Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENGENALAN PEREMPUAN DALAM KAJIAN MULTI PERSPEKTIF

OLEH :
KELOMPOK 4
MARIA ANA MARLINA
RINDI ANTIKA IGIRISA
SITI NAFISAH LESTALUHU
SUKMA SETIAWATI BUATAN
APRILDA MITHA NURIYYAH
NURWAIDAH

JURUSAN S1 KEBIDANAN
FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS MEGA REZKY MAKASSAR
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga makalah dengan judul “Pengenalan Perempuan

Dalam Kajian Multi Perspektif“ ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah.

Penulisan makalah ini mengalami banyak hambatan yang datang silih

berganti, namun dengan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga

semua hambatan itu dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis menghaturkan terima

kasih yang tak terhingga kepada dosen pengampuh mata kuliah yang telah

membimbing penulis selama proses belajar mengajar serta kepada semua pihak

yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, baik dari segi isi maupun sistematikanya. Oleh karena itu, saran

dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan

makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat

bagi kita semua.

Makassar,November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL.................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang ......................................................................................1

B. Rumusan Masalah .................................................................................3

C. Tujuan ...................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4

A. Teori Gender................................................................................................4

B. Teori Feminisme...................................................................................................5

C. Memahami Psikologi Perempuan Secara Komprehensif.............................5

BAB III PENUTUP.................................................................................................12

A. Kesimpulan..................................................................................................12

B. Saran ...........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perempuan kini tengah menjadi sorotan. Di era emansipasi ini

masyarakat mulai mengakui keberadaan perempuan yang makin maju dan

mulai menunjukkan diri mereka. Keadaannya tentu berbeda ketika masyarakat

belum mengenal emansipasi. Perempuan tidak bisa bebas untuk berekspresi

dan bersosialisasi dengan leluasa.

Perempuan masa kini sudah berani mengekspresikan diri dan mandiri

tanpa terkekang oleh adat dan mitos dalam masyarakat. Mereka mulai meretas

karir untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan diri demi masa depan.

Masyarakat yang mulai merasakan kekuatan emansipasi perempuan pun mulai

terbuka dan mengakui sosok perempuan yang ingin disejajarkan dengan

sesama mereka, laki-laki.

Untuk menunjukkan kemampuan diri, perempuan lebih berani dan bebas

memilih pekerjaan sesuai dengan minat mereka. Bahkan perempuan tak ragu

lagi terjun ke dunia kerja yang kerap diidentikkan dengan kaum laki-laki,

Bukan hal yang mengejutkan lagi perempuan menjadi seorang Pekerja, karena

pada dasarnya masing-masing individu baik itu perempuan maupun laki-laki

memiliki kesempatan yang sama, meskipun mayoritas pekerja didominasi oleh

laki-laki.

Anggapan media sebagai dunia laki-laki ini, dibarengi dengan munculnya

tiga hal yang menggambarkan persoalan perempuan di media massa yang

1
masih bisa gender1. Pertama, seputar penggambaran sosok perempuan di

media massa yang masih kurang sensitif gender dan cenderung menyudutkan

posisi kaum perempuan. Dalam berita kriminal, perempuan banyak disorot

terkait masalah kekerasan, penganiayaan, dan pelecehan seksual. Perempuan

digambarkan sebagai objek eksploitasi, sebagai tersangka, atau sebagai korban.

Bahkan ada anggapan bahwa perempuan dianggap ‘mengundang’

(memancing) tindak kriminalitas atas diri mereka.2 Sebagai contoh dalam

berita tentang PSK (Pekerja Seks Komersial) yang identik dengan sosok

perempuan. Kondisi berbeda terjadi di berbagai negara maju, dimana terjadi

peningkatan dalam representasi perempuan di media massa sekitar 30%-40%,

bahkan di Finlandia mencapai 49%.3 Setidaknya angka ini bisa menjadi

gambaran tentang permasalahan perempuan yang perlu mendapat perhatian

bagi media massa, sebagai kontrol sosial masyarakat lewat pemberitaan

mereka.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rega P. Karna, dengan topik

