OLEH:
ETIKA SARI
217009011
MAGISTER LINGUISTIK
2023
Kajian Estetika Postmodern dalam Tradisi “Manyonggot” pada Masyarakat Tanjung
Balai Asahan
PENDAHULUAN
Tanjungbalai Asahan adalah salah satu daerah tingkat dua di propinsi Sumatera
Utara. Etnis asli yang mendiami Tanjung balai Asahan (TBA) adalah etnis Melayu dan Batak
yang sebagian besarnya beragama Islam. Etnis Melayu merupakan motor utama penggerak
roda kebudayaan di Tanjungbalai Asahan. Oleh sebab itu, perilaku budaya secara umum
yang ditampilkan di daerah ini selalu merepresentasikan dan mengatasnamakan Islam,
karena telah menjadi adagium di kawasan ini bahwa Melayu sama dengan Islam.
Kendatipun agama Islam telah lama dianut oleh penduduk Tanjungbalai Asahan, tetapi
banyak ditemukan ritual-ritual yang berasal dari ajaran animisme yang terus tumbuh. Tradisi
orang-orang Islam yang khas inilah yang disebut oleh Robert Redfield sebagai little tradition
yang membedakan keislaman masyarakat Tanjungbalai Asahan dengan masyarakat Muslim
di daerah lainnya (Matondang, 2016). Salah satu di antara tradisi khas itu adalah tradisi
Manyonggot yang dilakukan sebagai media penyembuhan. Manyonggot secara antropologis
dapat dipahami sebagai sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Tanjungbalai
Asahan, khususnya di daerah pedalaman dan daerah-daerah pinggir laut lainnya yang
berkaitan dengan magis. Tradisi ini dilakukan ketika seseorang dari anggota masyarakat
kehilangan semangat badan yang disebabkan karena sebelumnya ia mengalami hal yang
membuatnya sangat terkejut.
Tradisi manyonggot sampai saat ini masih eksis ditemukan dalam aktivitas sehari-
hari masyarakat TBA, namun seiring berjalannya waktu ditemukan banyak pergeseran baik
dalam hal teknis, gaya maupun material pelaksanaannya mengikuti perkembangan zaman.
Hal ini diakui atau tidak merupakan pengaruh tak langsung dari postmodren.
Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern.
Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas, totalitas, strukturalisasi,
sistematisasi, universalisasi tunggal dan kemajuan saints. Postmodern memiliki ide cita-cita,
ingin meningkatkan kondisi sosial, budaya dan kesadaran akan semua realitas serta
perkembangan dalam berbagai bidang (http://eprints.dinus.ac.id/diakses pada tanggal
19/01/19 dalam Swandi, dkk, 2019). Menurut Derrida dan Baudrillard dalam Darmawan
(2006: 106) dalam Swandi, dkk, 2019, postmodernisme mengambil tanda-tanda dari periode
klasik dan modern untuk menciptakan satu rantai pertandaan yang baru dengan
menanggalkan makna-makna konvensional untuk menghanyutkan diri dalam permainan
bebas penanda-penanda. Dalam tradisi manyonggot ditemukan terdapat nilai dalam konteks
postmodern yang bisa dilihat dari unsur teknis maupun materialnya.
Berkaitan dengan pemahaman estetika postmodern, ada lima idiom estetika yang
akan dijelaskan lebih lanjut yakni: pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia. Penelitian
ini akan mengupas adakah ditemukan idiom estetika postmodern dalam tradisi manyonggot
masyarakat Tanjung Balai Asahan.
PEMBAHASAN
Estetika zaman modern merujuk pada segala bentuk pembaruan dan segala bentuk
keautentikan. Namun, estetika postmodernisme lebih merujuk beberapa hal mendasar
dalam penciptaan karya seni (Harieyanto, Muhammad Iqbal, 2017). Sebagaimana
dieksplorasi oleh Piliang (2012: 179) dalam Afrodita, dkk, 2018, idiom-idiom estetika yang
dominan menjadi warna dalam sastra postmodern antara lain pastiche, parodi, kitsch, camp,
dan skizofrenia.
Pengertian estetika sebagai filsafat pada prisipnya telah menempatkan pada satu titik
dikotomi antara realita dan abstraksi, serta antara keindahan dan makana. Estetika tidak lagi
menyimak keindahan dalam konvensional, melainkan telah bergeser kearah sebuah wacana
dan fenomena. Menilai bahwa praktik estetika di masa kini berbeda dengan praktik
estetikammasa sebelumnya yang bersifat progresif, rasional, dan serius. Kini praktik estetika
beralih kepada pendekatan-pendekatan baru yang bersifat eklektik, irasional dan ironis
(Agus, 2002:65 dalam Saptono).
