Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Relasi Parasosial (Parasocial Relationship)


2.1.1. Definisi
Konsep parasosial pertama kali dikemukakan oleh Horton dan Wohl

pada tahun 1956. Horton dan Wohl menyebutkan dua istilah, yaitu interaksi

parasosial (parasocial interaction) dan relasi parasosial (parasocial

relationship). Interaksi parasosial merupakan suatu hubungan tanpa timbal

balik antara seseorang dengan figur media (Horton dan Wohl, 1956 dalam

Stever, 2013). Karakteristik utama dari interaksi parasosial ini adalah adanya

hubungan satu arah (one-way relationship) di mana pemirsa televisi dapat

“merasa” memiliki hubungan dengan figur media, tapi hubungan tersebut

bersifat satu arah, non-dialektikal, dikontrol oleh figur media, dan tidak dapat

berkembang (Horton dan Wohl dalam Watkins, 2009, dalam Sekarsari, 2009).

Interaksi parasosial berbeda dengan relasi parasosial. Relasi parasosial

merupakan suatu ilusi mengenai hubungan langsung antara seseorang dengan

figur media, sebagai hasil rekaan dari media massa, sedangkan interaksi

parasosial merupakan suatu upaya pemunculan percakapan antara performer

dengan pemirsa televisi (Horton dan Wohl, dalam Biran, 2003; dalam

Sekarsari, 2009). Secara lebih jelas, Stever (2013) memberikan gambaran

mengenai perbedaan antara interaksi parasosial dan relasi parasosial sebagai

berikut.

30
31

“Parasocial Interaction is simply watching someone on TV and


responding to them as if they were a real person in the room. Of course they
don't respond back! Parasocial Relationship is when someone extend the
interaction beyond the time when he is actually watching the media. The
person or personality is someone he think about when he’s not watching TV,
for example. Watching Brad Pitt in a movie and feeling like he is there in the
room with us is PSI. Thinking about Brad Pitt after the movie is over, and
maybe pretending to talk about him or fantasizing about him or even just
thinking about him over an extended period of time, is a PSR.” (Stever, 2013).
Jadi, interaksi parasosial merujuk pada respon yang diberikan

seseorang terhadap figur media di televisi seakan-akan figur media tersebut

benar-benar ada dalam ruangan tempat ia berada, sedangkan relasi parasosial

merujuk pada perluasan dari interaksi parasosial yang muncul meskipun

seseorang tidak lagi melihat figur media tersebut (Stever, 2013).

Bagi individu, pengalaman melalui perantara media ini dapat

membentuk suatu “ilusi keintiman” di mana seseorang merasa dirinya sangat

mengenal idolanya, bahkan lebih daripada ia mengenal tetangga sebelah

rumahnya (Horton dan Wohl, 1982 dalam Sekarsari, 2009). Fans menjadi

merasa dekat dan mengenal idolanya dengan baik, meskipun hanya melihat

idolanya melalui media dan belum pernah bertemu secara langsung. Fans

dapat merasa sudah begitu mengenal idolanya dengan baik, padahal ia belum

pernah bertemu bahkan idolanya tidak menyadari keberadaan mereka

(Cashmore, 2006). Fans merasa bahwa mereka mengenal dekat sang idola

hanya dengan melihat penampilan, gestur, perkataan dan perbuatannya (Rubin

& McHugh, 1997 dalam Puspita, 2013). Ilusi keintiman yang terbentuk

bersifat cukup mendalam, dipersepsikan sebagai hubungan dua arah dan


32

memiliki tanda-tanda yang serupa dengan hubungan personal pada umumnya,

seperti merasa kehilangan saat idolanya tidak ada ataupun menyayangkan

kesalahan atau kegagalan yang dilakukan oleh idolanya (Rubin, Perse, dan

Powel, dalam Sekarsari, 2009).

