Anda di halaman 1dari 21

TUGAS SEJARAH

TENTANG
TOKOH NASIONAL DAN DAERAH YANG
MEMPERTAHANKAN KEUTUHAN NKRI

NAMA : GERALDY A. PAH


KELAS : XII IPS 3
MAPEL : SEJARAH
SEKOLAH : SMA N I SOE
A.TOKOH YANG MEMPERTAHANKAN KEUTUHAN
NKRI
1. Jenderal Gatot Soebroto
Jenderal Gatot Soebroto (lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 10 Oktober 1907 - Meninggal di
Jakarta, 11 Juni 1962 pada umur 54 tahun) adalah tokoh perjuangan militer indonesia dalam
merebut kemerdakaan dan juga pahlawan nasional indonesia. Ia dimakamkan di Ungaran,
kabupaten Semarang. Pada tahun 1962, Soebroto dinobatkan sebagai pahlawan Kemerdekaan
Nasional menurut SSK Presiden RI No.222 tanggal 18 Juni 1962. Ia juga merupakan aah
angkat daro Bob Hasan. Seorang pengusaha ternama dan mantan menteri Indonesia pada era
Soeharto.

Setamat pendidikan dasar di HIS, Gatot Subroto tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi, namun memilih menjdai pegawai. Namun tak lama kemudian pada tahun 1923
memasuki sekolah militer KNIL di Magelang. Setelah Jepang menduduki Indonesia, serta
merta Gatot Subroto pun mengikuti pendidikan PETA di Bogor. Setelah kemerdekaan, Gatot
Subroto memilih masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan kariernya berlanjut hingga
sebagai Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah
Surakarta dan Sekitarnya.
Setelah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan, pada tahun 1949 Gatot Subroto diangkat
menjadi Panglima Tentara dan Teritorium IV I Diponegoro. Pada tahun 1953, ia sempat
mengundurkan diri dari dinas militer, namun tiga tahun kemudian diaktifkan kembali
sekaligus diangkat menjdai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad).
Ia adalah penggagas akan perlunya sebuah akademi militer gabungan (AD, AU dan AL)
untuk membina para perwira muda. Gagasan tersebut diwujudkan dengan pembentukan
Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) pada tahun 1965.
2. Abdul Haris Nasution
Jenderal Besar TNI Purn.Abdul Haris Nasution lahir di kotanopan, Sumatra Utara pada
tanggal 3 Desember 1918. Setelah menamatkan pendidikan di Hollands Inlandse School
(HIS) di Kotanopan, Nasution diterima di Holland Inlandse Kweekschool (HIK) Bukittinggi,
sekolah guru yang disebut dengan "Sekolah Raja". Nasution adalah angkatan terakhir di HIK
bukittinggi karena sesudahnya sekolah ini ditutup akibat politik penghematan yang dijalankan
oleh pemerintah Belanda.

Ketika belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia tahun 1940,
Nasution ikut mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada tahun
1942, ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan jepang di Surabaya. Setelah
kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA
mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Pada maret 1946. ia diangkat menjadi Panglima Divisi
III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai panglima Divisi Siliwangi.
Pada Februari 1948, ia menjadi wakil panglima besar TNI (Orang kedua setelh Jenderal
Soedirman) dan diangkat menjadi Kepada Staf TNI Angkatan Darat pada akhir tahun 1949.
Sebagai tokoh seorang panglima militer, Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang Gerilya.
Pak Nas demkian sebutanya dikenal juga sebagai penggagas difungsi ABRI. Orde Baru yang
ikut didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan didalamnya) telah menafsirkan
konsep dwifungsi tersebut kedalam peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif.
Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang Gerilya.
Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Fundamentas of
Guerrilla Warfare.
Masa tugasnya sebagai panglima siliwangi bagi Nasution merupakan tonggak dalam
kehidupan pribadinya. Ia melamar sunarti, Putri Oondokusumo yang sudah dikenalnya sejak
menjadi taruna Akademi Militer di tahun 1940. Sunarti dinikahinya tanggal 30 Mei 1947
hingga lahirlah dua orang putri. Putri pertama lahir pada tahun 1952 dan yang kedua lahir
pada tahun 1960. Putri yang kedua ini, Ade Irma Suryani Nasution, tewas pada usia lima
tahunsaat peristiwa G 30 S/PKI.
3. Letkol Slamet Riyadi
Menjelang proklamasi 1945 Slamet Riyadi melarikan sebuah kapal kayu milik jepang untuk
melakukan perlawanan terhadap Jepang. Setelah diangkat sebagai Komandan Batalyon
Resimen I Divisi X ia berhasil menggalang para pemuda, menghimpun kekuatan pejuang dari
pemuda-pemuda terlatih eks Peta/Heiho/Kaigun dan merekrutnya dalam kekuatan setingkat
Batalyon, yang disiapkan untuk mempelopori perebutan kekuasaan politik dan militer di kota
Solo dari tangan Jepang.

