f. Asas keseimbangan rohaniah (Al-A’raf: 179)
g. Asas kemaujudan individu (Al-Qamar: 49), (Al-Kahfi: 29)
h. Asas sosialitas manusia (An-Nisa: 1)
1.3. Konseling Qur’ani
1.3.1. Definisi Konseling Qur’ani
Konseling Islami bertujuan untuk menghantarkan manusia berada dalam kondisi
sehat holistik, salah satunya adalah mencapai kesehatan spiritual (Adz-Dzakiy, 2015).
Kesehatan spiritual mempengaruhi dan membatasi, sekaligus dipengaruhi dan dibatasi

6
oleh kesehatan mental, fisik, sosial, dan finansial, demikian pula sebaliknya. Salah satu
metode konseling islami yakni konseling dengan menggunakan ayat Al-Qur’an (Hayat,
2017).
Konseling qur’ani sendiri berarti proses konseling dengan berpedoman pada
firman Allah dalam Al-Qur’an (Budiharto & Anggraini, 2007). Konseling Qurani
adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran, dan pedoman kepada individu
yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien dapat
mengembangkan potensi akal fikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta
dapat menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar
secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
(Adz-Dzaky, 2015).
Menurut Erhamwilda (2009), dasar pokok ajaran Islam adalah AlQur’an dan
Hadits yang perlu digali secara kritis sehingga dapat mengaplikasikan konsep dasar
konseling yang sudah ada di dalamnya secara profesional. Adz-Dzaky (2006)
menjelaskan bahwa Islam dan ajarannya berisi tuntunan untuk membantu dan
membimbing manusia membangun kepribadiannya supaya tangguh, sehat mental,
tenang jiwa, sehingga dapat menanggulangi berbagai problem hidupnya dan dapat
senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sosial dan kehidupan
transendental. Ayat-ayat Al-Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling,
Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mau mempelajari
ayat-ayat Al-Qur’an.Firman Allah swt. yang artinya: “Sesungguhnya telah Kami
mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”
(QS. Al-Qamar: 40).
Konseling Qur’ani dapat dilakukan sebagai metode untuk meningkatkan
kesehatan mental karena Al-Qur’an dapat membantu seseorang untuk menemukan
makna dalam kehidupannya. Seperti hasil dari penelitian Bastaman (2007), yang
mengungkapkan bahwa untuk meraih kebahagiaan manusia perlu menemukan makna
dalam setiap aktivitas kehidupannya, salah satu caranya adalah dengan menghayati dan
mengamalkan ibadah, shalat, dzikir, doa, puasa, zakat infak shadaqah, haji, umrah, serta
mengkaji Al-Qur’an dan maknanya. 30 Kajian literatur yang dilakukan oleh Kusnadi
(2014) menunjukkan bahwa konseling dan psikoterapi islami merupakan suatu cara

7
yang dilakukan untuk membantu individu yang mengalami gangguan psikis dengan
menggunakan cara-cara yang bersumberkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Konseling ini
merupakan salah satu unsur kehidupan yang saling melengkapi, dengan proses
pendidikan yang berkesinambungan dan juga pengajaran yang urgen dalam kehidupan
setiap individu.
1.3.2. Ciri Khas Konseling Qur’ani
Adz Dzaky (2002) menyebutkan ciri khas konseling islam yang sangat mendasar
adalah, sebagai berikut :
a. Berparadigma kepada wahyu dan ketauladanan para Nabi, Rasul, dan ahli warisnya.
b. Hukum konselor memberikan konseling kepada konseli klien dan konseli/klien
yang meminta bimbingan kepada konselor adalah wajib dan suatu keharusan
bahkan merupakan ibadah.
c. Akibat konselor menyimpang dari wahyu dapat berakibat fata; bagi dirinya sendiri
maupun konseli/klien dan Allah menghukumi mereka sebagai orang yang
mendustakan agama (kafir), melanggar agama dengan sengaja dan terang-terangan
(zhalim), menganggap enteng dan mengabaikan agama (fasiq).
d. Sistem konseling islam dimulai dengan pengarahan kepada kesadaran nurani
dengan membacakan ayat-ayat Allah, setelah itu baru melakukanproses terapi
dengan membersihkan dan mensucikan sebab-sebab terjadinya penyimpangan,
kemudian setelah tampak cahaya kesucian dalam dada (qalb), akal fikiran dan
kejiwaan, baru proses pembimbingan dilakukan dengan mengajarkan pesan-pesan
Al-Qur’an dalam mengantarkan individu kepada perbaikan-perbaikan diri secara
esensial dan diiringi dengan Al-Hikmah, yaitu rahasia-rahasia dibalik segala
peristiwa yang terjadi di dalam hidup dan kehidupan.
e. Konselor sejati dan utama adalah mereka yang dalam proses konseling selalu
dibawah bimbingan atau pintu pimpinan Allah dan Al-Qur’an.

1.3.3. Tujuan Konseling Qur’ani


Tujuan konseling Qur’ani dibagi menjadi tiga bagian, yakni sebagai berikut:
(Sutoyo, 2009).

8
1. Tujuan jangka pendek yang ingin dicapai melalui kegiatan bimbingan adalah agar
individu memahami dan mentaati tuntunan Al-Qur’an. Dengan tercapainya tujuan
jangka pendek ini diharapkan individu yang dibimbing dapat terbina iman (fitrah)
individu hingga membuahkan amal saleh yang dilandasi dengan keyakinan yang
benar yakni:
a. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang harus selalu tunduk dan patuh
pada segala aturan-Nya.
b. Selalu ada kebaikan (hikmah) di balik ketentuan (taqdir) Allah yang berlaku
atas dirinya.
c. Manusia adalah hamba Allah, yang harus ber-ibadah kepada-Nya sepanjang
hayat.
d. Ada fitrah (iman) yang dikaruniakan Allah kepada setiap manusia, jika fitrah
iman dikembangkan dengan baik, akan menjadi pendorong, pengendali, dan
sekaligus pemberi arah bagi fitrah jasmani, rohani, dan nafs akan
membuahkan amal saleh yang menjamin kehidupannya selamat di dunia dan
akhirat.
e. Esensi iman bukan sekedar ucapan dengan mulut, tetapi lebih dari itu adalah
membenarkan dengan hati, dan mewujudkan dalam amal perbuatan.
f. Hanya dengan melaksanakan syariat agama secara benar,potensi yang
dikaruniakan Allah kepadanya bisa berkembang optimal dan selamat dalam
kehidupan di dunia dan akhirat yang tampil dalam bentuk kepatuhan
terhadap hukum-hukum Allah dalam melaksanakan amanah yang
dibebankan kepadanya, dan ketaatan dalam beribadah sesuai tuntunan-Nya.
2. Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai adalah agar individu yang dibimbing
secara bertahap bisa berkembang menjadi pribadi kaffah, dan secara bertahap
mampu mengaktualisasikan apa yang diimaninya itu dalam kehidupan sehari – hari,
yang tampil dalam bentuk kepatuhan terhadap hukum-hukum Allah dalam
melaksanakan tugas kekhalifahan dibumi, dan ketaatan dalam beribadah dengan
mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
3. Tujuan akhir yang ingin dicapai melalui bimbingan adalah agar individu yang
dibimbing selamat dan bisa hidup bahagia di dunia dan akhirat.

