Mengutip Sumber Belajar Kemdikbud RI, pada masa perkembangan Islam di zaman madya,
seni patung kurang mengalami perkembangan tetapi seni ukir atau seni pahat yang
berkembang pesat.
Faktor penyebabnyanya adalah adanya ajaran Islam bahwa seni ukir, seni patung dan seni
lukis makhluk hidup (hewan dan manusia) tidak diperbolehkan. Ajaran tersebut ditaati
masyarakat muslim di Indonesia.
Meski seni patung untuk menggambarkan makhluk hidup secara nyata tidak diperbolehkan
tetapi seni pahat atau seni ukir terus berkembang.
Maka, bentuk seni yang berkembang sebagai bentuk akulturasi budaya pra-Islam dan budaya
Islam adalah:
seni hias berupa seni ukir atau seni pahat: para seniman mengembangkan dengan motif daun-
daunan dan bunga-bungaan, seperti yang telah dikembangkan sebelumnya.
seni hias dengan huruf Arab yang disebut kaligrafi.
kreasi baru yaitu bila ingin melukiskan makhluk hidup dilakukan dengan menyamarkan
wujud makhluk hidup (binatang atau manusia) dengan berbagai hiasan.
Pada masa ini juga dikembangkan seni hias seni ukir dengan bentuk tulisan Arab yang
dipadukan dengan ragam hias lain. Termasuk seni kaligrafi dengan bentuk orang, binatang
atau wayang.
Berikut ini contoh bentuk akulturasi budaya pra-Islam dan budaya Islam di bidang seni ukir:
Mengutip Sejarah Perkembangan Seni Ukir di Jepara (1985) karya Agus Dono Karmadi dan
M Soenjata Kartadarmadja, pada zaman kerajaan-kerajaan Islam, yang pertama di Jawa yang
berpusat di Demak, Jepara juga merupakan kota pelabuhan terkemuka.
Latar belakang tradisi ukir di Jepara terlihat dari salah satu peninggalan sejarah bernilai
arkeologis, yaitu Masjid dan pemakaman Mantingan. Masjid Mantingan didirikan pada masa
kejayaan Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat yang memerintah Jepara.
Berdirinya Masjid Mantingan kemungkinan bersamaan dengan tumbuhnya seni ukir di
Jepara. Faktor pendorong tumbuhnya seni ukir dan seni bangunan Islam di Jepara adalah
akulturasi kebudayaan pra Islam dan budaya Islam.
Ukiran relief di Masjid Mantingan di Jepara, Jawa Tengah, bukti akulturasi budaya pra-Islam dan
budaya Islam di Indonesia.(Kemdikbud)
Masjid Mantingan Jepara dibangun pada 1481 Saka atau 1559 Masehi. Kompleks Masjid
Mantingan mempunyai luas sekitar 7 hektar yang terdiri dari bangunan masjid, makam dan
museum.
Di bangunan tersebut ditemukan banyak hiasan-hiasan dinding berupa ukiran batu putih yang
sangat halus dan indah. Terdapat peninggalan seni ukir di Masjid Mantingan yang bernilai
cukup tinggi.
Masjid Mantingan Jepara menjadi bukti akulturasi antara budaya pra-Islam (Hindu-Budha
dan China) dengan budaya Islam, karena mempunyai:
seni pahat berupa relief-relief yang menempel di dinding masjid berjumlah 114 relief.
Menjadikan Masjid Mantingan sebagai satu-satunya masjid yang mempunyai relief, seperti
bangunan candi.
bentuk mustaka dan atap tumpang masjid merupakan corak Hindu Majapahit.
bentuk barongsai pada relief yang digayakan (stilisasi) menunjukkan pengaruh China.
Hiasan-hiasan di kompleks masjid dan makam Mantingan dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu:
hiasan bercorak flora: sulur-suuran atau tumbuhan menjalar dan bunga teratai.
motif geometris atau motif slimpetan (saling bersilangan).
motf binatang yang disamarkan (distilir atau distilisasi)
AKULTURASI BUDAYA ISLAM SENI KALIGRAFI
Akulturasi bidang seni rupa terlihat pada seni kaligrafi atau seni khot, yaitu seni yang
memadukan antara seni lukis dan seni ukir dengan menggunakan huruf Arab yang indah dan
penulisannya bersumber pada ayat-ayat suci Al Qur'an dan Hadit. Adapun fungsi seni
kaligrafi adalah untuk motif batik, hiasan pada masjid-masjid, keramik, keris, nisan, hiasan
pada mimbar dan sebagainya. Seni sastra Indonesia di zaman Islam banyak terpengaruh dari
sastra Persia. Di Sumatra, misalmya menghasilkan karya sastra yang berisi pedoman-
pedoman hidup, seperti cerita Amir Hamzah, Bayan Budiman dan 1001 Malam. Di samping
itu juga mendapat pengaruh Hindu, seperti Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama. Cerita
Panji pada zaman Kediri (Hindu) muncul lagi dalam bentuk Islam, seperti Hikayat Panji
Semirang.
Hasil seni sastra, antara lain sebagai berikut.
1) Suluk, yaitu kitab yang membentangkan ajaran tasawuf. Contohnya ialah Suluk Wujil,
Suluk Sukarsa, dan Suluk Malang Sumirang. Karya sastra yang dekat dengan suluk ialah
primbon yang isinya bercorak kegaiban dan ramalan penentuan hari baik dan buruk,
pemberian makna kepada sesuatu kejadian dan sebagainya.
2) Hikayat, yakni saduran cerita wayang.
3) Babad, ialah hikayat yang berisi sejarah. Misalnya Babad Tanah Jawi isinya sejarah Pulau
Jawa, Babad Giyanti tentang pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta dan
sebagainya.
4) Kitab-kitab lain yang berisi ajaran moral dan tuntunan hidup, seperti Taj us Salatin dan
Bustan us Salatin.
AKULTURASI BUDAYA ISLAM KESENIAN
Tari Seudati
Lihat Foto
Penari dari Sanggar Cit Ka Geunta menampilkan gerakan lani atau lagu pada tarian
tradisional Seudati di Festival Budaya Daerah di Taman Bustanul Salatin, Banda Aceh, Aceh,
Selasa (17/4/2018). (Antarafoto.com (Irwansyah Putra/Inasgoc/Asian Games 2018))
Tari Seudati adalah tarian masyarakat Aceh yang berkembang terutama di daerah pesisir. Tari
Seudati termasuk jenis tari perang (tribal war dance).
Seudati berasal dari kata syaidati yang artinya permainan orang-orang besar. Sering disebut
juga saman yang artinya delapan.
Biasanya tari Seudati ditampilkan leh delapan laki-laki sebagai penari utama yang terdiri
dari satu syeh, satu orang pembantu syeh, dua orang pembantu di sebelah kiri (apeetwie), satu
orang pembantu di belakang (peet bak), dan tiga orang pembantu biasa.
Serta dua orang penyanyi yang disebut aneuk syahi sebagai pengiring tari. Biasanya para
pemain menyanyikan lagu yang salah satunya berisi salawat nabi.
AKULTURASI BUDAYA ISLAM SENI SASTRA
Mengutip Sumber Belajar Kemdikbud RI, penyebaran Islam di Indonesia menimbulkan
dampak akulturasi antara budaya pra-Islam dengan unsur Islam di bidang aksara dan seni
sastra.
Terlihat dari abjad Arab untuk menulis bahasa Arab mulai digunakan di Indonesia, huruf
Arab digunakan di bidang seni ukir, dan berkaitan dengan perkembangan seni kaligrafi.
Perkembangan sastra di zaman madya terpengaruh dari sastra Islam dan Persia serta unsur
sastra sebelumnya. Sehingga terjadi akulturasi antara sastra Islam dengan sastra zaman pra-
Islam. Bentuk akulturasi seni sastra budaya Islam dengan budaya pra-Islam antara lain:
Hikayat
Singkatnya, hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah atau dongeng. Hikayat
berisi berbagai peristiwa yang menarik, keajaiban atau hal-hal yang tidak masuk akal.
Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran yaitu karangan bebas atau prosa.
Contoh hikayat yang terkenal adalah Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Raja-raja Pasai,
Hikayat Khaidir, Hikayat si Miskin, Hikayat 1001 Malam, Hikayat Bayan Budiman dan
Hikayat Amir Hamzah.
Babad
Menurut KBBI, babad adalah kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak dan Madura yang
berisi peristiwa sejarah. Babad sama dengan cerita sejarah, riwayat, sejarah tambo, salasilah
atau hikayat. Penulisan babad seperti tulisan sejarah tetapi isinya tidak selalu berdasarkan
fakta. Isi babad campuran antara fakta sejarah, mitos dan kepercayaan. Contohnya adalah
Babad Tanah Jawa, Babad Cirebon, Babad Mataram dan Babad Surakarta.
Syair
Menurut KBBI, syair adalah puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri atas empat larik (baris)
yang berakhir dengan bunyi yang sama. Syair sama dengan sajak atau puisi. Syair dari bahasa
Arab. Contoh syair yang sangat tua adalah syair yang tertulis di batu nisan makam putri Pasai
di Minye Tujoh.
Babad Mataram, seni sastra akulturasi budaya Islam di Indonesia.(Kemdikbud)
Suluk
Istilah debus berasal dari kata tembus. Debus adalah nama sebuah alat yang terbuat dari besi
sepanjang 40 sentimeter dengan ujung runcing. Pada pangkalnya diberi alas dari kayu yang
diperkuat dengan lilitan pelat baja agar tidak mudah terbelah jika dipukul.
Permainan debus diawali dengan pembacaan ayat-ayat dalam Al Quran dan salawat nabi.
Dalam permainan debus, besi ditusukkan ke bagian-bagian tubuh. Anehnya, pemain tidak
merasakan sakit atau cedera padahal dalam keadaan sadar.
Kesenian debus dipercaya berhubungan dengan tarikat Rifaiah yang dibawa Nuruddin Ar
Raniri ke Aceh pada abad ke-16.
Para pengikut tarikat ini ketika dalam kondisi kegembiraan karena merasa bertatap muka
dengan Tuhan yakin bahwa atas ijin Allah maka benda-benda tajam tidak akan melukai
mereka.
Awalnya, debus berfungsi untuk menyebarkan ajaran Islam. Saat penjajahan Belanda, pada
masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, debus untuk membangkitkan semangat pejuang
dan rakyat Banten dalam melawan Belanda.