Istilah figur media digunakan untuk menjelaskan tokoh khas dan asli

dalam kehidupan sosial yang ditampilkan di radio dan televisi, seperti

karakter fiksi yang tampil dalam film atau opera (Horton & Wohl, 1982 dalam

Sekarsari, 2009). Selain itu, figur media juga dapat berasal dari tokoh yang

menunjukkan karakter dirinya sendiri, seperti pembawa acara, penyanyi,

model, politikus, atlit, dsb (Sekarsari, 2009). Dalam kasus ekstrem, figur

media juga bisa bukan manusia nyata, melainkan tokoh kartun (Giles, 2003).

2.1.2. Konsep Relasi Parasosial menurut Tukachinsky (2010)

Konsep terbaru mengenai relasi parasosial dikemukakan oleh

Tukachinsky (2010). Menurut Tukachinsky, relasi parasosial merupakan

pengalaman akan kesetiakawanan, persahabatan, dan keterlibatan afektif yang

kuat yang dialami oleh seseorang dalam interaksinya dengan figur media.

Relasi parasosial yang dialami seseorang dapat berupa cinta parasosial

(parasocial love) dan persahabatan parasosial (parasocial friendship).

Dalam konteks parasosial, persahabatan didefinisikan sebagai perasaan

menyukai figur media, merasakan kesetiakawanan (solidaritas) dari figur

media, percaya terhadap figur media, dan menginginkan adanya saling


33

keterbukaan serta dapat berkomunikasi dengan figur media (Tukachinsky,

2010).

Dalam konteks parasosial, cinta berdasarkan pada keinginan yang kuat

akan kehadiran figur media, merasa rindu untuk berada dekat secara fisik

dengan figur media, serta kebutuhan untuk diterima dan diperhatikan (Rubin,

1973 dalam Tukachinsky, 2010).

2.1.2.1. Komponen Relasi Parasosial (Tukachinsky, 2010)

Menurut Tukachinsky (2010), cinta parasosial memiliki 2

dimensi, yaitu ketertarikan secara fisik (physical attraction) dan

respon emosional terhadap figur media (emotional response to the

character). Physical attraction merupakan derajat ketertarikan secara

fisik individu terhadap figur media, sedangkan emotional response

merupakan derajat respon emosional individu terhadap figur media.

Semakin besar physical attraction dan emotional response yang

dirasakan individu, semakin kuat pula cinta parasosial yang dialami

individu (Tukachinsky, 2010).

Sementara itu, persahabatan parasosial juga memiliki 2

dimensi, yaitu komunikasi (communication) serta dukungan dan

kesetiakawanan (support and companionship). Communication

merupakan derajat keinginan individu untuk menjalin komunikasi

yang terbuka dengan figur media, sedangkan support and

companionship merupakan derajat keinginan individu untuk


34

mempercayai, mendukung, dan berbagi dengan figur media. Semakin

besar communication dan support and companionship yang dirasakan

individu, semakin kuat pula cinta parasosial yang dialami individu

(Tukachinsky, 2010).

Menurut Tukachinsky (2010), seseorang dapat mengalami

hanya salah satu tipe relasi parasosial (persahabatan parasosial saja

atau cinta parasosial saja) atau mengalami keduanya (persahabatan dan

cinta parasosial). Orang yang hanya mengalami salah satu tipe berarti

memiliki derajat yang lebih tinggi di suatu tipe sementara tipe lainnya

rendah, sedangkan orang yang mengalami keduanya memiliki derajat

yang tinggi di kedua tipe relasi parasosial (Tukachinsky, 2010).


35

2.1.3. Proses Terbentuknya Relasi Parasosial

Bagan 2.1. Proses Pembentukan Relasi Parasosial (Giles, 2003)

Bagan 2.1. memperlihatkan proses terbentuknya relasi parasosial

menurut Giles (2003). Menurut Giles (2003), ketika individu menggunakan

media (salah satunya menonton televisi), awalnya akan terjadi aktivitas

psikologis di dalam diri individu di mana mereka membuat penilaian terhadap

figur media yang mereka lihat, apakah mereka akan menyukai figur tersebut
36

atau tidak. Penilaian ini terbentuk melalui pengetahuan individu mengenai

figur tersebut dari pengalaman sebelumnya dalam melihat figur tersebut

melalui media. Hal-hal yang dapat memengaruhi penilaian individu terhadap

figur media antara lain fisiknya (cantik atau tampan), karakteristik individual

(seperti sifatnya, sikapnya, kepribadiannya, dan prinsipnya), dan skill yang

dimiliki figur tersebut (seperti skill menyanyi, menari, atau acting).