tentang pendapat mahasiswa terhadap pemberitaan perempuan di berita

kriminal. Adapun beberapa pendapat mahasiswa terhadap ketidakadilan yang

terjadi pada perempuan dalam berita-berita criminal, kekerasan pada

perempuan dalam kasus pemerkosaan terjadi karena kesalahan moral pelaku

dan bukan karena apa yang dikenakan oleh perempuan. Terkait beban ganda

perempuan (lapangan pekerjaan), tidak benar apabila dikatakan lapangan

pekerjaan sedikit untuk perempuan. Meskipun sudah berkurang, tetapi

permasalahan ini belum menghilang seluruhnya. Sedangkan isu marginalisasi

2
dan subordinasi perempuan, terkadang mereka masih termarginalkan ketika

ingin maju dan cenderung disepelekan, namun tidak dipungkiri bahwa

perempuan terkadang justru membuat diri mereka sendiri berada dalam situasi

sebagai pekerja rumahan. Terakhir terkait dengan streotype perempuan

mengacu pada pendapat subjek dalam penelitian tersebut pada pemikiran

masyarakat yang masih kolot dan kerap dihubungkan dengan tindakan negatif,

misalnya pandangan masyarakat terhadap perempuan yang pulang atau kerap

keluar di malam hari. Dalam penelitian tersebut, Rega P. Karna menyimpulkan

bahwa berbagai isu ketidakadilan gender terjadi sebagai akibat dari budaya

patriarki dalam masyarakat yang kemudian mempengaruhi pemberitaan media

massa. Contoh penelitian di atas, menggelitik kami untuk mengetahui lebih

jauh Tentang Pengenalan perempuan dalam kajian multiperspektif.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini yaitu menjelaskan

Pengenalan Perempuan dalam Kajian Multiperspektif..

C. Tujuan

Adapun Tujuan pada makalah ini yaitu Untuk Mengetahui Pengenalan

Perempuan dalam Kajian Multiperspektif.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Gender

Pemahaman tentang peran dan pembeda antara perempuan dan laki-laki

dipahami berbeda oleh masyarakat, tergantung dari perspektif dan budaya dari

masyarakat itu sendiri. Sehingga peran masyarakat dalam pembentukan makna

gender punya pengaruh yang besar terhadap pembagian peran dan status

perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat. Anggapan ini

dikuatkan oleh teori nurture, salah satu kategori teori gender, teori ini

berpandangan bahwa perbedaan antara perempuan dan laki-laki, dikarenakan

oleh proses sosialisasi dan internalisasi secara kultural oleh masyarakat dalam

berbagai aspek kehidupan. Sosialisasi dan internalisasi yang ‘diturunkan’ dan

ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari secara terus-menerus dalam kurun

waktu tertentu kemudian menjadi sebuah konstruksi yang semakin membuat

jarak antara peran perempuan dan laki-laki. Sehingga perbedaan gender yang

sebenarnya hasil konstruksi/pemaknaan oleh masyarakat sendiri, justru menjadi

sesuatu yang ‘dikodratkan’ oleh Tuhan atau alamiah. Hal ini berbeda dengan

asumsi teori nurture, yang dikenalkan oleh Mill, dimana citra perempuan

merupakan hasil konstruksi atau ‘buatan’ yang merupakan tekanan, paksaan

dan rangsangan yang secara tidak sadar dilakukan di lingkungan sekitar

mereka, perbedaan tersebut lebih bersifat politis.

4
B. Teori Feminisme

Feminisme merupakan ilmu baru yang sudah mulai tumbuh sejak abad

ke- 19 di negara Barat. Kumari Jayawardena menguraikan bahwa pada abad

ke-19 dan 20 telah ada perjuangan kaum feminis di Iran, Turki, Indonesia, Sri

Lanka. Ini membuktikan bahwa menempatkan feminisme dalam kerangka

‘Barat’ vs ‘Timur’ sesungguhnya sama sekali keliru dan cenderung

simplistik.45 Indonesia sudah mengenal feminisme sejak tahun 60-an, dan baru

mulai menjadi isu hangat ketika memasuki tahun 70-an. Mitos dan

kepercayaan yang melekat pada kehidupan masyarakat, membuat gerakan ini

sulit diterima oleh masyarakat, mungkin sulit diterima sendiri oleh kaum

perempuan.

