Anda di halaman 1dari 24

15

PAHLAWAN NASIONAL
DARI SUMATERA BARAT
15 Pahlawan Nasional dari Sumatra
Barat

1. Mohammad Hatta
Bung Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902 dan wafat di Jakarta pada 14 Maret
1980. Bung Hatta adalah pejuang kemerdekaan Indonesia, konseptor Pancasila dan
UUD 1945 sekaligus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia bersama Bung
Karno. Bung Hatta ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono melalui Kepres Nomor 84/TK/Tahun 2012 tanggal 7 November
2012. Sebelumnya, Presiden Soeharto menetapkan sebagai pahlawan proklamator
melalui Kepres No. 081/TK/Tahun 1986.
2. Tan Malaka
Tan Malaka yang bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka lahir di Nagari
Pandam Gadang, Limapuluh Kota, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Ia wafat di di
Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun. Tan
Malaka digelari Bapak Republik Indonesia, karena adalah tokoh pertama yang
memberi nama Republik Indonesia. Ia keluar masuk penjara karena perlawanan
pada pemerintah kolonial untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka
ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Sukarno melalui Kepres
Nomor 53 Tahun 1963 tanggal 28 Maret 1963.
3. Sutan Sjahrir
Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang pada 5 Maret 1909 dari ayah
keturunan Koto Gadang, Agam. Sjahrir adalah pejuang pergerakan
kemerdekaan sejak zaman kolonial, keluar masuk penjara karena
perlawanan itu. Di awal merdeka menjadi perdana menteri,
memperjuangkan pengakuan kedaulatan RI sekaligus pencetus pertama
politik bebas aktif. Sjahrir wafat pada 9 April 1966 dan langsung
ditetapkan Presiden Sukarno sebagai pahlawan nasional melalui Kepres
No.76 Tahun 1966 tertanggal 9 April 1966.
.
 
4. H. Agus Salim
Haji Agus Salim lahir dengan nama Masyhudul Haq di Koto Gadang, Agam,
Sumatra Barat pada 8 Oktober 1884. Ia adalah sepupu dari ayah Sutan Sjahrir.
Pria berjulukan The Grand Old Man, sudah terlibat perjuangan kemerdekaan
sejak zaman Hindia Belanda. Ia menguasai 7 bahasa asing dan terlibat aktof
dalam diplomasi pengakuan kedaulatan RI di awal merdeka baik sebagai
menteri luar negeri maupun diplomat. Haji Agus Salim wafat pada 4 November
1954. Presiden Sukarno menetapkannya sebagai pahlawan pasional pada 27
Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961.
5. Abdul Muis
Abdul Muis (ditulis dalam ejaan lama: Abdoel Moeis) lahir di Sungai Pua,
Agam, pada 3 Juli 1883. Ia adalah pejuang kemerdekaan sejak Zaman
Hindia Belanda. Meski sempat menjadi anggota Volksraad, perlawanan
terhadap pemerintah kolonial tak surut. Ia ditangkap dan diasingkan di
Jawa Barat. Abdoel Moeis adalah pahlahwan nasional pertama yang
dikukuhkan pemerintah Republik Indonesia. Presiden Sukarno
menetapkannya sebagai pahlawan pada 30 Agustus 1959 melalui Kepres
No 218 Tahun 1959.
6. Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, pada 1772. Tuanku
Imam adalah salah seorang pimpinan Pasukan Padri melawan tentara
Belanda. Di bawah kepemimpinannya kaum Padri berdamai dengan
kaum adat dan kemudian bersama menghadapi Belanda. Ia ditangkap
Belanda saat dibawa berunding, kemudian diasingkan ke Sukabumi,
Ambon dan kemudian ke Manado. Ia wafat pada 6 November 1864.
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh
Presiden Soeharto berdasarkan Kepres Nomor 087/TK/Tahun 1973,
tanggal 6 November 1973.
7. Muhammad Yamin
Muhammad Yamin lahir di Talawi, Sawahlunto pada 23 Agustus 1903. Yamin sudah
aktif dalam perjuangan kemerdekaan sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Pada
1928, aktif dalam kongres pemuda II yang membicarakan persatuan Indonesia.
Yamin adalah salah seorang konseptor Pancasila dan UUD 1945, penggali sejarah,
sastrawan dan juga ahli bahasa. Di awal merdeka sempat menjadi menteri di
beberapa departemen. Yamin wafat di Jakarta pada 17 Oktober 1962. Ia diangkat
sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soeharto pada 6 November 1973 melalui
Kepres Nompor 088/TK/Tahun 1973.
8. Rasuna Said
Rangkayo Hj. Rasuna Said lahir di Maninjau pada 14 September 1910. Rasuna
adalah pendidik, tokoh politik, pejuang emansipasi sejak zaman Hindia
Belanda. Rasuna Said adalah salah satu pendiri Persatuan Muslimin Indonesia
(Permi). Di zaman penjajahan Belanda, pidato-pidatonya yang menentang
pemerintah Hindia Belanda, membuatnya dipenjara pada 1932. Di awal
kemerdekaan, Rasuda said mewakili Sumatra Barat di KNIP. Pada masa perang
kemerdekaan, ia terlibat di Front Pertahanan Nasional. Rasuna Said juga
sempat menjadi anggota DPA. Rasuna Said wafat di Jakarta pada 2 November
1965. Rasuna Said diangkat jadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto
melalui Keputusan Presiden No. 084/TK/Tahun 1974 Tanggal 13 Desember
1974.
9. Ilyas Ya’kub
H. Ilyas Ya’kub (juga ditulis Ilyas Yacoub) lahir di Asam Kumbang, Bayang, Pesisir
Selatan, pada 14 Juni 1903. Ia adalah salah seorang pendiri Persatuan Muslim
Indonesia (Permi) yang berjuang menentang politik kolonial Pemerintah Hindia
Belanda, hingga dibuang ke Digul hingga Australia. Ia ikut bergerilya dalam
perang kemerdekaan. Ilyas Yacoub ditetapkan sebagai pahlawan oleh Presiden BJ
Habibie melalui Keputusan Presiden No. 074/TK/1999 tanggal 13 Agustus 1999.
10. Hazairin
Prof. Dr. Hazairin lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat pada 28 November 1906.
Hazairin anak dari pasangan Zakaria Bahri asal Bengkulu dan Aminah (asli
Minangkabau). Ia adalah pakar hukum adat dan pernah menjabat menteri dalam
negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo. Pada April 1946, Hazairin menjadi
Residen Bengkulu, merangkap Wakil Gubernur Militer Sumatra Selatan. Hazairin
kemudian menjadi Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Universitas
Indonesia dan sejumlah perguruan tinggi. Hazairin wafat di Jakarta pada 11
Desember 1975. Ia dianugerahi pahlawan nasional oleh Presiden BJ Habibie
melalui Keppres No. 74/TK/1999 tanggal 13 Agustus 1999.
11. Bagindo Aziz Chan
Bagindo Aziz Chan lahir di Padang pada 30 September 1910. Ia adalah anak
keempat dari enam bersaudara dari Bagindo Montok (ayah) dan Djamilah (ibu). Ia
adalah wali kota Padang di masa perjuangan. Diangkat jadi wali kota pada 15
Agustus 1946, setelah sebelumnya menjadi wakil wali kota. Bagindo Aziz Chan
gugur pada 19 Juli 1947 ditembak tentara Belanda, jelang Agresi Militer I. Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada 2005
atas jasa-jasanya selama perjuangan ,melalui Keppres No. 82/TK/2005, 7
November 2005.
12. Adnan Kapau Gani
Adnan Kapau Gani Lahir di Palembayan, Agam, Sumatra Barat. AK Gani adalah
seorang dokter, politisi dan tokoh militer. Ia pernah menjadi menteri, wakil
perdana menteri hingga jadi gubernur di Sumatra Selatan. Berjuang sejak
zaman Hindia Belanda, masuk tahanan di masa Jepang, saat perang
kemerdekaan, ia banyak membantu perlengkapan militer melalui
penyelundupan dari Singapura. AK Gani ditetapkan sebagai pahlawan nasional
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007 melalui Kepres No .
066 / TK / Tahun 2007 Tanggal 6 November 2007.
13. Mohammad Natsir
Mohammad Natsir Dt Sinaro Panjang lahir di Alahan Panjang, Solok dari orang tua
asal Maninjau, Agam. Ayahnya Idris Sutan Saripado, pegawai pemerintah sempat
bertugas di Alahan Panjang dan ibunya, Khadijah. Natsir menempuh pendidikan di
Maninjau, Alahan Panjang, Padang dan Bandung. Pernah menjadi menteri
penerangan. Saat memimpin Masyumi di parlemen RIS, Natsir melontarkan mosi
kembali ke negara kesatuan. Mosi Integral Natsir itu akhirnya diikuti parlemen dan
semua negara bagian sehingga RIS bubar. Pada 6 Novemver 2008, Presiden SBY
menetapkan Natsir sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden Nomor
041/TK/TH.2008
14. Buya Hamka
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) lahir di Nagari Sungai Batang,
tepi Danau Maninjau, Agam pada 17 Februari 1908. Buya Hamka adalah ulama
besar, pendidik, sastrawan dan pejuang kemerdekaan itu, Hamka adalah putra
ulama besar Minangkabau Dr. Abdul Karim Amrullah. Selama hidup ia menulis 94
buku, termasuk Tafsir Al Azhar. Buya Hamka wafat di RS Pertamina, Jakarta
bertepatan dengan 22 Ramadan 1401 H, dalam usia 73 tahun 5 bulan. Buya
dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Pada 2011, Presiden SBY mengangkat
Buya Hamka sebagai pahlawan nasional, antara lain karena jasanya selama
perang kemerdekaan melalui Keppres No. 113/TK/2011, tanggal 7 November
2011.
15. Ruhana Kuddus
Ruhana Kuddus, lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat
pada 20 Desember 1884. Ruhana merupakan kakak satu ayah Sutan Sjahrir.
Ruhana adalah wartawati pertama Indonesia dan pendiri Surat Kabar
Soenting Melajoe. Ruhana aktif meningkatkan pendidikan dan keterampilan
kaum perempuan dengan mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di
Koto Gadang. Ruhana wafat di Jakarta pada 17 Agustus 1972. Ruhana
Kuddus ditetapkan Presiden Joko Widodo sebagai pahlawan nasional
melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK Tahun 2019 tanggal 7
November 2019.
PAHLAWAN SUMATERA BARAT ,
BELUM LOLOS JADI PAHLAWAN NASIONAL
H. Abdul Manan memiliki nama kecil Saidi. Beliau
diperkirakan lahir tahun 1835 di Nagari Bukik, Kamang.
Saidi merupakan anak dari pasangan Ibrahim Tuanku
Nan Kayo, dan ibu Khadijah. Saidi memiliki seorang
kakak perempuan bernama Halimah. Tak lama setelah
kelahiran Saidi, ibu tercinta meninggal dunia. Tidak
merasakan kasih sayang seorang ibu tentu
mempengaruhi jiwa dan perkembangan seorang anak.
Hal itu juga dirasakan oleh Saidi kecil yang telah
menjadi piatu sepeninggal bunda kesayangannya.
Menjadi tokoh Perang Kamang 15 Juni 1908 yang
menentang penetapan blasting atau pajak yang
dikenakan pada masyarakat Minangkabau khususnya,
Indonesia umumnya yang ditetapkan oleh pemerintah
colonial Belanda. Beluau meninggal pada saat
kecamuk perang kamang, 16 Agustus 1908.
Siti Manggopoh (lahir di Manggopoh, Agam, Hindia Belanda, Mei 1880 -
meninggal di Gasan Gadang, Padang Pariaman, Sumatra Barat, 1965 pada
umur 85 tahun) adalah seorang pejuang perempuan dari Manggopoh,
Lubuk Basung, Agam. Ia pernah mengobarkan perlawanan terhadap
kolonialis Belanda dalam perang yang dikenal sebagai Perang Belasting.
Dengan siasat yang diatur sedemikian rupa oleh Siti, dia dan pasukannya
berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Sebagai
perempuan, 
Rahmah El Yunusiyah
Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah (lahir di Nagari Bukit Surungan, 
Padang Panjang, Hindia Belanda, 26 Oktober 1900 – meninggal di Padang Panjang, 
Sumatra Barat, 26 Februari 1969 pada umur 68 tahun) adalah seorang reformator
pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri Diniyah
Putri, perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga sekolah tinggi.
Sewaktu Revolusi Nasional Indonesia, ia memelopori pembentukan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) di Padang Panjang serta menjamin seluruh perbekalan dan
membantu pengadaan alat senjata mereka.
Sewaktu pendudukan Jepang di Sumatra Barat, Rahmah memimpin Haha No Kai di
Padang Panjang untuk membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan,
ia memelopori berdirinya TKR di Padang Panjang dan mengerahkan muridnya ikut
serta melawan penjajah walaupun dengan kesanggupan mereka dalam menyediakan
makanan dan obat-obatan. Pada 7 Januari 1949, ia ditangkap oleh Belanda dan
ditahan. Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili 
Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya
mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Keberadaan Diniyah Putri kelak menginspirasi Universitas Al-
Azhar membuka Kulliyatul Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan. Dari
Universitas Al-Azhar, Rahmah mendapat gelar kehormatan "Syekhah"—yang belum
pernah diberikan sebelumnya—sewaktu ia berkunjung ke Mesir pada 1957, setelah
dua tahun sebelumnya Imam Besar Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyah
Putri. Di Indonesia, pemerintah menganugerahkannya tanda kehormatan Bintang
Mahaputra Adipradana secara anumerta pada 13 Agustus 2013.
Prof. Dr. Achmad Mochtar (lahir di Ganggo Hilia, Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, 
10 November 1890 – meninggal di Jakarta, 3 Juli 1945 pada umur 54 tahun) adalah
seorang dokter dan ilmuwan Indonesia Ia merupakan orang Indonesia pertama yang
menjabat direktur Lembaga Eijkman, sebuah lembaga penelitian biologi di Jakarta
 yang didirikan pada masa pendudukan Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, peneliti di Lembaga Eijkman ditangkap oleh militer
Jepang atas tuduhan pencemaran vaksin tetanus. Meski tuduhan tersebut tidak
pernah terbukti, Achmad Mochtar menyerahkan diri pada tentara Jepang dan
kemudian dieksekusi mati demi menyelamatkan hidup para peneliti di lembaga yang
dipimpinnya.
Keberadaan jasadnya yang dikuburkan massal beserta beberapa orang lainnya baru
diketahui terletak di Ereveld, Ancol pada tahun 2010, setelah berselang 65 tahun
Mr. Assaat gelar Datuk Mudo (lahir di Dusun Pincuran Landai, Kubang Putiah, 
Banuhampu, Agam, Sumatra Barat, 18 September 1904 – meninggal di Jakarta, 16 Juni 
1976 pada umur 71 tahun) adalah seorang politisi dan pejuang kemerdekaan
Indonesia. Ia merupakan pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa
pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Ia juga pernah menjabat sebagai 
Menteri Dalam Negeri Indonesia.
Assaat menikah dengan Roesiah dari Sungai Puar, Agam di Rumah Gadang Kapalo
Koto pada tanggal 12 Juni 1949. Dari pernikahan ini ia dikaruniai dua orang putra dan
seorang putri.
Assaat belajar di Perguruan Adabiah dan MULO Padang, selanjutnya ke School tot
Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Jakarta. Merasa tidak cocok menjadi seorang
dokter, dia keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS,
Assaat melanjutkan studinya ke Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum)
di Jakarta.
Setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949, Assaat
diamanatkan menjadi Acting (Pelaksana Tugas) Presiden Republik Indonesia di
Yogyakarta hingga 15 Agustus 1950. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia
Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden RI pada Agustus 1950 selesai, demikian
juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus
1950, negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI
Pada tanggal 16 Juni 1976, Assaat meninggal di rumahnya yang sederhana di Warung
Jati Jakarta Selatan. 
Usmar Ismail (lahir di Bukittinggi, 20 Maret 1921 – meninggal di 
Jakarta, 2 Januari 1971 pada umur 49 tahun) adalah seorang 
sutradara film, sastrawan, wartawan, dan pejuang Indonesia yang
berdarah Minangkabau. Ia dianggap sebagai pelopor perfilman di
Indonesia. Ia dikenal sebagai pelopor drama modern di Indonesia
dan juga Bapak Film Indonesia. Usmar meninggal dunia karena 
stroke.
Usmar Ismail lahir sebagai anak dari Datuk Tumenggung Ismail,
guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan Siti Fatimah.
Usmar menempuh pendidikan di HIS Batusangkar, lalu melanjutkan
ke MULO Simpang Haru, Padang, dan kemudian ke AMS Yogyakarta.
Setamat dari AMS, ia berkuliah lalu memperoleh B.A. di bidang 
sinematografi dari Universitas California, Los Angeles, Amerika
Serikat pada tahun 1952.
Tahun 1962 ia mendapatkan Piagam Wijayakusuma dari Presiden
Soekarno. Pada tahun 1969 ia menerima Anugerah Seni dari
Pemerintah RI. Setelah meninggal dia diangkat menjadi Warga
Teladan DKI. Namanya diabadikan sebagai pusat perfilman Jakarta,
yakni Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Selain itu, sebuah ruang
konser di Jakarta, yakni Usmar Ismail Hall, merupakan tempat
pertunjukan opera, musik, dan teater, yang dinamai sesuai
namanya

Anda mungkin juga menyukai