Dalam masyarakat Melayu Asahan “manyonggot” dikenal sebagai sebuah acara adat
ketika seseorang secara diam-diam dan secara mendadak didatangi oleh serombongan
orang (sanak famili, jiran, karib kerabat) sambil dibawakan bale (balai) berisikan pulut
(beras ketan), marawal dan telur, bale kemudian diangkat ke atas kepala orang tersebut
sambil diucapkan doa-doa dan nasihat, kemudian dipakaikan kain sarung ke badan orang
tersebut lalu ditaburi beras dan bunga rampai serta disuapi dengan pulut yang terdapat
pada bale, sebelum acara ini dilaksanakan maka seluruh sanak famili dilarang menyebut
kata-kata yang berhubungan dengan acara manyonggot, misalnya: bale, pulut, kain sarung,
dan lain sebagainya, hal ini bertujuan agar orang tersebut sama sekali tidak mengetahui
bahwa dirinya akan disonggot oleh keluarganya, larangan ini bertujuan supaya orang yang
disonggot tersebut benar-benar terkejut dengan acara penyonggotan itu dan diharap
dengan terkejutnya ia, maka semangat badannya (kekuatan mental) akan kembali datang
atau sebagai doa dan harapan baik kepada dirinya, jika seseorang mengetahui dirinya akan
disonggot maka diyakini bahwa acara penyonggotan tidak akan menjadi “obat” bagi orang
tersebut. Seseorang yang disonggot biasanya orang yang mengalami sakit parah, orang
yang ditimpa sesuatu yang sangat mengejutkan (misalnya tertabrak kendaraan), orang yang
akan melahirkan, akan berangkat naik haji, dll.
(Matondang 2014:450 dalam Graldine, 2020) Menyonggot adalah adat istiadat untuk
mengembalikan kekuatan jiwa (semangat) seseorang yang sedang mengalami musibah
seperti kecelakan, sakit dan lain sebagainya. Songgot juga bisa digunakan dalam acara
penghormatan seperti berangkat haji, khitanan, atau khataman Alqur‟an. Acara ini dilakukan
dengan melakukan upah-upah, yaitu dengan membawa balai (wadah bersegi empat
bertingkat) yang didalamnya terisi pulut ketan yang diwarnai dengan warna kuning
sedangkan yang berkaitan dengan keagamaan dikaitakan dengan upah-upah
Pastiche
Pastiche adalah sebuah gaya dalam seni dan desain yang mengambil teks, karya
atau gaya masa lalu sebagai titik berangkat duplikasi, revivalisme, atau rekonstruksi sebagai
ungkapan simpati, penghargaan, atau apresiasi. Piliang menambahkan pastiche
mengimitasi bentuk teks dari berbagai fragmen sejarah sekaligus mencabutnya dan
menempatkan ke dalam konteks semangat masa kini. Pastiche, merupakan istilah yang
mengacu pada pengertian keberadaan pinjaman (terutama) pada seni (Piliang, 2003: 209).
Hal itu dapat berupa satu unsur (atau elemen), atau sekelompok unsur, sehingga
keberadaannya pada suatu karya seni dapat disebut unsur pastiche pada seni, atau
terhadap karya seni itu sendiri dapat disebut bersifat pastiche. Selain itu, dapat pula berupa
suatu konstruksi yang terdiri atas susunan unsur-unsur pastiche itu sendiri sehingga suatu
karya seni demikian disebut karya seni pastiche (Syafril, 2008).
Unsur pastiche yang ditemukan dalam tradisi manyonggot adalah bertolak dari
fenomena racun yang menjadi penawar bagi racun (antidote) yang ditiru dari fenomena alam
sekitar, masyarakat Tanjung Balai Asahan percaya bahwa rasa terkejut yang membuat
seseorang menjadi jatuh sakit dapat dihilangkan dengan cara kembali membuat dia terkejut.