Slamet Riyadi kemudian diangkat menjadi komandan Batalyon XIV dibawah divisi IV.
Panglima Divisi IV adalah Mayor Jenderal Soetarto dan divisi ini dikenal dengan nama
Divisi penembahan Senopati. Batalyon XIV merupakan kesatuan militer yang dibanggakan.
Pasukannya terkenal dengan sebutan anak buat "Pak Met". Selama agresi Belanda II,
pasukannya sangat aktif melakukan serangan gerilya terhadap kedudukan militer Belanda,
pertempran demi pertempuran membuat sulit pasukan Belanda dalam menghadapi taktik
gerilya yang dijalankan Slamet Riyadi. Namanya mulai disebut-sebut karena hampir di setiap
perlawanan di kota Solo selalu berada dalam komandonya. Sewaktu pecah pemberontakan
PKI Madiun. Batalyon Slamet Riyadi sedang berada di luar kota Solo, yang kemudian
diperintahkan secara langsung oleh Gubernur Militer II - Kolonel Gatot Soebroto untuk
melakukan penumpasan ke arah Utara, berdampingan dengan pasukan lainnya, operasi ini
berjalan dengan gemilang.

Pada tanggal 10 juli 1950, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, ditugaskan dalam operasi
penumpasan RMS di Maluku dan Andi Azis di Sulawesi Selatan bersama Panglima TT VII -
Kolonel Kawilarang. Dalam tugas inilah ia gugur muda dalam usia 23 tahun. Ia tertembak di
depan benteng Victoria setelah berusaha merebutnya.h

 4.Sultan Hamengkubowono IX
Sultan Hamengkubuwono IX lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 12 April 1912 dengan
nama asli Gusti Raden Mas Dorodjatun. Ia adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono
VIII dan permaisuri Kangjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara.

Pada tanggal 2 Oktober 1988, Sultan Hamengkubuwono IX meninggal dunia di George


Washington University Medical Centre, Amerika Serikat. Atas jasa dan berbagai perannya
bagi bangsa dan negara Indonesia, Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional.

5.Frans Kaisiepo
Pahlawan berikutnya adalah pahlawan yang berasal dari Irian. Namanya diabadikan menjadi
nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak serta diabadikan di salah satu kapal yaitu KRI
Frans Kaisiepo dan wajahnya diabadikan dalam mata uang Rp.10.000,00.

Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921. Pada usia 24 tahun, ia
mengikuti kursus Pamong Praja di Jayapura yang salah satu pengajarnya adalah, Sugoro
Atmoprasodjo, yang merupakan mantan guru Taman Siswa. Sejak bertemu dengan beliau,
jiwa kebangsaan Frans Kaisiepo semakin tumbuh dan kian bersemangat untuk
mempersatukan wilayah Irian ke dalam NKRI.

Frans Kaisiepo wafat tanggal 10 April 1979. Atas jasa dan perjuangannya selama
mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia, Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan
Nasional.

.
6.K. H. Hasyim Asy’ari
Ternyata, Squad, mereka yang mempertahankan kemerdekaan tidak hanya datang dari
kalangan sipil dan tentara saja, lho. Salah satu tokoh yang berjuang mempertahankan
kemerdekaan NKRI adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau merupakan salah satu ulama yang
mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. K.H. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa
Tengah tanggal 10 April 1875. Pondok Pesantren Tebuireng didirikan pada tahun 1899 serta
memelopori pendirian organisasi massa Islam Nahdhatul Ulama (NU) tanggal 31 Januari
1926. K.H. Hasyim Asy’ari memiliki peran dalam upaya memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara lain:

K.H. Hasyim Asy’ari wafat tanggal 25 Juli 1947. Wafatnya beliau terjadi ketika utusan Bung
Tomo serta pemimpin Hizbullah Surabaya Kyai Gufron bertamu ke pesantren Tebuireng.
Kedatangan dua tamu tersebut berupaya memberitahu K.H. Hasyim Asy’ari bahwa pasukan
Belanda melakukan Agresi Militer 1 dan menduduki kota Malang yang sebelumnya dikuasai
pasukanHizbullah.
Berita itu mengejutkan K.H. Hasyim Asy’ari dan membuat beliau jatuh pingsan di atas
kursinya. Dokter segera didatangkan namun sayangnya ia sudah wafat akibat pendarahan
otak. Pemerintah RI lantas menghargai jasa-jasanya dan pengabdiannya dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964,
yang menyatakan bahwa Pemerintah RI menganugerahi K.H. Hasyim Asy’ari gelar Pahlawan
Kemerdekaan Nasional.
7.Ahmad Yani
Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani (juga dieja Achmad Yani; lahir di Purworejo, Jawa
Tengah, 19 Juni 1922 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43
tahun) adalah komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan dibunuh oleh
anggota Gerakan 30 September saat mencoba untuk menculik dia dari rumahnya.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mencoba untuk menculik tujuh


anggota staf umum Angkatan Darat. Sebuah tim dari sekitar 200 orang mengepung rumah
Yani di Jalan Latuhahary No. 6 di pinggiran Jakarta Menteng, Jakarta Pusat. Biasanya Yani
memiliki sebelas tentara menjaga rumahnya. Istrinya kemudian melaporkan bahwa seminggu
sebelumnya tambahan enam orang ditugaskan kepadanya. Orang-orang ini berasal dari
komando Kolonel Latief, yang diketahui Yani, adalah salah satu komplotan utama dalam
Gerakan 30 September. Menurut istri Yani, orang-orang tambahan tersebut tidak muncul
untuk bertugas pada malam itu. Yani dan anak-anaknya sedang tidur di rumahnya sementara
istrinya keluar merayakan ulang tahunnya bersama sekelompok teman-teman dan kerabat.
Dia kemudian menceritakan bahwa saat ia pergi dari rumah sekitar pukul 23.00, ia melihat
seseorang duduk di seberang jalan seakan menjaga rumah di bawah pengawas. Dia tidak
berpikir apa-apa pada saat itu, tetapi setelah peristiwa pagi itu ia bertanya-tanya berbeda.
Juga, dari sekitar jam 9 pada malam 30 September ada sejumlah panggilan telepon ke rumah
pada interval, yang ketika menjawab akan bertemu dengan keheningan atau suara akan
bertanya apa waktu itu. Panggilan terus sampai sekitar 01.00 dan Mrs Yani mengatakan dia
memiliki firasat sesuatu yang salah malam itu.
Yani menghabiskan malam dengan beberapa pertemuan, pukul 7 malam ia menerima seorang
kolonel dari KOTI, Komando Operasi Tertinggi. Jendral Basuki Rahmat, komandan divisi
di Jawa Timur, kemudian tiba dari markasnya di Surabaya. Basuki datang ke Jakarta untuk
melaporkan kepada Yani pada keprihatinan tentang meningkatnya aktivitas komunis di Jawa
Timur. Memuji laporannya, Yani memintanya untuk menemaninya ke pertemuan keesokan
harinya dengan Presiden untuk menyampaikan laporannya.
Ketika para penculik datang ke rumah Yani dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan
dibawa ke hadapan presiden, ia meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Ketika
penculik menolak ia menjadi marah, menampar salah satu prajurit penculik, dan mencoba
untuk menutup pintu depan rumahnya. Salah satu penculik kemudian melepaskan tembakan,
membunuhnya secara spontan. Tubuhnya dibawa ke Lubang Buaya di pinggiran Jakarta dan
bersama-sama dengan orang-orang dari jenderal yang dibunuh lainnya, disembunyikan di
sebuah sumur bekas.
Tubuh Yani, dan orang-orang korban lainnya, diangkat pada tanggal 4 Oktober, dan semua
diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya, sebelum dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan di Kalibata. Pada hari yang sama, Yani dan rekan-rekannya resmi dinyatakan
Pahlawan dari Revolusi dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 dan pangkatnya
dinaikkan secara anumerta dari Letnan Jenderal untuk bintang ke-4 

8.JENDERAL SOEDIRMAN
Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal29
Januari 1950 pada umur 34 tahun[a]) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada
masa Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional
Indonesia pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat
biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang
seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh
menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk
mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat
di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan
berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah
berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian
menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan
Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada
tahun 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap
mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang
disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat,
Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian
diasingkan ke Bogor.
9.I GUSTI NGURAH RAI
Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai (lahir di
Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda, 30 Januari 1917 
meninggal di Marga, Tabanan, Bali, Indonesia, 20 November 1946 pada umur 29 tahun)
adalah seorang pahlawan Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali.

Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama pasukan "Ciung Wanara" yang melakukan
pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa
bali, berarti "habis-habisan", sedangkan Margarana berarti "Pertempuran di Marga"; Marga
adalah sebuah desa ibukota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali) Di tempat
puputan tersebut lalu didirikan Taman Makam Pahlawan Margarana.
Bersama 1.372 anggotanya pejuang MBO (Markas Besar Oemoem) Dewan Perjoeangan
Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) dibuatkan nisan di Kompleks Monumen de
Kleine Sunda Eilanden, Candi Marga, Tabanan. Detil perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan
resimen CW dapat disimak dari beberapa buku, seperti "Bergerilya Bersama Ngurah Rai"
(Denpasar: BP, 1994) kesaksian salah seorang staf MBO DPRI SK, I Gusti Bagus Meraku
Tirtayasa peraih "Anugrah Jurnalistik Harkitnas 1993", buku "Orang-orang di Sekitar Pak
Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan Nasional Brigjen TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai"
(Denpasar: Upada Sastra, 1995), atau buku "Puputan Margarana Tanggal 20
November 1946" yang disusun oleh Wayan Djegug A Giri (Denpasar: YKP, 1990).

10.I GUSTI KETUT JELANTIK

I Gusti Ketut Jelantik (1846 - 1849) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal


dari Karangasem, Bali. Ia merupakan patih Kerajaan Buleleng. Ia berperan dalam Perang
Jagaraga yang terjadi di Bali pada tahun 1849.
I Gusti Ketut Pudja
I Gusti Ketut Pudja (lahir 19 Mei 1908 – meninggal 4 Mei 1977 pada umur 68 tahun)
adalah pahlawan nasional Indonesia. Ia ikut serta dalam perumusan negara Indonesia
melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mewakili Sunda Kecil (saat
ini Bali dan Nusa Tenggara).
I Gusti Ketut Pudja juga hadir dalam perumusan naskah teks proklamasi di rumah
5Laksamana Maeda. Ia kemudian diangkat Soekarno sebagai Gubernur Sunda Kecil.[1]Pada
tahun 2011, I Gusti Ketut Pudja ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai
pahlawan nasional bersama 6 orang lainnya.[1] Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa
jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang logam rupiah
baru, pecahan Rp. 1.000,- 

11.HERMAN JOHANNES
Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, sering juga ditulis sebagai Herman
Yohannes atau Herman Yohanes (lahir di Rote, NTT, 28 Mei1912 – meninggal
di Yogyakarta, 17 Oktober1992 pada umur 80 tahun) adalah cendekiawan, politikus,
ilmuwan Indonesia, guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Pahlawan Nasional
Indonesia. Ia pernah menjabat Rektor UGM (1961-1966), Koordinator Perguruan Tinggi

(Koperti) tahun 1966-1979, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI (1968-1978),


dan MenteriPekerjaan Keahlian Herman Johannes sebagai fisikawan dan kimiawan ternyata
berguna untuk memblokade gerak pasukan Belanda selama clash I dan II. Bulan Desember
1948, Letkol Soeharto sebagai Komandan Resimen XXII TNI yang membawahi daerah
Yogyakarta meminta Herman Johannes memasang bom di jembatan kereta api Sungai Progo.
Karena ia menguasai teori jembatan saat bersekolah di THS Bandung, Johannes bisa
membantu pasukan Resimen XXII membom jembatan tersebut. Januari 1949, Kolonel
GPH Djatikoesoemo meminta Herman Johannes bergabung dengan pasukan Akademi
Militer di sektor Sub-Wehrkreise 104 Yogyakarta. Dengan markas komando di Desa
Kringinan dekat Candi Kalasan, lagi-lagi Herman Johannes diminta meledakkan
Jembatan Bogem yang membentang di atas Sungai Opak. Jembatan akhirnya hancur dan satu
persatu jembatan antara Yogya-Solo dan Yogya-Kaliurang berhasil dihancurkan Johannes
bersama para taruna Akademi Militer. Aksi gerilya ini melumpuhkan aktivitas pasukan
Belanda sebab mereka harus memutar jauh mengelilingi Gunung Merapi dan Gunung
Merbabu melewati Magelang dan Salatiga untuk bisa masuk ke wilayah Yogyakarta.

12.Ir.SOEKARNO
Dr.(H.C.) Ir. H. Soekarno (ER, EYD: Sukarno, nama
lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir di Surabaya, Jawa
Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21
Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden
pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode
1945–1967. Ia memainkan peranan penting dalam
memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.
Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama
dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17
Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama kali
mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya Soekarno
menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya
—berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat— menugaskan Letnan
Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi
kepresidenanSupersemar menjadi dasar Letnan JenderalSoeharto untuk membubarkan Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di
parlemen Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari
jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan
Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia

13.WIHELMUS ZAKARIAS YOHANES

Wilhelmus Zakaris Johannes adalah seorang putra Pulau Rote yang dilahirkan pada tanggal
16 2Juli 1895. Ia adalah putra sulung dari keluarga M. Z. Johannes dan Ester Johannes –
Amalo.Banyak orang mengenal, mengingatnya hanya sebagai Ahli MIPA dari UGM, Dosen,
Gurubesar, dan Rektor UGM, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Padahal,
Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, tentu saja pada waktu itu belum sebagai Profesor, cukup
beperan pada waktu perang dan perjuangan kemerdekaan dan juga juga Serangan Umum Satu
Maret.Ini ada sepenggal kisah dari para laskar dan tentara dari Sunda Kecil (Bali, NTB,
NTT); menurut tuturan para veteran Serangan Umum 1 Maret, IR Lobo (Alm), J N Johannes
(Alm), H Johannes (Alm); Peter Rohi (tinggal di Jakarta). Dalam pertempuran Jogja (sebelum
1 Maret 1949, SU 1 Maret, dan setelah 1 Maret 1949) ada Batalyon Paradja yang didirikan IR
Lobo (beliau juga adalah pendiri Kantor Doane atau sekarang Ditjen Bea Cukai, Dep/Kem
Kuangan RI). Batalyon ini masuk dalam resimen Sunda Kecil yang dipimpin Ngurah Rai.
Para perwiranya adalah Prof. Dr Ir. Herman Johannes, Frans Seda, Amos Pah, El Tari, Is
Tibuludji.
Batalion ini memiliki tiga kompi, masing-masing dipimpin Kapten Hendrik Rade, Kapten J.
Moi Hia, dan Letnan Benyamin Lihoe. Dua kompi yang pertama disebut kompi berani mati.
Hal itu dapat dibuktikan dalam pertempuran di Wates walau kompi ini sudah terjepit, mereka
tidak mau menyerah. Maka gugurlah Kapten Hendrik Rade dan wakilnya Letnan Jermias
Henuhili, dan seorang perwira dari Larantuka, Floress,  Letnan Fernandes. Mereka
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jogjakarta.
El Tari (yang kemudian menjadi Gubernur NTT sejak 1968 - 1978) tertembak pangkal paha
dan hanya bisa selamat karena Prajurit Hawoe Dima nekad masuk di antara desingan peluru
untuk menggotong tubuh El Tari keluar dari medan pertempuran yang sekejap berubah
menjadi naraka bagi para pejuang

14.R. Suprapto
Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20
Juni1920 – meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu korban dalam G30S/PKI dan
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Pada tanggal 01 Oktober dini hari, Suprapto, yang saat itu tidak bisa tidur karena sakit gigi
yang dideritanya, didatangi oleh sekawanan orang, yang mengaku sebagai pengawal
kepresidenan (Cakrabirawa), yang mengatakan bahwa ia dipanggil oleh presiden Sukarno
untuk menghadap. Suprapto kemudian dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang
Buaya, daerah pinggiran kota Jakarta, bersama dengan 6 orang lainnya. 
Malam harinya, Jendral Suprapto dan keenam orang lainnya ditembak mati dan dilemparkan
ke dalam sebuah sumur tua. Baru pada tanggal 5 Oktober, jenazah para korban pembunuhan
tersebut bisa dikeluarkan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di hari itu
juga, Presiden Sukarno mengeluarkan Kepres no. 111/KOTI/1965, yang meresmikan
Suprapto bersama korban Lubang Buaya yang lain sebagai Pahlawan Revolushi.

15.D.I. Pandjaitan
Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan (lahir di Balige, Sumatera Utara, 19
Juni 1925 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun)
adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta

Pada jam-jam awal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September


meninggalkan Lubang Buaya menuju pinggiran Jakarta. Mereka memaksa masuk pagar
rumah Panjaitan di Jalan Hasanudin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, lalu menembak dan
menewaskan salah seorang pelayan yang sedang tidur di lantai dasar rumah dua lantai dan
menyerukan Panjaitan untuk turun ke bawah. Dua orang pemuda yaitu Albert
Naiborhu dan Viktor Naiborhu terluka berat saat mengadakan perlawanan ketika D.I.
Panjaitan diculik, tidak lama kemudian Albert meninggal. Setelah penyerang mengancam
keluarganya, Panjaitan turun dengan seragam yang lengkap berdoa,sambil menyerahkan diri
kepada Yang Maha Esa untuk memenuhi panggilan tugas yang dimanupalasi oleh
gerombolan PKI dan ditembak mati. mayatnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa
kembali ke markas gerakan itu di Lubang Buaya. Kemudian, tubuh dan orang-orang dari
rekan-rekannya dibunuh tersembunyi di sebuah sumur tua. Mayat ditemukan pada tanggal 4
Oktober, dan semua diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya. Panjaitan mendapat
promosi anumerta sebagai Mayor Jenderal dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.
KatamsoDarmokusumo
16.Katamso Darmokusumo  
(lahir di Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari 1923 – meninggal di Yogyakarta, 1
Oktober 1965 pada umur 42 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia, Ia
merupakan mantan Komandan Korem 072/Pamungkas. Katamso termasuk tokoh yang
terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September. Ia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.

Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo adalah salah


satu pahlawan nasional Indonesia yang terbunuh dalam
peristiwa G.30S/PKI, namun ia tidak mengalaminya
bersama para jenderal lainnya di Jakarta, melainkan di
Jogjakarta, sekalipun dalam hari dan peristiwa yang sama.
Selama masa mudanya, beliau menamatkan pendidikan di
Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah setelah itu, beliau
melanjutkan pendidikan tentara Peta di Bogor. Sesudah
proklamasi kemerdekaan, beliau mengikuti TKR yang
perlahan lahan berubah menjadi TNI. Selama masa agresi militer belanda, pasukan yang
dipimpinnya sering bertempur untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Sesudah pengakuan
Kedaulatan, beliau diserahi tugas untuk menumpas pemberontakan Batalyon 426 di Jawa
Tengah.Pada tahun 1958, terjadilah peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta waktu itu
beliau menjabat sebagai Komandan Batalyon “A” Komando Operasi 17 Agustus yang
dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani. Pada tahun 1963, beliau menjabat sebagai Komandan
Korem 072 Kodam VII/Diponegoro yang berkedudukan di Yogkakarta. Untuk menghadapi
kegiatan PKI di daerah Solo, beliau aktif membina mahasiswa. Mahasiswa mahasiswa itu
diberi pelatihan militer.Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, disaat terjadi upaya
kudeta oleh Partai Komunis Indonesia dengan penculikan para jenderal di Jakarta, G.30
S/PKI pun berhasil menguasai RRI Jogjakarta, Markas Korem 072 dan mengumumkan
pembentukan Dewan Revolusi. Pada sore harinya
mereka menculik Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem Letnan
Kolonel Sugiono dan membawanya ke daerah Kentungan. Kedua perwira tersebut dipukul
dengan kunci mortar dan tubuhnya dimasukan dalam sebuah lubang yang sudah disiapkan.
Kedua jenazah baru ditemukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dalam keadaan rusak, setelah
dilakukan pencarian secara besar-besaran. Dan pada
tanggal 22 Oktober 1965 beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki
Yogyakarta.

17.Siswondo Parman
Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman (lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4
Agustus 1918 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 47 tahun)
atau lebih dikenal dengan nama S. Parman adalah salah satu pahlawan revolusiIndonesia dan
tokoh militer Indonesia
Ia meninggal dibunuh pada persitiwa Gerakan 30 September dan mendapatkan gelar Letnan
Jenderal Anumerta. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Setelah Indonesia merdeka, Parman memilih dunia militer sebagai tempat


pengabdiannya pada negara. Selama Agresi Militer II, Parman ikut bergerilya di luar
kota. Usai agresi, Parman sempat mengenyam pendidikan di Koninklijke Militaire
Academie (semacam AKMIL) di Breda, Belanda. Tahun demi tahun, karir Parman terus
menanjak, dia kemudian diangkat menjadi Asisten I Men Pangad bidang Intelijen
dengan pangkat Brigadir Jenderal. Pada Agustus 1964, pangkatnya dinaikkan lagi
menjadi Mayor Jenderal. Pada waktu memegang jabatan sebagai Asisten I bidang
Intelijen, pengaruh PKI sudah meluas ke hampir seluruh bidang kenegaraan. Lawan
utama PKI adalah Angkatan Darat. PKI menyebar opini publik bahwa AD berniat
menggulingkan kepemimpinan Presiden Soekarno. Oleh karena itu, PKI mendesak
Presiden membentuk Angkatan Kelima diamana anggotanya adalah buruh dan tani yang
dipersenjatai.Saat itu, Parman menjadi salah satu pihak yang paling keras menolak
rencana pembentukan Angkatan Kelima. Penolakan serta posisinya sebagai pejabat
intelijen yang tahu banyak tentang PKI, menjadikannya sasaran utama PKI. Akhirnya
pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Parman diculik gerombolan G30S/PKI yang
dipimpin Serma Satar dari Resimen Tjakrabirawa. Di Lubang Buaya, setelah disiksa
dengan kejam Parman akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Jasadnya baru
ditemukan tanggal 4 Oktober 1965 dan dimakamkan tanggal 5 Oktober 1965 di TMP
Kalibata. Ironisnya, salah satu otak penculikan Parman tidak

18.Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo (lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 28 Agustus 1922 – meninggal
di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun) adalah seorang perwira
tinggi TNI-AD yang diculik dan kemudian dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30
September di Indonesia.

Sutoyo Siswomiharjo mengecap pendidikan HIS dan AMS di Semarang. Kemudian


melanjutkan pendidikannya di Balai Pendidikan Pegawai Negeri di Jakarta. Sebelum menjadi
tentara, Sutoyo bertugas sebagai Pegawai Menengah/III di Kabupaten Purworejo. Karirnya di
bidang militer dimulai dengan menjabat sebagai Polisi Tentara saat perjuangan kemerdekaan
1945. Setelah itu karirnya terus menanjak sehingga pada tahun 1961 naik pangkat menjadi
Kolonel dan menjabat sebagai IRKEHAD, lalu pada tahun 1964 dinaikkan pangkatnya
menjadi Brigjen.
Pak Toyo, panggilan akrab Sutoyo, dikenal masyarakat Indonesia saat dirinya menjadi
korban G30S/PKI pada 1 Oktober 1965. Menjelang peristiwa tersebut Pak Toyo mengalami
beberapa firasat yang tidak enak. Namun di tengah perasaan kurang enak itu, dia
memerintahkan untuk membuat rencana peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1965 secara cermat
kepada ajudannya. Firasat itu ternyata terbukti tanggal 1 Oktober jam 04.00 Brigjen TNI
Sutoyo diculik oleh pasukan yang dipimpin oleh Serma Surono dari Men Cakrabirawa
dengan kekuatan 1  peleton. Dengan todongan bayonet, mereka menanyakan kepada
pembantu rumah untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju kamar tengah. Setelah pintu
dibuka oleh Brigjen TNI Sutoyo, maka pratu Suyadi dan Praka Sumardi masuk ke dalam
rumah, mereka mengatakan bahwa Brigjen TNI Sutoyo dipanggil oleh Presiden. Kedua orang
itu membawa Brigjen TNI Sutoyo ke luar rumah sampai pintu pekarangan diserahkan pada
Serda Sudibyo. Dengan diapit oleh Serda Sudibyo 2dan Pratu Sumardi, Brigjen TNI Sutoyo
berjalan keluar pekarangan meninggalkan tempat untuk selanjutnya dibawa menuju Lubang
Buaya. Pak Toyo gugur dianiaya di tempat tersebut, dan dianugerahi gelar Pahlawan
Revolusi.

19.Yos Sudarso
Laksamana Madya TNI (Ant.) Yosaphat Soedarso (lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 24
November 1925 – meninggal di Laut Aru, 15 Januari 1962 pada umur 36 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia.[1] Ia gugur di atas KRI Macan Tutul dalam
peristiwa pertempuran Laut Aru setelah ditembak oleh kapal patroli Hr. Ms. Eversten milik
armada Belanda pada masa kampanye Trikora. Namanya kini diabadikan menjadi
nama KRI dan pulau.
Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 agustus 1945, Yos
Sudarso kemudian bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) Laut yang kemudian
bernama Tentara Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Disini Yos Sudarso  sering mengikuti misi atau operasi militer dalam memadamkan
pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah ketika itu. Walaupu ketika itu armada kapal laut
yang dimiliki Indonesia masih sangat minim sekali.
Di tahun 1950, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Yos Sudarso pun diangkat sebagai
komandan kapal di KRI Alu. Selanjutkan pindah ke KRI Gajah Mada, KRI Rajawali hingga
KRI Pattimura. Yos bahkan sempat menjabat sebagai sebagai hakim pengadilan walaupun
hanya 4 bulan saja tepatnya di tahun 1958.
Di tahun 1959, pergolakan internal di tubuh Angkatan Laut mencapai puncaknya. Yos
Sudarso berserta kolonel Ali Sadikin dan para perwira lainnya tidak setuju dengan
kepemimpinan Laksamana Subiyakto yang ketika itu menjabat sebgai kepala staf angkatan
laut.
Konflik tersebut membuat Laksaman Subiyakto akhirnya digantikan oleh Kolonel R.E
Martadinata sebagai kepala staf yang baru. Tidak lama setelah itu Yos Sudarso
kemudian naik pangkat secara cepat dari Deputi hingga menjadi komodor (laksamana
pertama)

20.Pierre Tendean
Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andries Tendean
(lahir 21 Februari 1939 – meninggal 1 Oktober 1965 pada umur 26 tahun) adalah seorang
perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30
September pada tahun 1965. Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan
kemudian ditunjuk sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution dengan pangkat
letnan satu, ia dipromosikan menjadi kapten anumerta setelah kematiannya. Tendean
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan bersama enam perwira
korban Gerakan 30 September lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi
Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.
Pierre Tendean merupakan seorang kapten militer yang menjadi salah satu korban G30S-PKI.
Ia merupakan anak dari A.L. Tendean asalah Minahasa dan Cornel M.E. yang merupakan
keturunan Belanda-Perancis. Ayahnya adalah seorang dokter di Jakarta, Tasikmalaya,
Cisarua, Magelang dan Semarang. Kapten P Tendean mengenyam sekolah dasar di Magelang
lalu melanjutkan SMP dan SMA di Semarang. Sejak di sekolah, ia sangat ingin masuk dalam
Akademi Militer Nasinal, namun orang tuanya menginginkan nya untuk menjadi seorang
dokter seperti ayahnya atau seorang insinyur. Karena tekatnya yang kuat, ia pun berhasil
bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat pada 1958.
Menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan
merupakan tugas pertamanya setelah menamatkan pendidikan Akmil Jurtek-nya pada tahun
1962. Tugas ini dipegangnya hanya setahun karena dirinya kemudian mengikuti pendidikan
Sekolah Intelijen. Ia dikirim di garis depan massa konfrontasi dengan Malaysia yang dikenal
dengan istilah 'dwikora' di mana ia memimpin kelompok sukarelawan di beberapa titik di
tanah air. Sejak saat itu ia dipromosikan menjadi Letnan Satu/ Lettu dan pengawal pribadi
Jendral Abdul Haris Nasution.
Pada saat terjadi kerusuhan G30S, ia pun tak luput dari kejaran pada anggota PKI. Pada pagi
hari pada 1 Oktober 1965,Pierre sedang tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution.
Suara tembakan dan ribut-ribut membuatnya terbangun dan berlari ke bagian depan rumah.
Sementara gerombolan PKI yang sudah kelabakan karena tidak menemukan Nasution yang
sudah sempat melarikan diri, kemudian bertemu dengan Pierre Tendean. Lalu dia mengaku
bahwa dirinya Nasution, hal tersebut dilakukan untuk melindungi atasannya.
Esoknya, dia bersama enam perwira lainnya ditemukan telah menjadi mayat di satu sumur tua
di daerah Lubang Buaya. Ketujuh Perwira Angkatan Darat itu kemudian dimakamkan di
Taman Makam
pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya kepada negara, Kapten CZI TNI Anumerta
Pierre Andreas Tendean dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi berdasarkan SK 
Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965, tgl 5 Oktober 1965

Anda mungkin juga menyukai