Ketika ia menyukai figur tersebut, ia akan mengidentifikasikan dirinya

dan membentuk “interaksi” dengan figur tersebut. Individu juga akan mulai

membawa interaksinya dengan figur tersebut ke dalam relasi sosialnya, yaitu

dengan cara berdiskusi atau bergosip mengenai figur tersebut dengan orang

lain. Pada tahap ini, penilaian dari orang lain dapat memengaruhi bagaimana

penilaian dirinya terhadap figur media tersebut (panah di sebelah kanan atas

pada bagan 2.1.). Misalnya, seseorang yang menyukai artis X bisa saja

mengubah penilaiannya terhadap X karena temannya memberitahu hal yang

negatif mengenai X. Pendapat orang lain dapat mengubah penilaian individu,

apakah ia akan tetap menyukai figur media tersebut atau menjadi tidak

menyukainya (Giles, 2003).

Apabila individu memutuskan untuk tetap menyukai figur media

tersebut, ia akan semakin menjalin interaksi dengannya (tahap imagined

interaction dalam bagan 2.1.). Misalnya, dengan cara mengulang menonton

drama yang diperankan oleh seorang artis, berulang kali menonton

performance penyanyi tertentu, atau mencari acara lain yang dibintangi oleh
37

figur tersebut. Semakin banyak interaksi yang terbentuk, individu akan

semakin melibatkan perasaannya dan emosionalnya ke dalam interaksi

tersebut. Inilah yang disebut sebagai relasi parasosial (Giles, 2003).

2.1.4. Karakteristik Individu yang Mengalami Relasi Parasosial

Menurut Hoffner (2002, dalam Sekarsari, 2009 dan Giles, 2003),

terdapat tujuh karakteristik individu yang memiliki kecenderungan mengalami

relasi parasosial, yaitu:

1. Individu yang kurang atau jarang melakukan interaksi sosial. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Norlund (dalam Hoffner, 2002, dalam

Sekarsari, 2009), individu yang kurang atau jarang melakukan interaksi sosial

akan lebih sering berada di dalam rumah, sehingga cenderung menggunakan

televisi sebagai teman dan membentuk relasi parasosial.

2. Perbedaan individu dalam berempati. Empati dapat meningkatkan

kecenderungan pemirsa televisi untuk mengenali dan berbagi pola pikir serta

pengalaman emosional dengan karakter dalam media (Hoffner, 2002, dalam

Sekarsari, 2009).

3. Self-esteem yang rendah. Hasil penelitian Turner (dalam Hoffner, 2002, dalam

Sekarsari, 2009) menunjukkan bahwa individu dengan self-esteem yang

rendah akan menemukan kesulitan untuk berkomunikasi langsung dengan

orang lain, sehingga mereka lebih memilih untuk menonton televisi dan

menciptakan suatu hubungan dengan figur media yang mereka lihat di

televisi.
38

4. Tingkat pendidikan. Menurut Levy (1982, dalam Hoffner, 2002, dalam Giles,

2003), individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik akan lebih

sedikit membutuhkan relasi parasosial karena individu yang lebih

berpendidikan biasanya tidak memiliki masalah dalam melakukan interaksi

sosial dengan orang lain.

5. Individu yang tidak bisa keluar rumah (housebound infirm). Mereka yang

tidak bisa keluar rumah, mungkin karena masalah kesehatan, biasanya kurang

memiliki kesempatan untuk melakukan interaksi sosial dengan orang lain,

sehingga memiliki kecenderungan untuk membentuk relasi parasosial (Levy,

1982, dalam Hoffner, 2002, dalam Sekarsari, 2009).