9
1.3.2. Tahapan Konseling Qur’ani
Langkah-langkah dan proses konseling Qurani sendiri didasarkan pada QS. Yunus
[10]: 57 yang artinya :
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57).
Ayat di atas menegaskan adanya empat fungsi Al-Qur‟an, yaitu: pengajaran, obat,
petunjuk dan rahmat. Penerapan terhadap empat fungsi ini, dapat dibentangkan secara
bertahap bahwa pengajaran Al-Qur‟an untuk pertama kalinya menyentuh hati yang masih
diselubungi oleh kabut keraguan, kelengahan dan aneka sifat kekurangan. Dengan sentuhan
pengajaran itu, keraguan berangsur sirna dan berubah menjadi keimanan, kelengahan
beralih sedikit demi sedikit menjadi kewaspadaan. Demikian pula Al-Alusi dalam tafsirnya
mengatakan bahwa ayat di atas adalah mengisyaratkan pada jiwa manusia akan mencapai
derajat dan keuntungan secara sempurna bila berpegang teguh pada al-Qur’an melalui
empat tahapan, yaitu:
1. Tahap dan proses membersihkan segala aktivitas yang tampak dengan
meninggalkan berbagai tindakan yang tidak patut dilakukan sebagaimana di
isyaratkan dalam kata al-mau`idhah.
2. Membersihkan prilaku psikologis dari berbagai keruskan akidah dan dari
berbagai prangai yang tercela sebagaimana diisyaratkan dalam ayat syifa‟ lima
fi al-shudur.
3. Menghiasi jiwa dengan akidah yang benar dan akhlak terpuji. Hal ini tidak bisa
didapatkan kecuali dengan hidayah.
4. Pemusatan terhadap cahaya rahmat ilahiah dengan jiwa yang sempurna dan siap
menerima kesempurnaan lahir maupun batin.
Keempat langkah yang terkait dengan langkah-langkah konseling
sebagaimana di atas sebenarnya dapat disederhanakan menjadi tiga tahap. Yakni :
1. proses takhalli, yaitu pembersihan terhadap hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti
perilaku, tindakan dan aktivitas yang menyimpang (mauidhah) dan bersifat
batiniah, seperti kekeliruan akidah, dan akhlak yang tercela (syifa‟).
2. proses tahalli, yaitu pemberian dan pengisian jiwa yang bersih dengan akidah
yang benar dan akhlak terpuji (hidayah).

10
3. proses tajalli, yaitu pemusatan ruhaniah atau spiritual tertinggi menuju tingkatan
rabbaniah dan ilahiah (yang disebut sebagai rahmat).
Menurut Mansur (2016), Ada beberapa tahap yang dilakukan pada saat melakukan
konseling qur’ani, antara lain:
1) Mengucap istighfar sebanyak tiga kali sembari menyerahkan semuanya kepada
Allah SWT. Salah satu efek berdzikir yaitu melenyapkan kegelisahan,
keresahan, dan kecemasan dalam hati (Adz-Dzakiey, 2014).
2) Membaca al-fatihah serta menghayati tiap lantunan ayat yang dibaca serta
dimaknai dengan mendalam dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat
mencari pertolongan. Surat Al-Fatihah mencukupi manusia dalam mengatasi
segala keresahan, melindungi kesusahan dan keburukan, serta menjadi mantera
dalam menghadapi kesulitan (Shihab, 2004).
3) Mencurahkan isi hati kepada Allah SWT (boleh melalui tulisan ataupun ucapan)
dan mengungkapkan satu per satu permasalahan tidak sekaligus agar mendapat
jawaban yang juga sesuai.
4) Membuka Al-Qur’an dan menunjuk secara random. Bagi perempuan yang
sedang menstruasi dapat diwakilkan oleh temannya dengan sebelumnya
mengucapkan akad atau kesepakatan bahwa teman tersebut akan melakukan
konseling qur’ani baginya.
5) Memaknai ayat yang telah ditunjuk, pada tahap ini alangkah baiknya dibantu
oleh trainer agar dapat menangkap makna jawaban dari Allah yang dikaitkan
dengan permasalahan yang dihadapi. Namun jika klien sudah terbiasa
melakukan pemaknaan sendiri maka dapat dilakukan sendiri. Pada tahapan
terakhir ini seseorang harus benar-benar memiliki keyakinan bahwa Allah akan
menjawab pertanyaan atau solusi dari permasalahan yang dihadapinya.
Selain itu, ada salah satu cara melakukan konseling qur’ani yang sudah dibuktikan
secara ilmiah melalui penelitian, yang dilakukan oleh Budiharto & Anggraini (2007),
yakni sebagai berikut:
1. Konseli menulis/menceritakan masalah, atau pengalaman mengesankan yang
dialami akhir-akhir ini.