Feminisme dipahami sebagai ideologi kebebasan yang berasumsi bahwa

ketidakadilan yang menyudutkan pihak perempuan disebabkan karena

seksualitasnya. Tetapi pada hakikatnya feminisme menuntut persamaan dan

keadilan bagi perempuan.46 Beberapa tokoh lain memiliki pemikiran yang

sama tentang pengertian feminisme. Maggie Humm (1990) dalam buku

Pergulatan Feminisme dan HAM menjelaskan feminisme berasumsi bahwa

ketidakadilan perempuan dikarenakan jenis kelaminnya, karena ia adalah

perempuan.

C. Memahami Psikologi Perempuan Secara Komprehensif

1. Karakteristik Fisiologis Perempuan

Untuk memahami psikologi perempuan secara komprehensif,

terlebih dahulu perlu memahami karakteristik fisiologis mereka yang

5
mengandung perbedaan dan persamaan dengan laki-laki. Perlakuan yang

berbeda dan ketidak-adilan yang diterima perempuan selalu berpangkal dari

perbedaan secara anatomis fisiologis antara perempuan dan laki-laki.

Meski perbedaan fisik perempuan merupakan takdir dengan istilah

Freud yang terkenal Anatomi is destiny, tetapi tidak meniscayakan relasi

antar jenis kelamin yang berbeda itu menimbulkan kesenjangan dan

bersifat hirarkhis, karena relasi antar kedua makhluk Tuhan itu bukan

takdir, tetapi dikonstruksi secara sosial. Sinergi dari dua karakteristik fisik

yang berbeda dari perempuan dan laki-laki itu akan melahirkan kehidupan

harmoni yang saling mendukung satu sama lain, ibarat tangan kiri dan

kanan yang bergantian menjuntai ke depan dan ke belakang dalam berjalan,

sehingga perjalanan akan sampai kepada satu tujuan, tanpa diartikan bahwa

tangan kanan lebih penting dari tangan kiri, atau sebaliknya.

Terdapat perbedaan bersifat internal dan substansial yang jelas

antara perempuan dan laki-laki ditinjau dari segi fisik, seperti dalam

pertumbuhan tinggi badan, payudara, rambut, organ genitalia inter- nal dan

eksternal, serta jenis hormonal yang mempengaruhi variasi ciri-ciri fisik

dan biologisnya.

Terjadinya perbedaan secara fisik antara perempuan dan laki-laki

ditentukan sejak masa konsepsi, yaitu saat sel telur (ovum) yang

mengandung 22 pasang kromosom sejenis (22 AA) dan sepasang

kromosom seks XX bergabung dengan sel sperma (spermatozoa) yang

mengandung 22 pasang kromosom sejenis (22 AA) dan sepasang

6
kromosom seks XY. Jika kromosom seks dari perempuan bergabung

dengan kromosom seks X dari laki-laki, melahirkan bayi perempuan, dan

jika kromosom seks dari perempuan bergabung dengan kromosom seks Y

dari laki-laki, melahirkan bayi laki-laki. Berdasarkan perbedaan jenis

kromosom seks yang dimiliki perempuan dan yang dikeluarkan oleh laki-

laki, menghasilkan jenis kelamin tertentu (Hurlock, 1980).

Dengan demikian, kromosom yang dimiliki ibu dan ayah berbeda,

demikianpun anak yang dihasilkan dari jenis kromosom berbeda dari ayah

dan ibunya akan menghasilkan perbedaan struktur fisiologis dan biologis

yang kemudian berkembang sebagai genitalia perempuan dan laki-laki pada

sekitar minggu keenam masa dalam kandungan (pranatal). Kromosom dari

ayah dan ibu yang sudah bergabung itu membentuk sel yang disebut testis.

Awal berkembangnya testis hanya terjadi pada embrio yang mengandung

kromosom seks XY. Testis tersebut mulai memproduksi hormon seks. Pada

testis yang mengadung kromosom XX memproduksi hormon progesteron

dan estrogen, dan testis yang mengandung kromosom XY menghasilkan

hormon androgen. Ketiadaan hormon androgen pada testis yang

mengandung kromosom XX menghasilkan telur dan kelenjar gonad yang

membentuk menjadi indung telur dan perkembangan genitalia eksternal dan

internal janin perempuan, dan pada testis yang mengandung kromosom XY

mengembangkan organ eksternal dan internal janin laki-laki (Friedman &

Schutack, 2008).

7
2. Bias dalam Psikologi Perempuan

Pada umumnya perempuan dicitrakan atau mencitrakan dirinya

sendiri sebagai makhluk yang emosional, mudah menyerah (submisif),

pasif, subjektif, lemah dalam matematika, mudah terpengaruh, lemah fisik,

dan dorongan seksnya rendah. Sementara laki-laki dicitrakan dan

mencitrakan dirinya sebagai mahluk yang rasional, logis, mandiri, agresif,

kompetitif, objektif, senang berpetualang, aktif, memiliki fisik dan

dorongan seks yang kuat.

Masalahnya, citra fisik perempuan acapkali dipersepsikan sebagai

citra kepribadian perempuan. Pandangan Freud bahwa perbedaan anatomi

sebagai takdir berimplikasi pada pandangan bahwa kepribadian perempuan

dan laki-laki itu sangat berbeda sesuai dengan takdir anatomisnya.

Perempuan yang mengalami perubahan siklus hormon ketika mengalami

haidh, lazim dipersepsikan memiliki kepribadian yang tidak stabil yang

berbeda dengan laki-laki. Citra perempuan yang emosional, tidak stabil,

dan mood yang berubah dipersepsikan disebabkan oleh siklus hormonal

perempuan pada masa haidh. Ketidak-stabilan hormonal yang

mempengaruhi mood dan emosional perempuan menjadi sebuah stereotip

yang dikembangkan di masyarakat hingga saat ini bahwa perempuan lemah

dan tidak stabil, sehingga membatasi ruang gerak perempuan untuk terlibat

dalam pelbagai bidang, seperti: politik, ekonomi, kemiliteran, maupun

eksplorasi ruang angkasa. Kondisi tersebut menimbulkan pengkotakan,

mana area yang pantas dan tidak pantas untuk perempuan.

8
Akibat citra fisik yang dimiliki, perempuan dicitrakan sebagai

makhluk yang tidak sempurna (the second class), makhluk yang tidak

penting (subordinate), sehingga selalu dipinggirkan (marginalization),

dieksploitasi, dan mereka diposisikan hanya mengurusi masalah domestik

dan rumah tangga (domestication/housewivezation), seperti masalah dapur,

kasur, dan sumur, meski dalam mengurus masalah domestik sekalipun,

kaum perempuan tetap tidak memiliki kedaulatan penuh karena

dikendalikan oleh kaum laki-laki dalam kondisi budaya patriarkhis,

sehingga seringkali menghadapi tindakan kekerasan secara fisik, seksual,

ekonomi, dan pelecehan. Sejak kecil anak perempuan diken-dalikan oleh

ayah, saudara-saudara laki-laki, paman, atau walinya. Setelah dewasa

perempuan dikendalikan oleh suaminya, dan jika ber-karir dikendalikan

oleh majikannya dan peraturan kerja yang patriarkhis.

3. Psikologis Perempuan dalam Perspektif Islam

Islam memandang sama kepada perempuan dan laki-laki dari segi

kemanusiaannya. Perempuan adalah manusia sebagaimana laki-laki. Islam

memberi hak-hak kepada perempuan seperti yang diberikan kepada laki-

laki dan membebankan kewajiban yang sama kepada keduanya, kecuali

terdapat dalil syara yang memberi tuntutan dan tuntunan khusus untuk

perempuan dan laki-laki, yang jumlahnya sangat sedikit, dan kebanyakan

dalil syara tidak diciptakan khusus untuk perempuan atau khusus untuk

9
laki-laki, melainkan untuk keduanya sebagai insan (QS. Al-Hujurat

[49]:13; QS Al-Najm [53]:45; QS Al-Qiyamah [75]:39 ).