6. Interpersonal attachment. Menurut Cole dan Leets (dalam Hoffner, 2002,

dalam Sekarsari, 2009), jenis interpersonal attachment yang dimiliki

seseorang akan memengaruhi pembentukan relasi parasosial. Individu yang

memiliki gaya attachment anxious-ambivalent merupakan individu yang

paling memiliki kecenderungan untuk membentuk relasi parasosial,

sedangkan individu yang memiliki gaya attachment avoidant merupakan

individu yang paling kecil memiliki kecenderungan untuk mengalami relasi

parasosial.

7. Gender. Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa relasi

parasosial lebih kuat dan lebih sering dialami oleh perempuan (Hoffner, 2002,

dalam Sekarsari, 2009).


39

8. Usia. Menurut Maltby & McCutcheon (2003), usia seseorang juga dapat

memengaruhi munculnya relasi parasosial, di mana biasanya relasi parasosial

wajar muncul pada usia remaja dan seharusnya semakin berkurang seiring

individu memasuki usia dewasa.

Meskipun demikian, untuk banyak variabel, terutama faktor

demografis, hanya terdapat sedikit kekonsistenan di semua penelitiannya

(Giles, 2003). Misalnya, nilai relasi parasosial tidak hanya berhubungan

dengan intensitas menonton saja, tapi juga terdapat percampuran dengan

faktor usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan (Giles, 2003).

2.1.5. Faktor yang Memengaruhi Munculnya Relasi Parasosial

Menurut Hoffner (2002, dalam Sekarsari, 2009), selain karakteristik

individu, terdapat beberapa faktor yang juga dapat memengaruhi munculnya

relasi parasosial antara lain sebagai berikut.

1. Motivasi. Motivasi yang dimaksudkan di sini adalah motivasi untuk

memenuhi tujuan, kebutuhan, dan keinginannya yang dalam konteks

parasosial adalah kebutuhan akan kepuasan sosial dan emosional. Hal ini

dapat memotivasi individu untuk menonton tayangan televisi lebih lanjut dan

dapat membantu individu memuaskan kebutuhan keanggotaan individu

dalam suatu perkumpulan.

2. Faktor kesamaan (similarity) antara individu dengan figur media, baik dalam

hal penampilan fisik, tingkah laku, reaksi emosional, maupun kepribadian.

Biasanya individu akan lebih tertarik pada karakter dan kepribadian figur
40

media yang mirip dengannya. Misalnya, persamaan dalam jenis kelamin,

etnis, kelas sosial, usia, kepribadian, kepercayaan, dan pengalaman (Hoffner,

2002, dalam Sekarsari, 2009).

3. Adanya keinginan individu untuk mengidentifikasikan figur media dengan

dirinya. Biasanya, ciri-ciri figur media yang disukai seseorang adalah

individu yang tampan atau cantik, menarik, berbakat, dan sukses, sehingga

figure media tersebut akan menjadi panutan bagi orang tersebut (Hoffner,

2002, dalam Sekarsari, 2009).

4. Komunikasi antara pemirsa televisi dengan pemirsa televisi lainnya. Mereka

akan saling berkomunikasi untuk mengurangi ketidaktentuan akan berita

mengenai figur media dan juga meningkatkan pengetahuan mengenai

kehidupan dan kepribadian figur media. Semakin sering mereka

berkomunikasi dan menambah pengetahuan mengenai figur media, maka

makin kuat relasi parasosial yang terbentuknya (Hoffner, 2002, dalam

Sekarsari, 2009).

Selain itu, kepribadian juga dapat memengaruhi munculnya relasi

parasosial. Orang dengan kepribadian neurotis dan psikotis memiliki

kecenderungan untuk mengalami relasi parasosial (Maltby dan Cutcheon,

2011).

Menurut Altman dan Taylor (dalam Camella, 2003, dalam Sekarsari,

2009), lamanya waktu yang dihabiskan individu untuk menonton televisi juga

dapat memengaruhi munculnya relasi parasosial, di mana semakin lama


41

individu menonton televisi maka ia akan semakin intim dengan figur media

dan semakin kuat pula relasi parasosial yang terbentuknya.

Tukachinsky (2010) juga menyatakan bahwa jenis kelamin dari figur

media dapat memengaruhi relasi parasosial, di mana jika jenis kelamin figur

media berlawanan dengan individu, maka cinta parasosial (parasocial love)

akan lebih kuat dibandingkan persahabatan parasosial (parasocial friendship),

sedangkan jika jenis kelamin figur media sama dengan individu, maka

persahabatan parasosial (parasocial friendship) cenderung lebih kuat daripada

cinta parasosial (parasocial love).

2.1.6. Dampak dari Relasi Parasosial

Menurut Fraser dan Brown (2002, dalam Cashmore, 2006), relasi

parasosial yang dialami seseorang fans dengan selebriti idolanya dapat

menimbulkan tiga hal, yaitu sebagai berikut.

1. Fans menganggap selebriti idolanya sebagai role model. Fans menjadikan

idola sebagai contoh, tidak hanya hal-hal secara fisik (seperti penampilan,

cara berpakaian, gaya rambut, dsb), tapi juga perilaku, sikap, atau nilai yang

dimiliki idola. Fans dapat melakukan segala hal yang dilakukan oleh idolanya,

bahkan perilaku yang buruk sekalipun (Giles, 2002).

2. Fans mengadaptasi apa yang mereka lihat sebagai atribut idola mereka,

termasuk sikap dan perilaku mereka


42

3. Fans mengidentifikasikan selebriti idolanya. Identifikasi di sini artinya fans

merekonstruksi sikap, nilai, dan perilaku mereka sesuai dengan sikap, nilai,

dan perilaku idola mereka.

Selain itu, menurut Susan Boon dan Christine Lomore (2001, dalam

Cashmore, 2006), selebriti tidak hanya memengaruhi cara berpakaian, make

up, atau gaya rambut bagi fansnya. Lebih dari itu, selebriti dapat

memengaruhi sikap dan nilai individu, termasuk di dalamnya sikap kerja, etos

kerja, dan hal-hal yang berhubungan dengan moralitas.

2.2. Dewasa Awal

Menurut Santrock (2006), masa dewasa awal dimulai pada akhir

belasan atau awal dua puluh dan berakhir pada usia 40 tahun. Masa dewasa

awal merupakan masa untuk bekerja dan menjalin relasi dengan lawan jenis,

dan terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya (Santrock, 2006).

Arnett (2004, 2011) menyebutkan bahwa usia 18-29 merupakan masa

emerging adulthood, sedangkan kehidupan dewasa yang stabil dan matang

baru dicapai pada usia 30 tahun. Pada masa emerging adulthood ini

kebanyakan individu belum menikah, belum memiliki anak, dan belum

memiliki pekerjaan tetap yang full time. Pada masa ini juga kebanyakan

individu sudah tidak tinggal di rumah orangtuanya (Arnett, 2011).

Tugas perkembangan pada usia dewasa awal mencakup hal-hal

sebagai berikut (Santrock, 2006; Arnett, 2011).


43

1. Menempuh pendidikan tersier

Pada tahap dewasa awal, individu melakukan eksplorasi dalam

berbagai bidang kehidupan, dan pendidikan tinggi menyediakan

wadah bagi individu dewasa awal untuk mengeksplorasi berbagai

kemungkinan arah pendidikan dengan berbagai kemungkinan karirnya

di masa mendatang. Individu dewasa awal yang mengikuti pendidikan

tersier cenderung memiliki penghasilan yang lebih tinggi, status

pekerjaan, dan pencapaian karir yang lebih baik dibandingkan dengan

yang tidak mengikuti pendidikan tersier (Arnett, 2011).