11
2. Konseli menghayati eksistensi manusia dalam Al-Qur’an, fungsi Al- Qur’an
sebagai petunjuk, penyembuh, rahmat, dan pembeda kebenaran dan kebatilan.
3. Konseli mengucapkan ayat Al-Qur’an yang dihafal dengan terlebih dahulu
membaca ta’awudz dan basmalah, dilanjutkan membaca terjemahannya.
4. Konseli membuka Al-Qur’an secara spontan dengan terlebih dahulu membaca
ta’awudz, membaca salah satu atau beberapa ayat, dan membaca terjemahannya.
5. Konseli menceritakan makna yang diperoleh dari penghayatan terhadap
terjemahan ayat yang telah dibaca, sebagai media memahami masalah hidupnya.
6. Konseli dan terapis saling berdiskusi dan sharing pengalaman mengenai
hubungan makna terjemah ayat dengan masalah/pengalaman mengesankan yang
dialami, sebagai media memperkaya makna hidup masing-masing.
Tahap konseling qur’ani yang serupa juga disampaikan oleh Budiharto (2017),
yakni fokus atau inti dari melakukan konseling qur’ani adalah klien mampu untuk
memaksimalkan kognitifnya dalam berinteraksi dengan Allah sebagai Penciptanya
melalui Al-Qur’an. Al-Qur’an yang dibaca adalah acak hingga menemukan jawaban
dari suatu permasalahan yang dikeluhkan oleh konseli.
1.4. Kecemasan
1.4.1. Definisi Kecemasan
Istilah kecemasan dalam Bahasa Inggris yaitu anxiety yang berasal dari Bahasa
Latin angustus yang memiliki arti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik
(Trismiati, dalam Yuke Wahyu Widosari, 2010: 16). Selanjutnya Steven Schwartz, S
(2000: 139) mengemukakan kecemasan berasal dari kata Latin anxius, yang berarti
penyempitan atau pencekikan. Kecemasan mirip dengan rasa takut tapi dengan fokus
kurang spesifik, sedangkan ketakutan biasanya respon terhadap beberapa ancaman
langsung, sedangkan kecemasan ditandai oleh kekhawatiran tentang bahaya tidak
terduga yang terletak di masa depan.
Syamsu Yusuf (2009: 43) mengemukakan anxiety (cemas) merupakan
ketidakberdayaan neurotik, rasa tidak aman, tidak matang, dan kekurangmampuan
dalam menghadapi tuntutan realitas (lingkungan), kesulitan dan tekanan kehidupan
sehari-hari.

12
Definisi yang paling menekankan mengenai kecemasan dipaparkan juga oleh
Jeffrey S. Nevid, dkk (2005: 163) “kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang
mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan,
dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi”.
Dari berbagai pengertian kecemasana (anxiety) yang telah dipaparkan di atas
dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah kondisi emosi dengan timbulnya rasa tidak
nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang samar-samar disertai
dengan perasaan yang tidak berdaya serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu hal
yang belum jelas.
1.4.2. Aspek-Aspek Kecemasan
Kecemasan mempunyai segi yang disadari yaitu seperti rasa takut, terkejut, tidak
berdaya, rasa berdosa atau bersalah, terancam dan sebagainya. Oleh karena itu rasa
cemas terdapat dalam semua gangguan dan penyakit jiwa (Murtadho, 2008: 121-122).
Menurut Nevid (2003), aspek-aspek yang diukur dalam kecemasan meliputi :
1. Secara fisik meliputi kegelisahan, kegugupan, tangan dan anggota tubuh yang
bergetar atau gemetar, banyak berkeringat, mulut atau kerongkongan terasa
kering, sulit berbicara, sulit bernafas, jantung berdebar keras atau berdetak
kencang, pusing, merasa lemas atau mati rasa, sering buang air kecil, merasa
sensitif, atau mudah marah.
2. Secara behavioral meliputi perilaku menghindar, perilaku melekat dan dependent,
perilaku terguncang.
3. Secara kognitif meliputi khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu atau
ketakutan atau aphensi terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan
bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi tanpa penjelasan yang jelas,
ketakutan akan kehilangan konrol, ketakutan akan ketidakmampuan untuk
mengatasi masalah, berpikir bahwa semuanya tidak bisa lagi dikendalikan, merasa
sulit memfokuskan pikiran danberkonsentrasi.
1.4.3. Jenis-Jenis Kecemasan
Menurut Spilberger (dalam Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra, 2012: 53)
menjelaskan kecemasan dalam dua bentuk, yaitu:

13
1. Trait anxiety, yaitu adanya rasa khawatir dan terancam yang menghinggapi
diri seseorang terhadap kondisi yang sebenarnya tidak berbahaya. Kecemasan
ini disebabkan oleh kepribadian individu yang memang memiliki potensi
cemas dibandingkan dengan individu yang lainnya.
2. State anxiety
State anxiety, merupakan kondisi emosional dan keadaan sementara pada diri
individu dengan adanya perasaan tegang dan khawatir yang dirasakan secara
sadar serta bersifat subjektif.
Sedangkan menurut Freud (dalam Feist & Feist, 2012: 38) membedakan
kecemasan dalam tiga jenis, yaitu:
1. Kecemasan neurosis
Kecemasan neurosis adalah rasa cemas akibat bahaya yang tidak diketahui.
Perasaan itu berada pada ego, tetapi muncul dari dorongan id. Kecemasan
neurosis bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri, namun
ketakutan terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika suatu insting dipuaskan.
2. Kecemasan moral
Kecemasan ini berakar dari konflik antara ego dan superego. Kecemasan ini
dapat muncul karena kegagalan bersikap konsisten dengan apa yang mereka
yakini benar secara moral. Kecemasan moral merupakan rasa takut terhadap
suara hati. Kecemasan moral juga memiliki dasar dalam realitas, di masa lampau
sang pribadi pernah mendapat hukuman karena melanggar norma moral dan
dapat dihukum kembali.
3. Kecemasan realistic
Kecemasan realistik merupakan perasaan yang tidak menyenangkan dan tidak
spesifik yang mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri. Kecemasan realistik
merupakan rasa takut akan adanya bahaya-bahaya nyata yang berasal dari dunia
luar.
1.4.4. Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Blacburn & Davidson (dalam Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra, 2012: 51)
menjelaskan faktor-faktor yang menimbulakan kecemasan, seperti pengetahuan yang
dimiliki seseorang mengenai situasi yang sedang dirasakannya, apakah situasi tersebut

14
mengancam atau tidak memberikan ancaman, serta adanya pengetahuan mengenai
kemampuan diri untuk mengendalikan dirinya (seperti keadaan emosi serta fokus
kepermasalahannya).
Kemudian Adler dan Rodman (dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawita, S, 2014:
145- 146) menyatakan terdapat dua faktor yang dapat menimbulkan kecemasan, yaitu:
1. Pengalaman negatif pada masa lalu
Sebab utama dari timbulnya rasa cemas kembali pada masa kanak-kanak, yaitu
timbulnya rasa tidak menyenangkan mengenai peristiwa yang dapat terulang
lagi pada masa mendatang, apabila individu menghadapi situasi yang sama dan
juga menimbulkan ketidaknyamanan, seperti pengalaman pernah gagal dalam
mengikuti tes.
2. Pikiran yang tidak rasional
Pikiran yang tidak rasional terbagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Kegagalan ketastropik, yaitu adanya asumsi dari individu bahwa sesuatu
yang buruk akan terjadi pada dirinya. Individu mengalami kecemasan serta
perasaan ketidakmampuan dan ketidaksanggupan dalam mengatasi
permaslaahannya.
b. Kesempurnaan, individu mengharapkan kepada dirinya untuk berperilaku
sempurna dan tidak memiliki cacat. Individu menjadikan ukuran
kesempurnaan sebagai sebuah target dan sumber yang dapat memberikan
inspirasi.
c. Persetujuan
d. Generalisasi yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang berlebihan, ini terjadi
pada orang yang memiliki sedikit pengalaman.
1.4.5. Tingkat Kecemasan
Kecemasan (Anxiety) memiliki tingkatan Gail W. Stuart (2006: 144)
mengemukakan tingkat ansietas, diantaranya:
1. Ansietas ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, ansietas ini
menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya.

15
Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta
kreativitas.
2. Ansietas sedang
Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang persepsi
individu. Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian yang selektif
namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk
melakukannya.
3. Ansietas berat
Sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung berfokus pada
sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain. Semua
perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan
banyak arahan untuk berfokus pada area lain.
4. Tingkat panik
Berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Hal yang rinci terpecah
dari proporsinya karena mengalami kehilangan kendali, individu yang
mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan.
Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan
aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional.
1.4.6. Upaya Untuk Mengurangi Kecemasan
Cara yang terbaik untuk menghilangkan kecemasan ialah dengan jalan
menghilangkan sebeb-sebabnya. Menurut Zakiah Daradjat (1988: 29) adapun cara-cara
yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Pembelaan
Usaha yang dilakukan untuk mencari alasan-alasan yang masuk akal bagi
tindakan yang sesungguhnya tidak masuk akal, dinamakan pembelaan.
Pembelaan ini tidak dimaksudkan agar tindakan yang tidak masuk akal itu
dijadikan masuk akal, akan tetapi membelanya, sehingga terlihat masuk akal.
Pembelaan ini tidak dimaksudkan untuk membujuk atau membohongi orang

16
lain, akan tetapi membujuk dirinya sendiri, supaya tindakan yang tidak bisa
diterima itu masih tetap dalam batas-batas yang diingini oleh dirinya.
2. Proyeksi
Proyeksi adalah menimpakan sesuatu yang terasa dalam dirinya kepada orang
lain, terutama tindakan, fikiran atau dorongan-dorongan yang tidak masuk akal
sehingga dapat diterima dan kelihatannya masuk akal.
3. Identifikasi
Identifikasi adalah kebalikan dari proyeksi, dimana orang turut merasakan
sebagian dari tindakan atau sukses yang dicapai oleh orang lain. Apabila ia
melihat orang berhasil dalam usahanya ia gembira seolah-olah ia yang sukses
dan apabila ia melihat orang kecewa ia juga ikut merasa sedih.
4. Hilang hubungan (disasosiasi)
Seharusnya perbuatan, fikiran dan perasaan orang berhubungan satu sama lain.
Apabila orang merasa bahwa ada seseorang yang dengan sengaja menyinggung
perasaannya, maka ia akan marah dan menghadapinya dengan balasan yang
sama. Dalam hal ini perasaan, fikiran dan tindakannya adalah saling
berhubungan dengan harmonis. Akan tetapi keharmonisan mungkin hilang
akibat pengalaman- pengalaman pahit yang dilalui waktu kecil.
5. Represi
Represi adalah tekanan untuk melupakan hal-hal, dan keinginan-keinginan yang
tidak disetujui oleh hati nuraninya. Semacam usaha untuk memelihara diri
supaya jangan terasa dorongan-dorongan yang tidak sesuai dengan hatinya.
Proses itu terjadi secara tidak disadari.
6. Subsitusi
Substitusi adalah cara pembelaan diri yang paling baik diantara cara-cara yang
tidak disadari dalam menghadapi kesukaran. Dalam substitusi orang melakukan
sesuatu, karena tujuan-tujuan yang baik, yang berbeda sama sekali dari tujuan
asli yang mudah dapat diterima, dan berusaha mencapai sukses dalam hal itu.

Altruisme

17
Altruism adalah tindakan suka rela yang dilkukan oleh seseorang ataupun kelompok orang untuk
menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali mungkin perasaan telah melakukan
perbuatan baik (Sears dkk, 1994). Menurut Myers, altruistic didefinisikan sebagai hasrat untuk menolong
orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri (Sarwono, 1999). Menurut Keer dkk. (2004) altruistic
merupakan suatu sifat suka mempertahankan juga mengutamakan kepentingan orang lain, cinta kasih
yang tidak terbatas pada sesama manusia, juga merupakan sifat manusia yang berupa dorongan untuk
berbuat jasa dan kebaikan terhadap orang lain. Untuk mengukur seseorang tersebut dikatakan bersikap
altruistic (Durkheim, 1997), digunakan indikator sebagai berikut: menolong sesama tanpa pamrih,
tidak egois, bersedia berkorban, peka dan siap bertindak demi membantu sesama yang kesusahan,
mempunyai rasa belas kasihan, murah hati, tidak tegaan, penuh kasih sayang, dan empati. Terdapat tiga
makna yang dapat mewakili dari kata altruisme, yaitu:

a. Lovin^ other as oneself, mencintai orang lain seperti diri sendiri


b. Behavior that promotes the survival chances of other at a cost to ones own, tingkah laku itu
mempromosikan mempertahankan kehidupan harapan orang lain berharga untuk diri sendiri
c. Self-sacrifice for the benefit of others, pengorbanan diri untuk kebaikan orang lain (Sachdev,
2006)

tsar
I

Itsar adalah mendahulukan orang lain dari pada dirinya sendiri (al Usaimin, 2002). Seseorang disebut
telah
berpribadi itsar dalam kehidupan sehari-hari apabila telah mampu memandang kebutuhan dan
kepentingan orang lain lebih penting dari pada kepentingan pribadinya sendiri (Al Usaimin, 2002). Al-
itsar juga bisa diartikan sebagai suatu konsep perilaku sosial yang memberikan perlakuan kepada orang
lain seperti perlakuan kepada dirinya sendiri (kamus al-Munawwir, 1997). Secara garis besar,
pengertian itsar menurut ketiga ulama tersebut adalah "tindakan mendahulukan orang lain atas dirinya
sendiri dalam hal keduniaan dengan sukarela karena semata mengharapkan akhirat" (Sholeh, 2011).

Al jurjani (dalam Sholeh, 2011) menambahkan kata kunci sekaligus memberi konteks yang jelas
terhadap itsar yaitu, itsarsebagai 'puncak ukhuwah'. Berdasarkan kata kunci ini maka dapat dipahami
bahwa tindakan itsar tidak muncul secara tiba - tiba. Itsar tumbuh seiring tumbuhnya rasa
persaudaraan, ukhuwwah, melalui pendidikan, latihan dan pembiasaan seiring pertumbuhan usia
seseorang. Maka dapat dikatakan bahwa pribadi mu'tsir, yang memiliki itsar, dapat tumbuh dengan baik
jika dilandasi tumbuhnya kondisi mental yang sehat, empatik, mampu dan percaya kepada diri dan orang
lain. Dengan landasan ini seseorang mampu menjalin hubungan yang tulus, dan berkomunikasi dengan
jujur, serta membangun persaudaraan yang dekat dengan orang lain. Sebab hanya dengan kondisi
psikologis dan tingkat pemahaman tersebut seseorang mampu mencapai puncak persaudaraan yaitu itsar,
yang ditandai dengan kerelaan bekerja sama, menolong dan berkorban untuk orang lain dengan tulus
tanpa mengharapkan imbalan dari sesama, tetapi meniatkan dengan ikhlas hanya untuk Allah SWT.

Konsep Dasar Ajaran Agama Islam yang Berkaitan dengan itsar

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa itsar memiliki indikasi perilaku antara lain mengutamakan,
mendahulukan atau menghormati orang lain. Seseorang disebut telah berpribadi itsar dalam
kehidupan sehari-hari apabila telah mampu memandang kebutuhan dan kepentingan orang lain

18
lebih penting dari pada kepentingan pribadinya sendiri. Jika orang yang lebih mementingkan dirinya
sendiri disebut "egois", maka itsar adalah orang yang lebih dulu mementingkan orang lain (dalam
urusan muamatah). Itsar mendorong seseorang menjadi pribadi yang mu'tsir, dermawan. Sedangkan
egoism diekspresikan melalui perilaku kikir atau bakhil dalam aspek materiil, dan moril. Termasuk
didalamnya adalah kesediaan berkorban waktu, tenaga dan psikis. Seperti yang dikemukakan oleh
Islamiyah (2006) bahwa keberagamaan dalam bentuknya yang matang mencakup paling tidak adanya
unsur sumber motivasi dan dorongan personal yang sangat kuat dengan jelas mempunyai konsistensi
dalam moralitas personal. Dengan kata lain pada pribadi yang matang agamanya terdapat keseimbangan
antara dimensi vertical dan dimensi horizontal dalam kehidupan keagamaannya. Terkait dengan hal ini
hadis Nabi menyampaikan bahwa yang paling sempurna iman diantara orang-orang mukmin adalah
mereka yang paling baik budi pekertinya. Tentu saja budi pekerti dalam arti dan cakupan yang sangat
luas. Sementara Al-Qur'an menjelaskan kepribadian seorang muslim yang paling tinggi (muttaqin)
ditandai paling tidak tiga hal, yaitu al birru fil aqidah, al birru fit amal, al birru fil khuluq (Q.SAl
Baqarah: 17).

Sumber tumbuhnya itsar dalam Din Manusia


Dapat dipahami bahwa seseorang baru akan mampu mengutamakan orang lain jika dia telah mampu
mengenali dan jujur terhadap dirinya, mampu mengelola kehendak dan motif - motif pribadinya, serta
mampu menekan, dan menomorduakan dirinya sendiri. Proses ini, secara psikologis bukanlah suatu proses
dan "tahap perjalanan" yang mudah. Oleh

karena itu, wajar jika itsar diposisikan sebagai puncak ukhuwah mengingat tindakan mengutamakan orang
lain tidak ada landasannya kecuali diawali tumbuhnya perasaan persaudaraan, rasa sepenanggungan dan
memerlukan pula landasan empati yang kuat.

Sumber itsar berasal dari dua factor, yaitu internal


dan eksternal. Factor internal antara lain; kondisi
mental yang sehat dan kematangan beragama yang baik. Karena dari kedua hal tersebut, maka manusia
dapat memiliki empati yang baik, percaya diri, bersikap jujur dan menolong orang lain semata-mata
karena Allah SWT. Sedangkan factor eksternal adalah lingkungan keluarga dan pendidikan. Hal
tersebut akan membuat seseorang memiliki pola perilaku yang terbentuk dari kebiasaan yang budayakan
oleh norma keluarga yang suka menolong orang lain. Sikap dermawan juga muncul dari hasil belajar
dari lingkungan dan menjadi kebiasaan yang dilakukan.

1. Konsep dan Komponen itsar

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa subyek penelitian menyatakan bahwa konsep itsar terdiri dari 3
hal, yaitu: a. Lebih mengutamakan manusia daripada diri sendiri, dalam perkara yang tidak bersifat tidak
mengganggu agama, menghalangi ibadah dan tidak merugikan waktu; b. Mengutamakan ridho Allah
SWT, walaupun dalam keadaan yang sulit; c. Ikhlas, karena Allah bukan dari sendiri atupun orang lain.

Menurut Qoyyim (dalam Sholeh, 2011), menempatkan kedermawanan dan itsar ibarat dua sisi
kepingan logam, keduanya tidak dapat dipisahkan. Komponen itsar atau dermawan ada 10 jenis, yaitu:
a. Kedermawanan dengan pengorbanan jiwa; b. Kedermawanan dengan kekuasaan; c. Kedermawanan
dengan kesenangan, ketenangan dan istirahatnya; d. Kedermawanan dengan llmu; e. Kedermawanan

19
dengan memanfaatkan kedudukan; f. Kedermawanan dengan Tenaga; g. Kedermawanan dengan
kehormatan; h. Kedermawanan dengan kesaaran dan menahan diri; i. Kedermawanan dengan akhlak;
dan j. Kedermawanan dengan kepasrahan pada Allah SWT.

2. Perbedaan Konsep itsar dan Altruisme

Meskipun secara Bahasa, definisi itsar hamper sama dengan altruis tetapi ada beberapa perbedaan secara
konseptual. Menurut Einsberg dan Musen bagaimana dikutip Pujiyanti (2009) hal-hal yang termasuk
dalam aspek dari perilaku altruis adalah kepedulian (caring) terhadap sesama, kesediaan berbagi
(sharring), kemauan untuk bekerja sama (cooperative), mudah membantu (helping), sudi berderma,
bersedekah (donating), satu kata dengan tindakan (honesty) dan kedermawanan, serta memberi tanpa
menunggu diminta (generosity). Akan tetapi, dalam penelitian ini, itsar memiliki aspek yang lebih
lengkap dengan tidak meninggalkan aspek diatas. Namun konsep yang belum disentuh dalam altruisme
adalah jenis kedermawanan, kejujuran, ikhlas dan kesederhanaan (parsimony).

Sikap itsar itu terbagi menjadi 3 jenis: yaitu pertama,


jenis terlarang (haram); kedua, dibenci (makruh);
dan ketiga adalah diperbolehkan atau dianjurkan (sunnah). Keterangan adalah sebagai berikut,
pertama yaitu mendahulukan orang lain pada perkara yang hukumnya wajib bagi manusia untuk
menjalankannya secara syariat; Kedua yaitu mendahulukan orang lain pada hal yang dianjurkan oleh
agama; Ketiga yaitu mengutamakan orang lain yang berkaitan dengan bukan ibadah, melainkan kegiatan
social.

BAB II

PEMBAHASAN FENOMENA DAN MODUL KONSELING QUR’ANI

I.1. Kasus/Fenomena
S berusia 30 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. S memiliki istri yang seusia
dengannya. S dan istrinya memiliki seorang anak laki-laki yang saat ini masih berusia
batita. S dan istrinya merupakan Nakes atau tenaga kesehatan. Selama pandemic Covid
19 ini, S mengalami kecemasan yang berangsur-angsur. S merasa takut jika
keluarganya terpapar oleh covid 19, dikarenakan S dan istrinya merupakan Nakes.
Terutama S memiliki seorang anak di usia batita yang dimana sangat rentan untuk
terpapar virus tersebut. Walaupun S tidak pernah lupa untuk menjaga kebersihan secara
disiplin, namun hal tersebut tidak membantu S untuk dapat mengurangi rasa

20
khawatirnya. Bahkan ketika S sampai di rumah, S harus melakukan social distancing
dengan anaknya, sehingga merasa sedih tidak bisa memeluk dekat dan tidur bersama
anaknya. Selain itu, S pun merasa khawatir karena bisa kapan saja S mungkin tertular
dan belum tentu S dapat bertahan. S pun dituntut untuk selalu on call dalam hal
pandemic ini, sehingga S merasa bahwa setiap harinya ‘nyawa’ S selalu terancam.
S sering kali mengalami kesulitan tidur, dan mengalami penurunan napsu makan,
serta berkeringat tidak wajar. Terkadang S merasa kurang nyaman untuk pulang ke
rumah dikarenakan S merasa takut dan khawatir jika S membawa virus tersebut
kedalam rumah. Ketika S sedang bekerja S sering kali merasakan kegelisahan dan takut
yang sangat besar, terutama ketika S bertemu dengan pasien yang memiliki dugaan
covid 19. S sering kali menangis dan memendam sendiri rasa khawatir nya tersebut,
dikarenakan S tidak mau membebani pikiran mereka. Sehingga hal tersebut yang
membuat S terkadang menjadi kesulitan untuk berkonsentrasi ketika sedang bekerja.
Oleh karena itu S memutuskan untuk datang kepada konselor, dan meminta
bantuan agar S dapat menyelesaikan masalahnya tersebut.
I.2. Pembahasan Kasus
Pada kasus diatas nampak beberapa ciri-ciri kecemasan muncul pada S, seperti
ciri-ciri fisik yang muncul sulit tidur dan kehilangan nafsu makan. Kecemasan yang
dirasakan oleh S diawali dari adanya rasa takut terhadap kondisi yang nyata dan masuk
akal yaitu pandemi covid ini, apalagi situasinya S adalah salah satu bagian dari tenaga
kesehatan. Sehingga jika ditinjau dari jeni kecemasan yang dialami S masuk ke dalam
kategori state anxiety, dimana perasaan tegang dan khawatir yang dirasakan oleh S
secara sadar serta bersifat subjektif. S merasa khawatir terhadap sesuatu yang memang
dapat menyebabkan kemungkinan bahaya bagi S. Namun kemudian berkembang
dengan pikiran adanya pikiran yang tidak rasional yaitu kegagalan ketastropik, yaitu
adanya asumsi bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya. Hal ini diperkuat
dengan kondisi S yang tidak mampu dalam mengatasi masalahnya.
Jika ditinjau dari tingkat kecemasan yang dihadapi S, berdasarkan tingkatan
kecemasan menurut Gail W. Stuart (2006: 144), S berada pada tingkat kecemasan yang
sedang, dimana S sudah terlalu berfokus pada masalah kecemasannya tersebut, sehingga

21
kurang memikirkan hal lainnya, mempersempit persepsinya dan memerlukan banyak
arahan untuk dapat kembali berfokus pada urusan lainnya.
Konseling qur’ani dapat diberikan untuk membantu menurunkan gejala
kecemasan yang dialami oleh S.
Surah Al-Isra Ayat 82

َ ِ‫ان َما هُ َو ِشفَٓا ۭ ٌء َو َرحْ َم ۭةٌ لِّ ْل ُم ْؤ ِمن‬


‫ين ۙ َواَل يَ ِزي ُد‬ ِ ‫َونُ ٰنَ ِّز ُل ِم َن ْٱلقُرْ َء‬
•َ ‫ٱلظَّلِ ِم‬
‫ين إِاَّل َخ َسارًا‬

“wanunazzilu mina alqur-aani maa huwa syifaaun warahmatun lilmu/miniina walaa


yaziidu alzhzhaalimiina illaa khasaaraan”
Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur'an itu) hanya akan
menambah kerugian. (QS. Al-Isra':82)

Surah At-Taubah Ayat 51

‫ب هَّللا ُ لَنَا هُ َو َم ْواَل نَا ۚ َو َعلَى هَّللا ِ فَ ْليَتَ َو َّك ِل‬ ِ ‫قُلْ لَ ْن ي‬
َ َ‫ُصيبَنَا إِاَّل َما َكت‬
•َ ُ‫ْال ُم ْؤ ِمن‬
‫ون‬
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan
Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang
beriman harus bertawakal”.

22
Tafsir Quraish Shihab: Katakanlah kepada mereka, wahai Rasul, “Tidak akan ada satu
keberuntungan atau satu musibah pun yang kami peroleh di dunia ini kecuali memang
telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah.
Maka, kami pun akan menerima apa yang ditakdirkan-Nya. Kami tidak akan tertipu
oleh kebaikan yang kami terima, dan tidak akan merasa takut oleh musibah yang bakal
ditimpakan kepada kami. Sungguh, hanya Allah sendirilah yang mengatur segala urusan
kami. Demikianlah, orang-orang yang benar-benar beriman hanya akan bersandar
kepada-Nya.”

Surah Al- Fajr Ayat 27-30

ْ ‫ٰيَٓأَيَّتُهَا ٱلنَّ ْفسُ ْٱل ُم‬


ُ‫ط َمئِنَّة‬
yā ayyatuhan-nafsul-muṭma`innah
“Hai Jiwa yang tenang”
Adapun jiwa orang yang beriman, maka dikatakan kepadanya ketika mati dan pada hari
Kiamat, “Wahai jiwa yang tenang dengan keimanan dan amal saleh! (Tafsir al-
Mukhtashar)

Dan dikatakan kepada jiwa yang telah mati: “Wahai jiwa yang meyakini Allah, yang
tenang karena selalu mengingatNya, dan ridha atas takdirNya” (Tafsir al-Wajiz)

ْ ‫( ٰيٓأَيَّتُهَا النَّ ْفسُ ْال ُم‬Hai jiwa yang tenang) Yakni jiwa yang yakin dengan keimanan dan
ُ‫ط َمئِنَّة‬
yang mengesakan Allah tanpa sedikitpun keraguan. (Zubdatut Tafsir)

ً‫ضيَّة‬
ِ ْ‫اضيَةً َّمر‬
ِ ‫ٱرْ ِج ِع ٓى إِلَ ٰى َرب ِِّك َر‬
irji’i ila rabbiki radiyatam mardiyyah
“Kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”

23
Kembalilah ke haribaan Rabbmu dengan hati yang rida dengan pahala yang sempurna
yang kamu dapatkan, dan juga dalam keadaan diridai oleh-Nya karena perbuatan
salehmu. (Tafsir al-Mukhtashar)

“Kembalilah ke haribaan Tuhanmu dan muliakanlah Dia dengan meridhai imbalan


(dariNya), dan Allah akan meridhai amal shalihmu” (Tafsir al-Wajiz)

ً‫ضيَة‬
ِ ‫( ارْ ِج ِع ٓى إِلَ ٰى َرب ِِّك َرا‬Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas) Puas dengan
pahala yang Allah berikan kepadamu. ً‫ضيَّة‬ ِ ْ‫( َّمر‬lagi diridhai-Nya) Diridhai di sisi-Nya.
(ZubdatutTafsir)

‫فَٱ ْد ُخلِى فِى ِع ٰبَ ِدى‬


fadkhuli fi ibadi
“Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-ku”
Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku yang saleh. (Tafsir al-Mukhtashar)
Masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu yang dekat (denganKu) (Tafsir al-
Wajiz)
‫( فَا ْد ُخلِى فِى ِع ٰب ِدى‬Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku) Yakni masuklah
ke dalam golongan hamba-hamba-Ku yang shalih. (Zubdatut Tafsir)

‫َوٱ ْد ُخلِى• َجنَّتِى‬


Wadkhuli jannati
“masuklah ke dalam surga-Ku”
Wahai jiwa yang tenang dengan zikir dan iman kepada Allah, dan juga tenang dengan
apa yang Allah siapakan bagi orang orang yang beriman,yaitu nikmat surga, Pulanglah
kepada tuhanmu dalam keadaan ridha dengan pemuliaan dari Allah kepadamu,dan
Allah telah meridhaimu, Masuklah kedalam robongan hamba-hamba Allah yang shalih,
Masuklah kedalam surgaku bersama mereka. (Tafsir al-Muyassar)

24
Masuklah bersama mereka ke dalam surga-Ku yang Aku siapkan untuk mereka.”
(Tafsir al-Mukhtashar)

Masuklah ke dalam surgaKu yang sangat luas bersama mereka. Ibnu Abu Hatim dari
Buraidah tentang firmanNya: {Ya Ayyatuhan Nafsu} [27] berkata: “Ayat ini diturunkan
untuk Hamzah” sedangkan Ibnu Abbas berkata: ”Ayat ini diturunkan untuk Utsman
ketika membeli sumur Ruma untuk memberi minum orang-orang muslim” (Tafsir al-
Wajiz)

‫( َوا ْد ُخلِى َجنَّتِى‬masuklah ke dalam surga-Ku) Yakni masuklah bersama mereka. Ini
merupakan kemuliaan yang tidak ada tandingannya. (Zubdatut Tafsir)

Al-Qur‟an adalah petunjuk yang bila dipelajari akan membantu menemukan


nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem hidup.
Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa mengarah
kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi
dan masyarakat. Dalam hal ini al-Qur‟an mampu menjawab tantangan kontemporer
baik secara spiritual dan material. Hal ini di dasarkan pada firman Allah Swt dalam ayat
Al-Quran Al-Isra: 82.
Dari ayat tersebut dapat dijelaskan bahwa al-Qur‟an turun sebagai penawar atau
obat dari berbagai permasalahan manusia diantaranya penyakit-penyakit kejiwaan, yaitu
keraguan dan kebimbangan batin yang dapat hinggap di hati orang-orang beriman.
Meskipun pada dasarnya psikologi tidak membahas tentang kejiwaan namun lebih
membahas tentang tingkah laku manusia yang diasumsikan sebagai gejala dari jiwanya.
Namun, jauh sebelum itu al-Qur‟an sudah membahas secara lengkap tentang kejiwaan
manusia dan tingkah lakunya, serta berbagai solusi untuk semua masalah yang dialami
oleh manusia. Hal ini, jarang di sadari oleh kita sebagai umat manusia. Al-Qur‟an telah
membahas apa yang akan terjadi dimasa depan dimana kebanyakan manusia akan
mengalami beberapa gangguan psikologis. Banyaknya ganguan tersebut salah satunya
adalah kecemasan.

25
Lalu berdasarkan ayat al-quran At-Taubah 51, dapat diketahui bahwa Allah Swt
yang maha mampu melindungi manusia, maka dari itu kepada Allah swt lah orang-
orang beriman bertawakal. Allah swt berbicara tentang penderitaan yang dirasakan oleh
mansuia. Ayat tersebut juga menentramkan keadaan seorang hamba yang boleh jadi
sedang ditimpa rasa kegelisahan dan tidak menentu. Dalam ayat tersebut dapat tersirat
bahwa Allah maha kuasa dan senantiasa memberikan nasehat-Nya untuk menentramkan
umat manusia. Rasa kecemasan dan ketakutan S terkait dengan wabah virus COVID 19
sebagai seorang Nakes. Sehingga sebagai konselor kita membantu klien untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah swt, dan membantu untuk memahami bahwa segala
sesuatu yang terjadi adalah atas seizin Allah swt. Dan Allah swt senantiasa akan
membantu hambanya yang beriman dan bertawakal dalam hal menghadapi masalah atau
cobaan tersebut.

Selain itu makna jiwa yang tenang dalam al-Qur’an Surat al-Fajr ayat 27- 30 jika
diimplementasikan maka dapat membangun kesehatan mental yang ditandai dengan
senantiasa beriman kepada Allah, selalu berpikir positif terhadap berbagai kondisi atau
kejadian negatif yang sedang menimpanya, seperti keadaan yang S rasakan sekarang.
Walaupun terdapat kesulitan dalam hal duniawi, hal ini akan kembali kepada Allah.
Sehingga S dapat menanggulangi rasa kecemasan yang dirasakan oleh nya, dan dapat
berpikir dalam sisi hal yang lebih positif agar membangun sehat secara mental.

Pemberian layanan dalam bentuk konseling secara terpadu merupakan istilah


teknik atau metode pendekatan yang dilakukan untuk memberikan dampak yang
signifikan bagi S yang sedang mengalami kecemasan. Sehingga ktia harus membantu
mereka untuk kembali kearahan yang lurus dan benar seperti yang sudah di firman kan
oleh Allah SWT. Agar individu dapat mencapai tujuannya dengan kembali kejalan-Nya
agar bisa menetralisir kecemasannya dan dapat melakukan aktivitas lebih baik. Hal
tersebut merupakan suatu tugas konselor untuk memberikan bantuan kepada mereka
yang membutuhkan bantuan dengan cara baik terutama pada umat islam agar menjadi
manusia yang sehat secara jiwa.

26
I.3. Modul Konseling Qur’ani

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzaky, Hamdani Bakran. 2002. Psikoterapi dan Konseling Islami, Yogyakarta:


Fajar Pustaka Baru.
Adz-Dzaky, H.B. (2006). Konseling dan Psikoterapi Islam. Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru.

27
Adz-Dzaky, H.B. (2015). Konseling & Psikoterapi Islam. Yogyakarta: Al Manar.
Al-Quran Terjemahan. 2015. Departemen Agama RI. Bandung: CV Darus Sunnah
American Counseling Association. (2018). What is Counseling. Alexandria: ACA
Community.
Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi: Psikologi untuk menemukan makna hidup dan
meraih hidup bermakna. Jakarta: Rajawali Pers
Budiharto, S. & Anggraini, R.D. (2007). Survey efektivitaas konseling qur’ani untuk
meningkatkan kesadaran diri mahasiswa. Proceeding. Temu Ilmiah dalam Rangka
Nasional Psikologi Islami II, 4-5 Agustus 2007. Fakultas Psikologi Universitas
Islam Sultan Agung Semarang. Daulay, Nurussakinah. 2014. Pengantar Psikologi
dan Pandangan Al-Qur’an Tentang Psikologi. Jakarta : Prenadamedia Group.
Diponegoro, A.M. (2014) Psikologi dan Konseling Qur‟ani. Yogyakarta: Multi
Presindo.
Erhamwilda. (2009). Konseling islami. Yogyakarta: Graha ilmu.
Farid Mashudi, Psikologi Konseling, (Yogyakarta: Ircisod, 2012), hal 16
Faqih, A.R. (2001). Bimbingan dan konseling dalam Islam. Yogyakarta: UII Press.
Gail W. Stuart. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Alih Bahasa: Ramona P. Kapoh
& Egi Komara Yudha. Jakarta: EGC.
Himpsi (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Himpunan Psikologi Indonesia.
Hayat, A. (2017). Bimbingan dan Konseling Qur’ani Jilid II. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.
Jeffrey S. Nevid, dkk. (2005). Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Kusnadi, E. (2014). Konseling dan psikoterapi islam. Tajdid, 13, 439-466.
Latipun. 2008. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Mansur, Y. (2016). Mencari Tuhan yang Hilang. Jakarta: Penerbit Zikrul Hakim
Murtadho, Ali, 2008, Dakwah Islam Bagi Penderita Anxiety Neurosis, Studi Aplikasi
dalam Psikoterapi Islam, dalam: Dakwah Dan Konseling Islam; Formulasi Teoritis
Dakwah Islam Melalui Pendekatan Bimbingan Konseling, Semarang: Pustaka Rizki
Putra dan BPI Fak. Dakwah IAIN Walisongo.
Nevid, J.R., 2003, Psikologi Abnormal Jilid 1, Jakarta : Penerbit Erlangga

28
Rajab, Khairunnas. 2015. Psikologi Ibadah. Jakarta: AMZAH.
Rofiqah, T. (2016). Konseling Religius: Mengatasi Rasa Kecemasan Dengan
Mengadopsi Terapi Dzikir Berbasis Religiopsikoneuroimunologi. Jurnal
KOPASTA, 3, (2), 76-84.
Syamsu Yusuf. (2009). Mental Hygine: Terapi Psikopiritual untuk Hidup Sehat
Berkualitas. Bandung: Maestro.
Steven Schwartz, S. (2000). Abnormal Psychology: a discovery approach. California:
Mayfield Publishing Company.
Sutoyo, A. (2009). Bimbingan dan Konseling Islami. Semarang: Widya Karya
Semarang
Winkel, W.S dan M.M. Srohastuti. Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan.2007. Yogyakarta: Media Abadi: 34
Yuke Wahyu Widosari. (2010). “Perbedaan Derajat Kecemasan dan Depresi Mahasiswa
Kedokteran Preklinik dan Ko-Asisten di FK UNS Surakarta.” Skripsi. Surakarta:
Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret
Zakiah Daradjat. (1988). Kesehatan Mental. Jakarta: CV Haji Masagung

29

Anda mungkin juga menyukai