Perempuan dan laki-laki telah diberi potensi yang sama untuk dapat

berkiprah dan beramal secara sinergis dalam asas kemitraan, kerja sama,

saling tolong menolong, saling mendukung, saling memberi penguatan

dalam suatu kehidupan di masyarakat (QS.Al-Nisa [4]: 7, 32-34,155). Pola

kehidupan sinergis itu sudah menjadi sunnatullah dalam setiap komunitas,

kurun, dan generasi manusia karena Allah menciptakan kemanusiaan

manusia yang saling bergantung (interdependency), saling berhubungan

(interconnection), dan saling melengkapi (intercomplementary). Tidak ada

seorang manusiapun yang sempurna, lahir, dan dapat hidup sendiri, tanpa

kehadiran manusia lain (QS Al-Nisa [4]:1; QS Al-A’raf [7]:189 ).

Allah telah merencanakan bahwa antara perempuan dan laki-laki

terdapat perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan. Apabila Allah

telah menciptakan berbagai organ yang berbeda dalam satu tubuh manusia,

seperti telinga, mata, mulut, tangan, kaki, dan lain-lain dalam bentuk dan

fungsi yang berbeda, bukankah berarti bahwa Allah telah mengutamakan

satu organ dari organ lainnya. Seperti saat mata difungsikan, tidak berarti

mengutamakan mata dari organ tubuh lainnya dan boleh memperlakukan

semena-mena terhadap or gan tubuh lainnya, karena semua organ tubuh

yang berbeda itu berfungsi sesuai dengan karakteristiknya masing-masing,

dan masing-masing organ tidak dapat berfungsi sendiri-sendiri, tetapi

saling berkaitan untuk melahirkan kehidupan. Dengan demikian, setiap

10
orang yang berbeda itu harus bersinergi untuk menopang kehidupan dan

memenuhi hajat manusia.

4. Psikologis Perempuan Dalam Budaya Patriarkhis

Selama berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran

tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan

dipuja sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai

bunga ketika ia mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja begitu ia

layu. Tubuh perempuan identik dengan daya pesona dan kesenangan, tetapi

dalam waktu yang sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan.

Perempuan dipuji sebagai “tiang negara”. Ketika menjadi ibu, masyarakat

muslim memujinya: “surga di telapak kaki ibu”. Tetapi pada saat yang lain,

ketika ia menjadi seorang isteri, menurut sebuah teks agama, dia harus

tunduk sepenuh-nya kepada suami, dia tidak boleh ke luar rumah sepanjang

suami tidak mengizinkannya, meski untuk menengok orang tuanya yang

tengah sakit bahkan sampai meninggal sekalipun. Isteri juga tidak boleh

menolak manakala suami menginginkan tubuhnya, kapan dan di mana saja.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan pada makalah ini yaitu ada banyak faktor mengapa

posisi perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang belum setara,yang

pertama tentang posisi perempuan sebagai objek eksploitasi media. Kedua,

perempuan masih digambarkan sosok yang lemah, tertindas, penurut, tidak

berdaya yang hanya bisa mengurus dapur (rumah tangga). Ketiga, pemberitaan

tentang perempuan di media massa yang masih monumental seperti pada

perayaan Hari Kartini dan Hari Ibu saja. Konten beritanya hanya membahas

peringatannya saja. Keempat, tentang porsi pemberitaan tentang pemberdayaan

perempuan yang masih minim. Media massa belum banyak yang mengangkat

persoalan perempuan, karena berbagai pertimbangan di dalamnya. Terakhir

adalah masih belum banyak perempuan yang terlibat dalam industri media

massa.. Hal ini menjadi salah satu faktor, ukuran-ukuran pemberitaan di media

masih menggunakan ukuran laki-laki, karena posisi pengambilan keputusan

didominasi oleh laki-laki. Persoalan ini juga ternyata berpengaruh kepada

penggunaan kosa kata yang seksis dalam pemberitaan di media massa.

Seksisme dalam bahasa terjadi karena perempuan tidak banyak dilibatkan

dalam proses pembentukan bahasa.

12
B. Saran

Adapun saran kami sebagai penyusun makalah ini adalah bagi

pembaca yang ingin menyusun makalah serupa, bisa menjadikan makalah

kami sebagai salah satu rajukan dengan harapan lebih mengembangkan lagi

isi makalah tersebut

13
DAFTAR PUSTAKA

Eti Nurhayati. “Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif” PUSTAKA


PELAJAR Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167. ISBN: 978-602-
229-032-2.

Jurnal “Perlindungan Hak Perempuan Dalam Persfektif Keadilan Gender” Andi


Kasmawati

https:// id. scribd. com/ presentation/ 444979165/ Pengenalan- perempuan- dalam-


kajian - multiperspektif

http://www. jurnalperempuan. org/wacana-feminis/perjalanan-panjang-perempuan


– dalam -budaya

14
Contoh Latihan Kasus
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rega P. Karna, dengan topik tentang
pendapat mahasiswa terhadap pemberitaan perempuan di berita kriminal.
Adapun beberapa pendapat mahasiswa terhadap ketidakadilan yang terjadi
pada perempuan dalam berita-berita criminal, kekerasan pada perempuan
dalam kasus pemerkosaan terjadi karena kesalahan moral pelaku dan
bukan karena apa yang dikenakan oleh perempuan. Terkait beban ganda
perempuan (lapangan pekerjaan), tidak benar apabila dikatakan lapangan
pekerjaan sedikit untuk perempuan. Meskipun sudah berkurang, tetapi
permasalahan ini belum menghilang seluruhnya. Sedangkan isu
marginalisasi dan subordinasi perempuan, terkadang mereka masih
termarginalkan ketika ingin maju dan cenderung disepelekan, namun tidak
dipungkiri bahwa perempuan terkadang justru membuat diri mereka
sendiri berada dalam situasi sebagai pekerja rumahan. Terakhir terkait
dengan streotype perempuan mengacu pada pendapat subjek dalam
penelitian tersebut pada pemikiran masyarakat yang masih kolot dan kerap
dihubungkan dengan tindakan negatif, misalnya pandangan masyarakat
terhadap perempuan yang pulang atau kerap keluar di malam hari. Dalam
penelitian tersebut, Rega P. Karna menyimpulkan bahwa berbagai isu
ketidakadilan gender terjadi sebagai akibat dari budaya patriarki dalam
masyarakat yang kemudian mempengaruhi pemberitaan media massa.
Penelitian serupa, terkait keberadaan perempuan jurnalis di media massa, pernah
dilakukan oleh tim survei LP3Y Yogyakarta yang berjudul Pengalaman
Subjektif Wartawan Perempuan.Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mengetahui komposisi, posisi dan peran perempuan jurnalis dalam
organisasi kerja redaksional, serta mengetahui kesadaran kolektif
pengelola media terutama kalangan jurnalis tentang persoalan yang
dihadapi kaum perempuan secara khusus wartawan perempuan, lewat
pengalaman subjektif perempuan jurnalis dalam kerja jurnalismenya.
Dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa ketidaksadaran atau
ketidakberdayaan perempuan jurnalis, sering kali membuat mereka justru

15
mempertahankan kebiasaan-kebiasaan atau nilai-nilai patriarkis yang
seharusnya dihilangkan. Selama ini informasi tentang paham kesetaraan
gender di lingkungan kerja media, kurang menyentuh perhatian atau
pikiran para perempuan jurnalis ini. Mereka masih terbayangi dengan
stigma dan terbiasa dengan anggapan media sebagai ranah kaum laki-laki,
kerja malam identik dengan laki-laki, serta batasan-batasan kerja
perempuan jurnalis di media massa. Tampak bahwa kesadaran dan
kesetaraan gender, belum melembaga dalam organisasi kerja media massa.
Misi utama dari penelitian LP3Y ini adalah diharapkan ada peran serta dari
perempuan jurnalis sendiri untuk menularkan kesadaran dalam media
massa tentang kesetaraan gender di mulai dari lingkungan kerja mereka
hingga praktik peliputan mereka di lapangan.

16

Anda mungkin juga menyukai