2. Menemukan pekerjaan dan meniti karir dalam rangka memantapkan

kehidupan ekonomi rumah tangga

Pada masa dewasa awal, individu berusaha meniti karir dan

memperoleh pekerjaan tetap dalam rangka memantapkan kehidupan

ekonomi rumah tangganya. Individu dewasa awal yang belum

menikah menggunakan penghasilannya dalam pekerjaan untuk

menabung untuk keperluannya di masa mendatang (Arnett, 2011).

Individu dewasa awal mencari pekerjaan yang mengarah

kepada karir yang mereka tuju, pekerjaan jangka panjang, ataupun

sesuatu yang tidak hanya memberikan mereka bayaran, tetapi juga

memuaskan keinginan personal. Individu dewasa awal mencari karir

yang tepat dengan diri mereka, sesuatu yang benar-benar dinikmati

dan ingin dilakukan oleh mereka (Arnett, 2011).


44

3. Menjalin romantic relationship dengan pasangan dalam rangka

menemukan calon pasangan hidup

Pada masa emerging adulthood, terjadi perubahan di mana

pusat kehidupan emosional ditransfer dari yang awalnya berasal dari

keluarga menjadi kepada longterm romantic partner. Meskipun orang

tua dan saudara tetap memegang peranan penting, bahkan relasi

individu dewasa awal meningkat di berbagai sisi, pusat kehidupan

emosional biasanya berpindah ke romantic partner (Arnett, 2011).

Dalam mencari romantic partnernya, individu dewasa awal

umumnya memiliki kriteria ideal pasangan yang mereka inginkan.

Kriteria tersebut dapat mencakup kualitas individual (seperti pintar,

menarik, atau lucu) dan kualitas interpersonal, yaitu kualitas yang

dibawa seseorang ketika menjalin relasi (seperti baik, peduli,

penyayang, dapat dipercaya). Individu dewasa awal berharap dapat

menemukan seseorang yang akan merawat dan melindungi mereka

dan mampu menjalani relasi yang intim, mutual, dan bertahan lama

(Arnett, 2011). Individu dewasa awal yang lebih matang

mempersiapkan dirinya untuk menikah dan membentuk keluarga

(Santrock, 2006).

2.2.1. Perkembangan Kognitif pada Dewasa Awal

Pada akhir usia 20 tahunan, tahap perkembangan kognitif formal

operasional telah dicapai seluruhnya dan memasuki postformal thinking


45

(Santrock, 2006). Aspek yang paling menonjol dalam postformal thinking

adalah pragmatism dan reflective judgement.

Pragmatism merupakan kemampuan individu untuk mengadaptasikan

cara berpikir logis terhadap situasi yang rumit yang dihadapi dalam kehidupan

nyata. Menurut Gisela Labouvie-Vief (1982, 1986, dalam Santrock, 2006),

perkembangan kognitif pada dewasa awal berbeda jauh dengan remaja, di

mana remaja cenderung merespon permasalahan secara kaku. Mereka

memandang dunia dalam dualisme pola polaritas mendasar, seperti

benar/salah, ya/tidak, baik/buruk, atau kita/mereka. Pemikiran seperti ini

disebut sebagai pemikiran dualistik (William Perry, 1970; dalam Santrock,

2006).

Pada individu dewasa awal, mereka tidak lagi bergantung secara kaku

pada logika dan menganggap hasilnya adalah benar atau salah. Individu

dewasa awal cenderung menjadi postformal thinker, di mana mereka

menyadari bahwa masalah dalam kehidupan sangat kompleks dan tidak dapat

dipandang hanya dengan benar atau salah. Menurut William Perry (1970;

dalam Santrock, 2006), ketika memasuki masa dewasa awal, pemikiran

dualistik individu berganti menjadi pemikiran beragam, di mana individu

dewasa awal mulai memahami bahwa mereka tidak selalu memiliki semua

jawaban. Mereka mulai memperluas wilayah pemikiran individualistik dan

mulai percaya bahwa setiap orang memiliki pandangan pribadi masing-


46

masing serta semua pendapat sama-sama memiliki nilai yang baik (William

Perry, 1970; dalam Santrock, 2006).

Aspek kognitif lain yang menonjol pada dewasa awal adalah reflective

judgement, yaitu kapasitas untuk menilai seberapa akurat dan logiskah bukti-

bukti maupun argumen yang ada mengenai suatu permasalahan. Kemampuan

ini mulai berkembang pada usia sekitar 20 tahun (William Perry, 1970; dalam

Santrock, 2006).

Selain itu, perubahan kognitif pada dewasa awal juga disampaikan

oleh K. Warner Schaie (1977, dalam Santrock, 2006). Menurut Schaie (1977;

dalam Santrock, 2006), orang dewasa lebih maju dari remaja dalam

penggunaan intelektualitas mereka. Misalnya, pada masa dewasa awal terjadi

perubahan dari mencari pengetahuan menjadi menerapkan pengetahuan,

menerapkan apa yang kita ketahui untuk mengejar karir dan membentuk

keluarga. Selain itu, individu dewasa awal juga mampu memonitor perilaku

mereka sendiri sehingga mereka memperoleh kebebasan (Schaie, 1977; dalam

Santrock, 2006).

2.2.2. Perkembangan Sosial Emosional pada Dewasa Awal

Menurut Aquilino (2004, dalam Arnett, 2011), masa dewasa awal

merupakan masa di mana role taking skill, strategi dalam memecahkan

konflik, dan cara memandang relasi yang dimiliki individu dengan orang lain

semakin berkembang. Pada masa dewasa awal, orang tua sudah tidak

memiliki kontrol sebanyak ketika individu masih anak-anak atau remaja.


47

Masa dewasa awal merupakan masa yang self focused, di mana kontrol sosial

sudah mulai menurun dan individu memiliki kebebasan untuk fokus pada

pengembangan dirinya (Arnett, 2004). Pada masa ini, individu lebih sering

menghabiskan waktu di luar rumah sehingga sosialisasi dengan orangtua

semakin berkurang. Peran orangtua dalam kehidupan mereka pun akan

semakin berkurang (Dubas & Petersen, 1996; dalam Arnett, 2004). Orang tua

akan semakin fleksibel dalam menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan individu

dewasa awal untuk mandiri dan dependen. Semakin lama individu dewasa

awal akan bergerak ke arah autonomy (Aquilino, 2006, dalam Arnett, 2011).

Menurut Arnett (2011), persahabatan merupakan hal yang penting

bagi individu dewasa awal. Sebagian besar individu dewasa awal memutuskan

untuk pindah dari rumah mereka sehingga dukungan sosial yang biasa mereka

dapatkan dari orangtua dan saudara menjadi berkurang. Akibatnya, individu

dewasa awal menjadi sering meluangkan waktu untuk teman agar kebutuhan

mereka akan dukungan sosial tetap terpenuhi (Arnett, 2011).

2.3. Perkembangan Korean Pop (Kpop) di Indonesia

Hallyu/Korean Wave (dalam bahasa Indonesia: “Gelombang Korea”)

merupakan istilah yang diberikan untuk tersebarnya budaya pop Korea secara

global di berbagai negara di dunia (Sjafari, 2013). Pendapat ini juga

dipertegas oleh Farrar (CNN World, 2010; dalam Noviasari, 2012) sebagai

berikut.
48

“Over the past decade, South Korea, with a population of around 50

million, has become the Hollywood of the East, churning out entertainment

that is coveted by millions of fans stretching from Japan to Indonesia.” (Lara

Farrar, CNN World, 2010; dalam Noviasari, 2012)

Pada awalnya, Korean Wave menyebar di berbagai negara, termasuk

Indonesia, melalui drama. Korean Wave masuk ke Indonesia pada tahun 2002

melalui sebuah drama berjudul Endless Love yang diputar di salah satu

televisi swasta. Drama tersebut sangat digemari oleh masyarakat Indonesia.

Hal ini terlihat dari hasil survei AC Nielsen Indonesia yang menunjukkan

rating drama Endless Love mencapai 10 (ditonton sekitar 2,8 juta pemirsa di

lima kota besar) (Kompas, 14 Juli 2003; dalam Sjafari, 2013). Keberhasilan

drama seri Korea tersebut, yang dikenal dengan istilah Korean drama (K-

drama), diikuti oleh drama-drama Korea lainnya yang semakin sering

ditayangkan di televise swasta. Tercatat terdapat sekitar 50 judul K-drama

tayang di TV swasta Indonesia (Denpasar, 2011).

Menurut Nyoman Lia Susanthi (2011), seorang dosen PS Seni

Pedalangan ISI Denpasar dalam artikel yang berjudul „Gurita‟ Budaya

Populer Korea Di Indonesia, populernya K-drama membuat rasa ketertarikan

masyarakat Indonesia terhadap budaya Korea meningkat (ISI Denpasar,

2011). Hal ini disebabkan karena dalam drama tersebut juga terdapat lagu
49

Korea yang dijadikan soundtrack sehingga masyarakat pun mulai mengenal

musik Korea, yang disebut dengan istilah Korean Pop (Kpop). Selain itu,

terdapat beberapa pemeran drama Korea juga berprofesi sebagai penyanyi,

sehingga menjadi idol bagi masyarakat. Contohnya, drama Korea berjudul

Athena yang melibatkan boyband Super Junior, atau drama Korea berjudul

Full House yang menjadikan Rain yang juga sebagai penyanyi (ISI Denpasar,

2011). Hal ini membuat Korean Pop (Kpop) mulai marak menjajal kancah

musik Indonesia.

Sejak tahun 2011, Korean Pop (Kpop) mulai marak di Indonesia, di

mana pada tanggal 4 Juni 2011 Indonesia dihebohkan dengan sebuah festival

bernama „KIMCHI K-POP‟ (Korean Idols Music Concert Hosted in

Indonesia). Acara tersebut menampilkan band, boyband, dan girlband dari

Korea. Sejak saat itu, semakin banyak konser-konser Kpop yang diadakan di

Indonesia. Hal ini menyebabkan semakin banyak masyarakat Indonesia yang

mengenal Kpop sehingga jumlah fans Kpop di Indonesia semakin meningkat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari seminar bertajuk East Asia as Pop

Culture and a Soft Power and Its Implication to Indonesia, Indonesia

menempati posisi ke-6 dalam daftar negara di dunia dengan fans Korean Pop

(Kpop) paling banyak. Pada akhir tahun 2012, Jumlah fans Kpop di Indonesia

mencapai 81 ribu (Dini, 2013).


50

Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Asih (2011) yang berjudul

“Hallyu or Korean Wave: Penjajahan yang nyata, nyata-nyata membawa

perubahan!”, dengan bantuan media massa dan internet, para penggemar

Korean Pop (K-Pop) di Indonesia kemudian mulai membuat jaringan sosial

dan diikuti dengan interaksi intens di dalamnya. Hal tersebut dapat diketahui

dari banyaknya komunitas, yang pada dasarnya berawal dari komunitas di

dunia maya, yang dibentuk oleh orang-orang yang tertarik dengan Korean

Drama atau Korean Music. Mereka berkumpul dan menyatukan aspirasi

mereka lewat diskusi, pertemuan, dan membuat acara-acara yang kian

membuat K-Pop semakin menyebar di kalangan masyarakat Indonesia. Di

Indonesia sendiri, sudah banyak berjamur, fanbase-fanbase K-Pop Idol baik

di dunia maya maupun di dunia nyata. Di dunia maya sendiri, beberapa

fanbase K-Pop Idol di twitter telah mencapai ≥ 10.000 penggemar. Selain itu,

masih banyak fanbase-fanbase K-Pop idol lainnya yang berkembang dengan

sangat pesat Indonesia (Asih, 2011).

Anda mungkin juga menyukai