Parodi
Parodi adalah mengambil berbagai teks masa lalu sebagai titik berangkat kritik,
ungkapan ketidakpuasan, atau sekedar penyampaian rasa humor. Berbagai teks yang
saling dipertemukan akhirnya menghasilkan gaya ketiga yaitu gaya hibrida. Parodi adalah
satu bentuk dialog sebagaimana konsep dialog bakhtin-antarteks dan bertujuan
mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan
intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk, dan menjadi semacam bentuk oposisi
atau kontras di antara berbagai teks, karya atau gaya lainnya dengan maksud menyindir,
mengecam, mengkritik, atau membuat lelucon darinya (Piliang 2003: 213- 314; Kutha Ratna,
2007: 387).
Kitsch
Kitsch adalah semangat reproduksi, adaptasi, dan simulasi. Produksi kitsch adalah
semangat memassakan seni tinggi, membawa seni tinggi dari menara gading elit ke
hadapan massa melalui produksi massal; melalui proses demitosisasi nilai-nilai seni tinggi.
Kitsch yang sebagai istilah berakar dari bahasa Jerman verkitschen (membuat murah) dan
kitschen yang berarti secara literal ‘memungut sampah dari jalan’ juga didefinisikan dalam
The Concise Oxford Dictionary of Literary Term sebagai “segala jenis seni palsu (pseudo-
art) yang murahan dan tanpa selera” sering ditafsirkan sebagai sampah artistik, atau selera
rendah (bad taste) (Piliang 2003: 217; Kutha Ratna, 2007: 387- 388 dalam Syafril, 2008).
Produksi kitsch lebih didasarkan semangat memassakan seni tinggi, membawa seni tinggi
dari menara gading elit ke hadapan massa melalui produksi massal; melalui proses
demitoisasi nilai-nilai seni tinggi.
Unsur kitsch yang ditemukan dalam tradisi manyonggot adalah produksi massal
properti pelaksaan manyonggot yang mengalami penurunan kualitas, salah satu contohnya
penggunaan kain tebal sebagai marawal (bunga balai) diganti menjadi kertas minyak karena
lebih murah dan mudah dibuat. Kemudian penggunaan tepung-tepungan yang diberi air dan
pewarna untuk dioleskan ke wajah orang yang disonggot diganti menjadi bedak tabur
karena lebih mudah diperoleh. Hal tersebut tentu mengurangi kesakralan dari tradisi
tersebut.
Camp
Camp adalah menekankan pada dekorasi, tekstur, permukaan sensual, dan gaya
dengan mengorbankan isi. Piliang (2003: 222 dalam Syafril, 2008) menekankan camp
sebagai model estetisme, yaitu satu cara melihat dunia sebagai fenomena estetik, namun
bukan dalam pengertian keindahan atau keharmonisan, melainkan keartifisialan dan
penggayaan. Estetisme itu dapat dipandang positif dalam pengembangan gaya karena
pemberontakannya menentang gaya elit kebudayaan tinggi. Penekanan camp bukanlah
keunikan dari satu karya seni, melainkan kegairahan reproduksi dan distorsi. Camp
menjunjung tinggi ketidaknormalan dan keluarbiasaan (Piliang, 2003:222-223 dalam Syafril,
2008).
Unsur Camp yang ditemukan dalam tradisi manyonggot adalah modifikasi beberapa
properti dalam pelaksaan tradisi tersebut sehingga mengurangi nilainya, contohnya balai
yang digunakan pada dasarnya terbuat dari kayu yang diukir bermotif bunga malah diganti
dengan kayu yang ditempel cangkang kerang karena kebetulan di Tanjung Balai banyak
ditemukan sampah cangkang kerang, motif bunga yang terdapat pada sisi luar balai
menunjukkan kedekatan dan keterikatan antara manusia dengan alam, jika diganti dengan
cangkang kerang tentu akan memunculkan asumsi bahwa semua benda yang tidak dipakai
lagi bisa ditempel di sisi luar balai sehingga relief ukir yang ditonjolkan kehilangan makna.
Schizophernia
Unsur schizophrenia yang ditemukan dalam tradisi manyonggot adalah dilihat dari
asal katanya saja aktivitas manyonggot adalah tradisi yang bertujuan untuk mengejutkan
seseorang agar keterkejutan yang dia alami sebelumnya menjadi hilang, namun saat ini
makna tersebut terkadang hilang karena sebagian orang malah meminta orang lain untuk
manyonggot dirinya, tentu saja jika ia mengetahui bahwa dirinya akan disonggot dia tidak
akan merasa terkejut dan tradisi tersebut tidak menjadi efektif untuk menjadi obat bagi
dirinya, ada salah kaprah makna yang terjadi.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA